Rabu, 15 April 2020

Kebatilan adalah Musuh Abadi Kita


Sebuah gagasan peradaban selalu lahir, karena kebutuhan manusia untuk membebaskan diri dari kebingungan hidup, penindasan, dan alasan melawan sesuatu.

Semua itu, kita sebut sebagai: "kebatilan."

Barisan ini punya gagasan peradaban. Gagasan itu ada di filosofi gerakan. Dan kita telah sejauh ini menyetujui gagasan peradaban itu. Lalu, hari ini, mari rumuskan kembali, kebatilan mana yang hendak kita lawan.

Mari memandang dengan jujur, tanpa niatan kompromi, atau niat menyerah karena kebatilan itu lebih kaya, lebih kuat, dan lebih meyakinkan.

Di bidang perekonomian, belitan riba, serta gagalnya negara menjamin keadilan di pasar antara pemilik modal besar dan kecil sangat terasa. Perlindungan bagi petani, nelayan, dan produsen menengah kebawah dari kapitalis dengan modal besar tak ada.

Sebab, segala sesuatu diukur dari kemampuan rakyat menyetor pajak pada negara, bukan dari keadilan sosial.di bidang pembangunan manusia dan kebudayaan:

isu radikalisme dan feminisme yang merupakan titipan dari negara asing membelenggu nalar pikir kita.

Kurikulum dan tata kelola pendidikan tak diselesaikan dengan cara pendidik, tapi dengan cara pengusaha. Agama, adalah alat negara mengeruk dana rakyat.

Belenggu isu radikalisme ini masih digembok dengan aliran dana dari NGO atau negara asing untuk menjamin "bebasnya Indonesia dari radikalisme".

Perjuangan kita melawan LGBT dan seks bebas, sekarang nyaris berubah menjadi perjuangan melawan alat negara. Sebab, LGBT dilembagakan dalam konstitusi.

kapitalisme dan imperialisme pendidikan malah menjadi patron utama.di bidang kemaritiman dan investasi, kebatilan masih diproduksi secara massal.

Sinergi kebijakan pemerintah daerah pesisir dan kepulauan belum didesain memihak nelayan, tapi korporat besar yang sumbang pajak dan suap raksasa.

Pelabuhan dan bandara dibangun, bukan untuk keadilan ekonomi tapi memanjakan korporasi. Dan negara kita cuma berakhir menjadi pelanggan donasi dari dua kutub ekonomi dunia.

Dan di tengah umat, masih banyak orang munafik tapi terkenal, yang menebarkan perpecahan; sel-sel khawarij dan terorisme yang menyamar sebagai gerakan dakwah, serta sebagian saudara kita yang masih berpikir soal ashabiyah.

Kelompok munafik tadi sengaja membenturkan antara ulama dan ormas, agar islam tak bisa menang dan membangun di negeri ini.

Lalu itu semua, menunggu kita. Kebatilan itu menanti sikap tegas barisan kita, dan langkah cepat, pasti, sekaligus mendidik.

Mari tegaskan satu hal penting. Kita, adalah oposisi kebatilan, bukan oposisi pemerintahan. Karena kebatilan itu ada di mana saja, dan pemerintahan belum tentu menjadi sumber utamanya.

Dan saya tulis ini semua kepada orang-orang yang ragu; yang takut; yang lalai, yang malas, atau yang masih sibuk dengan halusinasinya sendiri tentang barisan ini:

Kami adalah para petarung sejati atas nama al-haq kami bertempur, sampai tidak ada lagi fitnah dibumi ini!

rapatkan lagi safmu. tajamkan telingamu, dan tunggulah sang Imam bertakbir, lalu satukan gerakanmu bersamanya. Iqamah sudah dilayangkan, dan perjuanganpun telah datang waktunya.

Berbarislah dengan siaga, dan teruslah melawan. Teruslah melawan sampai orang-orang ragu, pengecut, dan penakut keluar sendiri dari barisan ini.

Sunatullah Kepemimpinan

Umar bin Abdul Aziz. Khalifah yang menjabat, tepat 100 tahun setelah hijrah Nabi.

Masa pemerintahannya memberikan kita banyak pelajaran. Sebab, ia berkuasa manakala pemerintahan islam begitu rumit.

Rakyat di seluruh negeri muslim mendambakannya. Tapi, mereka juga tahu: popularitas tidak cukup.

Ia harus bertarung melawan para calon Khalifah yang bengis, dan sangat mengerti seluk-beluk istana.

Tapi, Umar tak sendirian. Bersamanya, ada seorang ulama. Ulama politik. Raja' bin Haywah namanya.

Ia lakukan rekayasa politik dalam istana. Ia ulama yang bernyali, saat semua ulama lain mengatakan:

"Tak usah urus-urus politik!"

Track record Umar sendiri lurus. Ia adalah Gubernur Hijaz. Cucu Khalifah Marwan. Anak Gubernur Mesir. Murid sahabat nabi: Abdullah bin Umar.

Tapi lawannya orang-orang fasik; yang tak cukup hanya dengan doa atau banyak-banyak mengadu pada ulama saja. Perlu rekayasa politik.

Semua orang bilang berat!

Tapi sang ulama-politisi berhasil. Ia menjadi orang kepercayaan Khalifah sebelumnya.

Umar bin Abdul Aziz, menjadi Khalifah. Prosesnya jorok? Barangkali menurut ulama yang bukan bergaris politik, Raja' bin Haywah ini jorok. Ulama, yang menempel-nempel pada penguasa.

Dan yang terpenting, kini Umar bin Abdul Aziz menang. Tapi apakah itu cukup? Ya! Memang Umar dianggap Mujaddid abad pertama islam.

Tapi kekuasaannya dipenuhi ketidakstabilan antar elemen politik dalam istana. Sebab, kepentingan mereka, dipangkas oleh Umar yang lurus, bijak, dan pro-Rakyat.

Umar tak akomodatif pada orang munafik-politik.

Hanya dua setengah tahun, waktu yang dibutuhkan oleh elemen istana, untuk memberanikan diri: membunuh Umar.

Umar sendirian. Kebijakannya memang pro Rakyat. Tapi istana, dan politik saat itu, tidak pro rakyat.

Maka sejarah akan bicara: begitulah nasib orang jujur dan bersih!

Bicara keberkahan, urusan lain. Zakat, wakaf, dan sedekah terdistribusi merata. Umar pakar ekonomi syariah.

Keadilan, jangan tanya. Harta negara tak lagi digunakan untuk kumpul-kumpul tak perlu atau sekadar bermewah-mewah menuruti hadray orang Badwi kampungan yang baru berkuasa.

Tapi ini politik.

Umar perlu tim-tim lain yang mempersiapkan kabinetnya. Umar perlu tim lain untuk mengimbangi pertarungan politik dalam istana.

Sebab, track record mentereng, popularitas, barangkali cukup untuk menang, tapi tak cukup untuk berkuasa.

Tapi keridhaan Allah, itulah yang Umar cari.

Ilmu Agama yang Singkat, Padat, dan Jelas

Permintaan atas pembelajaran agama yang "singkat, padat," tapi "sudah dapat semua" itu, ternyata bukan hanya ada di zaman sekarang.

Dari zaman dulu, generasi-generasi muslim sudah begitu. Berdasarkan apa yang saya telusuri, sifat "singkat, padat" dan "dapat semua" itu ada pada beberapa kitab.

 Pada tahun 1200-an, Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah menulis kitab Fawaidul Fawaid. Isinya, pokok-pokok bahasan tematik, tapi mencakup seluruh ilmu. Dari adab, tazkiatun nafs, hingga fikih.

Kitab ini tak terlalu tebal untuk ukuran zamannya. Tapi, memenuhi sifat "singkat, padat" dan "sudah dapat semua'. Satu pokok bahasan, bila dijadikan khutbah, hanya 5-20 menit. Ibnul Qayyim adalah murid setia Ibnu Taimiyyah.

 Agak ke sini, tahun 1500-an, Ibnu Hajar Al-Asqalani dari Palestina, menulis sebuah kitab yang isinya dibagi bab per bab berdasarkan panjangnya "nasihat".

Kitab ini, disyarah, disederhanakan oleh Imam Nawawi Al-Bantani dalam judul: " Nashaihul Ibad". Sebuah kitab kuning bagi para penuntut ilmu kehalusan laku. Bab 1, diisi nasihat yang "dua-dua". Seterusnya sampai, nasihat " delapan-delapan".

 "Dua sifat yang dibenci Allah" atau "empat ciri orang bersyukur" dan seterusnya. Orang yang membaca kitab tipis ini akan mendapatkan nasihat yang singkat padat, tapi dapat semua.

Tapi, sebelum itu, seratus-an tahun setelah Rasulullah meninggal, telah muncul kitab Al-Muwaththa. Bukan, bukan karangan Imam Malik. Sebab, ini kitab hadis, dan Imam Malik hanya menghimpun hadis itu.

Kitab Al-Muwaththa mewakili sifat singkat, padat, tapi dapat semua. Isinya, bukan fatwa mazhab Maliki, tapi hadis-hadis pilihan. Tak terlalu tebal.

Imam Malik terkenal dengan sifatnya terhadap kitab ini, yaitu, terus merevisi dan mengurangi jumlah hadis di dalamnya, bukan karena dhaif atau sejenisnya. Tetapi, untuk mewakili sifat itu.

Di zaman beliau, belum dibutuhkan buku "pemikiran". Yang dibutuhkan adalah "menghimpun ajaran Rasul" melalui kodifikasi hadis.

Jadi, kembali kepada sifat orang yang suka ilmu "singkat, padat" tapi "dapat semua" itu, ini tantangan bagi dai zaman ini.

Sebab sifat manusia yang begitu ternyata telah dihadapi ulama beribu tahun yang lalu. Jangan membebani umat dengan perdebatan ilmu atau perkataan yang malah akan menjerumuskan mereka.

Maka salah satu doa kita adalah: "berikan kami, ya Allah, ilmu yang bermanfaat."

Salah satu kutipan nasihat dua-dua sepasang dalam kitab Nashaihul Ibad:

"Dua qasidah penawar hati:

ya Allah, aku ingin mengerjakan semua kebaikan, tapi tanganku tak sampai.
Maafkan segala kekuranganku, Engkau Mahatidakmemerlukan dari menyiksaku..."

Ilmu Sanad dalam Penciptaan Karya Sastra

I
Sanad, menunjukkan betapa adabmu kepada sumber ilmu. Sebab, pengetahuan saja bisa kau dapat dari media sosial.

Tapi sanad, memastikan ilmumu benar, adabmu benar, dan kau dikenal oleh lingkungan tempat ilmu itu dikembangkan.

II

Dalam dunia puisi, adakah yang semacam itu? Ada. Seseorang disebut penyair bukan karena dia menulis puisi. Penulis puisi, berbeda dengan penyair.

Dia mengandung tiga makna. Mengabdikan dirinya untuk puisi, lalu lahir dan turut terlibat dalam ekosistem budaya, dan ada orang bersaksi bahwa karyanya bernilai. Orang ini, disebut sebagai "kritikus sastra".

III

 Para "penyair" di zaman sekarang, rata-rata adalah mereka yang viral. Bukan mereka yang punya sanad. Apa maksudnya? Tak ada pertanggungjawaban dalam karya mereka.

Padahal, puisi adalah sebuah ilmu. Bukan cuma racauan semata. Ilmu puisi semacam ini, harus dipertanggungjawabkan. Puisi-puisi kita, harus dikaji secara ilmiah. Dalam sebuah metode "kritik sastra", dan pula, harus mau kita terlibat dalam "pengembangan budaya"

IV

Mengapa Umar bin Khattab mengatakan, pengajaran puisi berdampak kepada keberanian orang? Sebab, puisi adalah sebuah sikap.

Puisi yang jujur selalu adalah puisi yang melawan sesuatu. Puisi yang baik, adalah selalu yang di atas kata-kata, tak hanya bicara diri dan segala keakuannya, tapi mengabadikan usaha manusia di suatu zaman melawan sesuatu.

Itu sebabnya, ada "Angkatan sastra."

V

Jadi, bukan masalah segera membukukan puisi, atau ikut lomba, menang, lalu kau jadi pembicara di mana-mana. Atas puisi-puisi yang kau bikin setengah sadar dan ternyata dianggap bagus.

Hari ini, ada istilah baru. "Poet-shaming" atau penghinaan pada puisi. Para penulis puisi mula dan baperan, yang tak paham sastra membela racauan-racauannya dan mencoba melawan tatanan keilmuan dan sanad sastra Indonesia yang hampir mapan.

VI

Kau harus punya sanad kata. Kau belajar pada pakar linguistik, kau belajar makna sebuah kata. Bahwa kata "Cinta" misalnya, berasal dari bahasa Sanskerta. Maknanya, berkaitan dengan "kepada sesuatu yang fana" dan berkonsekuensi pada "kekhawatiran dan kekecewaan."

Lalu, kau menggunakan itu untuk Tuhan. "Tuhan, aku cinta padamu." dia cinta kepada Tuhan tapi masih kecewa. Sedangkan, kekecewaan hanya didapat dari kefanaan, karena yang kita cintai itu suatu saat pasti hilang. Tapi Tuhan tidak.

VII

Muncul sekelompok orang yang menulis dengan mematah-matahkan sintaksis. Padahal dia harus memahami bagaimana Bahasa Indonesia bekerja. Perubahan kelas kata: bagaimana cara kata kerja berubah menjadi kata sifat? Bagaimana kata "kucing" bisa berubah jadi kata kerja dengan mengubah posisi sintaksisnya atau dengan menambah imbuhannya?

Itulah pentingnya sanad sastra. Agar pembaca puisi Indonesia tak melulu membaca sampah. Agar kita tak hanya baca tulisan yang seolah-olah saja puisi.

VIII

Saat Ibnu Abbas, radhiallahu'anhu, seorang sahabat Nabi yang paling menguasai ilmu tafsir itu luang atau bosan, ia biasa berkata, "berikan aku buku puisi."

Aisyah radhiallahu'anha, istri Rasulullah, dikisahkan menghafal 18.000 bait syair. Apa implikasinya? Penguasaan mereka atas bahasa, membuat Ibnu Abbas mampu memahami Al-Qur'an. Setiap kata, setiap konteks dan makna cerita dalam Al-Qur'an sehingga tafsirnya kuat. Aisyah, dengan penguasaannya kepada kata, dipilih Allah untuk menyampaikan hadis dalam jumlah luarbiasa.

IX

 Orang yang dekat dengan sanad puisi, menghargai adab berpuisi, dan menghargai para penyair, niscaya Allah akan memberinya suatu tugas tertentu berkaitan dengan bahasa.

Ibnu Ishaq, salah satu penyusun kitab induk dalam ilmu Sirah, adalah seorang kritikus sastra. Bila kita baca Kitab Sirahnya dari riwayat Ibnu Hisyam, beliau kerap memberi komentar pada sajak para sahabat Nabi: "ini baitnya tertukar. Ini diksinya janggal, kemungkinan ditambah oleh orang lain...."

X

 Mulai hari ini. Belilah sebuah buku puisi. Dari seorang penyair. Bacalah pelan-pelan, dan bukalah kamus besar bahasa kita.

Mulai hari ini, berhenti anggap puisimu bagus, dan belajarlah adab kepada puisi dan dunia sastra.

Mengapa Manusia Perlu Beragama?

1
Setelah Allah menjelaskan 3 jenis manusia di hadapan Al-Qur'an sebagai sumber ilmu, dalam pembukaan surat Al-Baqarah: Mutaqqin, Kaafirin, dan Munaafiqin, Allah menjelaskan fungsi agama dalam kisah Nabi Adam dan Iblis.

"Siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, tak ada pada mereka ketakutan dan kesedihan."

Dalam rangka menghilangkan ketakutan dan kesedihan itulah, kita mencari petunjuk hidup.

2
Maka dalam rangka mencari obat dari ketakutan dan kesedihan itu, Bani Adam mencari petunjuk baru. Di antara mereka ada yang menemukan agama-agama baru ciptaan benak.

Ada juga di antara mereka menciptakan isme-isme: Marxisme, Leninisme, Sosialisme, Fasisme, Liberalisme, atau juga Marhaenisme.

Mengapa? Sebab ketidaktahuan, atau ketidakpercayaan mereka pada "petunjuk Allah."

3
Lalu, di Juz 1 itu, sebagai kelanjutan kisah Adam dan Iblis, Allah menjelaskan kisah Bani Israil.

"Sikap manusia kepada ilmu." itulah intinya.

Saat Musa meninggalkan mereka 40 hari lamanya, mereka tak sabar dan menyembah sapi.  Saat Musa meminta mereka menyembah Allah:

"Kami tak akan menyembah-Nya sebelum melihat-Nya dengen jelas."

4
Saat Allah meminta mereka hijrah ke Palestina, mereka keberatan, tetapi Allah menurunkan makanan segar dari langit. Manna dan Salwa. Serta 12 mata air yang memancar dari sebuah batu.

Tetapi mereka malah ingkar. Itulah yang hendak diceritakan Allah melalui Juz 1. Sikap manusia kepada sumber ilmu.

5
Kebanyakan orang mempelajari agama, belum cukup sampai pada penyerahan diri untuk menghilangkan ketakutan dan kesedihannya di dunia ini hanya kepada Allah.

Juga, sebagian dari kita bersikap seperti Bani Israil. "Apa hukumnya..." atau "bagaimana fatwanya begini, sedangkan..."

Bahwa, sejak Juz 1 saja Allah telah menggambarkan pada kita, bahwa ilmu tak akan didapat dengan sikap yang salah.

6
Jadi, mengapa orang menolak agama?

Pertama. Sejak awal, sikap dia kepada ketakutan dan kesedihan hidupnya sendiri, keliru.

Kedua. Sikap keilmuan dia kepada sumber ilmu, keliru. Pura-pura kritis, pura-pura cerdas. Itulah gambaran Bani Israil.

7
Dan mengapa kita butuh agama?

Untuk menemukan cara, bagaimana menghilangkan ketakutan dan kesedihan. Itulah fungsinya. Itulah mengapa segera setelah turun dari Surga, Adam butuh "Huda". Butuh petunjuk Agama Allah.

Sebab, ketakutan dan kesedihan datang dari ketidakapastian. Dan agama hadir memberikan kepastian hukum serta jaminan keadilan itu.

8
Lalu mengapa kita harus berdakwah, mengajak orang kepada Agama?

Jelas. Mengajak mereka untuk bangkit dari ketakutan dan kesedihanya, lantaran ketidakpastian. Dan ketidakpastian itu muncul karena ketiadaan agama.

Kita harus mengajak orang pada agama, karena kebutuhan kita untuk bebas dari rasa takut dan sedih, bahwa orang yang kita cintai akan binasa.

Itu semua disebut: empati.

9
Itulah sebab, mengapa para pemeluk agama marah saat dibandingkan ideologi negara. Karena mereka, kita, yakin bahwa agama ini adalah cara terbaik menghilangkan ketakutan dan kesedihan hidup akibat penindasan, ketidakadilan, dan kebodohan manusia itu sendiri.

Sebab di satu sisi, kita juga yakin, bahwa segala "petunjuk buatan manusia' adalah sumber ketidakpastian itu sendiri. Sumber dari penindasan itu sendiri.

10
Usaha untuk menukar agama orang dengan ideologi ciptaan manusia di tengah kemiskinan yang justru muncul karena penerapan ideologi manusia itu adalah sia-sia.

Terutama, di negeri ini. Saat agama benar-benar memberikan kepastian dan tambatan, atas ketidakmampuan benak manusia menyingkirkan ketakutan dan kesedihan, dengan segala "isme" ciptaannya sendiri.

Atas ketidakmampuan "isme" ciptaan negara menghilangkan ketakutan dan kesedihan rakyatnya sendiri. Agamalah jawaban bagi negeri ini.

Falsafah Dasar Penciptaan Puisi

1
Saat kita menulis puisi, sesungguhnya, apa yang sedang kita tulis?

Pada dasarnya, puisi adalah bahasa. Bahasa manusia yang berkata-kata. Yang bukan sekadar meracau, atau gejala reflek yang menghasilkan bahasa konkret, semacam teriakan kesakitan, atau tertawa. Puisi, adalah bahasa sejelas-jelasnya bahasa. Tetapi, apakah bahasa itu?

2
Suatu hari, saat Allah menciptakan Adam, lalu mengajarkan padanya nama segala sesuatu, selain nama benda-benda yang kita kenal: bunga, batu, tanah, awan....barangkali nama-nama itu juga termasuk nama bagi "ketiadaan sesuatu"

Nama itu, barangkali juga mencakup "simbol bagi sesuatu yang tak terindera". Apa nama bagi "keadilan"? Apa nama bagi " ketiadaan keadilan?" apa nama bagi "cinta"? Apa nama bagi " ketiadaan cinta"?

3
Sedangkan, bahasa itu arbitrer. Sebutan bagi sesuatu belum tentu merupakan "bunyi" atau "bentuk" sesuatu. Sebuah kata, belum tentu wakil indrawi dari benda yang dia rujuk.

Tapi, ada satu yang mengganjal pikiran saya. Kalau kita reka kembali saat Adam diperkenalkan kepada Malaikat, di surat Al-Baqarah ayat 30, malaikat menyangsikan penciptaan Adam. Mereka mengatakan:  mengapa Bumi diamanahkan kepada mereka yang bakal merusak dan menumpahkan darah di sana? Tapi, yang menarik adalah, jawaban Allah.

4
"Aku lebih mengetahui apa yang tidak kalian ketahui," firman Allah. Lalu, "Kami ajarkan kepada Adam, nama segala sesuatu."

Setelah Adam menyebutkan nama segala sesuatu itu hadapan para Malaikat, maka Malaikat itu terpuaskan. Seakan-akan, nama segala sesuatu itu menjamin Adam agar tak melakukan kerusakan dan pertumpahan darah, sebagaimana perkiraan para Malaikat. Seakan-akan Adam belajar nama bagi "dampak kerusakan" dan "risiko pertumpahan darah".

5
Berarti, setiap "nama" yang diajarkan kepada Adam, bukanlah nama yang arbitrer. Dia nama yang merujuk pada kerusakan dan pertumpahan darah yang terjadi sebelumnya. Yang membuat Malaikat mengaitkan Adam dengan kerusakan itu.

Nama segala sesuatu, dalam kisah ini, adalah "bahasa". Sebab, "bahasa" itu, adalah nama, adalah sebutan bagi sesuatu, ketiadaan sesuatu, keadaan sesuatu, dan kegiatan sesuatu. Sebab barangkali Adam menjamin kepada Malaikat, dia memahami  nama segala sesuatu. Keadilan, kedamaian, dan kebahagiaan.

6
Saat kita menggunakan "bahasa" untuk menulis puisi, maka kita memang harus mengerti maknanya. Sebab, pemahaman kita kepada bahasa, kepada "nama segala sesuatu" itulah, yang menjamin Adam di hadapan malaikat.

Nama apa itu? Bahasa apa itu? Bahasa, yang membuat Adam tidak melakukan kerusakan dan pertumpahan darah. Nama "sesuatu" yang menjamin Adam berhasil memakmurkan bumi sebagai Khalifah. Apa yang saya bicarakan ini, adalah, "falsafah bahasa" . mengapa manusia menggunakan bahasa.

7
Dari pemahaman mengapa manusia menamai segala sesuatu, membahasai sesuatu itulah, ada satu produk bahasa yang kita sebut "puisi".

Dari segala upaya manusia menamai segala sesuatu, ada satu upaya manusia yang disebut puisi untuk menamai apa yang terjadi di sekelilingnya dengan cara-cara yang lebih indah, mengena, dan padat. Itulah mengapa puisi-puisi terus diciptakan manusia. Itulah mengapa, puisi berbeda dengan ungkapan biasa.

8
Saat kita menulis sebuah puisi, ada suatu pengertian untuk menjamin, agar manusia tercegah dari berbuat kerusakan dan menumpahkan darah.

Dari puisi-puisi itu tersimpan "nama-nama yang mencegah Adam berbuat yufsidu fiha wa yasfiquddima" . bukan sebatas kata-kata indah, atau kebohongan-kebohongan yang kebetulan bunyinya indah. Sebab tidak semua bunyi adalah bahasa, dan tidak semua bunyi yang indah adalah puisi.

9
Kita yang berlindung dibalik idiom "pengarang telah mati" atau  "puisi adalah milik pembaca seusai diciptakan" barangkali berbeda pandangan dengan kesusastraan islam. Atau, jangan-jangan, itu cuma kalimat untuk menutupi betapa tidak pahamnya kita kepada bahan baku puisi, yaitu bahasa.

Sebab, kita memang lebih senang, dan tentu lebih mudah, menulis kebohongan yang bunyinya indah. Kita lebih senang menulis sesuatu yang cepat populer, sampah yang menghibur, dan bualan-bualan yang membius. Tapi, itu bukan puisi. Bahkan barangkali itu bukan bahasa.

10
Saya tidak hendak memberat-beratkan orang, atau menakut-nakuti orang agar tak menulis puisi. Tapi tolong pahami, bahwa  "bahasa" bukan hanya sekadar igauan kosong yang kebetulan punya makna, dan lantas kita bilang itu arbitrer. Lalu saat kita rangkai itu jadi puisi, kita katakan pengarang telah mati.

sedang, yang "allamahul bayan" adalah Allah. Yang "allama adam al-asma" adalah Allah. Lalu mengapa kita menggunakannya, seolah-olah bahasa tidak punya makna kemanusiaan, sebagaimana penjelasan Adam kepada Malaikat?

11
Kata-kata, bahasa yang digunakan tidak untuk mencegah manusia berbuat kerusakan dan menumpahkan darah, tetaplah bahasa.

Puisi yang tidak ditulis untuk mencegah itu semua, atau tidak dengan kesadaran "bahasa merupakan anugerah Tuhan kepada manusia" juga tetaplah puisi.

Tetapi, itu bukanlah puisi, yang kita buat. Itu bukanlah puisi orang yang memahami ketuhanan. Itu bukanlah puisi yang memahami bahasa sebagai asal-muasal dirinya.

12
Berbahasalah. Dan cegahlah kerusakan serta pertumpahan darah itu. Namailah segala sesuatu untuk menjawab pertanyaan:

Apakah Adil itu? Apakah damai itu? Apakah nama bagi ketiadaan keadilan itu? Apakah nama bagi ketiadaan kedamaian itu? Namailah semuanya dengan puisi!

Untuk Para Ahli Al-Qur'an

1
 Suatu hari, seorang sahabat Nabi pergi ke sebuah tempat. Ia menjumpai tenda-tenda dari sekelompok orang. Ia terpana. Bacaan ayat-ayat Al-Qur'an tergetar dari sana. Indah sekali. Ia terhanyut. Dan bahkan ia menangis.

Tapi ia tak berhenti. Ia terus berjalan. Hari itu, ia ingin menemui Khalifah. Ali bin Abu Thalib. Di Kufah. Ya; Ibukota baru saja dipindahkan ke Kufah, dari Madinah.

2
Ia menceritakan itu kepada Khalifah Ali. Ia takjub. Menjelang 30 tahun setelah Rasulullah meninggal, ia masih ingat detik-detik saat membaca Al-Qur'an adalah kejahatan di Kota Makkah. Sekarang, adalah sebuah tren.

Tetapi Khalifah Ali hanya tersenyum kecut. Telah ia tunggu-tunggu datangnya zaman itu; saat satu demi satu perkataan Rasul tentang akhir zaman terjadi. "Jangan kau kagum pada mereka," kata Ali.

3
"Rasulullah, pernah mengatakan," kata Ali, " Suatu hari nanti ada orang bacaan Qur'annya menakjubkan kita. Salatnya lebih panjang dari kita...." tutur sang Khalifah.

 "tetapi, mereka keluar dari agama ini lebih cepat dari anak panah melesat dari busurnya." sahabat, saat itu, kelompok orang yang membaca Qur'an tadi, dikenal dengan kelompok "Ahlul Qurra" . Para pembaca Al-Qur'an.

4
Berjalanlah hari-hari seperti putusnya untaian mata tasbih. Fitnah menyeruak. Perang, terjadi. Khalifah Ali terlibat perselisihan dengan orang yang tak pernah kita duga: sang Gubernur Syam.

Satu dari sedikit penulis wahyu yang masih hidup. Orang yang bergelar "Paman Kaum Muslimin" karena beliau, adalah  ipar Rasulullah. Adiknya, Ummu Habibah, adalah istri sang Nabi.

Beliau adalah, Mu'awiyah bin Abu Sufyan. Kalangan Ahlul Qurra' ini tak mampu menggapai apa yang sesungguhnya terjadi.

5
Dengan bacaan Qur'an yang indah itu; mereka memerangi Ali maupun Mu'awiyah. Dengan salat malam yang sangat panjang itu, mereka merancang sebuah bencana.

"Membunuh Khalifah Ali dan Mu'awiyah di saat bersamaan." dan terjadilah; di tahun yang ditunggu-tunggu Ali itu; sebuah pedang mengoyak kepalanya. Di subuh hari. Saat matahari belum lagi mengerti apa yang terjadi.

Bacaan Qur'an mereka yang panjang dan indah itu, tak membuat mereka memahami apa yang tengah mereka lakukan!

6
Hari itu, kita akan mengenang dua hal. Pertama. Terbunuhnya seorang Khalifah Rasyidah, salah satu lelaki pertama dalam islam; dan munculnya sebuah kelompok yang membaca Al-Qur'an, menghafal Al-Qur'an, yang bahkan sanadnya belum jauh dari Rasulullah.

Di antara mereka yang membunuh Ali, bahkan ada orang yang mendengar langsung Al-Qur'an dari Rasulullah!

Kedua: munculnya sebuah kelompok sesat dalam islam, yang ibadahnya akan mengagumkam kita. Tetapi, mereka melesat jauh dari islam sebagaimana anak panah. Khawarij, namanya.

7
Mereka akan dikenal sebagai kelompok teror pembuat onar yang bacaan Qur'annya indah; kajian fikihnya mendalam; dan ibadahnya begitu tegak.

Suatu hari karena teror yang mereka lakukan, Khalifah Abdul Malik bin Marwan, lima puluh tahun setelah gugurnya Khalifah Ali, memanggil mereka ke Istana Bani Umayyah di Damaskus. Benar saja; penampilan dan ibadahnya benar-benar mengesankan.

"Hampir saja terbayang di mataku, surga diciptakan untuk mereka!"

8
Saat engkau berada di barisan dakwah; atau berada di sebuah gerakan, banyak-banyaklah merenungkan.

Saat engkau lebih banyak memusuhi orang daripada merekat persatuan; saat engkau lebih banyak mengeluarkan orang dari islam daripada memasukkan manusia ke dalam agama ini:

Barangkali engkau baru menyadarinya ketika darah kaum muslimin telah membekas di kedua tanganmu. Padahal, engkau adalah penghafal Qur'an, engkau adalah ahli salat malam.

Abu Utsman Al-Jahizh, sang Penggila Buku

1
Kalau engkau ke Basrah; lewat seribu tahun lalu, saat kanal-kanal dengan kapal kecil yang mencelah-celahi kota itu riang dengan tikar-tikar penjual ikan, ada seorang anak.

Matanya besar. Nyaris seperti mata ikan yang dijualnya itu. Kulitnya hitam. Garis matanya menjelaskan: ia begadang semalaman. Apa urusan anak penjual ikan segar begadang semalaman? 

Tentu, tentu, urusannya adalah urusan kita, yang jadi kepentingan mengapa cerita ini dituliskan.

2
Malam ini, tetaplah terjaga. Ikutlah jejak kedua kaki anak penjual ikan kita ini. Ke sebuah tempat yang pasti. Semenjak petang, ia telah di sana.

Di sebuah toko buku. Di tengah kota. "Oh, hai Anakku!" kata pemilik toko buku. "Ini kuncinya. Awaslah lampumu membakar tokoku!"

Ya. Ia menyewa toko buku itu, untuk semalam, dengan uangnya sendiri. Anak tepi kanal itu; anak penjual ikan kita itu, mencari-cari sebuah kitab yang dibacanya kemarin.

3
"Jadi," katanya. "Jangankan Tuhan,"

"Kitapun bersilang pendapat mengenai, apa itu matahari dan tak mampu menggapai hakikatnya."

"Lapisan langit yang berlubang, penuh dengan api, dan memiliki mulut yang mengembus panas dan cahaya. Itulah matahari dalam alam pikiran Anaximenes. Campuran unsur-unsur api yang dipantik uap basah, itulah kata Xenophanes. Kepingan-kepingan api, itulah kata Plato."

4
Mata kedua anak penjual ikan kita ini semakin tenggelam. Bertahun-tahun lamanya. Kisah seorang anak yang menyewa toko buku untuk membaca semalamam ini, segera menyergap perbincangan orang-orang di Basrah.

Kini, ia telah remaja. Ia menjumpai berbagai perdebatan orang tentang kebenaran. Kebiasaannya menyewa toko buku, masih ia teruskan hingga kini, di Baghdad, di pusat Ibukota Pengetahuan Dunia.

5
Ia ingin menulis segala sesuatu; dalam pencariannya kepada bangunan kebenaran dunia. Ensiklopedi "Al-Hayawan", sebuah saduran, kritik, dan bantahan kepada Aristoteles ditulisnya.

Ia ditasbih, hingga seribu tahun usianya hari ini, sebagai " Bapak Teori Evolusi Makhluk Hidup." hewan-hewan, katanya, "harus berjuang untuk bertahan hidup"

6
"Mein Kampf", agaknya inilah judulnya dalam Bahasa Jerman. " Perjuanganku". 

Kita tak pernah tahu, adakah Adolf Hitler membaca buku hasil menginapnya anak penjual ikan kita ini di toko buku semalaman. "The Origin of Species," itulah judulnya dalam bahasa lain.

Saat Darwin menemukan, memang benarlah hewan-hewan yang mirip adalah satu keluarga.

7
Tetapi bukan itu keperluan kita. Ilmu Biologi telah berkembang. Mari kita meninjau sejenak hasil pencariannya kepada hakikat angin:

"Suara," katanya, "adalah benda yang bergetar di udara. Udara itu mengantarkan suara ke telinga manusia. Sedangkan manusia terus berbicara tentang hidup mereka sepanjang hari. Bagaimana bila suara-suara ini tetap tinggal di udara?"

8
"Jika suara-suara ini tetap di udara sebagaimana kertas, dunia ini akan sesak dengan segala keresahan dan kesakitan kita."

"Sang Pencipta, yang Mahamengetahui, telah menjadikan udara sebagai lembaran kertas yang rahasia. Udara menyampaikan kata-kata kita seperlunya. Kemudian," katanya:

"Kata-kata itu terhapus oleh angin, dan udara bersih kembali. Tanpa perlu bersusah payah, angin, dengan setia, terus mengantarkan segala sesuatu yang kita bebankan padanya."

10
Syahdan, legenda tentang "anak penjual ikan berkulit hitam yang ahli filsafat" ini sampai ke gerbang Istana Khalifah di Baghdad. Al-Ma'mun, ingin memanggilnya menjadi guru bagi anak-anaknya.

"Tetapi, wahai Amirul Mukminin," kata seorang menteri. "Ia punya gaya belajar yang mengerikan."

"Tak apa," kata Khalifah.  "Biarkan ia bertemu anakku dulu."

11
Tetapi pagi itu, sang pangeran menghadap ayahnya. "Aku takut, Ayah!" katanya.

"Cara belajarnya benar-benar mengerikan! Ia memintaku membaca buku sejak petang hingga fajar tanpa istirahat!"

Ya. Cara membaca anak penjual ikan ini tidaklah tertandingi di zamannya. Akhirnya, Khalifah hanya memintanya menulis berbagai buku, untuk disebar ke penjuru negeri.

12
Dari Baghdad, lima puluh tahun setelah ia menghabiskan segala buku yang pernah ditulis oleh umat manusia, matanya mengkhianati dirinya sendiri.

Ia lumpuh. Kehidupan malamnya bersama buku-buku harus ditebus dengan tubuhnya sendiri. Ia, dengan ditandu, kemudian menyepi. Ia menyembunyikan dirinya, pulang ke kotanya yang lama. Ke tempat kanal-kanal membelah, dan aroma ikan-ikan di pasar pinggir kanal itu mengantarnya pada masa kecilnya dulu:

Saat cinta, ia tafsirkan sebagai menyewa toko buku.

13
Hari itu, di rumahnya, ia menata kembali buku-bukunya. Di lemari. Tinggi. Limapuluh tahun yang luar biasa di Baghdad. Ia menemukan kebenaran itu dan hendak menuliskannya.

Lalu di atas meja, ia mulai menulis. Tentang segala kebenaran. Tentang segala kebakhilan dunia. Tentang penemuannya kepada kenyataan. Lalu, buku-buku di lemari mulai condong padanya. Mengintip apa yang ditulisnya.

Sambil menggumam; ia melukis kebenaran itu dengan bantuan segala benda-benda yang hadir di ingatannya.

14
Buku-buku yang mengintip tuannya yang sedang menulis itu tak sabar. Mereka berdesakan ingin tahu kebenaran apa yang dituliskan.

Merekapun ambruk. Runtuh; menimpa sang anak penjual ikan itu. Iapun wafat seketika. Bersama buku-buku, dengan cara yang barangkali, menjelaskan betapa bukulah yang mencintainya, lebih dari ia mencintai buku.

Abu Utsman Al-Jahizh Al-Mu'tazili. Bapak Teori Evolusi, salah satu tokoh filsafat islam. Itulah nama anak penjual ikan ini!

15
Ia adalah, "pakar dari teori suara. Ia juga adalah 'Bapak Teori Evolusi' yang mencetuskan kekerabatan antar binatang." tulis jurnal-jurnal ilmiah hari ini.

"Ia adalah salah satu tokoh Muktazilah yang berhasil membantah ketidaktahuan orang atheis bahwa Tuhan ada, dengan berbagai penalaran yang tak dapat ditandingi."

16
Memang, ada kelirunya juga Abu Utsman Al-Jahizh ini. Pemikiran Muktazilah jauh menelusup dalam sumsumnya. Akan tetapi, perjuangannya menemukan inti segala kebenaran; itulah inti cerita ini.

Kebersamaanya dengan buku tak dapat dilambangkan kecuali dengan kematiannya, yang berakhir di timbunan buku-buku. Kalau engkau mendengar kisah "ulama yang meninggal tertimpa buku-buku koleksinya yang banyak",

Maka Abu Utsman Al-Jahizhlah orangnya.

Puisi dan Tanda-Tanda

1
Akar dari segala bahasa, adalah tanda. Tanda-tanda itu dapat hadir di mana saja, menyimbolkan apa saja. Tetapi, selain tanda yang dikeluarkan oleh manusia, tak ada tanda yang dikeluarkan untuk berbohong dan sia-sia.

Mendung; adalah tanda atau bahasa langit akan datangnya hujan. Merah senja, adalah tanda malam akan menjelang. Sebuah dahan dipatahkan, lalu berbunyi "krek!" adalah bahasa bahwa ia telah patah.

2
Segala tanda-tanda bunyi, yang kita saksikan di alam, tidak melalui mulut manusia bukanlah tanda bahasa yang sia-sia. Tidak jahat, tidak pula baik menurut sesuatu pihak. Tidak berdusta, tidak pula memaksa.  Segala bunyi bahasa yang kita dengar dari mulut manusia, dapat digunakan oleh nafsunya untuk memanipulasi orang lain.

Puisi sebagai sebuah gejala bahasa manusia, sudah tentu mengandung kotoran itu. Ia mengandung nois, ia mengandung kebohongan, ia mengandung ketidakjujuran. Akan tetapi, dapat juga ia menjadi puisi yang jujur, yang baik, yang alami.

4
Alam tak akan pernah berbohong. Kejujurannya itu mengakibatkan ia menjadi indah. Alam, adalah makhluk Allah yang berbahasa dengan hanya bunyi yang ia perlukan. Tak akan pernah dahan patah berbunyi sebagai raungan gunung meletus. Tak akan mau gemulung ombak bersuara sebagai angin yang menjangkiti rumpun bambu.

Saat kita menulis puisi, kebohongan-kebohongan hiperbola  terus kita tulis atas kesepian yang tak seberapa, atas cinta yang tak indah-indah amat, atau rindu yang sebetulnya biasa saja.

5
Dengan begitu, sahabat, tulislah puisi yang alami. Puisi yang hanya melambangkan bagi sesuatu yang benar-benar diperlukan. Puisi yang tak pernah berbohong.

Tulislah puisi yang akan dibacakan di surga, kelak, saat engkau, penyair, telah memasukinya. Puisi itu, "la yasma'una fiha laghwa wa la kizzaba", tidak ada di surga itu kita akan mendengar perkataan sia-sia dan dusta.

6
Puisi itu, adalah puisi-puisi yang cermat membahasai apa yang perlu dibahasai. Segala perangkat keindahan, pada dasarnya hanyalah jalan pintas untuk memperindah bahasa puisi. Majas, kias, rima, irama. Itu semua hanya alat keindahan.

Tetapi, inti dari segala puisi, inti dari segala bahasa, adalah makna. Apa yang dilambangkannya. Kesepian apa yang dilambangkannya.

7
Barangkali kita terbiasa menulis omong kosong yang kita beri rima agar indah, atau juga kebohongan yang dipatut-patutkan dengan kata-kata arkais.

Itulah fungsi agama pada penyair. Mengembalikan puisinya pada kejernihan bahasa; mengembalikan bahasanya pada semurni-murninya tanda. Tanpa niatan memalsukan. Sebagaimana dahan patah, akan berbunyi sebagaimana dahan patah. Tak akan dahan patah, sampai hati memalsukan bunyinya.

8
Jujurlah. Agar puisi-puisi itu dibaca lagi di surga di hadapan penyairnya. Tempat yang tak akan dikatakan sesuatu, "illa qilan salaman-salama".

Puisi-puisi yang beruluk salam, yang indah. Sebab bila kejujuran itu tak disampaikan dengan indah, ia akan menjadi kejahatan. Bila keadilan dibahasakan tidak dengan bunyi-bunyi yang tepat, ia akan menjelma kezaliman. Itulah, itulah mengapa manusia mengkristalkan bahasa tuturnya menjadi puisi.

Sajak Untuk Milad KAMMI

Selamat Ulang Tahun, Bang

selamat ulang tahun, Bang
Terimakasih telah mengajari aku
apa artinya berkhianat
saat situasi semakin gawat
dan jalan ini memerlukan taubat yang kuat
Lalu apa artinya dikhianati
ketika slogan-slogan berjamaah
adalah festival paling meriah
bagi merancang masa depan umat yang kalah.

Memanglah hak kita
untuk tidak memperdebatkan siapa yang bersalah
apalagi siapa yang kalah. Karena dakwah:
tentang siapa yang paling mahir bertahan
dari sakit hati dan kecewa yang rutin kita dapatkan
serta idealisme yang harus, harus diubah
demi kepentingan panggung dan kesopanan
kitapun, Bang, harus terus berharap
usia kita akan memanjang
seiring ulangtahun musiman yang terus dirayakan

Pembelaan kita kepada teman-teman di jalan, Bang, rupanya
adalah cara terbaik memberikan pesan
bahwa keadaan sedang tak terlalu aman
tetapi kita, bang, kita menyerah
kita takut pada celaan orang, atau
pada orang-orang tua yang terlalu cepat mundur
dari garis depan pencarian kita
terhadap kebenaran

kita menjadi tua, Bang,
menjadi pemuda dengan paras renta
yang lazimnya tak lagi bicara perlawanan; kezaliman, atau
usaha-usaha serius dan melelahkan
untuk menggali keadilan dari kuburnya
tulang belulang berusia duapuluh dua
yang kita bebani dengan cara hidup manusia lanjut usia

Selamat ulang tahun, Bang
ingatan kita tentang rabithah yang mewah
tentu tak bakal membuat kita saling menikam
hanya karena perebutan wewenang
atau tentang siapa yang paling berhak
tampil ke depan. Abang,
bukankah kita telah sepakat, kebatilan
adalah musuh abadi kita. Persaudaraan:
adalah watak muamalah kita?
Selamat, bang. Selamat ulang tahun
dari adikmu, yang selalu engkau sayang.


Milad KAMMI ke-22
2020

Gajah Mada dan Permainan Jenderal

1
suatu hari, berangkatlah armada besar yang gaungkan Sumpah Palapa ke berbagai penjuru. Sang Gajah Mada; Mahapatih Kerajaan Majapahit yang besar, yang agung, yang bhinneka.

Tahun-tahun itu, sang Gajah Mada, dengan matanya yang tajam lebih dari tahu. Bahwa, ikatan perserikatan raja-raja Islam sedang hancur. Serbuan Kekaisaran Mongol benar-benar menghancurkan segalanya.

2
Di pucuk Barat, Kerajaan Samudera Pasai, sedang kebingungan. Kapal-kapal dari Timur Tengah datang dalam kondisi mengenaskan. Bahtera yang biasanya membawa emas, kini membawa kabar bencana.

Di pucuk timur, Kesultanan Jailolo juga sedang menanti, kabar apa yang digiring angin barat kepada bukit-bukit. Gajah Mada tahu itu. Ia pastikan, dua tembok yang selama ini menjepit Majapahit, bisa dijebol habis.

3
Tetapi; di dalam istana, cukup banyak jenderal-jenderal dan keluarga kerajaan yang memicingkan mata. Sang Mahapatih, apakah wewenangnya sejauh itu?

Semuanya berbisik kepada Raja. Hayam Wuruk namanya. "Percayalah pada Gajah Mada," katanya. "Orang itu sangat kuat. Sangat sangat kuat."

Bisikan-bisikan dalam istana cuma dianggap iri dan ingin cari jabatan. Atau, "itu sisa-sisa pengikut pemberontak," kata Gajah Mada.

4
Lalu, berangkatlah kapal-kapal itu dari pelabuhan militer. Menuju berbagai pulau. Apakah kapal-kapal itu benar-benar sampai atau tidak, itu tak penting. 

Diutuslah para empu, menyusun sajak-sajak dan pentas bagi mengagungkan sang Raja. Sementara, raja-raja muslim yang mendengar kedatangan kapal-kapal itu, tersenyum geli.

"Ya Allah," kata mereka. "Hayam Wuruk itu benar-benar dikibuli sang jenderal besar."

5
Sebab, tampaknya, semua orang selain Hayam Wuruk tahu: Saifuddin Qathiz, hanya setahun sebelum pasukan Sumpah Palapa itu berlayar, telah menghancurkan armada tempur Mongol di Ain Jalut. Umat Islam mendapatkan perisainya lagi, sekali lagi.

Tapi, raja-raja muslim itu tampaknya tahu apa yang terjadi di Istana Timur Majapahit. Sang Jenderal Besarlah, yang mengendalikan istana. Batalion khusus pengawal raja dan detasemen anti teror "Bhayangkara" telah menaikkan nama sang Gajah Mada, hingga Raja kehilangan kecerdikan untuk mengatur negara.

6
Mengenai kapal-kapal yang berlabuh di Jailolo atau Pasai, itu cerita lain. Tapi di Pulau Jawa, bagi rakyat Majapahit, kabar-kabar keberhasilan perang terus beredar dari para empu, tanpa perang yang sesungguhnya terjadi.

Rakyat hanya mendengar: "satu persatu wilayah Nuswantara telah berhasil tunduk kepada Majapahit!"

Di Trowulan, kini, Ibukota yang jauh dari pelabuhan itu, banjir besar terus terjadi. Penduduk Ibukota gelisah. "Mana harta dari keberhasilan Patih Gajah Mada menaklukkan Nuswantara?"

7
Dan istana, istana, mulai goncang. Para menteri dan gubernur sering diralat pernyataannya oleh Gajah Mada. Barangkali, karena tak sesuai dengan "fakta kemenangan armada Sumpah Palapa"

Aturan-aturan yang memusatkan segala kegiatan politik di tangan Raja, tepatnya di tangan sang Mahapatih, dibuat untuk "memudahkan pembangunan negara" serta "masuknya harta dari para pedagang-pedagang Islam"

8
 Mengapa? Sebab raja-raja muslim di pintu timur dan barat Nusantara yang tersenyum geli tadi, akhirnya memberikan surat kepada para panglima Armada. "Pulanglah. Kami menitip pedagang-pedagang kami."

"Pedagang kami akan datang dari Champa, India, Farisi, Yaman, Syam, Afrika, dan Andalusia. Jaringan bisnis Kekhalifahan kami akan datang mendanai pelabuhan-pelabuhan baru di negaramu!"

9
Mengapa? Sebab raja-raja muslim di pintu timur dan barat Nusantara yang tersenyum geli tadi, akhirnya memberikan surat kepada para panglima Armada. "Pulanglah. Kami menitip pedagang-pedagang kami."

"Pedagang kami akan datang dari Champa, India, Farisi, Yaman, Syam, Afrika, dan Andalusia. Jaringan bisnis Kekhalifahan kami akan datang mendanai pelabuhan-pelabuhan baru di negaramu!"

10
Dari "sumpah palapa" tadi, investor-investor muslim datang atas nama "pedagang dari gujarat". Mereka datang membawa zaman baru ekonomi dan investasi. Pelabuhan-pelabuhan baru dikejar pembuatannya.

Sang Gajah Mada, terpaksa mengendalikan istana demi "kelancaran pembangunan negara". Dia, yang seorang prajurit militer tanpa kans atau kendaraan politik untuk jadi raja, sesungguhnya telah memenangkan takhta!

11
Jadi kalau hari ini, di atas runtuhan kerajaan  Majapahit, di tanah yang sama, ada seorang jenderal besar, mengepalai sebuah proposal raksasa investasi dan militer untuk "membangun Nusantara",

Kita tidaklah perlu heran. Terutama bila sang jenderal lebih kuat daripada Raja Hayam Wuruk. Dan tak perlu ikut tersenyum geli, bila raja-raja Negeri Tetangga sering dibuat tersenyum pula dengan apa yang terjadi di dalam istana.

12
Bila Mahapatih Gajah Mada sukses dengan Detasemen Khusus Bhayangkara dan menangkal aksi terorisme Ra Kuti, maka jenderal kita mendirikan Detasemen 81, sebagai perintis segala pencegahan terorisme.

Sementara para empu terus menceritakan betapa hebatnya negara membangun; di saat yang sama pembangunan itu tidak menghidupi rakyatnya. Nanti kita akan tahu, kerajaan itu akan berakhir dengan Perang Paregreg. Perang saudara, bagi menyebut "siapa yang paling Majapahit" di antara dua saudara.

13
Sebab sang jenderal tak sadar.

Apa yang dilakukannya, akan menghancurkan negara, perlahan-lahan, hingga muncul lagi cara baru bernegara. Demak; yang istananya ada di sebalik mimbar masjid, yang lautan dijadikan sahabat bagi rakyatnya.

14
Barangkali hari ini, Hayam Wuruk boleh saja selalu mendapat laporan: "aman baginda," setiap ia bertanya.

Tapi rakyat, rakyat tak bisa dibohongi. Mereka mulai tahu permainan Gajah Mada dan mulai hidup tanpa negara. Letusan Semeru, Bromo, Merapi, atau juga pageblug besar yang melanda Majapahit, tidak diurus dengan baik.

Rakyat, tak lagi meminta apapun kepada Hayam Wuruk atau Gajah Mada. Ya, jenderal, rakyat telah sadar permainan itu.

Yusuf Qardhawi dan Dauroh

Suatu hari, Syaikh Yusuf Qardhawi, dalam sebuah catatan keberangkatan daurohnya mengenang saat-saat jamaahnya dibangun.

Ia pergi ke sebuah dauroh di tempat yang jauhnya begitu entah. Biasanya, pihak markas daerah akan memberinya bekal. Tetapi kali ini, tidak. Uang di sakunya, hanya cukup untuk biaya berangkat.

Saat itu, Syaikh Qardhawi muda, yang berusia 20-an tahun, mengira markas daerah yang mengundangnya akan membiayai. Iapun berangkat. Dengan semangat sederhana. Dengan cita-cita yang masih sederhana. Yang tak dikotori hasrat jabat-menjabat, negosiasi biaya politik, apalagi mencari panggung dan lain sebagainya.

Sesampainya di lokasi dauroh, seperti biasa, ia memandu Ikhwah di sana. Ia memandu pembinaan ruhani maupun intelektual. Dan, hari itu, saatnya ia pulang.

Syaikh muda itupun berangkat ke stasiun dengan diantar oleh Ikhwah di sana. Markas daerah itu belum juga memberi bekal pulang. Sementara, uang yang dimiliki syaikh telah habis untuk berangkat dan makan selama perjalanan.

Ternyata, sesampainya di stasiun, sang Syaikh ditinggal. Tanpa dibekali. "Aku tak pernah mengharapkan dibekali atau dibayar," kenang Syaikh berpuluh tahun kemudian.

"Akan tetapi saat itu, aku sangat berharap bisa pulang."

Akhirnya, sang syaikh, pura-pura menetap di stasiun sampai pengantar pergi. Syaikh, mulai berjalan melangkah. Berjalan kaki. Dalam kisahnya itu, saya lupa apakah tertulis 12 mil atau 12 KM. Tetapi, beliau benar-benar berjalan kaki.

"Aku tak melapor ke markas daerah asalku. Akupun tak enak meminta kepada akh pengantar itu." katanya. "Aku malu bila memberatkan orang lain saat berdakwah."

Bahwa, keikhlasan sang syaikh hari itu, yang barangkali membuat nama beliau sampai ke negeri ini. Yang membuat nasihat-nasihat dan buku beliau disampaikan Allah ke tangan kita, puluhan tahun setelah dauroh itu.

Begitulah. Instruktur, saat diminta berangkat, berangkatlah. Alamatkanlah perjalanan pergi dan pulangmu hanya kepada Allah.

Kisah Syaikh Qardhawi ini saya temukan dalam memoarnya. "Kenang-kenanganku Bersama Ikhwanul Muslimin."

Tetapi, sebagaimana itu. Beliau merasa terundang oleh panggilan Allah ke tempat-tempat itu. Tempat umat sedang penuh harap untuk memperbaiki dirinya.

Instruktur dan Al-Qur'an

Memang, kita ini, instuktur, senang menumpuk-numpuk amanah. Kita mengira sedang berdakwah. Padahal kita hanya melarikan diri dari masalah rumah, dari masalah pertemanan, dan dari kesepian kita yang tidak seberapa.

Suatu hari kita akan dipaksa menyadari bahwa ada amanah-amanah yang tidak produktif. Yang, meskipun disebut sebagai amanah dakwah, tapi malah menjauhkan lisan kita dari menyebut nama Allah, dan dari Al-Qur'an.

*

Instruktur. Kapan terakhir kali kita berkumpul bukan untuk mendaftar aib barisan, bukan untuk mencela kegagalan kerja:


Tetapi untuk hanya sekadar membaca Al-Qur'an bersama-sama, saling memastikan hafalan, dan mematutkan lafazh-lafazh agar tepat pada tempatny. Kapan terakhir kali kita membicarakan Al-Qur'an, sehingga sepulang agenda dakwah itu, bertambahlan Al-Qur'an dalam dada kita?


*
Instruktur adalah parameter keimanan dalam gerakan ini. Melalui dauroh, para peserta akan memahami bagaimana kultur dan cara pandang gerakan kepada Al-Qur'an dan ibadah.


Akan tetapi, barangkali hati kita memang telah terlalu membatu untuk sekadar mendengarkan pembacaan ayat-ayat itu ketika syuro, atau juga menuntaskan murojaah dan tilawah barang setengah juz sehari. Kita menerjemahkan dauroh sebagai medan pamer bacaan dan kutipan ucapan tokoh yang tidak pernah temui, sampai subuh menjelang.


*
Instruktur. Sampai ketemu di dauroh terdekat. Di tempat itu, kita saling bertukar hafalan, saling menyimak bacaan.

Kita harus menjadikan pertemuan kita adalah tempat hafalan-hafalan ditambah, dan diluruskan. Jadilah seseorang, yang bila peserta melihatnya saja, mereka akan mematut-matutkan diri mereka.

Orang, yang bila kita melihatnya, kita tidak segan melepaskan telepon genggam dan menggantinya dengan Al-Qur'an. Yang orang akan merasa mubazir bila bicara selain Al-Qur'an kepada dirinya.


Jazak

Mental Set Seorang Instruktur (2)

Untuk Instruktur Kalimantan Selatan


Assalamu alaikum, instruktur. Malam ini saya akan sampaikan seputar mental set. Hal-hal yang berkaitan dengan loyalitas kita kepada gerakan ini.


Sebelum itu, mari berpikir. Apa itu dauroh? Mengapa kita harus mengajak orang berangkat dauroh? Mengapa orang tak hendak berangkat dauroh?



Mengapa di KAMMI menggunakan sistem dauroh?


Mengapa orang berbondong-bondong masuk ke dalam jamaah ini, lalu mengapa pula ada sekelompok orang keluar dari kammi?


Instruktur. Saat antum mengasesmen pada momen ekspektasi kelas; ada hal penting yang ditulis sebagai harapan semua orang, pada DM 1. Harapan itu adalah:

"Ana ingin mengenal islam, ana ingin berjuang untuk islam, ana ingin bergerak di barisan islam."

Maka, orang-orang itu dengan penuh harap, mencoba menyerap apa yang ditawarkan oleh imat pada saat dauroh. Mereka mencoba membandingkan antara gaya penyampaian, susunan acara, gerak gerik panitia. Semua akan berujung pada satu kesimpulan akhir:


Apakah saya akan bergabung ke dalam kammi?


*
Lalu, ada sebagian dari mereka, jawabannya adalah Ya. Mereka menganggap, kammi menjawab kebutuhan mereka tentang islam.


Mereka percaya bahwa kammi mampu menjaga amalan ibadah mereka. Mereka percaya bahwa kammi mampu menjaga salat mereka. Puasa mereka. Bacaan Al-Qur'an mereka. Dan lain sebagainya.



Lantas; dauroh demi dauroh diadakan, dan merekapun lebih intens lagi berinteraksi dengan instruktur sebagai sumber ilmu primer dalam dauroh.

Mereka, memahami kammi dari dauroh. Di antara mereka, ada yang memandang dauroh sebagai masjid. Satu-satunya tempat mereka salat berjamaah tanpa terlambat.


Ada di antara mereka yang memandang dauroh sebagai tempat mabit: tempat mereka salat qiyamul lail sambil meneteskan air mata.

Instruktur sekalian. Demi menjawab kebutuhan orang atas dauroh semacam itu; dibuatlah Manhaj Pengaderan. Dibuatlah serangkaian Indeks Jatidiri Kader (IJDK). Dibuatlah berbagai macam standar dauroh:

Bahwa dauroh adalah soal hijab yang dijaga. Bahwa dauroh adalah soal hapalan wajib yang mesti disetor. Bahwa seakan-akan engkau memasuki tempat dauroh sebagaimana memasuki masjid. Kau buka alas kakimu. Kau buka jaketmu yang terlalu mencolok.

Kau tahan tertawamu yang tak perlu. Kau tahan urusan sindir menyindir. Kau tahan dendammu kepada para pengurus lain. Sebab engkau sedang memasuki sebuah tempat ibadah. Ya, sebuah tempat ibadah, bernama dauroh!


Demi memastikan dauroh sebagai tempat datangnya ampunan Allah dan berkah itulah; korps ini dibuat. Demi menjaga agar nama Allahlah yang disebut dalam dauroh, maka dibuat khusus sebuah dauroh mencetak instruktur. TFI namanya.


Itu sebabnya, untuk datang TFI, haruslah seorang itu AB 2. Bukan, bukan masalah pencapaian bacaan yang setinggi langit; pergerakan yang progresif, atau soal buku-buku tebal yang mampu ia habiskan dalam sepekan.

Tapi soal kualitas akidah dan keimanan yang memang, dibatasi oleh standar AB 2. Bahwa dia harus punya hapalan sekian. Bahwa dia harus paham fikih salat. Bahwa dia harus paham fikih muamalah sehari-hari.


Bahwa dia harus paham fikih prioritas. Dia harus hafal dua juz Al-Qur'an. Dia harus pula punya kebiasaan qiyamul-lail.


Bila tidak; bila IJDK instruktur saja tak terkontrol, maka jangan harap di dalam dauroh ampunan akan turun dan berkah akan datang.


*

Akhi, ukhti sekalian instruktur Kalimantan Selatan.


Ana pernah datang ke sebuah dauroh. Jauh di pelosok kota. Dua hari perjalanan dari Jakarta. Sesampainya di sana, ternyata para pemateri akhirnya membatalkan kedatangan. Walhasil, saya mengisi sebagian besar materi selama empat hari.

Di sana; termasuk ketua KAMMDA, pengurus daerah hanya empat orang dan semuanya akhwat. Kuat. Hebat.


Mereka menyelenggarakan semuanya: cari penginapan, cari pemateri, hingga merangkap semua perangkat. Tak ada satupun keluhan di sana. Tak ada sedikitpun kejengahan kepada mereka yang tak hadir.


Tapi bukan itu yang mau saya ceritakan. Di hari kedua dauroh, sekretariat yang mereka pinjam dari seorang ustadz, ternyata terjual. Sang Ustadz memang menjualnya. Akan tetapi, pembelinya memaksa untuk mengisi rumah di malam itu.


Apa yang terjadi? Mereka berempat mengosongkan sekretariat. Tanpa mengeluh. Mereka meninggalkan lokasi dauroh; dan "mengungsikan" barang-barang kammda ke rumah kos mereka masing-masing.

Saya akhirnya menghandle hari kedua hingga usai dauroh. Tapi saya bahagia. Mereka tak sama sekali mengeluh tentang kejadian itu.


*
Akhi, ukhti, instruktur sekalian. Ini semua soal bagaimana kita mendengar panggilan dakwah itu.


Saat semua orang memilih pergi, ternyata antum dipilih oleh Allah untuk beringan kaki dan datang ke dauroh.


Saat semua orang ditahan Allah bahkan untuk menjawab panggilan dauroh; antum dipilih oleh Allah untuk menjadi instruktur.



Berbahagialah. Dan syukuri saja, dengan memastikan bahwa di dalam daurih:

Ibadah masih terjaga. Nama Allah masih disebut, dan ukhuwwah masihlah utuh.


Tak perlu menyindir mereka yang tak menjawab. Tak perlu membatin mereka yang tak datang.


sebab, pahala dauroh ini memang hadiah khusus untuk mereka yang datang.

Mental Set Seorang Instruktur

Kesepian; adalah konsekuensi logis atas segala pernyataan sikap dan pilihan jalan ini.

Saat semua orang meragukan islam dan Allah, kita terus menyerukan tauhid itu. Saat semua orang menahan kita, kita memutuskan untuk tetap bergerak.

Kita tak pernah diperintahkan untuk menang. Kita cuma diminta tetap bertahan, dan menunggu pertolongan Allah, berupa masuknya hidayah dalam hati mereka, atau hancurnya kesombongan itu bersama kematian.

*

Instruktur. Suatu hari, kalau kita membayangkan, berapa lama kita harus bertahan di jalan ini?

Suatu hari, seorang Nabi, diutus pada sebuah kota. Ia tak akan menyangka akan berapa lamakah dakwah ini bergulir dengan bertopang di punggungnya.

Dengan diskusi, ia gagal yakinkan orang. Dengan debat, ia malah mendapat pengusiran.

Forum siang ia adakan. Pertemuan malam tak kurang dia layani. Tetapi, bila kita menghitung, adakah setahun, dua tahun, atau tiga tahun sang Nabi bertahan?


Pengaderan sangat sulit. Penduduk kota itu menahan anak-anaknya agar tak mendekat kepada sang Nabi. Hanya satu orang setiap sepuluh tahun, yang dapat ia tarik menjadi kader.


Dan instruktur, tahukah kita, berapa lama sang Nabi bertahan?


850 tahun. Ya. Ia berdakwah tanpa catatan megah tentang mukjizat apa yang dijatuhkan Allah lewat tangannya.

Ia tak mempertontonkan laut dan bulan yang terbelah. Ia tak punya tongkat yang menjelma ular. Ia juga tak dapat mengubah patung menjadi merpati. Atas izin Allah.


Ia hanya punya akal dan lisannya. Ia hanya punya kesabaran dan kesungguhan. Dan mari saksikan, nabi ini, Nuh 'Alaihissalam, selama 850 tahun hanya mampu mengader 85 orang saja.

*

Instruktur. Kadang-kadang, kita menjadi orang yang tidak sabar. Kita lebih senang dengan kerja-kerja administrasi yang pura-pura terukur, tapi mengabaikan tahapan-tahapan dakwah.


Kita lebih senang menyebar poster lewat media sosial daripada mengajak orang bicara tentang gerakan ini, walau sebentar saja.

Kita, sebagai instruktur, merasa telah berdakwah karena menyebar broadcast yang sama sekali tidak informatif. Kita merasa telah berdakwah tanpa sedikitpun pernah mengajak orang secara langsung ikut dalam barisan ini.


Kita merasa telah sangat sabar hanya karena dalam sebuah musim dauroh kita telah memaafkan orang, lalu menolak terlibat lagi di dauroh selanjutnya.


Kita lebih senang menulis self reminder sebagai sindiran, dan self talk untuk memaki-maki orang lain.

Lalu dengan bangganya, itu semua kita sebut dakwah.


*
Segala hal tentang dakwah, tentang berinstruktur selalu bermula pada satu hal. Kesabaran; untuk tidak mengutamakan data kegagalan daripada data keberhasilan.


Kesabaran, untuk tetap berdakwah meskipun teman berubah jadi musuh, dan lebih banyak tumit yang berbalik daripada tumit yang bertahan.


Instruktur sekalian, Korps Instruktur diciptakan untuk menjaga poros itu. Saat elemen-elemen lain di gerakan ini tercemari interaksinya sendiri dengan politik, dengan uang, atau dengan ideologi gerakan lain yang merongrong:

Instruktur hadir untuk menjaga itu semua. Ia adalah tulang yang menjaga tubuh tetap pada tempatnya. Ia adalah sungai yang menjaga hutan tetap pada hijaunya.

Ia harus lebih kuat dariapada kader lain dalam barisan ini: saat kader lain menjadi peserta, ia ada di tempat pembicara. Saat kader lain ada di tempat pembicara, ia ada di tempat perancang acara.

*

Lalu kenapa kualitas instruktur seakan-akan hilang? Tak lain karena ulah kita sendiri.


Kita tak tahu untuk apa materi syahadatain sebagai titik tolak perubahan diajarkan. Kita hanya tahu bahwa materi ini tentang makna syahadatain.

Kita menolak membaca buku. Kita mencukupkan diri pada ceramah-ceramah orang yang entah memahami KAMMI atau tidak.


Kita menolak membaca buku-buku yang jadi inti cara pandang KAMMI; dan mencukupkan diri pada tulisan-tulisan entah siapa di media sosial.


Kita lebih suka berdebat. Alih-alih umat Nabi Muhammad, kita tampak seperti Bani Israil yang membuat Nabinya mengatakan:

"aku berlindung dari orang-orang bodoh."


*

Instruktur sekalian. Dauroh adalah gerbang. Kader akan memahami KAMMI dalam bertahun-tahun kedepan berdasarkan memorinya selama dauroh berlangsung.

Jadilah instruktur yang memenuhi semua IJDK AB 2. Dalam perkara Aqidah:


Instruktur harus paham konsekuensi aqidah. Dia harus berlepas diri dari musuh-musuh islam. Dia tak lagi menjadi seorang yang belum tuntas berpikir lalu menyajikan kebelum-tuntasannya itu di hadapan dauroh dan mengemasnya atas nama "progresifitas".


Dia tak boleh pesimis bahwa islam pasti menang. Dia harus percaya dan yakin. Meskipun ia kalah, meskipun gerakan ini hancur, tapi itu tak sama dengan hancur dan kalahnya agama ini.


Di bidang fikrah dan pemikiran; dia harus tahu perbedaan antar gerakan dalam islam. Dia tak boleh menyampaikan sekadar mitos dan dongeng tentang gerakan lain.

Antum adalah instruktur. Pahami apa itu Salafiyah, apa itu Jamaah Tabligh, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Naqsyabandiyah, Nahdlatul Wathan, dan lain sebagainya.


Dia harus mengetahui sejarah, dan memahami senarai urutan pemikiran Ikhwanul Muslimin agar tak jadi orang norak yang bermasabodoh dengan fenomena gerakan; atau orang bodoh yang terpesona ulasan orang mengenai Ikhwanul Muslimin.


Dari Biografi Hasan Al-Banna, ia beranjak pada inti ajaran beliau pada bab Risalah Ta'lim: Arkanul Baiah, Ushul Isyrin, dan muwashafat.


Ia juga memahami karakter gerakan Ikhwan, bukan dari komentar orang tapi dari studi mendalam atas kitab Ma'alim fi Thariq Sayyid Quthb, Fiqh Daulah Yusuf Qardhawi, dan lain sebagainya.


Ini semua tentang proses agar keilmuan tetap terjamin. Peserta dauroh harus menjumpai instruktur daurohnya sebagai orang hebat, uswah hasanah, payung yang melindungi dari teriknya zaman.

*
Instruktur sekalian. Mental mencela, menyalahkan senior, atau mengeluhkan junior yang sedikit itu tak boleh ada lagi dalam barisan ini.


Senior biarlah berlalu. Itu urusan mereka dengan Allah. Kita diberi sepenuhnya waktu ini dan dimensi ini oleh Allah. Pikiran kita sendirilah yang membatasinya.

Syukurilah mereka yang dikirim oleh Allah untuk bergabung kepada dauroh kita, meskipun satu orangpun. Barangkali di atas sana, Allah menilai kita memang hanya mampu mengader satu orang itu.

Barangkali Allah memang meminta kita selesaikan dulu kemarahan-kemarahan internal dan keluhan-keluhan kita pada rekan kita sendiri sebelum mengajak orang bergabung.


Syukurilah bila kader yang dikirim Allah saat dauroh adalah mereka yang kosong, siap diisi apapun yang kita berikan. Syukurilah bahwa mereka hijrah karena gerakan ini; menggunakan jilbab karena gerakan ini, atau memutuskan pacar mereka karena gerakan ini.


Mohonkan ampunan bagi instruktur yang justru karena aktivitas mereka di barisan ini malah terjebak pada pintu-pintu zina; atau tenggelam pada asap rokok dan pikiran jahat ideologi selain islam.


Allah mungkin menahan orang berangkat dauroh dan bertemu dengan kita karena perkara hal-hal haram yang justru dilakukan oleh kita, si instruktur itu sendiri.