Khawarij adalah bentuk jamak dari “kharij” dan berasal dari akar kata
“kharaja” yang berarti keluar, Kata keluar bermaksud “walk out” dari patuh dan
loyal kepada pemimpin atau Imam yang sah, seorang khawarij
mendemonstrasikan keingkarannya dan membentuk wilayah sendiri yang
eksklusif. Ulama Fiqih menyebut Khawarij dengan Istilah “al-Baghi” atau
pembangkang.
Khawarij adalah sekelompok kaum yang keluar dari barisan Ali bin Abi
Thalib, karena mereka tidak setuju dengan upaya Tahkim/ arbitrase,1 dalam
rangka mencapai perdamaian dalam perang shiffin, keluarnya khawarij dari
barisan Ali ibarat keluarnya anak panah dari busurnya.
Arbitrase adalah usaha dalam mewujudkan perdamaian sengketa antara dua orang atau kelompok
yang berikai dan mereka sepakat untuk menunjuk seseorang yang mereka perangi untuk ,menyelesaikan
sengkerta yang terjadi antara mereka, dan keputusan dari kedua pihak harus dipatuhi dan dijalankan, hakim
yang ditunjuk untuk menyelesaikatan sengketa tersebut tidak dari kalangan pemerinta namun kal;angan
swasta (lihat Stria Efendi, M Zein, Arbitrase dalam Syari’at Islam, jurnal hokum Islam, No 16 1994, h.53.
Al-Khawarij lahir dari konflik yang terjadi pada masa Ali bin abi Thalib
dengan Mu’awiyah bin Abi Sofyan, konflik tersebut tidak bias diselesaikan,
peristiwa tersebut berawal dari keinginan Ali sebagai Khalifah yang sah untuk
mereshufle semua gubernur yang diangkat oleh khalifah Usman bin Affan, tetapi
Mu’awiyyah selaku Gubernur Siria menolak dan tidak mentaati keputusan Ali,
sehingga terjadilah konflik antara keduanya, selanjutnya Mu’awiyyah menuntut
Ali segera menemukan dan menangkap dan menghukum para pelaku
pembunuhan Usman, maka tidak ada alternative lain bagi Ali bi n Abi thalib
kecuali memerangi Muawiyyah yang dianggapnya sebagai pembangkang.
Sebanyak 50.000 balatentara dipersiapkan Alibin abi thalib berangkat menuju
utara tempat tersebut bernama shifin, dan bertemun dengan pasukan Muawiyyah
yang berjumlah 80.000, peperanganpun meletus, dengan kemenangan dipihak Ali.
melalui juru runding Amr bin Ash Muawiyyah meminta Ali berdamai dan
menghentikan peperangan, kemudian kedua pihak sepakat mengakhiri peperangan
dan selanjutnya melaksanakan perundingan (arbitrase)
Dalam pelaksanaannya arbitrase yang dilakukan oleh khalifah Ali bin Abi
Thalib dengan Muawiyyah bin Abi Sofyan di tunjuklah juru bicara masingmasing
dari fihak Muawiyyah ditunjuklah Amr ibnu Ash, sementara fihak Ali
menginginkan Abdullah Ibni Abbas, tetapi ditolak oleh pasukannya, sehingga
pilihan suara terbanyak mengarah kepada Abu Musa AL-As’aryi, walaupun
sebenarnya Ali tidak menginginkan Abu Musa al-Asari
Dari fakta dioatas jelas bagi kita, bahwa dari kedua sosok perunding
tersebut terdapat kepentingan yang bertolak belakang. Amru bin Ash sangat
berkepentingan dalam melanggengkan status quonya, dengan Muawiyyah selain
hubungan keluarga, sementara Abu Musa AL-As’aryi ia tidak memiliki hubungan
darah dengan Ali dan juga tidak ada kepentingan politis, karena ia merupakan
korban dari Ali dalam meresufle gubernur dan digantikan oleh Ammarah ibnu
Syhihab, namun pergantian tersebut ditolak oleh penduduk Kuffah, dan tetap
mempertahankan Abu Musa AL-As’aryi.
Dengan demikian tidak mengherankan Amru bin Ash mati matian
membela Muawiyyah semenatara Abu Musa AL-As’aryi tidak, inilah indikasi
kekalahan dalam arbitrase tesebut, arbitrase tersebut dilakukan pada bulan
Ramadhan 37H (Januari 659H) di suatu tempat yang bernama Dumat al-Jandal,
antara Madinah dan Damaskus, adapun materi perundingan tersebut ada dua yaitu
Siapa yang tepat menjadi Khalifah dan apakah Usman terbunuh secara zalim,
setelah upaya lobi dan upaya serius yang ditempuh oleh Amru bin Ash, akhirnya
berhasil meyakinkan Abu Musa Al-As’aryi, sehingga lahirlah keputusan bahwa
Usman terbunuh secara zalim dan Muawiyah pantas menuntut balas atas
kematiannya,ii dan Abu Musa al-Asari menginginkan Abdullah bin Umar sebagai
Khalifah, sementara Amr bin Ash menginginkan Muawiyyah bin Abi Sofyan,
karena tidak tercapai kesepakatan maka masing-masing perunding memutuskan
menjatuhkan Ali dan Muawiyyah dari jabatannya dan selanjutnya keputusan
diserahkan kepada umat Islam.
Pada saat hasil perundingan yasng telah disetujui itu diumumkan kepada
umat Islam, pada saat Amr bin Ash tampil dalam penyampaian keputusan tersebut
mengeluarkan pernyataan bahwa Muawiyyah ditetapkan sebagai Khalifah,
pernyataan tersebut menimbulkan suasana gaduh dan kerkecewaan dikalangan
umat Islam.iii, dari peristiwa ini jelas bagi kita bahwa Arbitrase bagi Muawiyyah
hanyalah sebuah upaya untuk menghindari kekalahan waktu berperang dan untuk
merebut posisi khalifah, makas keputusan Amr bin Ash tersebut ditolak oleh Ali
karena sudah menyimpang dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW, oleh
karena dia menyatakan dirinya tetap sebagai Khalifah dan Muawiyyah sebagai
pembangkang
Keadaan setelah peristiwa tersebut semakin tidak stabil dan menjadikan
umat islam berada dalam ketidak stabilan, sebagian umat menyalahkan Ali
kenapa mau menerima Abitrase bahkan ada juga yang mengkafirkan Ali, namun
ada juga pengikut Ali yang tetap mendukung Ali dan tidak menyalahkannya
sedikitpun, ada juga yang bersikap netral, seja itulah islam tebagi kepada
beberapa sekte.
Pendukung setia Ali adalah orang-orang yang pertama mempersalahkan
dalam menerima tawaran tahkim, karena menurut mereka arbitrase tidak sesuai
dengan syari’at islam, bahkan mereka menyatakan setiap orang yang terlibat
dalam Tahkim tersebut adalah kafir, golongan inilah yang dinamakan dengan
sekte al-Khawarij. Mereka memilih Jargon dan ungkapan yang menjadi landasan
utama dari membentuk barisan mereka yaitu” Tidak ada hokum kecuali hokum
dari Allah”. Oleh karena itu mereka menganggap Ali dan Mu’awiyyah telah
menyimpang dari Islam. Landasan atau Jargon Khawarij ini diambil dari firman
Allah Swt yang terdapat dalam surat al-Ma’idah ayat 44 :
Artinya :
Dan sesiapa Yang tidak menghukum Dengan apa Yang telah diturunkan oleh
Allah (kerana mengingkarinya), maka mereka itulah orang-orang kafir.
Berdasarkan ayat ini, maka mereka menjatuhkan vonis kepada Ali bin Abi
Thalib, Mu’awiyyah bin Abi Sufyan, Abu Musa al-‘Asaryi dan Amr bi Ash
sebagai Kafirv, setelah itu theology al-khawarij mengalami perkembangan dalam
mengkategorikan sesorang itu kafir, seperti setiap pelaku dosa besar juga
dianggap kafir.
Arbitrase ini berakibat kepada hilangnya dukungan dari pengikut Ali yang
militant dan marah dengan upaya Tahkim tersebut. Mereka membentuk kelompok
yang bernama “al-Syurat” yaitu : Orang-orang yang menjual diri secara totalitas
kepada Allah dan rela berkorban demi Agama yang benar.
Maka sebutan al-Syurat nama lain dari al-khawarij itu sekaligus
memberikan gambaran tentang hakikat dan sifat gerakan mereka, yaitu gerakan
dengan semangat, dengan sendirinya kelompok ini berkembang menjadi
kelompok dengan tingkat ekstrim dan militansi yang tinggi, sehingga tidak
terhindari lagi membawa mereka kepada situasi yang mudah sekali terpecah dan
saling bermusuhan dan akhirnya melenyapkan mereka sendiri.
Egalitarinisme yang radikal dari kelompol ini membawa mereka kepada konsep-konsep social
dan poloitik yang sesungguhnya lebih dekat kepada cita-cita Islam yang
diletakkan oleh Rasulullah saw dan merupakan kelanjutan cita-cita universal
dalam tradisi bangsa-bangsa. Namun karena cita-cita tersebut dibawa dengan
militantsi yang tidak terkendali, konsep tersebut melahirkan hijrah; yaitu semua
orang harus menyingkir dari tatanan yang mapan dan bergabung dengan mereka
atas dasar Iman yang benar, korban yang menjadi target utama mereka adalah Ali
ra sendiri, tokoh yang pernah mereka sanjung dan kultuskan namun akhirnya
mereka habisi dalam drama pembunuhan akibat factor politis.
Al-khawarij terkenal dengan kekerasan dalam berprinsip, mereka tidak
mau berkompromi dalam hal penyimpangan agama selain dari ajaran Islam yang
mereka yakini. Prinsip tersebut terbawa-terbawa daripada sejarah kaum khawarij
itu sendiri. Mereka umumnya kaum badui yang hidup di padang pasir tandus,
kehidupan sehari-hari mereka menyebabkan mereka menjadi pemberani, tegas
dan tidak mau bergantung kepada orang lain. Disisi lain pula kehidupan sebagai
badui membuat mereka terus semakin jauh dari ilmu Islam, oleh karena itu
mereka memahami al-Qur’an dan hadis secara harfiah saja. Akibat dari aktifitas
mereka yang selalu merongrong tatanan dan aturan Islam yang sudah mapan
mereka juga di gelar sebagai kaum “al-hururiyun” Nisbah kepada Oase al-Hurura
dekat Kufah (Markas mereka). Seperti dikatakan tadi mereka ini mengalami
penghancuran diri sendiri (self annihilation) karena watak mereka yang ekstrem,
akibatnya mereka perlahan-lahan punah dan hamper hilang dari peta umat Islam
hingga saat ini.
Walaupun secara fisik khawarij hilang dari peta umat islam saat ini,
namun pada hakikatnya secara doctrinal justru dia tetap hidup dan dipakai pada
faham-faham keagamaan yang saat ini berkembang.
Sungguh bermanfaat!
BalasHapus