Rabu, 24 Oktober 2012

Ikhlas Beramal (Makalah Hyde Daisuke)


HADITS IKHLAS BERAMAL

A.   PENTINGNYA NIAT DALAM BERAMAL
1.    RS : 1
وَعَنْ أَمِيْرِ اْلمُؤْمِنِيْنَ اَبِى حُفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ بْنِ نُفَيْلِ بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى بْنِ رِيَاحِ ابْنِ عَبْدِ اللهِ بْنَ قُرْطِبْنِ رَزَاحِ بْنِ عَدِيِّ بْنِ كَعْبِ بْنِ لُؤَيِّ بْنِ غَالِبِ اْلقُرَشِيَّ الْعَدَوِيِّ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: اِنَّمَا اْلاَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَاِنَّمَالِكُلِّ امْرِءٍ مَانَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ مَرَاةٍ يَنْكَحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلى مَاهَجَرَ اِلَيْهِ. (متفق عليه)
TerjemahanHadits
Dari Amirul Mukminin Abu Hafish Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurth bin Razzah bin Adiy bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib Al-Quraisyiy Al-Adawiy ra, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW. bersabda. “Setiap amal disertai dengan niat. Setiap amal seorang tergantung dengan apa yang diniatkannya, karena itu, siapa saja yang hijrahnya (dari Mekkah ke Madinah) karena Allah dan Rasul-Nya (melakukan hijrah demi mengagungkan dan melaksanakan perintah Allah dan utusan-Nya) maka hijrahnya tertuju kepada Allah dan Rasul-Nya (diterima dan diridhai Allah). Tetapi siapa saja yang melakukan hijrah demi kepentingan dunia yang akan diperolehnya atau karena perempuan yang akan dinikahinya, maka hijrahnya sebatas kepada sesuatu yang menjadi tujuannya (tidak diterima oleh Allah SWT).”
Penjelasan Hadits
Rasulullah SAW mengeluarkan hadits di atas (asbab al-nuzul)-nya ialah untuk menjawab pertanyaan salah seorang sahabat berkenaan dengan peristiwa sebagian besar sahabat. Dalam hijrahnya itu ada salah seorang laki-laki yang turut juga hijrah.Akan tetapi, niatnya bukan untuk kepentinagan perjuangan Islam, melainkan hendak menikahi seorang wanita yang bernama Ummu Qais.Wanita itu sudah bertekad akan turut hijrah, sedangkan laki-laki itu pada mulanya memilih tinggal di Mekkah. Ummu Qais hanya bersedia dikawini di tempat tujuan hijrahnya Rasulullah SAW.yakni Madinah, sehingga laki-laki itupun ikut hijrah ke Madinah.
Ketika peristiwa itu ditanyakan kepada Rasulullah SAW, apakah hijrah dengan motif itu diterima (maqbul) atau tidak.Rasulullah SAW menjawab secara umum seperti yang disebutkan pada hadits di atas.
Niat atau motivasi itu bertempat di hati. Siapa-pun tidak akan mengetahu motivasi apa yang ada dalam hati seseorang ketika ia mengerjakan sesuatu, kecuali dirinya karena Allah SWT, saja. Degan demikian, Allah SWT mengetahui siapa di antara hamba-hamba-Nya yang memiliki motivasi baik ketika ia beribadah atau sebaliknya.

Macam-macam niat
Istilah niat meliputi dua hal, yaitu:
1.    Niyatu al-‘amal adalah hendaknya ketika melakukan suatu amalan, seseorang menentukan niatnya terlebih dahulu untuk membedakan antara satu jenis perbuatan dengan perbuatan.
2.    Niat al-ma’mul lahu maksudnya adalah hendaknya ketika beramal tidak memiliki tujuan lain kecuali dalam rangka mencari keridhaan Allah SWT, mengharap pahala dan terdorong oleh kekhawatiran akan hukuman-Nya. Dengan kata lain, amal itu harus ikhlas. (http://muslim.or.id/hadits/ikhlas-dalam-beramal.html).
2.   AN: 1
عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول: إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ. (رواه البخارى و مسلم وغيرهها)
Terjemah Hadits
Dari Umar Ibnul-Khattab Radhiyallahu Anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya segala amal perbuatan itu didasari dengan niat, dan sesungguhnya (pahal) masing-masing orang itu bergantung pada apa yang ia niatkan. Maka barang siapayang niat hijrahnya untuk mendapatkan kehidupan dunia atauuntuk mengawini seorang perempuan(yang dicintainya) maka (pahala) hijrahnya hanya terbatas pada niat yangtelah ia gariskan itu.’”(Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim).[1]
وفى رواية زيادة: فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرُتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ.
Dalam riwayatlain disebutkan adanya penambahan, “Maka barang siapa yang niat hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya itu sebenarnya untuk Allah dan Rasul-Nya.”Kemudian disambungkan dengan kalimat terakhir hadits di atas.
Penjelasan Hadits
Penjelasan bahasa.Kata "segala amal perbuatan" dalam hadits di atas mencakup segala macam gerak lisan (ucapan), dan gerakan-gerakan anggota tubuh lainnya, mulai dari kepada, tangan, kaki, dan lain sebagainya.Niyyat adalah bentuk jamak dari niyat yang berarti tujuan. Dengan definisi yang lebih luas lagi niat adalah greget hati terhadap apa yang ia lihat dengan tetapmempertimbangkan tujuan mendapatkan manfaat dan mencegah datangnya madharat. Dalam konteks syar'y iadikenal sebagai iradah yang intinya lebih mengarah pada suatu amalan demi keridhaan Allah dan kepatuhan diri kepada hukum-Nya. Sedangkan fungsi kalimat innama adalah sebagaipenegasan dan pembatasan.Kita ambil contoh pada kasus hadits di atas, membatasi segala amalan perbuatan dengan niatnya saja yang tentunya bisa berupa keinginan untuk mendapatkan tujuan agama atau bisa juga demi meraih tujuan-tujuan duniawi saja. Kata hijrah diartikan sebagai meninggal­kan suatu tempat untuk menuju ke tempat lain. Kata ini berasal dari akar kata hijr, yang mempunyai arti usaha memisahkan yang dilakukan manusia dari sesuatu yang melingkupinya dengan badan, lisan atau ke­hendak hatinya. Dalam konteks syar'y kata ini digunakan sebagal meninggalkan kampung yang penuh ancaman menuju kampung yang lebih men­janjikan keamanan, sebagaimana yang dilakukan oleh sejumlah shahabat Nabi ketika mereka ramai-ramai meninggalkan Makkah menuju Habasyah, yang terhitung sebagai hijrah untuk pertama kalinya, dan ketika mereka meninggalkan kampung kafir menuju kampung Islam untuk menyelamat­kan agama sebagaimana dilakukan orang-orang Muslim ketika mereka ramai-ramai meninggalkan Makkah menuju Madinah setelah tersebarnya Islam di Madinah, yang diikuti Rasulullah kemudian. Kata ini juga diguna­kan dalam arti meninggalkan hal-hal yang dilarang Allah.Kata dunya ada­lah bentuk muannats adna yang berasal dari akar kata dunuww, dan berarti dekat.Dan, kata dunya ini digunakan untuk mengungkapkan alam ke­hidupan manusia yang pertama beserta kehidupan makhluk-makhluk lainnya.
Penjelasan.Seseorang yang bersedekah adakalanya menyimpan niat agar dikatakan baik, mendapatkan tempat di sisi seorang penguasa, menteri atau direktur, atau untuk niat mendapatkan balasan dari orang yang, telah diberi sedekah itu. Namur ada pula orang yang bersedekah karena tidak suka melihat orang meminta-minta, karena ingin menjaga harga diri dan karena merasa male, atau sebatas memberi nafkah karena mematuhi perin­tah Allah dan karena ingin mendapatkan pahala dan keridhaan Allah semata. Bentuk amalan yang dilakukan oleh dua orang di atas adalah satu, yakni bersedekah.Namur derajat amalannya berbeda bergantung pada perbedaanniat yang mendasarinya. Untuk orang pertama adalah derajat dunia, karena memang niatnya hendak merengkuh manfaat duniawi individu, yang kalau karena itu tentu ia tidak akan mengeluarkan sedekah. Pada orang seperti ini, ketulusan niat yang mendasari amalan ini tidak ada pada diri orang yang bersangkutan.Sedangekan orang kedua berderajat ulya, lantaran amalannya itu didasarkan pada niat baik yang memenuhi relung hati orang bersangkutan, yang bisa berupa mencintai kebaikan pada sesama, menjaga bangunan kemuliaan mereka, mematuhi perintah Allah dan bisa berupa mengharap keridhaan-Nya.Dari orang seperti inilah dapat diharap­kan kebaikan yang lebih, dan dari orang seperti ini pulalah diharapkan ter­ciptanya kesinambungan saluran kebaikan yang merupakan sumber peng­hidupan yang pasti bagi orang-orang yang tidak mampu.Allah sendiri telah befirman berkenaan dengan orang seperti ini."Dan, perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu meng­hasilkan buahnva dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminva, maka hujan gerimis(pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apayang kami lihat. " (Al-Bagarah: 265). Perumpamaan orang pertama, "Maka per­umpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemu­dian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilan dia bersih (tidak ber­tanah)."(Al-Baqarah: 264). Penggunaan istilah batu licin di sini lebih didasarkan pada konsep bahwa batu yang tidak bertanah tidak dapat ditumbuhi tanaman apa pun. Sedanakan orang yang kedua, amalnya ber­kembang, berbeda dengan yang pertama, yang tidak rnembLiahkan hasil. Seseorang yang melakukan shalat karena ingin dilihat orang agar nantinya orang-orang menyebutnya sebagai orangyang baik atau biar dikenal sebagai orang yang suka menyedekahkan hartanya tapi dari hasil kecurangan, dan orang lain yang juga melakukan shalat wajib, namun didasari tujuan untuk membersihkan jiwanya dan berharap mendapatkan keridhaan dari Rabb-rya, apakah kedua macam shalat itu dapat disejajarkan dalam satu derajat? Tentu tidak.
Seorang penulis, penyair atau pun pengkhutbah yang sama-sama menyeru kepada maslahat umum namun motivasi yang mendasarinya adalah sebuah harapan untuk mendapatkan kedudukan atau tempat di hati penguasanya. Apakah derajat mereka sama dengan yang lain yang juga berbuat hal serupa hanya karena sama-sama melakukan kebaikan, sementara di pihak lain perbuatan baik itu berangkat dari niat yang tulus di hatinya demi negaranya? Jawabnya, tentu, tidak sama. Karena yang pertama bila belummencapai hasratnya ia akan dengan begitu saja menghancurkan batangpenanya. Sedangkan yang kedua akan tetap terus pantang mundur berseru meski harus berhadapan dengan berbagai macam kesulitan. Dan, jarang orang yang mau berbuat seperti itu.Nah, sampai di sini dapat dimengerti bahwa makna kalimat pertama dari hadits di atas adalah segala amal perbuatan itu melekat kuat pada niatnya.Dari niat itu dapat diketahui seberapa ukuran dan timbangan amal perbuatannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ukuran setiap amalan perbuatan itu adalah juga ukuran niat yang mendasari perbuatannya itu, jika baik maka amalnya pun menjadi baik, bila jelek maka otomatis amalannya pun akan menjadi jelek, bila mulia akan menjadi mulia dan bila hina akan hina. Sistem pengukuran dengan cara seperti itu sudah merupakan rumus baku, tidak bisa diubah-ubah lagi. Inilah yang dimaksud dengan pembatasan itu.
3.  LM 1245
حَدِيْثُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ الله ُعَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: اِنَّمَا اْلاَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَاِنَّمَال لِاِمْرِءٍ مَانَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَاةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلىَ مَاهَجَرَ اِلَيْهِ.
أخرجه البخارى فى: ٨۳-كتاب الإيمان والنذور:۲۳-باب النية فى الأيمان
Terjemah Hadits
Umar bin Alkhattab r.a. berkata: Saya telah mendengar Rasulullah saw. Bersabda: Sesungguhnya tiap amal perbuatan tergantung padaniat dan yang dianggap bagi tiap orang apa saja yang ia niatkan.Maka siapa yang berhijrah karena Allah dan Rasulullah, makahijrahnya diterimaoleh Allah dan Rasulullah, dan siapa yang berhijrah karena mengejar duniayang akandidapat atau istri yang akan dikawini maka hijrahnya terhenti pada apa yang ia hijrah karenanya. (Bukhari, Muslim)[2]
Penjelasan Hadits
Dalam peristiwa hijrah, ada salah seorang laki-laki yang turut hijrah.Namun, niatnya bukan untuk kepentinagan perjuangan Islam, melainkan hendak menikahi seorang wanita yang bersedia dinikahi di Madinah.
Segala amal perbuatan tergantung pada niatnya, apapun yang diniatkannya, maka amal perbuatan yang dilakukan akan kembali kepada niat itu. Apabila niat beramalnya hanya untuk Allah dan Rasulullah, maka amalnya tersebut akann diterima oleh Allah, namun apabila niatnya hanya untuk kepentingan pribadi atau supaya mendapat pujian atau perhatian dari orang lain, maka dia sebatas mendapatkan pujian atau perhatian tersebut, namun tidak mendapatkan nilai di sisi Allah SWT.Karena tingkat keikhlasan seseorang dapat dinilai dari niat dan Allah pun hanya memberi perhatian kepada niat yang ikhlas hanya kepada-Nya.
Dalam peristiwa hijrah tersebut dikatakan oleh Rasulullah bahwa, barang siapa yang niat hijrahnya hanya untuk kepentingan duniawi, maka yang didapatnya hanya sebatas niat duniawi. Tapi, barang siapa yang hijrahnya dengan niat untuk kepentingan Islam (yakni karena Allah dan Rasul-Nya) maka hijranya tersebut akan diterima oleh Allah.


B.   Syirik Kecil Riya’ (BM: 1512).
عَنْ مَحْمُوْدِ بْنِ لَبِيْدٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَ.م. (اِنَّ اَخْوَفَ مَا اَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ اْلاَصْغَرِ: الرِّيَاءُ). اَخْرَجَهُ اَحْمَدُ بِاِسْنَادٍ حَسَنٍ.
Terjemahan Hadits
1512. Dari Mahmud bin Labid. Ia berkata. Telah bersabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takuti atas umatku adalah syirik kecil (yaitu) riya’.” Dikeluarkan – Dia oleh Ahmad dengan isnad yang hasan.
Penjelasan Hadits
1.    Berbuat sesuatu ibadah atau kebaikan yang diperintah oleh agama dengan maksud supaya dipuji oleh manusia itu, dinamakan riya’ yakni menunjukkan amal.
2.    Riya’ itu haram hukumnya dan Rasulullah SAW menamakan syirik yang kecil atau syirik yang tersembunyi lantaran ibadah itu mestinya dikerjakan karena Allah SWT.maka apabila seorang kerjakan suatu ibadahkarena manusia, berarti ia samakan manusia itu dnegan Allah tentang ia tunjukkan amalnya.
Syirik Kecil.
Syirik kecil, yaitu syirik yang tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, tetapi ia mengurangi tauhid dan merupakan perantara (wasilah) kepada syirik kecil.
Syirik kecil ada dua macam, yaitu:
  1. Syirik nyata(zahir): yaitu syirik dalam ucapan dan perbuatan. Dalam bentuk ucapan misalnya, bersumpah dnegan nama selain Allah. Adapun yang berbentuk perbuatan adalah seperti memaki kaling atau benang sebagai pengusir atau penangkal marabahaya.
  2. Syirik tersembunyi: yaitu syirik dalam hal keinginan dan niat, seperti ingin dipuji orang (riya’) dan ingin didengar orang. Seperti melakukan suatu amal tertentu untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi ia ingin mendapatkan pujian manusia, misalnya dengan membaikkan shalatnya atau bersedekah agardipuji dan disanjung karenanya.[3]











 
PENUTUP

Pada dasarnya ikhlas beramal ialah ingin mencari keridhaan di sisi AllahSWT.Dengan niat yang tulus ikhlas dalam amal dan perbuatan yang mana, niat motivasi itu bertempat di dalam hati. Siapapun tidak akan mengetahui motivasi yang ada di dalam hati seseorang ketika ia mengerjakan sesuatu, kecuali dirinya dan Allah SWT. apakah ia beramal tanpa keikhlasan bukan untuk mencari keridhaan Allah SWT. tetapi berniat memerkannya agar dihargai oleh manusia serta hanya untuk duniawi saja. Secara tidak langsung iatelah menyekutukan Allah SWT. sehingga seluruh amalannya / ibadahnya tidak akan mendapat keridhaan sampai kehadirat Allah SWT.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Qodir Ahmad ‘Atha’, Adabun Nabi (Meneladani Akhlak Rasulullah), diterjemahkan oleh: Syamsudin TU, Jakarta: Pustaka Azzam, 2002
Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, 2003, al-Lu’lu’ wal Marjan, Himpunan Hadits Shahih yang disepakati Oleh al-Bukhari dan Muslim, Jilid 2, Surabaya: PT. Bina Ilmu.
www.salafyoon.nct/aqidah/syirik-kecil

Selasa, 23 Oktober 2012

Berjalan di Belakang Jenazah: Analisa Strukturalis



 BERJALAN DI BELAKANG JENAZAH

berjalan di belakang jenazah angin pun reda
jam mengerdip
tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia

di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
di atas: matahari kita, matahari itu juga
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya

sajak ini (selanjutnya disebut BDBJ) ditulis Sapardi Djoko Damono, yang secara umum menceritakan situasi ketika ia mengantarkan jenazah. Situasi menyedihkan menyeruak dimana-mana. Tema ini adalah tema perenungan. Yang menjadi pesan utama, bukan situasi ketika mengantarkan jenazah, tetapi jam mengambang diantaranya/tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya.

Temanya adalah perenungan, begitu hampanya hidup kita, sedangkan kematian begitu mudah terjadi, dan sekarang sedang ada di hadapan kita.

Berkaitan dengan tema, jelas, amanat puisi ini bukan hanya penggambaran duka cita semata, tetapi lebih jauh lagi, betapa kosongnya kita menghirup udara yang kita gunakan untuk hidup, dan betapa hampanya, sedangkan waktu tak kenal ampun akan membuat siapapun wafat.

Berkaitan dengan ini, sapardi hendak menegaskan pada kita. Bukan masalah duka cita, tangis, atau harunya mengantar jenazah. Tetapi, pelajaran apa, kesadaran apa yang muncul setelah kita mengantar jenazah? Kesiasiaan hidup? Kehampaan? Atau tetap akan melalui jam demi jam seperti biasanya?

Secara diksional, puisi ini memiliki makna estetik yang unik. Berjalan dibelakang jenazah, angin pun reda. Berjalan di belakang jenazah, adalah lambang bahwa ia sedang mengantar jenazah, dan situasi dimana ia bisa memperhatikan, melamunkan, dan membayangkan masa hidup si jenazah itu dengan seksama. Angin pun reda, apakah ini angin secara fisik yang reda? Bisa jadi. Tetapi terlalu dangkal bila hanya seperti itu.

Angin yang reda, melambangkan kesibukan yang berhenti. Perhatian penyair teralih dari angin yang bertiup, hanya kepada jenazah saja. Maka, seolah angin reda dan sirna, karena tak mendapat perhatian penyair lagi.
Jam mengerdip  maksudnya, jam terus berjalan, dan pergerakan jarum detik seolah seperti berkerdip mata, karena cepatnya dan patah-patah. Tak terduga betapa lekas/siang menepi, melapangkan jalan dunia. Tak terduga, berarti sama sekali tak disangka-sangka sebelumnya.

Akhir konsonan /p/ mengesankan terhenti, terhambat. Jam mengerdip. Ini membuat kesan bahwa beberapa saat, narasi sang penyair sempat terhenti, ia termangu, entah kenapa. Jam mengerdip. Seketika ia melihat jam dan termangu. Lalu menghasilkan kesimpulan: betapa tak terduganya siang menjadi senja.

Siang menepi, tepi siang adalah sore. Dan sore, biasa melambangkan akhir usia seseorang . jika disatukan dengan makna kalimat setelahnya, menjadi “ketika usia sudah menepi/berakhir, maka jalan duniawi yang selama ini kita tempuh, yang terasa begitu menghimpit, menjadi lapang.

Melapangkan jalan dunia berarti jalan keduniaan semasa hidup, dan bukankah hidup adalah perjuangan dan penuh dengan ketidaklapangan? Maka ketika kita wafat, sang penyair yakin, bahwa jalan dunia menjadi lapang, dan mengarahkan kita pada kelapangan yang abadi.

Disamping:pohon demi pohon menundukkan kepala disini muncul gaya personifikasi yang memunculkan kesan duka. Menundukkan kepala, biasa terjadi ketika manusia melihat iringan jenazah, berdoa, atau sedang sedih. Pohon yang besar, terkadang terlihat juga sedang menunduk. Ini menggambarkan betapa suasana hati sang penyair, sehingga di kanan-kiri jalan, pohon turut berduka bersamanya.

di atas: matahari kita, matahari itu juga. menariknya, disini muncul kata “itu juga”, seolah: matahari yang sama yang dilalui jenazah ini sepanjang hari. Ini matahari kita, hari-hari kita, yang kita lalui, adalah matahari yang sama yang menjadi hari-hari ketika jenazah ini masih hidup. Ia hendak menyadarkan kita, bahwa bukankah kita memiliki peluang yang sama dengan sang jenazah?

Matahari, melambangkan siang. Pada siang hari, orang biasa bekerja, mengasuh anak, dan belajar. Ini mengartikan bahwa matahari melambangkan kegiatan manusia yang berlangsung. Bukankah ini menjadi “siang kita, adalah siang yang sama dan kesempatan mati yang sama dengan jenazah di depan kita”?

jam mengambang di antaranya/tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya. Jam, adalah waktu. Ia menunjukkan takaran waktu tertentu. Ia menggunakan imaji visual, diantara hari-hari, jam mengambang. Ini mengartikan, bahwa kita juga sedang diburu waktu, dibayang-bayangi dentang jam dinding setiap hari, dan lagi-lagi: memiliki kemungkinan untuk mati.

Tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya. Bukankah seringkali, hanya ketika kita melihat jenazah, dan mengantarkannya, kita baru tersadar: “tak terduga, hidup kita sangat sia-sia dan sebentar”. Kosong adalah hampa. Sia-sia. Diksi menghirupnya, adalah perlambang nafas kita. Nafas, adalah kehidupan. Tak terduga betapa sia-sia ketika kita hidup.

Perimaan yang timbul pada bait kedua menarik untuk ditinjau, berpola a-a-a-a. Ini membuat kesan aliran harmoni dalam tuturan kata-katanya. Semua simbol yang digunakan, imaji,  diksi, disatukan dengan rima ini, untuk menimbulkan satu kesan perasaan: bukan dukacita tetapi perenungan hidup.

Meski pada bait pertama rima kurang terasa, tetapi betapa kayanya dengan harmoni, menggunakan rima yang “disembunyikan” mengelabui kita:

berjalan di belakang jenazah angin pun reda
jam mengerdip
tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia

betapa kayanya sajak ini dengan rima, dan memang cirikhas sapardi, menggunakan kesatuan rima dengan gaya yang sangat harmonis dan halus. Rim, bukan masalah perulangan bunyi saja, tetapi penggunaan perulangan bunyi tersebut untuk menghasilkan harmoni yang indah.

di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
di atas: matahari kita, matahari itu juga
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya

pada bait kedua, perimaan yang lebih menarik terjadi. Ada pengulangan kata-kata, yang menghasilkan bukan sekedar pengulangan bunyi, tetapi penguatan makna hingga sampai pada hati pembacanya.

Perlambang-perlambang yang disusun sapardi, menghasikan makna yang unik, berbeda, namun padu dan benar. Jam mengambang diantaranya (diantara matahari), tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya (menghirup waktu) menggunakan simbol-simbol predikat yang unik. Dengan halus, menghirup, yang biasa digunakan untuk nafas kepada udara, ditempelkan antara kita dan waktu, membuat kata-katanya menjadi ringkas untuk menggambarkan hidup secara biologis dan secara mental dalam waktu bersamaan: bernafas dan bekerja.

Citraan visual kuat digunakan pada sajak ini, yang bertujuan memudahkan pembacanya menghadirkan apa yang dialami penyair, di depan matanya, dan tanpa mengganggu logika pembaca tentang suasana, dengan halus penyair membagi-bagikan amanatnya.

kita


Dihimpit-himpit senja yang entah darimana
Tidak menjanjikan malam

“kamu telah berjanji” katamu. “anginmu bisu”
Dikuasai sepi

Dan segala berubah jadi maya

Maka Teman-teman hujan kini menetes sendirian, dan ragu-ragu
Membentur jendela
Dan diusap-usap debu

Tubuhku tak kuat menahan hujan, lalu jadi hujan
Terpengaruh malam lalu jadi malam
Tak kuat menerima matahari apa adanya

Menyerahlah, sambungmu

Aku tak lama yang lalu bukankah

Sudah menyerah
Sudah benar-benar menyerah

Dan dagingku dibagikan pada jamaah yang tersisa
Diluar sana

Telah juga kauminum darahnya
Diimpit-impit malam, yang entah darimana asalnya

Tidak pernah menjanjikan pagi
Aku tidak pernah benar-benar berjanji
Tak akan pernah berani

Bahwa aku bisa, dan bersedia menemuimu setiap pagi

Sudah menyerah
Sudah benar-benar menyerah

APAKAH


Apakah jadi bunga
Ketika kamu melangkah malu-malu dan menutupi wajahmu, lalu jendela pecah dan angin masuk begitu saja lalu menghancurkan dinding-dinding kita dan dingin
Menancap dengan keras
Apakah jadi bunga
Ketika kamu pergi, dan pintu yang terbanting membiarkan hujan datang, lalu membasahi nafas kita yang tanpa sengaja
Dihimpit-himpit sepi

Aku


Bumi yang kecil ini, terserak menjadi kerikil
Dan bintang-bintang diangkasa memandangnya ragu: tertawa atau tertawa sembari iba
lalu bumi yang kecil ini diam saja, ia percaya
Bulan masih bercahaya
Sementara matahari masih ditempatnya
Dan bersedia menjaga bulan kapan saja
Menggelinding bumi yang kecil ini, masih bisa ditanami
Lalu bumi yang kecil ini memendam lautnya dibawah benua-benua
Menjadi sahara, dan bumi yang besar
Diam saja

Kemarin


Waktu Dhuha
Pukul tujuh pagi
Tuhan mengintip dari balik jendela
Tapi tahu segalanya dan tanpa suara menghangatkan kita
Sebab Dia tak suka
Kita terbangun tiba-tiba

Abi Yazid

bukankah ketika kupu-kupu berlarian di udara
kita memperhatikan dengan seksama dan ingin menangkapnya


lantas ditangan kita, sayapnya luruh dan menjadi kersik-kersik mati
ia merangkak
kehilangan sayap
lalu lupa rasa manis bunga-bunga

Malam

kalender terus menerus berloncatan, teman
jam dan detik berjatuhan tidak peduli

aku mulai kebal, menyaksikan marabahaya yang hanya datang ketika pergantian hari
bukankah aku memang hidup disana
dan menjadi saksi ketika hari berganti, dan 
kehilangan perasaan tentang
ruang dan waktu
karena tak ingin bisa kembali menjadi ruang dan waktu masa lalu?

Rumah Malam

pada fragmen malam, ini sisa-sisa rumah malam kita
udaranya masih sama
tempat kita berdoa, lalu tidur bersama
berpegang tangan yang luka, lalu sembuh esok harinya

ini dulu rumah kita
ini dulu kita
kan, sayang?

ketika malam datang, selalu ada kunang-kunang yang menyerupaimu disekitar taman malam


Tengsoe vs Sapardi


Datanglah Hujan, Maka Awan Akan Pergi

aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Demikian Sapardi, dalam sebuah antologinya menyampaikan cinta dengan bahasanya sendiri. Pada tahun 80-an, sejak sajak ini terbit, ia menjadi ungkapan paling mematikan bagi cinta, yang bahkan para penyair sekalipun sulit menandinginya.
Hal yang menarik, adalah ketika seorang penyair angkatan setelahnya, Liberatus Tengsoe Tjahjono, menerbitkan kumpulan sajaknya pada tahun 2009, dalam Salam Mempelai, berbunyi sangat mirip dari segi tertentu yang nanti akan kita bahas. Datanglah, Maka Aku Kan Pergi.
Pada petikan yang berbunyi:
datanglah, maka ku akan pergi
Begitu kata awan kepada hujan
Saat bumi basah oleh guyuran
Tak tahu dimana mendung berada
Apa maksud kedua puisi diatas? Sapardi tegas menggunakan simbol, “aku ingin mencintaimu dengan sederhana” sederhana yang bagaimana? Ya, “dengan isyarat” bukan kata-kata, tetapi gerak, atau pertanda “yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”
Apa isyaratnya? Setelah hujan berhenti, mendung akan hilang, namun dari jejaknya akan tercipta pelangi yang sangat indah. Mewarnai langit yang tadinya hitam menjadi seperti taman kembang.ia menggunakan awan, sebagai pihak yang mencintai namun dengan mengorbankan diri sendiri, agar subjek yang ia cintai mampu hidup. Meski, “menjadikannya tiada”
Simbolisasi ni berkaitan dengan pengalaman psikologis pengarang. Hampir dari seluruh sajak Sapardi, kita memahami, ia memiliki pengalaman yang amat intim dengan hujan. Awan. Matahari. Alam semesta dan kosmis, yang akhirnya dirangkai kedalam sajak, namun mencari hikmahnya pada cinta dan kehidupan.
Secara psikoanalisis, sebuah sajak mungkin (mungkin!) tercipta karena pengalaman, impian, atau kenyataan masa lalu yang terejawantahkan dimasa depan bukan dalam dunia nyata, tetapi dunia khayal dan bayang-bayang yang dinyatakan dengan kata, gambar, atau simbol lain yang menyatakan bahwa itu bukan kenyataan.
Bagaimana Sapardi, dengan lembut namun terisak, merelakan dirinya habis demi orang yang ia cintai, meski hanya dalam sajak, sebagaimana pengorbanan awan agar turun hujan. Tetapi, sebatas “aku ingin” maka itu, ini muncul menjadi sajak. Entah tercapai atau tidak keinginan ini, yang jelas sajak ini menyatakan “belum tercapai” sebab “aku” masih sekedar “ingin”
Dengan hubungan diatas, simbolisasi bisa terjadi secara tak sadar dan mengambil simbol yang telah ada pada masa lalu di benak pengarang, dan merepronya sebagai produk simbolisasi masa kini dan masa depan.
Tengsoe, dapat diaggap memilih diksi yang mirip, atau sama secara sintaksis dengan sajak Sapardi diatas. Hanya saja, sebuah karya sastra haruslah dinilai dengan konteksnya, bukan hanya susunannya, atau diksinya. Bukankah itu yang menyebabkan karya yang sama memiliki pencerapan yang berbeda pada penikmat yang berbeda?
Datanglah, maka ku akan pergi. Begitu kata awan kepada hujan, saat bumi basah oleh guyuran, tak tahu dimana mendung berada. Tengsoe, juga dengan lembut, mengungkapkan bahwa, jika kekasihnya datang, maka: dia akan pergi. Kemana?
Ketempat yang sama, yang dituju awan ketika hujan datang. Entah kemana. Sementara bumi, sebagai pihak ketiga, tak mengetahui, setelah hujan reda, kemana mendung pergi.
Secara psikoanalisa, bisa dikatakan Tengsoe memiliki pengalaman cukup unik dalam memaknai hujan dan kaitannya dengan awan. Tetapi, yang menjadi masalah adalah, baik ungkapan, diksi, dan makna kontekstualnya, amat serupa dengan sajak Sapardi diatas.
Keduanya menginterpretasikan pengorbanan diri yang mesti pergi ketika menghidupi sang kekasih. Agar eksistensi kekasih tetap deras, meski eksistensi diri menjadi tiada. Keduanya, juga menggunakan ungkapan awan sebagai eksistensi diri, dan hujan sebagai eksistensi kekasih, dengan tema yang sama. Dalam makna yang sama.
Sajak Sapardi disusun lebih ringkas, mampu memadatkan emosi pembaca dan pencipta dalam nebula. Singkat, tetapi langsung menyentuh kedalam psikis pembacanya. Sementara tengsoe disusun lebih panjang. Dengan menghadirkan tokoh ketiga, Bumi. Bumi menyaksikan drama antara awan dan hujan tetapi tak tahu apa yang dilakukan awan hingga mendung hilang.
Apakah bisa dikatakan plagiat? Disini garis bawah adalah pada kata plagiat itu sendiri. Bahwa, yang menjadi ketetapan adalah kegiatan yang mengopi, menggandakan sebagian maupun keseluruhan. Memaknai karya sastra tidak sesederhana memaknai sebuah paragraf akte kelahiran. Tidak sesederhana membaca berita bencana sore tadi.  Setiap kata-kata memiliki alasan untuk tetap di tempatnya saat ini dalam susunan sajak. Tidak mesti sama adalah plagiat, dan tidak setiap plagiat adalah sama.
Plagiatisme, adalah sesuatu yang menjadi perdebatan panjang bagi kalangan sastrawan, mengingat, pengalaman psikologis juga mencakup pengalaman pertemuan dengan karya sastra yang akhirnya tanpa sadar muncul kembali di masa depan dalam bentuk yang bisa berbeda, bisa pula identik.
Berdasar kasus yang telah ada, sajak karawang-bekasi, yang nyata-nyata serupa pemilihan katanya dengan The Young Dead Soldiers, dinatakan bukan plagiat oleh sebagian kritikus, maka kini, dapatkah sajak tengsoe-Sapardi diatas dinyatakan sebagai plagiat?
Juga,berdasar pendekatan baik psikoanalis maupun general strukturalis, saajak tengsoe, yang ditulis lebih muda ketimbang Sapardi, ternyata menunjukkan gejala yang sama, gejala kesamaan yang terlalu banyak, yang mengidentikkan keduanya.
Mari ambil jalan tengah. Masih menurut penjelasan panjang psikoanalisis, sebuah karya memilliki celah yang disebut “ketidaksadaran”. Bahwa, impian masalalu yang dianggap hilang oleh pemiliknya ternyata muncul kembali dimasa depan tanpa diminta dalam ketidaksadaran itu juga.
Bisa melalui mimpi, gaya busana atau hidup, yang paling dekat adalah karya sastra. HB Jassin, dalam pembelaannya terhadap Karawang-Bekasi, turut memungkinkan ini juga terjadi pada karya sastra. Setidaknya, ia pernah membaca sajak Archibald tersebut, lalu melupakannya. Tanpa sadar, ketika hatinya digetar penyerbuan ke daerah itu, meluncur sajak yang menyatakan hal yang berbeda namun dengan diksi dan sintaksis yang sama.
Telah dikatakan diatas, bahwa baik Sapardi maupun tengsoe mengungkapkan hal yang sama, dengan diksi dan susunan yang hampir sama. Pengorbanan diri kepada eksistensi diri yang lain. Mau tidak mau, pada sajak ini, tengsoe harus mengakui bahwa ia mengutip-jika tidak memplagiat-dan ini jelas terbukti.
Meski sesungguhnya tak ada peraturan yang mutlak mengatur pemaknaan karya sastra selain horison harapan pembaca itu sendiri, dalam hal ini kritikus, tetapi tengsoe telah “berhasil” mengarahkan horison harapan pembaca pada kenyataan bahwa sajak ini mengutip isi dan diksi sajak Sapardi.
Lalu, bagaimana? Yah, sudahlah. Toh sastrawan kepada sastrawan yang lain adalah seperti mata air yang bercabang-cabang menjadi sungai desa dan kota. Pasti memiliki akar yang sama. Kadang juga memiliki maksud dan alat yang sama. Alat penyair adalah kata-kata dan makna. Tidak mungkin suatu ketika Sapardi menyatakan bahwa sajaknya adalah hasil perenungan diri semata, pasti ia merangkai kata-katanya berdasar template kata-kata penyair sebelumnya. Template itu adalah karya, sajak yang telah ada, lalu sampai padanya.
Tanpa sadar, ini juga terjadi pada ratusan, ribuan penyair yang hidup pada masa sekarang, dan hal inilah yang menyebabkan kekayaan sastra, bagaimana kita memodifikasi karya lain menjadi bentuk baru dan moderen.
Toh, sajak itu selengkapnya diakhiri tidak dengan awan atau hujan. Ternyata, Tengsoe, bukan memberatkan peran sebagai awan atau hujan dalam petikan sajak diatas, tetapi sebagai bumi yang basah oleh guyuran.
Sapardi, hanya meringkas dirinya cukup pada awan dan hujan, tidak menggambarkan diri-nyatanya sebagai bumi yang tak tahu dimana mendung berada. Yang tak tahu, bagaimana sebuah pengorbanan dapat diambil dari hikmah alam semesta di sekitar kita yang masih saja berkutat dengan hak cipta dan harta.

Amar Ar-Risalah.
Djoko Damono, Sapardi. Hujan Bulan Juni. 1994. Jakarta: Grasindo
Tjahjono, Tengsoe. Salam Mempelai. 2010. Lamongan: Pustaka Ilalang
Ridho, Irsyad. Teori Sastra. 2008. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta          

bagian makalah: Pemaparan Teori Strukturalis Terhadap Puisi Di Masjid Chairil Anwar


Abstraksi
Kajian struktural puisi, hanya memandang puisi sebagai puisi, dan memisahkannya dari pembentuk diluar karya itu sendiri. Unsur yang dianggap membangun sebuah puisi, yaitu tema, amanat, suasana, citraan, diksi, nada, bunyi, rima, perasaan, dan imaji.
“Di Masjid” karya Chairil Anwar yang akan dibedah menggunakan pendekatan struktural menunjukkan kedalaman perenungan, bagaimana setiap kata-katanya disusun sedemikian rupa sehingga memiliki arti khusus, dan memberikan pengaruh tertentu pada pembacanya.
Secara umum, puisi ini mendekatkan Tuhan pada kita, dengan segala bentuk personifikasi-Nya sehingga mampu dibayangkan hadir di depan muka dan bertatapan
Tuhan dengan lincah digambarkan memiliki bentuk personifikasi, sehingga penyair dapat dengan mudah membayangkannya hadir, bernyala-nyala, lalu memberikan pengaruh amat keras pada penyairnya itu
Selanjutnya, tipografi yang unik juga diperlihatkan dengan perulangan bunyi teramat kaya pada tiap larik. Bukan hanya akhir larik atau akhir bait. Ia menggunakan juga bentuk stanza 10 larik, dan memisahkannya untuk mengesankan lelah dan makna yang terpisah-pisah mandiri.
Puisi ini memiliki makna yang teramat dalam bagi mereka yang memahami seluk-beluk bahasa dan sastra.

Di Masjid

Kuseru saja Dia
Sehingga datang juga

Kamipun bermuka-muka

Seterusnya ia bernyala-nyala dalam dada
Segala daya memadamkannya

Bersimpah peluh diri yang tak bisa diperkuda

Ini ruang
Gelanggang tempat kami berperang

Binasa membinasa
Satu menista lain gila










                                                   
Pendahuluan
1.      Pendekatan
Puisi adalah bentuk karya sastra yang mengung­kapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan diusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya.  Sebagai salah satu karya sastra, harus diakui kalau puisi memang memiliki posisi yang unik. Ada unsur kebebasan yang mungkin melampaui prosa. Permainan simbolisme yang dihadirkan tidak hanya dengan kata, tetapi juga dengan angka dan bentuk-bentuk lain menghadirkan nuansa misteri yang menarik.
Unsur-unsur pembangun karya sastra dapat di kelompokan menjadi dua unsur, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrnisik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Unsur intrinsik meliputi tema, alur, penokohan, seting, sudut pandang dan gaya bahasa. Unsur ekstrinsik adalah unsure-unsur pembangun karya sastra dari luar karya sastra yang meliputi psikologi, biografi , social, historis, ekonomi, ilmu,serta agama.
Kajian yang kami gunakan adalah kajian struktural, dimana unsur struktural puisii mengesampingkan aspek ekstrinsik.        Berikut ini penjelasan mengenai unsur-unsur tersebut.
1.      Tema               : pokok pemikiran, ide atau gagasan serta yang akan disampaikan oleh penulis dalam tulisannya. Tema dapat diartikan sebagai pengungkapan maksud dan tujuan.
2.      Amanat                       : pesan yang terkandung dari puisi tersebut.
3.      Perasaan          : sesuatu yang terkandung di dalam puisi.
4.      Nada               : tinggi atau rendahnya suara ketika membacakakn puisi.
5.      Suasana           : keadaan yang tergambar di dalam sebuah puisi.
6.      Bunyi              : berhubungan dengan nada.
7.      Citraan                        : gambaran yang timbul dalam khayal atau angan-angan pembaca puisi atau karya sastra umum. Gambaran dalam angan-angan seperti itu sengaja diupayakan oleh penyair agar hal-hal yang semula abstrak menjadi konkret, agar menimbulkan suasana khusus dan mengesankan (Suharianto, 2005 : 40).
8.      Gaya Bahasa   : penggunaan bahasa yang dapat menghidupkan atau menmingkatkan efek kepada pembacanya.
9.      Tipografi         : suatu ilmu dalam memilih dan menata huruf dengan pengaturan penyebarannya pada ruang-ruang yang tersedia untuk menciptakan kesan tertentu, sehingga dapat menolong pembaca untuk mendapatkan kenyamanan membaca se-maksimal mungkin.
10.  Diksi                : pemilihan kata-kata yang di gunakan oleh pengarang, karena prinsip pusis adalah satu kata tetapi mempunyai banyak makna. Maka dari itu, penggunaan diksi terhadap puisi haruslah tepat dan mempunyai banyak makna(arti).
Menurut A Richard, seorang kritikus sastra yang terkenal telah menunjukkan kepada kita bahwa suatu puisi mengandung suatu makna keseluruhan yang merupakan paduan dari tema penyair  (mengenai inti pokok puisi itu ), perasaanya yaitu (sikap penyair terhadap bahan atau objeknya), nadanya (sikap penyair terhadap pembaca atau penikmatnya), amanatnya yaitu (maksud dan tujuan sang penyair).
Pembahasan

1.      Tinjauan tema dan amanat
            kuseru saja Dia
Sehingga datang juga
Menyeru nama Tuhan artinya memuji-NYA. Kata tersebut sering dilakukan banyak umat bergama di dunia. Banyak orang yang menyebut-nyebut nama Tuhannya. Bagi yang beragama Islam, menyeru nama Tuhannya melalui salat dan mengaji. Ketika para umat bergama menyeru nama Tuhan mereka. Mereka dapat merasakan bahwa Tuhan ada mendengar dan datang menghampirii, serta menjawab doa-doa mereka semua. Kedekatan antara manusia dengan Tuhan dapat di rasakan bila manusia selalu taat serta percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta dan pemberi rizki untuknya.
Kami pun bermuka-muka.
Di sini di ceritakan  dalam diri seseorang ada dua sisi yang saling berperang. Satu sisi percaya dengan Tuhan dan yang satu lagi tidak mempercayainya. Kedua sisi tersebut saling berperang di dalam diri.
Seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada.
Segala daya memadamkannya
Di dalam diri seseorang tersebut seperti ada api yang membesar. Api tersebut ada di dalam diri mereka yang tidak pernah sedikit pun mempercayai adanya Tuhan. Ia tidak mempercayai adanya kekuasaan dan ciptaan Tuhan. Ia hanya percaya dengan adanya kebebasan. Pada akhirnya, diri seseorang tersebut mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa. Walaupun di dalam hatinya sama sekali tidak mempercayai, tetapi ia terus berusaha keras untuk mempercayai, maka dari itu ia berusaha memadamkan apa yang ia pikirkan kepada Tuhan.

Bersimpah peluh diri yang tak bisa diperkuda
Diri yang penuh dengan dosa serta kesedihan yang sudah ia sadari, bahwa tidak bisa selamanya ia seperti ini –tidak percaya adanya Tuhan tidak percaya adanya Tuhan Yang Maha Esa- dan ia harus segera melakukan pertaubatan.
Ini ruang
Gelanggang kami berperang
Gelanggang artinya suatu tempat, sedangkan ruang yang sedang di bicarakan di sini adalah Mesjid. Mesjid adalah tempat batin mereka berperang melawan rasa ketidakpercayaan dirinya terhadap Tuhannya. DI dalam mesjid para makhluk Tuhan melakukan apa saja untuk komunikasi dia dengan Tuhannya. Komunikasi tersebut dapat berupa pertaubatan atau perenungan atas segala dosa-dosa yang pernah ia lakukan dengan Tuhannya selama ini.
Binasa-membinasa
Satu menista lain gila.
 Satu sisi ingin mempercayai Tuhan, sedangkan sisi yang lain tidak ingin mempercayainya, lalu mereka saling berperang dan menistakan satu sama lainnya.
Secara umum, puisi ini bertemakan ketuhanan, atau perenungan mengenai Tuhan.

2.      Diksional puisi
Diksi adalah pemilihan  kata yang tepat dan selaras untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu. Diksi-diksi puisi DM yang digunakan oleh Chairil, memaksa kita melihat peristiwa, dimana ia dan Tuhan sedang beradu pandang disana. Dikamarnya.

“kuseru saja”, ku adalah kata ganti sang penyair. Seru  adalah kata yang digunakan untuk menyatakan memanggil dengan suara nyaring, menarik perhatian, dan biasa digunakan ketika marah atau penegasan dengan intonasi tinggi.  “saja” berarti semata-mata, tiada lain, hanya.

“Dia”, dalam puisi ini menggunakan huruf kapital yang berarti kepada Tuhan. “kuseru saja Dia” berarti, sang penyair memanggil dengan suara nyaring dan tinggi kepada Tuhan. Mengesankan amarah yang datang tiba-tiba, atau betapa jauhnya terasa dia dengan Tuhan, hingga harus menyeru agar ratapannya dapat lebih dipahami pembaca.

“sehingga datang juga”, penyair dengan unik memberikan diksi yang aneh, seolah-olah Tuhan datang dan berjalan seperti manusia yang memenuhi seruan-Nya. Tuhan, yang menyahut panggilan penyair. Sosok Tuhan yang akhirnya datang ketika sang penyair menyerunya di masjid, ketika ia merasa jauh dari-Nya, merasa dalam ruang-ruang yang luas dan hampa, lalu datanglah Ia setelah diseru.

“Kamipun bermuka-muka”, perhatikan kata Kami yang dipilih sebagai diksi. Kami adalah kata ganti orang pertama jamak. Ia menyejajarkan dirinya dengan Tuhan dalam satu pembicaraan, artinya, ia merasa begitu satu, begitu dekat, dan entah kenapa membuat ia seperti sedang bercerita. Perhatikan dari awal ketika digunakan kata Dia, yang berarti orang ketiga tunggal, maka pasti ada tokoh “aku” dan “kamu”. Tegasnya, ia menceritakan apa yang terjadi kepada kita, dan membiarkan kita menafsir-nafsirkan sendiri apa yang akan Tuhan lakukan.

“bermuka-muka” memiliki arti berhadapan muka. Sekali lagi, perhatikan bagaimana penyair menempatkan Tuhan dalam personifikasi, yang membuatnya dapat sejelas mungkin meresapi dan merasakan kehadiran Tuhan, tepat dihadapan mukanya, dan ia dapat saling melihat dengan Tuhan. Seolah, Tuhan hadir sangat dekat, dan bermuka-muka biasa dipilih dalam konteks pertemuan sangat dekat, paling jauh sebatas suara lirih yang masih terdengar jelas dari lawan kita bermuka-muka.

“kamipun bermuka-muka” memiliki arti ia dan Tuhan dalam satu pertemuan, yang membuatnya amat dekat, setelah datang Tuhan menyambut seruan sang penyair, lalu mereka saling memandang entah bagaimana.

“seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada”, bernyala-nyala,  setelah Tuhan datang, entah kenapa sang penyair merasakan kobaran. Kata ini digunakan dalam api yang besar, dan berkobaran besar dan tinggi. Agung. Api yang sangat dahsyat. Menggelegak. Semakin menjadi besar. Lalu ia merasakannya dalam dada, paru-parunya panas, seperti nafas yang sesak dan menahan tangis yang sangat, jantungnya menjadi memburu, seperti mengimbangi kobaran-Nya. Perhatikan bagaimana ia membendakan, atau mengibaratkan Tuhan mampu menjadi bernyala-nyala seperti api dan cahaya dalam dadanya, menjadi besar dan tinggi, ia merasakan dirinya diisi semangat ketuhanan yang luar biasa, panas, dan menggelegak.

“segala daya memadamkannya” , daya adalah tenaga, daya adalah upaya dan kekuatan yang diarahkan kepada sesuatu yang tertentu.  Segala daya memiliki arti, seluruh kekuatannya dipusatkan kepada sesuatu.

“memadamkannya” yang menarik, adalah pemilihan kata –nya, dan bukan –Nya. Kapital dan biasa. Tuhan dan bukan Tuhan. Tegasnya, apa atau siapa yang dipadamkan penyair? Padam memiliki arti mati tentang api dan cahaya, semangat, gelora. Sebelumnya, digunakan diksi bernyala-nyala sebagai penggambaran Tuhan yang sedang berkobaran. Kami memilih arti memadamkan atau menghentikan kobaran akibat kehadiran Tuhan.

Jangan lupa, sedari awal, meski Tuhan digambarkan sedang bernyala, tetapi hakikatnya, Dzat Tuhan ataukah efeknya saja yang menyala? Tegasnya lagi, Tuhan yang menyala, atau kehadiran Tuhan membuat kita merasakan ada yang menyala dalam hati begitu besar?

Rahasia kata –nya yang digunakan, menunjukkan bahwa yang menyala adalah efek kehadiran Tuhan. Tuhan sebagai sebab, bukan objek kebernyalaan “sesuatu selain Tuhan”. Tuhan yang hadir menyambut seruannya, menyebabkan “sesuatu itu” menjadi berkobar-kobar dan bernyala-nyala. Kekuasaan Tuhan, dekatnya Tuhan saat itu, menyebabkan dalam dadanya ada yang bernyala-nyala.

“bersimpah  peluh diri yang tak bisa diperkuda” simpah, atau simbah, memiliki arti basah. Khususnya, keringat atau darah, yang membuat sesuatu menjadi terbasahi (dalam daerah yang luas, bukan sempit) dan keluarnya dengan dua cara, menyembur atau bermanik-manik seperti tetesan yang amat banyak.

Bersimbah, keringat yang bermanik-manik (bersimbah peluh diri) membuat kesan ia sedang ditekan dan menahan sesuatu. beban yang amat berat. Sesuatu yang berkobar dalam dirinya membuat ia merasakan beban yang berat.  Tak bisa diperkuda memiliki arti tak bisa dikendalikan dengan pengibaratan kekang kuda yang akan dilekatkan pada mulutnya, dan ia tak akan mampu dikendalikan. Anehnya, apa hubungannya pembahasan kita diawal yang membahas kedatangan Tuhan yang menjadi bernyala-nyala, dengan diperkuda?

Yang paling logis, adalah Tuhan datang dan menurut penyairnya, Tuhan sedang mencoba mengambil lagi kekang dirinya. Apa maksudnya? Berkobar-kobar yang ada dalam dirinya, dapat diartikan penolakan terhadap nilai-nilai dirinya yang selama ini buruk, angkuh, dan kaku, ini mengingat, Tuhan adalah simbol kebaikan dan kanan. Indah dan benar.

Ia terlanjur jauh dalam keburukan, dan ketika datang Tuhan, ada dalam dadanya yang mengingkari bahwa dirinya masih layak, menerima kedatangan Tuhan yang begitu besar dan tinggi, begitu kuat akan mengambil kendali dirinya dari hal-hal yang buruk.

“ini ruang”, dalam hal ini, terlihat penekanan pada kata “ini” ruang. Dimana adanya ini, adalah di “masjid”. “di masjid”. Mengikuti judul umum puisi ini. lebih jauh lagi, ini ruang, bisa diartikan dalam dada. “kedalaman dada” sering dikaitkan dengan datangnya perasaan yang jauh dari lubuk hati, yang juga adanya dalam “rongga dada”

“gelanggang tempat kami berperang”, gelanggang adalah tempat beradu, tempat bersaing, tempat yang mengitari dan memiliki batas tertentu, biasanya lingkaran. “tempat kami berperang, memiliki arti gelanggang itu diperjelas sedang digunakan untuk aduan dengan Tuhan. Kami, yang mengandung “aku dan Tuhan” sesuai tokoh-tokoh dalam puisi ini.

Dalam dadanya, terjadi peperangan dan peraduan. Perasaan. Antara penyair, dengan segala keburukannya, dengan Tuhan, yang datang menyambut seruannya. Jelaslah, sesuatu yang bernyala-nyala adalah kenangan-kenangan keburukannya, dengan kebaikan dan perasaan hina karena kehadiran Tuhan yang seolah amat dekat, sehingga dalam dirinya terjadi perseteruan.

“binasa membinasa” memiliki arti “merusak, menghancurkan, memusnahkan” tetapi tidak berkaitan dengan “mati”. Tuhan, dengan kobaran-kobaran nyala-Nya, ingin memadamkan hasrat dan segala lawan-Nya dalam dada penyair, begitu pula penyair, ada bagian dirinya yang ingin memadamkan Tuhan. Menolak kehadiran tuhan, karena ia “tak bisa diperkuda”, tak bisa lagi menerima kehadiran Tuhan.

Ada dua sebab seseorang biasa menolak kehadiran Tuhan. Pertama, ia atheis. Kedua, ia malu, dengan segala rasa hina. Ia merasa tak layak dengan banyak dosanya. Dan bukankah, di masjid seseorang biasa melakuka pertobatan dan merasakan kehadiran Tuhan begitu dekat? Jika memang ia atheis, ia tak akan merasakan kehadiran-Nya yang amat dekat, hingga bermuka-muka.

“satu menista lain gila” Tengsoe Tjahjono, kritikus sastra, membuat cara menguak diksi puisi dengan mengembalikan kata yang seharusnya ada, namun dihilangkan dalam sebuah puisi oleh pengarangnya.

“(kami saling) binasa (dan) membinasa(kan)
(yang) satu menista (,) (dan yang) lain(nya) (menjadi) gila.”

Apa maksudnya? Terjadi pertempuran yang amat sengit dalam dada penyair. Ia dan Tuhan saling beradu rasa, argumen. Tetapi, apakah pada dasarnya memang betul Tuhan yangmemberikan argumen? Sebetulnya, Tuhan tak pernah bicara langsung pada manusia melalui wahyu. Diksi dalam puisi ini memang mengesankan Tuhan bicara langsung dan hadir dihadapan kita, tetapi ini tak lain karena hasrat dalam diri manusia yang entah kenapa menjadi semacam tabiat, bahwa kan selalu merindukan Tuhan betapapun jauhnya.

Sebetulnya, yang bicara tak lain adalah dua sisi dirinya, dimana sisi yang satu masih mewarisi sifat-sifat “kerinduan pada Tuhan” yang amat dalam, dan menjadi penentang dan bernayal-nyala dihadapan sisi dirinya “yang tak bisa diperkuda”, dan keduanya saling membinasakan, tanpa dijelaskan apa akhir dari saling membinasakan ini, hanya diberikan petunjuk, ada yang membuat dirinya nista, kotor, dan ada yang menjadi gila.

Gila, bukan hanya berarti sakit syaraf atau jiwa. Ia juga berarti keadaan yang tidak semestinya, tidak masuk diakal. Keadaan dimana sulit diterima oleh akal. Sulit mengambil keputusan. Apa artinya? Dalam “binasa membinasa” ini, ia disudutkan, perasaannya disudutkan dalam kondisi “gila”, sulit mengambil keputusan. Egonya, membuat sulit menerima Tuhan yang sudah susah payah ia seru di masjid.
Ia dijepit antara menerima kebaikan, yang menurutnya tidak semestinya, beradu dengan diri yang tak bisa diperkuda.


3.      Nada, bunyi, dan rima
Dalam bait awal puisi ini terdapat rima, yang diperjelas dengan

“kuseru saja dia
Sehingga datang juga
Kamipun bermuka-muka
Seterusnya ia bernyala-nyala dalam dada
segala daya memadamkannya
bersimpah peluh diri yang tak bisa diperkuda”

betapa penuhnya dengan rima, yang tak hanya membicarakan rima di awal, tengah, dan akhir, tetapi keseluruhan membentuk harmoni yang indah. “a” dilafalkan dengan membuka penuh mulut dan lidah. Tanpa hambatan. Ini adalah bunyi paling mudah dilafalkan. Secara psikologis mengesankan ia sedang mencari kata yang mudah dilafalkan karena letihnya. Lelahnya. Kesan lelahnya.
 Seluruh larik yang menggunakan rima /a/ diatas masih bercerita tentang satu wacana yang padu, dari seruan hingga penyair yang bersimbah dengan kebernyalaan Tuhan dalam dirinya.

“Ini ruang
Gelanggang tempat kami berperang”

 Rima bunyi /a/ yang dipadukan dengan nasal /ng/ memberikan kesan terhambatnya suara. Jika pada bait pertama dipenuhi kata-kata yang diakhiri dengan mulut terbuka, ini diakhiri dengan nafas yang tertutup.

binasa membinasa
Satu menista lain gila”

Di larik pertama, dijumpai rima sempurna kata binasa. Dan lagi-lagi menggunakan bunyi /a/ sebagai akhir ujaran.

Secara umum, berkaitan denga rima, intonasi yang ada mengesankan nada mengeluh, nada memberikan masalah diri yang sesuai dengan penjabaran diksi, tak bisa menerima kehadiran Tuhan. Gelisah. Terjebak dalam perenungan diri.

4.      Gaya bahasa
Gaya bahasa dimaksudkan untuk membuat bahasa yang digunakan lebih punya arti dalam simbolnya. Memasukkan arti yang lebih banyak dari seharusnya.

Pada awal puisi, penyair sudah membuat kita membayangkan Tuhan sebagai persona yang datang ketika diseru, dan membuat dekat dengan diri, kuseru saja dia/sehingga datang juga/kamipun bermuka-muka, Tuhan yang datang, bergaya personifikasi yang amat halus.

Seterusnya ia bernyala-nyala dalam dada/segala daya memadamkannya. Tuhan digambarkan memiliki sifat mampu berkobar dan menyala, simbolik, untuk menggambarkan betapa panasnya terasa, betapa menggelegaknya. Lagi-lagi, ia menggunakan simbol memadamkan, sebagai upaya menghentikan pengaruh sisi diri baiknya untuk menuntun sisi buruknya. Ia mengingkari pengaruh Tuhan dalam dirinya, karena hinanya dihadapan Tuhan.

“bersimbah peluh diri yang tak bisa diperkuda” agak hiperbol, penyair menggambarkan upaya pemadaman ini sangat melelahkan dan menghabiskan keringatnya. Diperkuda juga merupakan simbol, bahwa ia tak bisa diatur-atur.

Ini ruang/gelanggang kami berperang, juga dengan agak hiperbol, ia menggambarkan tempatnya berargumen “dalam dada”, sebagai gelanggang untuk berperang, karena sengitnya perenungan yang terjadi. Binasa membinasa/satu menista lain gila, memiliki makna mempersonakan Tuhan, sebagai “pihak yang ingin membinasakan dirinya” dan “yang mampu menggilakan dirinya”.

Gaya personifikasi, simbolik, dan hiperbola, memenuhi puisi ini namun dengan tidak langsung menggunakan apa yang telah umum digunakan pada ujaran biasa, seperti “Tuhan menyala-nyala bagai api” atau “bagai bertempur sehingga bersimbah peluh” untuk memperhalus dan memperagung tuturan, juga untuk menghemat kata-kata. tantangannya, bagaimana menggunakan kata dan gaya sehalus mungkin, tetapi tetap sehemat mungkin menggunakannya. Dan penyair cukup berhasil menyesakkan makna yang amat dalam pada sekitar 10 larik puisi.

Gaya balada, yang digunakan penyair, dimaksudkan mempermudah penceritaan agar kita, seperti melihat peristiwanya, dan dibiarkan memilih, “jika kita menjadi dia, apa yang kita lakukan ketika ada dalam posisi yang sama?” inilah kekuatan utama gaya bahasa puisi ini, amanat disampaikan tidak secara langsung, tetapi melalui penggambaran peristiwa batin yang disimbolkan dengan peristiwa fisik pertemuan dengan Tuhan.


5.      Tipografi
Tipografi, adalah bentuk penulisan dan pelukisan fisik puisi. Tampak, digunakan bentuk 10 larik yang dikenal dengan stanza.  Bentuk ini datang dari eropa, dan digunakan seperti pembatasan puisi lama disana. Mirip seperti pantun, seloka, dan gurindam di melayu.

10 larik, dinggap telah cukup untuk menarikan kata-kata agar mencapai wacana utuh dan berterima. Ia juga dianggap cukup bermakna, tidak lebih tidak kurang.

Rata kiri yang digunakan, dan susunan kalimat biasa yang digunakan, membuat kesan bahwa ini peristiwa yang betul lekat dalam keseharian kita. Betapa banyak kita yang merasakan situasi yang sama, tetapi menjadi “gila” dalam mengambil pilihan, dan disudutkan oleh diri sendiri?

Penjedaan antar larik, membuat kesan ia menuturkan puisi ini terputus-putus, seperti kelelahan, dan memang diksi dalam puisi ini mengesankan kelelahan dan tekanan batin yang amat sangat. Dua larik, jeda. Satu larik, jeda. Banyak diantara lariknya tidak lebih dari tiga kata, yang bisa diucapkan dalam satu nafas.

Ia terlalu lelah untuk berkata, ia memilih bentuk yang dapat digunakan untuk menyampaikan kelelahannya dan kegalauannya seringkas mungkin, tetapi disokong diksi yang membuat maknanya tidak ringkas juga.

Jika puisi ini disusun beruntun tanpa jeda larik, puisi ini terkesan pembicaraan panjang. Tidak memberikan jeda untuk berpikir dan memaknai setiap peristiwa, karena jeda juga memberikan waktu jeda ketika dibacakan.

Enjambemen, yang timbul pada larik pertama dan kedua (seharusnya secara sintaksis bahasa Indonesia berbunyi kuseru saja Dia sehingga datang juga), memberikan penguatan bahwa ia menyeru, dan kemudian Dia datang. Penguatan timbul pada “sehingga datang juga”, yang memiliki tambahan arti akhirnya, setelah diseru Tuhan bersedia datang, setelah sekian lama tidak datang. Betul-betul kedatangan agung Sang Tuhan.

Enjambemen lain timbul pada “ini ruang gelanggang kami berperang”, dimaksudkan menekankan pada kata gelanggang perang. Terjadi atau tercipta sebuah gelanggang, yang ada dalam dadanya. Betul-betul sebuah gelanggang antara dia dengan Tuhan.