Sabtu, 1 Mei 2004 11:24:11 WIB
KITAB THAHARAH (PERIHAL BERSUCI)
Oleh Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi
Majalah As-Sunnah http://almanhaj.or.id
بسم الله الرحمن الرحيم
B. Bersuci Dengan Tanah (Tayammum) 1. Landasan Pensyari'atannya Allah Ta'ala berfirman:
وَإِن
كُنتُم مَّرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِّنكُم مِّنَ
الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً
فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم
مِّنْهُ
“... dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali
dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak
memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih);
sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu...” [Al-Maa-idah: 6]
Dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الصَّعِيْدَ الطَّيِّبَ طَهُوْرُ الْمُسْلِمِ وَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ عَشْرَ سِنِيْنَ.
“Sesungguhnya
tanah yang suci adalah sarana bersuci bagi seorang muslim. Meskipun ia
tidak menemukan air selama sepuluh tahun.” [1]
2. Sebab-sebab
yang memperbolehkan Tayammum Tayammum diperbolehkan ketika tidak mampu
menggunakan air, baik disebabkan ketiadaannya atau karena dikhawatirkan
parahnya penyakit yang di derita, atau dingin yang menggigit.
Dari
'Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Kami bersama
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan. Beliau
lalu shalat mengimami kami. Tiba-tiba terlihat ada seorang pria yang
menyendiri. Lalu beliau bertanya, 'Apa yang menghalangimu untuk shalat?'
Dia menjawab, 'Saya sedang junub dan tidak mendapatkan air.' Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
عَلَيْكَ بِالصَّعِيْدِ فَإِنَّهُ يَكْفِيْكَ.
“Gunakanlah tanah. Sesungguhnya itu mencukupimu.” [2]
Dari
Jabir Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Kami keluar dalam sebuah
perjalanan. Salah seorang di antara kami terkena batu hingga kepalanya
terluka parah. Dia kemudian mimpi basah. Lalu dia bertanya kepada para
sahabatnya, 'Apakah kalian melihat adanya keringanan bagiku untuk
bertayammum?' Mereka menjawab, 'Kami tidak mendapatkan keringanan
bagimu, sedang kau mampu menggunakan air.' Kemudian dia mandi lalu
wafat. Ketika kami menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, hal
itu diadukan kepada beliau. Lalu beliau bersabda, 'Mereka telah
membunuhnya. Semoga Allah membunuh mereka. Kenapa mereka tidak bertanya
jika memang tidak tahu?! Sesungguhnya obat kebodohan adalah bertanya.
Sesungguhnya cukuplah baginya untuk bertayammum.’” [3]
Dari 'Amr
bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu, bahwasanya ketika dia diutus dalam perang
Dzaatus Salaasil dia berkata, "Pada suatu malam yang sangat dingin, aku
mimpi basah. Aku merasa jika aku mandi maka aku akan celaka. Aku lalu
bertayammum kemudian menjadi imam shalat shubuh bagi para sahabatku.
Ketika kami menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka
menceritakan hal itu kepadanya. Beliau berkata, 'Wahai 'Amr, kau
mengimami para sahabatmu dalam keadaan junub?' Aku berkata, "Saya
teringat firman Allah Ta'ala:
إِنِّي أُرِيدُ أَن تَبُوءَ بِإِثْمِي وَإِثْمِكَ فَتَكُونَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ ۚ وَذَٰلِكَ جَزَاءُ الظَّالِمِينَ
“Sesungguhnya
aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh) ku dan
dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni Neraka, dan yang
demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zhalim.” [Al-Maa-idah:
29]
Kemudian aku bertayammum dan shalat. Lalu Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam tertawa dan tidak mengkritik sedikit pun."
[4]
3. Apakah yang dimaksud dengan اَلصَّعِيْدُ (ash-Sha'iid)?
Dalam Lisaanul 'Arab disebutkan: Ash-Sha'iid artinya tanah. Ada yang
menyatakan: tanah yang suci. Ada pula yang mengatakan: semua debu yang
suci. Dalam al-Qur-an:
فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
“... Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih)...” [Al-Maa-idah: 6]
Abu
Ishaq berkata, “Ash-Sha'iid adalah permukaan bumi. Diwajibkan bagi
seseorang yang bertayammum untuk menepukkan kedua tangannya pada
permukaan bumi. Tidak perlu dipedulikan apakah pada tempat itu terdapat
debu atau tidak. Karena ash-Sha'iid bukanlah debu. Ia adalah permukaan
bumi. Baik debu atau selainnya. Dia melanjutkan, "Seandainya seluruh
permukaan tanah adalah batu yang tidak ada debu di atasnya. Lalu orang
yang hendak bertayammum menepukkan tangannya ke atas batu itu, maka hal
itu sudah menjadi penyuci baginya jika ia mengusapkan pada wajahnya."
4.
Tata Cara Tayammum Dari 'Ammar bin Yasir Radhiyallahu anhu, ia berkata,
“Aku junub dan tidak memiliki air. Aku lantas berguling-guling di atas
tanah lalu shalat. Kuceritakan hal itu kepada Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Lalu beliau berkata:
إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيْكَ هكَذَا.
وَضَرَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهَ وَسَلَّمَ بِكَفَّيْهِ
اْلأَرْضَ وَنَفَخَ فِيْهِمَا ثُمَّ مَسَحَ وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ.
“Sesungguhnya,
cukuplah kau lakukan begini. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
menepukkan kedua telapak tangannya ke atas tanah lalu meniupnya.
Kemudian beliau usap dengannya wajah dan kedua telapak tangan beliau.”
[5]
Catatan: Hukum asal tayammum adalah sebagai pengganti wudhu.
Perkara-perkara yang boleh dilakukan dengan wudhu juga boleh dilakukan
dengan tayammum. Diperbolehkan tayammum sebelum masuk waktu shalat
sebagaimana wudhu juga dibolehkan. Juga dibolehkan shalat sesuka hati
dengan (sekali) tayammum (selama tidak batal) sebagaimana shalat dengan
wudhu.
5. Hal-Hal yang Membatalkan Tayammum Tayammum batal dengan
perkara yang membatalkan wudhu. Ia juga batal dengan adanya air bagi
yang sebelumnya tidak mendapatkan air. Dikatakan juga dengan adanya
kemampuan untuk menggunakan air bagi yang sebelumnya tidak mampu. Adapun
shalat yang telah dikerjakan, maka tetap sah dan tidak wajib diulang.
Dari
Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Dua orang laki-laki
berada dalam sebuah perjalanan. Lalu tibalah waktu shalat, sedangkan
mereka tidak memiliki air. Kemudian bertayammum dengan tanah yang suci
lalu shalat. Beberapa saat kemudian, mereka menemukan air. Lalu salah
seorang dari mereka berwudhu dan mengulangi shalat, sedangkan yang
satunya tidak. Kemudian mereka mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam dan menceritakan hal tersebut. Lalu beliau berkata kepada
orang yang tidak mengulang, 'Engkau telah melakukan sunnah dan shalatmu
sudah mencukupi'. Dan berkata kepada orang yang berwudhu dan mengulang
shalatnya, ‘Engkau mendapatkan dua kali.’" [6]
Catatan:
Barangsiapa mempunyai luka yang telah dibalut, atau patah tulang yang
telah digips, maka gugurlah kewajiban membasuh tempat itu. Dia tidak
wajib mengusap dan tidak pula bertayammum untuk cedera tersebut.
Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
“Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia
mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa
(dari kejahatan) yang dikerjakannya...” [Al-Baqarah: 286]
Dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ.
"Jika kuperintah kalian terhadap suatu perkara, maka lakukanlah semampu kalian." [7]
Maka
dengan al-Qur-an dan Sunnah, gugurlah semua kewajiban yang seseorang
merasa tidak mampu melakukannya. Kewajiban pengganti termasuk syari’at.
Sedangkan syari’at tidak mewajibkan sesuatu melainkan dengan al-Qur-an
dan Sunnah. Dan al-Qur-an dan Sunnah tidak menyebutkan bahwa mengusap
gips atau pengobatan sejenisnya adalah pengganti dari membasuh anggota
tubuh yang (secara medis) tidak bisa dibasuh. Maka gugurlah pendapat
tersebut. [8]
6. Dibolehkan Bertayammum dengan Tembok Dari Ibnu
'Abbas Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku dan 'Abdullah bin Yasar,
mantan budak Maimunah, isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang
menemui Abu Juhaim bin al-Harits bin ash-Shimmah al-Anshari. Lalu
berkatalah Abul Juhaim, 'Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam datang dari
arah sumur Jamal [9]. Kemudian seorang laki-laki berjumpa dengannya dan
mengucap salam pada beliau. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak
menjawab salamnya hingga mendatangi sebuah tembok dan mengusap wajah dan
kedua tangannya. Setelah itu beliau menjawab salamnya'." [10]
[Disalin
dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis
Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih
Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka
Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M] _______
Footnote [1]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 322)], Sunan
at-Tirmidzi (I/81 no. 124), Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma’buud) (I/528 no.
329), dan Sunan an-Nasa-i (I/171), dengan lafazh yang hampir serupa.
[2]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (I/477 no.
344)], Shahiih Muslim (I/474 no. 682), dan Sunan an-Nasa-i (I/171). [3].
Hasan: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 326)], Sunan Abi Dawud ('Aunul
Ma’buud) (I/532 no. 332), di dalamnya terdapat tambahan yang munkar,
yaitu: "... dia lalu membalut atau memperban lukanya dengan secarik kain
kemudian mengusapnya dan membasuh seluruh tubuhnya." Syamsul Haqq
berkata dalam 'Aunul Ma’buud (I/535), "Riwayat yang menggabungkan antara
tayam-mum dan mandi, yaitu yang diriwayatkan selain Zubair bin Khuraiq,
maka tidak kuat secara ilmu hadits, juga telah menyelisihi semua yang
meriwayatkan dari 'Atha' bin Abi Rabah. Jadi, riwayat yang menggabungkan
antara mandi dan tayammum adalah riwayat dha'if yang tidak bisa
digunakan untuk me-netapkan hukum." Perhatikanlah catatan yang akan
disebutkan pada halaman berikut ini. [4]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi
Dawud (no. 323)], Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma’buud) (I/530 no. 330),
Ahmad (al-Fat-hur Rabbaani) (II/191 no. 16), dan Mustadrak al-Hakim
(I/177). [5]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari)
(I/455 no. 347)], Shahiih Muslim (I/280 no. 368), Sunan Abi Dawud
('Aunul Ma’buud) (I/514 no. 317), dan Sunan an-Nasa-i (I/166). [6].
Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 327)], Sunan Abi Dawud ('Aunul
Ma’buud) (I/536 no. 334), dan Sunan an-Nasa-i (I/213). [7]. Shahih:
[Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 639)], Shahiih Muslim (II/975 no. 1337),
dan Sunan an-Nasa-i (V/110). [8]. Al-Muhallaa (II/74). [9]. Sebuah
tempat dekat Madinah. [10]. Muttafaq 'alaihi: [Shahiih al-Bukhari
(Fat-hul Baari) (I/441 no. 337)], Shahiih Muslim (I/281 no. 369), secara
mu’allaq, Sunan Abi Dawud ('Aunul Ma’buud) (I/521 no. 325), dan Sunan
an-Nasa-i (I/165).