Senin, 16 April 2012

Memilih Diantara Dua Kepentingan

Minggu, 15 April 2012 12:00

Kaedah selanjutnya dalam kaedah fikih yang bisa diingat adalah mengenai pertimbangan maslahat. Jika kita bisa melakukan banyak kebaikan dalam satu waktu, maka alhamdulillah. Namun terkadang, kita mesti menimbang-nimbang kebaikan mana yang mesti kita lakukan karena mengingat tidak semuanya dilakukan bersamaan. Ketika bertabrakan antara melakukan shalat sunnah dan tholabul ilmi (menuntut ilmu agama), manakah yang mesti dipilih. Inilah yang akan kita bahas.

Syaikh As Sa'di mengatakan dalam bait syairnya,

فإن تزاحم عدد المصالح

يقدم الأعلى من المصالح

Apabila bertabrakan beberapa maslahat

Maslahat yang lebih utama itulah yang lebih didahulukan



Kaedah ini banyak tidak diperhatikan oleh kebanyakan orang. Ketika ada dua maslahat bisa dilakukan berbarengan, maka syukur Alhamdulillah. Namun suatu saat ada dua maslahat bertabrakan dalam satu waktu, maka kita bisa memilih manakah yang lebih manfaat.

Pengertian Kaedah

Yang dimaksud dengan kaedah di atas adalah jika seorang hamba tidak mungkin melakukan salah satu dari dua maslahat kecuali dengan meninggalkan maslahat yag lain, maka apa yang mesti ia lakukan saat itu? Kaedah di atas menunjukkan bahwa dalam kondisi seperti itu hendaklah kita pilih manakah yang lebih manfaat. Walau nantinya akan meninggalkan maslahat yang lebih ringan.

Dalil Pendukung

Dalil-dalil yang mendukung kaedah di atas adalah firman Allah Ta’ala,

وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ

“Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabbmu” (QS. Az Zumar: 55).

فَبَشِّرْ عِبَادِ , الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ

“Sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal” (QS. Az Zumar: 17-18). Ayat-ayat ini menunjukkan untuk mengikuti yang “ahsan”, artinya yang lebih baik atau yang lebih banyak maslahatnya.

Penerapan Kaedah

Dalam masalah amalan demikian adanya. Ada amalan yang lebih utama dari yang lain. Di sini kami akan beri contoh beberapa penerapan kaedah di atas:

1. Maslahat untuk orang banyak lebih diutamakan daripada maslahat untuk diri sendiri. Menuntut ilmu agama akan bermanfaat untuk orang banyak. Oleh karenanya, menuntut ilmu jika bertabrakan dengan shalat sunnah, maka menuntut ilmu lebih didahulukan. Karena manfaat shalat sunnah akan kembali pada diri sendiri beda halnya dengan menuntut ilmu.

2. Shalat wajib lebih utama dari shalat sunnah. Oleh karenanya, jika shalat wajib telah ditegakkan, maka shalat tersebut lebih didahulukan dari shalat tahiyatul masjid, shalat sunnah rawatib dan shalat sunnah lainnya.

3. Maslahat yang sifatnya khusus karena bertepatan dengan kondisi tertentu lebih diutamakan dari maslahat yang sifatnya umumu. Contoh, membaca Al Qur’an itu baik secara umum dan amalan ini adalah sebaik-baik dzikir. Namun setelah shalat yang dianjurkan adalah berdzikir, bukan membaca Al Qur’an. Begitu pula ketika pagi-petang, yang lebih diutamakan membaca dzikir pagi-petang jika dzikir tersebut belum ditunaikan.

4. Maslahat yang berkaitan dengan zat ibadah lebih didahulukan dari mashalat yang berkaitan dengan waktu dan tempat. Contoh dalam ibadah thowaf. Dianjurkan ketika thowaf saat tiga putaran pertama untuk melakukan roml (berjalan cepat). Ini adalah maslahat dalam zat ibadah thowaf. Ketika itu juga dianjurkan untuk lebih dekat Ka’bah. Ini anjuran yang berkaitan dengan tempat. Jika saat itu tidak bisa melakukan roml di dekat Ka’bah karena kondisi yang penuh sesak dan hanya bisa dilakukan jauh dari Ka’bah, maka lebih utama tetap melakukan roml meskipun jauh dari Ka’bah. Alasannya, maslahat yang berkaitan dengan zat yaitu roml, lebih didahulukan dari maslahat yang berkaitan dengan tempat, yaitu dekat dengan Ka’bah.

Kaedah ini bisa jadi pertimbangan untuk permasalahan fikih lainnya. Alhamdulillah, dengan memahami kaedah ini kita dapat beramal atau mengambil hukum dengan tepat. Kita berharap agar kebaikan yang ada bisa dilakukan berbarengan. Karena semakin banyak kebaikan yang dilakukan, itulah yang lebih baik. Namun jika tidak memungkinkan melakukan semuanya, maka jangan tinggalkan sebagian. Lakukanlah mana yang lebih maslahat.

Wabillahit taufiq.



@ KSU, Riyadh, KSA, 23 Jumadal Ula 1433 H

www.rumaysho.com



Referensi:

Al Qowa’idul Fiqhiyah, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Darul Haromain, tahun 1420 H.

Syarh Al Manzhumatus Sa’diyah fil Qowa’id Al Fiqhiyyah, Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir bin ‘Abdul ‘Aziz Asy Syatsri, terbitan Dar Kanuz Isybiliya, cetakan kedua, 1426 H

Fatwa Para Ulama Salaf Tentang Syi'ah

IMAM MALIK
االامام مالك

روى الخلال عن ابى بكر المروزى قال : سمعت أبا عبد الله يقول :

قال مالك : الذى يشتم اصحاب النبى صلى الله عليه وسلم

ليس لهم اسم او قال نصيب فى الاسلام.

( الخلال / السن: ۲،٥٥٧ )

Al Khalal meriwayatkan dari Abu Bakar Al Marwazi, katanya : Saya mendengar Abu Abdulloh berkata, bahwa Imam Malik berkata : “Orang yang mencela sahabat-sahabat Nabi, maka ia tidak termasuk dalam golongan Islam”
.
( Al Khalal / As Sunnah, 2-557 )

Begitu pula Ibnu Katsir berkata, dalam kaitannya dengan firman Allah surat Al Fath ayat 29, yang artinya :
“ Muhammad itu adalah Rasul (utusan Allah). Orang-orang yang bersama dengan dia (Mukminin) sangat keras terhadap orang-orang kafir, berkasih sayang sesama mereka, engkau lihat mereka itu rukuk, sujud serta mengharapkan kurnia daripada Allah dan keridhaanNya. Tanda mereka itu adalah di muka mereka, karena bekas sujud. Itulah contoh (sifat) mereka dalam Taurat. Dan contoh mereka dalam Injil, ialah seperti tanaman yang mengeluarkan anaknya (yang kecil lemah), lalu bertambah kuat dan bertambah besar, lalu tegak lurus dengan batangnya, sehingga ia menakjubkan orang-orang yang menanamnya. (Begitu pula orang-orang Islam, pada mula-mulanya sedikit serta lemah, kemudian bertambah banyak dan kuat), supaya Allah memarahkan orang-orang kafir sebab mereka. Allah telah menjanjikan ampunan dan pahala yang besar untuk orang-orang yang beriman dan beramal salih diantara mereka”.
Beliau berkata : Dari ayat ini, dalam satu riwayat dari Imam Malik, beliau mengambil kesimpulan bahwa golongan Rofidhoh (Syiah), yaitu orang-orang yang membenci para sahabat Nabi SAW, adalah Kafir.
Beliau berkata : “Karena mereka ini membenci para sahabat, maka dia adalah Kafir berdasarkan ayat ini”. Pendapat tersebut disepakati oleh sejumlah Ulama.

(Tafsir Ibin Katsir, 4-219)

Imam Al Qurthubi berkata : “Sesungguhnya ucapan Imam Malik itu benar dan penafsirannya juga benar, siapapun yang menghina seorang sahabat atau mencela periwayatannya, maka ia telah menentang Allah, Tuhan seru sekalian alam dan membatalkan syariat kaum Muslimin”.

(Tafsir Al Qurthubi, 16-297).

IMAM AHMAD
الامام احمد ابن حمبل
:
روى الخلال عن ابى بكر المروزى قال : سألت ابا عبد الله عمن يشتم

أبا بكر وعمر وعائشة ؟  قال: ماأراه على الاسلام
.
( الخلال / السنة : ۲، ٥٥٧)

Al Khalal meriwayatkan dari Abu Bakar Al Marwazi, ia berkata : “Saya bertanya kepada Abu Abdullah tentang orang yang mencela Abu Bakar, Umar dan Aisyah? Jawabnya, saya berpendapat bahwa dia bukan orang Islam”.

( Al Khalal / As Sunnah, 2-557).

Beliau Al Khalal juga berkata : Abdul Malik bin Abdul Hamid menceritakan kepadaku, katanya: “Saya mendengar Abu Abdullah berkata : “Barangsiapa mencela sahabat Nabi, maka kami khawatir dia keluar dari Islam, tanpa disadari”.

(Al Khalal / As Sunnah, 2-558).

Beliau Al Khalal juga berkata :
وقال الخلال: أخبرنا عبد الله بن احمد بن حمبل قال : سألت أبى عن رجل شتم رجلا
من اصحاب النبى صلى الله عليه وسلم فقال : ما أراه على الاسلام
(الخلال / السنة : ۲،٥٥٧)

“ Abdullah bin Ahmad bin Hambal bercerita pada kami, katanya : “Saya bertanya kepada ayahku perihal seorang yang mencela salah seorang dari sahabat Nabi SAW. Maka beliau menjawab : “Saya berpendapat ia bukan orang Islam”.

(Al Khalal / As Sunnah, 2-558)

Dalam kitab AS SUNNAH karya IMAM AHMAD halaman 82, disebutkan mengenai pendapat beliau tentang golongan Rofidhoh (Syiah) :

“Mereka itu adalah golongan yang menjauhkan diri dari sahabat Muhammad SAW dan mencelanya, menghinanya serta mengkafirkannya, kecuali hanya empat orang saja yang tidak mereka kafirkan, yaitu Ali, Ammar, Migdad dan Salman. Golongan Rofidhoh (Syiah) ini sama sekali bukan Islam.


AL BUKHORI
الامام البخارى
.
قال رحمه الله : ماأبالى صليت خلف الجهمى والرافضى

أم صليت خلف اليهود والنصارى
ولا يسلم عليه ولا يعادون ولا يناكحون ولا يشهدون ولا تؤكل ذبائحهم
.
( خلق أفعال العباد :١٢٥)

Iman Bukhori berkata : “Bagi saya sama saja, apakah aku sholat dibelakang Imam yang beraliran JAHM atau Rofidhoh (Syiah) atau aku sholat di belakang Imam Yahudi atau Nasrani. Dan seorang Muslim tidak boleh memberi salam pada mereka, dan tidak boleh mengunjungi mereka ketika sakit juga tidak boleh kawin dengan mereka dan tidak menjadikan mereka sebagai saksi, begitu pula tidak makan hewan yang disembelih oleh mereka.
(Imam Bukhori / Kholgul Afail, halaman 125).

AL FARYABI
الفريابى :
روى الخلال قال : أخبرنى حرب بن اسماعيل الكرمانى
قال : حدثنا موسى بن هارون بن زياد قال: سمعت الفريابى ورجل يسأله عمن شتم أبابكر
قال: كافر، قال: فيصلى عليه، قال: لا. وسألته كيف يصنع به وهو يقول لا اله الا الله،
قال: لا تمسوه بأيديكم، ارفعوه بالخشب حتى تواروه فى حفرته.
(الخلال/السنة: ۲،٥٦٦)

Al Khalal meriwayatkan, katanya : “Telah menceritakan kepadaku Harb bin Ismail Al Karmani, katanya : “Musa bin Harun bin Zayyad menceritakan kepada kami : “Saya mendengar Al Faryaabi dan seseorang bertanya kepadanya tentang orang yang mencela Abu Bakar. Jawabnya : “Dia kafir”. Lalu ia berkata : “Apakah orang semacam itu boleh disholatkan jenazahnya ?”. Jawabnya : “Tidak”. Dan aku bertanya pula kepadanya : “Mengenai apa yang dilakukan terhadapnya, padahal orang itu juga telah mengucapkan Laa Ilaaha Illalloh?”. Jawabnya : “Janganlah kamu sentuh jenazahnya dengan tangan kamu, tetapi kamu angkat dengan kayu sampai kamu turunkan ke liang lahatnya”.

(Al Khalal / As Sunnah, 6-566)
.
AHMAD BIN YUNUS

Beliau berkata : “Sekiranya seorang Yahudi menyembelih seekor binatang dan seorang Rofidhi (Syiah) juga menyembelih seekor binatang, niscaya saya hanya memakan sembelihan si Yahudi dan aku tidak mau makan sembelihan si Rofidhi (Syiah), sebab dia telah murtad dari Islam”.

(Ash Shariim Al Maslul, halaman 570).

ABU ZUR’AH AR ROZI

أبو زرعة الرازى.
اذا رأيت الرجل ينتقص أحدا من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم
فاعلم أنه زنديق، لأن مؤدى قوله الى ابطال القران والسنة.
( الكفاية : ٤٩)

Beliau berkata : “Bila anda melihat seorang merendahkan (mencela) salah seorang sahabat Rasulullah SAW, maka ketahuilah bahwa dia adalah ZINDIIG. Karena ucapannya itu berakibat membatalkan Al-Qur'an dan As Sunnah”.

(Al Kifayah, halaman 49).

ABDUL QODIR AL BAGHDADI

Beliau berkata : “Golongan Jarudiyah, Hisyamiyah, Jahmiyah dan Imamiyah adalah golongan yang mengikuti hawa nafsu yang telah mengkafirkan sahabat-sahabat terbaik Nabi, maka menurut kami mereka adalah kafir. Menurut kami mereka tidak boleh di sholatkan dan tidak sah berma’mum sholat di belakang mereka”.

(Al Fargu Bainal Firaq, halaman 357).

Beliau selanjutnya berkata : “Mengkafirkan mereka adalah suatu hal yang wajib, sebab mereka menyatakan Allah bersifat Al Bada’

IBNU HAZM

Beliau berkata : “Salah satu pendapat golongan Syiah Imamiyah, baik yang dahulu maupun sekarang ialah, bahwa Al-Qur'an sesungguhnya sudah diubah”.
Kemudian beliau berkata : ”Orang yang berpendapat bahwa Al-Qur'an yang ada ini telah diubah adalah benar-benar kafir dan mendustakan Rasulullah SAW”.

(Al Fashl, 5-40).

ABU HAMID AL GHOZALI

Imam Ghozali berkata : “Seseorang yang dengan terus terang mengkafirkan Abu Bakar dan Umar Rodhialloh Anhuma, maka berarti ia telah menentang dan membinasakan Ijma kaum Muslimin. Padahal tentang diri mereka (para sahabat) ini terdapat ayat-ayat yang menjanjikan surga kepada mereka dan pujian bagi mereka serta pengukuhan atas kebenaran kehidupan agama mereka, dan keteguhan aqidah mereka serta kelebihan mereka dari manusia-manusia lain”.
Kemudian kata beliau : “Bilamana riwayat yang begini banyak telah sampai kepadanya, namun ia tetap berkeyakinan bahwa para sahabat itu kafir, maka orang semacam ini adalah kafir. Karena dia telah mendustakan Rasulullah. Sedangkan orang yang mendustakan satu kata saja dari ucapan beliau, maka menurut Ijma’ kaum Muslimin, orang tersebut adalah kafir”.

(Fadhoihul Batiniyyah, halaman 149).

AL QODHI IYADH

Beliau berkata : “Kita telah menetapkan kekafiran orang-orang Syiah yang telah berlebihan dalam keyakinan mereka, bahwa para Imam mereka lebih mulia dari pada para Nabi”.
Beliau juga berkata : “Kami juga mengkafirkan siapa saja yang mengingkari Al-Qur'an, walaupun hanya satu huruf atau menyatakan ada ayat-ayat yang diubah atau ditambah di dalamnya, sebagaimana golongan Batiniyah (Syiah) dan
Syiah Ismailiyah”.

(Ar Risalah, halaman 325).

AL FAKHRUR ROZI

Ar Rozi menyebutkan, bahwa sahabat-sahabatnya dari golongan Asyairoh mengkafirkan golongan Rofidhoh (Syiah) karena tiga alasan :
Pertama: Karena mengkafirkan para pemuka kaum Muslimin (para sahabat Nabi). Setiap orang yang mengkafirkan seorang Muslimin, maka dia yang kafir. Dasarnya adalah sabda Nabi SAW, yang artinya : “Barangsiapa berkata kepada saudaranya, hai kafir, maka sesungguhnya salah seorang dari keduanya lebih patut sebagai orang kafir”.
Dengan demikian mereka (golongan Syiah) otomatis menjadi kafir.
Kedua: “Mereka telah mengkafirkan satu umat (kaum) yang telah ditegaskan oleh Rasulullah sebagai orang-orang terpuji dan memperoleh kehormatan (para sahabat Nabi)”.
Ketiga: Umat Islam telah Ijma’ menghukum kafir siapa saja yang mengkafirkan para tokoh dari kalangan sahabat.

(Nihaayatul Uguul, Al Warogoh, halaman 212).

IBNU TAIMIYAH

Beliau berkata : “Barangsiapa beranggapan bahwa Al-Qur'an telah dikurangi ayat-ayatnya atau ada yang disembunyikan, atau beranggapan bahwa Al-Qur'an mempunyai penafsiran-penafsiran batin, maka gugurlah amal-amal kebaikannya. Dan tidak ada perselisihan pendapat tentang kekafiran orang semacam ini”
Barangsiapa beranggapan para sahabat Nabi itu murtad setelah wafatnya Rasulullah, kecuali tidak lebih dari sepuluh orang, atau mayoritas dari mereka sebagai orang fasik, maka tidak diragukan lagi, bahwa orang semacam ini adalah kafir. Karena dia telah mendustakan penegasan Al-Qur'an yang terdapat di dalam berbagai ayat mengenai keridhoan dan pujian Allah kepada mereka. Bahkan kekafiran orang semacam ini, adakah orang yang meragukannya? Sebab kekafiran orang semacam ini sudah jelas....

(Ash Sharim AL Maslul, halaman 586-587).

SYAH ABDUL AZIZ DAHLAWI

Sesudah mempelajari sampai tuntas mazhab Itsna Asyariyah dari sumber-sumber mereka yang terpercaya, beliau berkata : “Seseorang yang menyimak aqidah mereka yang busuk dan apa yang terkandung didalamnya, niscaya ia tahu bahwa mereka ini sama sekali tidak berhak sebagai orang Islam dan tampak jelaslah baginya kekafiran mereka”.

(Mukhtashor At Tuhfah Al Itsna Asyariyah, halaman 300).

MUHAMMAD BIN ALI ASY SYAUKANI

Perbuatan yang mereka (Syiah) lakukan mencakup empat dosa besar, masing-masing dari dosa besar ini merupakan kekafiran yang terang-terangan.
Pertama : Menentang Allah.
Kedua : Menentang Rasulullah.
Ketiga : Menentang Syariat Islam yang suci dan upaya mereka untuk melenyapkannya.
Keempat : Mengkafirkan para sahabat yang diridhoi oleh Allah, yang didalam Al-Qur'an telah dijelaskan sifat-sifatnya, bahwa mereka orang yang paling keras kepada golongan Kuffar, Allah SWT menjadikan golongan Kuffar sangat benci kepada mereka. Allah meridhoi mereka dan disamping telah menjadi ketetapan hukum didalam syariat Islam yang suci, bahwa barangsiapa mengkafirkan seorang muslim, maka dia telah kafir, sebagaimana tersebut di dalam Bukhori, Muslim dan lain-lainnya.

(Asy Syaukani, Natsrul Jauhar Ala Hadiitsi Abi Dzar, Al Warogoh, hal 15-16)

PARA ULAMA SEBELAH TIMUR SUNGAI JAIHUN

Al Alusi (seorang penulis tafsir) berkata : “Sebagian besar ulama disebelah timur sungai ini menyatakan kekafiran golongan Itsna Asyariyah dan menetapkan halalnya darah mereka, harta mereka dan menjadikan wanita mereka menjadi budak, sebab mereka ini mencela sahabat Nabi SAW, terutama Abu Bakar dan Umar, yang menjadi telinga dan mata Rasulullah SAW, mengingkari kekhilafahan Abu Bakar, menuduh Aisyah Ummul Mukminin berbuat zina, padahal Allah sendiri menyatakan kesuciannya, melebihkan Ali r.a. dari rasul-rasul Ulul Azmi. Sebagian mereka melebihkannya dari Rasulullah SAW dan mengingkari terpeliharanya Al-Qur'an dari kekurangan dan tambahan”.

(Nahjus Salaamah, halaman 29-30).

Demikian telah kami sampaikan fatwa-fatwa dari para Imam dan para Ulama yang dengan tegas mengkafirkan golongan Syiah yang telah mencaci maki dan mengkafirkan para sahabat serta menuduh Ummul mukminin Aisyah berbuat serong, dan berkeyakinan bahwa Al-Qur'an yang ada sekarang ini tidak orisinil lagi (Mukharrof). Serta mendudukkan imam-imam mereka lebih tinggi (Afdhol) dari para Rasul.
Semoga fatwa-fatwa tersebut dapat membantu pembaca dalam mengambil sikap tegas terhadap golongan Syiah.
“Yaa Allah tunjukkanlah pada kami bahwa yang benar itu benar dan jadikanlah kami sebagai pengikutnya, dan tunjukkanlah pada kami bahwa yang batil itu batil dan jadikanlah kami sebagai orang yang menjauhinya.”

Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Bersabar di Atasnya

Posted: 15 Apr 2012 07:59 PM PDT

Pertanyaan:Jika kita telah berusaha mencegah gunjingan dan hasutan di antara manusia, adakalanya orang yang kita ajak kepada kebaikan dan kita cegah dari keburukan itu malah mencela dan marah kepada kita. Apakah kita berdosa karena kemarahannya, walaupun itu salah seorang orang tua kita? Apakah kita tetap harus mencegah mereka atau membiarkan hal yang tidak kita perlukan dalam hal ini? Kami mohon jawaban, semoga Allah menunjuki Syaikh.

Jawaban:Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Bersabar di Atasnya
Di antara kewajiban-kewajiban terpenting adalah

amar ma’ruf dan nahi mungkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah keburukan), sebagaimana Firman Allah

Subhanahu wa Ta’ala:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ



Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar.” (QS. At-Taubah: 71)

Allah

Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan dalam ayat ini, bahwa di antara sifat-sifat wajib kaum mukminin dan mukminat adalah menegakkan

amar ma’ruf dan

nahi mungkar. Allah

Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ



Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar.” (QS. Ali Imran: 110)

Nabi

shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ



Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangan, jika tidak bisa, maka dengan lisannya, jika tidak bisa juga, maka dengan hatinya, itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat dan hadis-hadis lainnya yang menunjukkan wajibnya menegakkan

amar ma’ruf dan

nahi mungkar serta tercelanya orang yang meninggalkannya. Maka hendaknya Anda sekalian, setiap mukmin dan mukminah, menegakkan

amar ma’ruf dan

nahi mungkar, walaupun orang yang Anda ingkari itu marah, bahkan sekalipun mereka mencerca kalian, kalian harus tetap sabar, sebagaimana para rasul dan yang mengikuti mereka dengan kebaikan, sebagaimana Firman Allah

Subhanahu wa Ta’ala kepada Nabi-Nya,

فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُوْلُوا الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ



Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar.” (QS. Al-Ahqaf: 35)

Dan Firman-Nya,

وَاصْبِرُوا إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِينَ



Dan bersabarlah, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46)

Serta FirmanNya yang menceritakan Luqman Haqim, bahwa ia berkata kepada anaknya,

يَابُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَآأَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأُمُورِ



Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. Luqman: 17)

Tidak diragukan lagi, bahwa lurus dan konsistennya masyarakat adalah karena Allah

Subhanahu wa Ta’ala kemudian karena

amar ma’ruf dan

nahi mungkar, dan bahwa rusak serta berpecah belahnya masyarakat yang mengakibatkan potensialnya kedatangan siksaan yang bisa menimpa semua orang adalah disebabkan oleh meninggalkan

amar ma’ruf dan

nahi mungkar. Sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,



Sesungguhnya manusia itu bila melihat kemungkarang tapi tidak mengingkarinya, maka dikhawatirkan Allah akan menimpakan siksa-Nya yang juga menimpa mereka.”

Allah

Subhanahu wa Ta’ala pun telah memperingatkan para hamba-Nya dengan sejarah kaum kuffar Bani Israil yang disebutkan dalam Firman-Nya,

لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِن بَنِى إِسْرَاءِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَّكَانُوا يَعْتَدُونَ {78} كَانُوا لاَيَتَنَاهَوْنَ عَن مُّنكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ {79}



Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS. Al-Maidah: 78-79)

Semoga Allah menunjuki semua kaum muslim, baik penguasa maupun rakyat jelata untuk tetap menegakkan kewajiban ini dengan sebaik-baiknya, dan semoga Allah memperbaiki kondisi mereka dan menyelamatkan semuanya dari faktor-faktor yang bisa mendatangkan kemurkaan-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha dekat.

Fatawa al-Mar’ah, Hal.100-101, Syaikh Ibnu Baz

Sumber:

Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 2, Darul Haq Cetakan VI 2010

Artikel
www.KonsultasiSyariah.com

Menyikapi Perbedaan Mazhab dan Khilafiyah

Al-khilaf (perselisihan pendapat) di antara manusia adalah perkara yang sangat mungkin terjadi. Yang demikian karena kemampuan, pemahaman, wawasan dan keinginan mereka berbeda-beda. Namun perselisihan masih dalam batas wajar manakala muncul karena sebab yang masuk akal, yang bukan bersumber dari hawa nafsu atau fanatik buta dengan sebuah pendapat.
Perhatikanlah rambu-rambu dalam menyikapi perbedaan pendapat di antara ulama Ahlus Sunnah seperti diuraikan pada tulisan di bawah ini.

www.kajiansalaf.com

Ditulis oleh: ustadz Abu Ya’la

Al-Khilaf (perselisihan pendapat) dalam perkara agama memang jamak terjadi bahkan di kalangan sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun. Namun demikian hal itu berbeda dengan yang selama ini dipahami banyak orang yang justru menjauh dari upaya mencari kebenaran dengan dalih “ini adalah masalah khilafiyah”.

Al-khilaf (perselisihan pendapat) di antara manusia adalah perkara yang sangat mungkin terjadi. Yang demikian karena kemampuan, pemahaman, wawasan dan keinginan mereka berbeda-beda. Namun perselisihan masih dalam batas wajar manakala muncul karena sebab yang masuk akal, yang bukan bersumber dari hawa nafsu atau fanatik buta dengan sebuah pendapat. Meski kita memaklumi kenyataan ini, namun (perlu diingat bahwa) perselisihan pada umumnya bisa menyeret kepada kejelekan dan perpecahan. Oleh karena itu, salah satu tujuan dari syariat Islam yang mudah ini adalah berusaha mempersatukan persepsi umat dan mencegah terjadinya perselisihan yang tercela. Tetapi, karena perselisihan merupakan realita yang tidak bisa dihindarkan dan merupakan tabiat manusia, Islam telah meletakkan kaidah-kaidah dalam menyikapi masalah yang diperselisihkan, berikut orang-orang yang berselisih, serta mencari cara yang tepat untuk bisa sampai kepada kebenaran yang seyogianya hal ini menjadi tujuan masing-masing pribadi. Para salaf (generasi awal) umat Islam telah terbukti sangat menjaga adab di saat khilaf, sehingga tidak menimbulkan perkara yang jelek, karena mereka selalu komitmen dengan adab-adab khilaf. (Kata pengantar Dr. Mani’ bin Hammad Al-Juhani terhadap kitab Adabul Khilaf hal. 5)

Macam-macam Khilaf
Adapun macam khilaf adalah sebagai berikut.

1. Ikhtilaf tanawwu’.
Yaitu suatu istilah mengenai beragam pendapat yang bermacam-macam namun semuanya tertuju kepada maksud yang sama, di mana salah satu pendapat tidak bisa dikatakan bertentangan dengan yang lainnya. Semisal perbedaan ahli tafsir dalam menafsirkan Ash-Shirath Al-Mustaqim dalam surat Al-Fatihah. Ada yang menafsirkannya dengan Al-Qur`an, Islam, As-Sunnah, dan Al-Jama’ah. Semua pendapat ini benar dan tidak bertentangan maksudnya.
Demikian pula orang yang membaca tasyahhud dengan yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia memandang bolehnya membaca tasyahhud yang lain seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan lainnya. Perbedaan yang seperti ini tidak tercela. Namun bisa menjadi tercela manakala perbedaan seperti ini dijadikan sebab atau alat untuk menzalimi orang lain.
2. Ikhtilaf tadhad.
Yaitu suatu ungkapan tentang pendapat-pendapat yang bertentangan di mana masing-masing pendapat orang yang berselisih itu berlawanan dengan yang lainnya, salah satunya bisa dihukumi sebagai pendapat yang salah. Misalnya dalam satu perkara, ada ulama yang mengatakan haram dan ulama yang lain mengatakan halal.
Dalam perselisihan semacam ini tidak boleh bagi seseorang untuk mengambil pendapat tersebut menurut keinginan (hawa nafsu)nya, tanpa melihat akar masalah yang diperselisihkan dan pendapat yang dikuatkan oleh dalil.
3. Ikhtilaf afham.
Yaitu perbedaan dalam memahami suatu nash. Hal ini boleh namun dengan beberapa syarat di antaranya: Ia harus berpijak di atas jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah, tidak banyak menyelisihi apa yang Ahlus Sunnah di atasnya, kembali kepada yang haq ketika terbukti salah, dan hendaknya ia termasuk orang yang telah memiliki kemampuan untuk berijtihad.
(Hujajul Aslaf, Abu Abdirrahman dan Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan, Muhammad Al-Imam)



Penyebab Perbedaan Pendapat di antara Ulama
Suatu hal yang telah kita ketahui bersama bahwa tidak ada seorang ulama pun –yang tepercaya keilmuan, amanah, dan ketaatannya– sengaja menyelisihi apa yang ditunjukkan oleh dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah. Karena orang yang sejatinya alim, niscaya yang menjadi penunjuk jalannya adalah kebenaran. Namun para ulama bisa saja terjatuh ke dalam kesalahan saat menyebutkan suatu hukum syariat. Kesalahan pasti bisa terjadi, karena manusia pada dasarnya lemah ilmu dan pemahamannya. Pengetahuannya pun terbatas, tidak bisa meliputi seluruh perkara.
Sebab terjadinya perselisihan pendapat di kalangan ulama dalam suatu hukum sendiri di antaranya sebagai berikut:

1. Karena dalil belum sampai kepadanya.
Hal ini tidak hanya terjadi setelah zaman para sahabat. Bahkan di zaman mereka pun pernah terjadi. Seperti tersebut dalam Shahih Al-Bukhari bahwa Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu melakukan safar menuju Syam. Di tengah perjalanan dikabarkan kepadanya bahwa di Syam tengah terjadi wabah tha’un. ‘Umar menghentikan perjalanannya dan bermusyawarah dengan para sahabat. Mereka berselisih pendapat. Ada yang mengusulkan untuk pulang dan ada yang berpendapat terus melanjutkan. Ketika mereka tengah bermusyawarah, datang Abdurrahman bin ‘Auf yang tadinya tidak ikut musyawarah karena ada suatu keperluan. Abdurrahman mengatakan: “Saya memiliki ilmu tentang ini. Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ فِي أَرْضٍ فَلاَ تَقْدُمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ وَأَنْتُمْ فِيْهَا فَلاَ تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ

“Jika kalian mendengar di suatu negeri ada tha’un maka janganlah kalian memasukinya. Dan jika terjadi di tempat yang kalian ada di sana maka janganlah keluar (dari daerah tersebut, red.) untuk lari darinya.” (Lihat Shahih Al-Bukhari no. 5729)
2. Adakalanya hadits telah sampai kepada seorang alim namun dia belum percaya (penuh) kepada yang membawa beritanya. Dia memandang bahwa hadits itu bertentangan dengan yang lebih kuat darinya. Sehingga dia mengambil dalil yang menurutnya lebih kuat.
3. Hadits telah sampai kepada seorang alim namun dia lupa.
4. Dalil telah sampai kepadanya namun ia memahaminya tidak sesuai dengan yang diinginkan.
Misalnya kalimat “أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاء” artinya: Atau kalian menyentuh perempuan, dalam surat Al-Ma`idah ayat 6. Sebagian ulama mengatakan bahwa sekadar seorang lelaki menyentuh perempuan batal wudhunya. Sebagian lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan menyentuh di sini adalah jima’ (bersetubuh) sebagaimana pendapat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Pendapat inilah yang benar, dengan landasan adanya riwayat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium sebagian istrinya lalu berangkat menuju shalat dan tidak berwudhu.
5. Telah sampai dalil kepadanya dan dia sudah memahaminya, namun hukum yang ada padanya telah mansukh (dihapus) dengan dalil lain yang menghapusnya. Sementara dia belum tahu adanya dalil yang menghapusnya.
6. Telah datang kepadanya dalil namun ia meyakini bahwa dalil itu ditentang oleh dalil yang lebih kuat darinya, dari nash Al-Qur`an, hadits, atau ijma’ (kesepakatan ulama).
7. Terkadang sebabnya karena seorang alim mengambil hadits yang dhaif (lemah) atau mengambil suatu pendalilan yang tidak kuat dari suatu dalil.

(Diringkas dari risalah Al-Khilaf Bainal Ulama, Asbabuhu wa Mauqifuna minhu bersama Kitabul Ilmi karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu)

Sikap Kita terhadap Perselisihan yang Ada
Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan khilaf yang memiliki bobot dan dianggap adalah perbedaan pendapat ulama yang tepercaya secara keilmuan dan ketaatannya. Bukan mereka yang dianggap atau mengaku ulama namun sebenarnya bukan ulama. Bukan pula khilaf antara ahlul bid’ah seperti Khawarij, Syi’ah, dan lainnya dengan Ahlus Sunnah. Sikap kita terhadap perselisihan ulama adalah:

1. Kita yakin bahwa khilaf mereka bukan karena menyengaja menentang dalil, namun karena sebab-sebab yang sudah kita sebutkan di atas serta sebab lain yang belum disebutkan.
2. Kita mengikuti pendapat yang lebih kuat dari sisi dalil. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah mewajibkan untuk mengikuti ucapan seseorang kecuali hanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik jiwa ini menyukainya atau tidak. Adapun selain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada jaminan terbebas dari kesalahan. Sehingga apa yang sesuai dengan hujjah dari pendapat mereka, itulah yang kita ambil dan ikuti. Sedangkan yang tidak sesuai dengan hujjah maka kita tinggalkan. Sebagaimana wasiat para imam untuk meninggalkan pendapat mereka yang menyelisihi dalil. Di sisi lain, meski kita dapatkan dari mereka adanya pendapat yang salah, ini bukanlah suatu celah untuk menjatuhkan mereka. Usaha untuk sampai kepada kebenaran telah mereka tempuh, namun mereka belum diberi taufiq untuk mendapatkannya. Jika mereka salah dengan pendapatnya –setelah usaha maksimal– maka tidak ada celaan atas mereka. Bahkan mereka mendapatkan satu pahala. Semestinya tertanam dalam jiwa kita sikap hormat dan memuliakan para ulama serta mendoakan rahmat dan ampunan bagi mereka. (Lihat Kitabul ‘Ilmi karya Asy-Syaikh Muhammad Al-‘Utsaimin rahimahullahu)

Bolehkah Mengingkari Pihak Lain dalam Permasalahan yang Sifatnya Khilafiyah?

Ada dua hal yang harus dibedakan yaitu, masalah-masalah khilafiyah dan masalah-masalah ijtihadiyah.
Masalah khilafiyah lebih umum sifatnya daripada masalah ijtihadiyah. Karena masalah khilafiyah (perbedaan pendapat) ada yang sifatnya bertentangan dengan dalil dari Al-Qur`an, hadits, atau ijma’. Permasalahan khilafiyah yang seperti ini harus diingkari.
Berbeda dengan permasalahan ijtihadiyah yang memang tidak ada nash atau dalil dalam permasalahan tersebut. Dalam masalah ijtihadiyah (yakni yang muncul karena ijtihad pada masalah yang memang diperkenankan berijtihad padanya), seseorang memiliki keluasan padanya. Manakala dia mengambil suatu pendapat yang ia pandang lebih kuat, maka yang menyelisihinya tidak boleh mencela.
Sebagai misal dalam masalah khilafiyah -untuk membedakan antara keduanya- adalah pendapat sebagian ulama yang membolehkan pernikahan tanpa wali nikah. Pendapat ini salah karena bertentangan dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَا نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menshahihkannya dalam Al-Irwa` no. 1839)
Ini dinamakan masalah khilafiyah.

Adapun contoh masalah ijtihadiyah seperti bersedekap atau meluruskan tangan setelah bangkit dari ruku’, di mana tidak ada nash yang sharih (jelas) yang menunjukkan posisi tangan setelah ruku’. Wallahu a’lam.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu menyatakan: “Ucapan mereka (sebagian orang) bahwa masalah-masalah khilafiyah tidak boleh diingkari, ini tidaklah benar. Karena pengingkaran adakalanya tertuju kepada ucapan atau pendapat, fatwa, atau amalan. Adapun yang pertama, jika suatu pendapat menyelisihi sunnah atau ijma’ yang telah menyebar maka wajib untuk diingkari menurut kesepakatan (ulama). Meskipun pengingkaran tidak secara langsung, namun menjelaskan lemahnya pendapat ini dan penyelisihannya terhadap dalil juga merupakan bentuk pengingkaran. Adapun masalah amalan jika ia menyelisihi sunnah atau ijma’ maka wajib diingkari sesuai dengan derajat pengingkaran. Bagaimana seorang ahli fiqih mengatakan bahwa tidak ada pengingkaran pada masalah yang diperselisihkan, padahal ulama dari semua golongan telah menyatakan secara tegas batalnya keputusan hakim jika menyelisihi Al-Qur`an atau As-Sunnah, meskipun keputusan tadi telah mengikuti atau mencocoki pendapat sebagian ulama?! Adapun bila dalam suatu permasalahan tidak ada dalil dari As-Sunnah atau ijma’ dan ada jalan (bagi ulama) untuk berijtihad dalam hal ini, (maka benar) tidak boleh diingkari orang yang mengamalkannya, baik dia seorang mujtahid atau yang mengikutinya….” (I’lamul Muwaqqi’in, 3/252)

Permasalahan ijtihadiyah jangan sampai menjadi sebab perpecahan di tengah-tengah kaum muslimin, seberapapun besarnya permasalahan. Karena jika demikian, kaum muslimin justru akan bercerai berai, tidak punya kekuatan dan menjadi permainan setan dari kalangan jin dan manusia, serta menjadi umpan yang empuk bagi para musuh Islam. Sebagian orang tidak memerhatikan jenis ikhtilaf yang seperti ini, sehingga mereka menyangka bahwa setiap permasalahan yang diperselisihkan oleh ulama dijadikan dasar untuk memberikan loyalitas karenanya atau memusuhi yang menyelisihinya. Sikap yang seperti ini akan memicu berbagai kerusakan dan kebencian yang hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengetahuinya. Hendaklah semboyan kita dalam permasalahan seperti ini adalah berlapang dada, yang mana salafus shalih berlapang dada padanya. Adalah Al-Imam Ahmad rahimahullahu berpendapat keharusan berwudhu karena keluar darah dari hidung dan karena berbekam. Maka Al-Imam Ahmad ditanya: “Bagaimana jika seorang imam shalat lalu keluar darinya darah dan tidak berwudhu, apakah anda bermakmum di belakangnya?” Beliau menjawab: “Bagaimana saya tidak mau shalat di belakang Al-Imam Malik dan Sa’id bin Musayyib?!” Yakni bahwa Al-Imam Malik dan Sa’id rahimahumallah berpendapat tidak wajibnya berwudhu karena keluar darah. (Adabul Khilaf, Hujajul Aslaf dan Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah)
Dianjurkan untuk Keluar dari Lingkup Perselisihan
Ulama fiqih menyebutkan suatu kaidah yang penting yang seyogianya dijadikan pegangan yaitu:
يُسْتَحَبُّ الْخُرُوْجُ مِنَ الْخِلاَفِ

“Dianjurkan untuk keluar dari perselisihan.”
Puncak yang dicapai dari kaidah ini adalah kehati-hatian dalam beragama dan menumbuhkan sikap saling mencintai serta menyatukan hati, dengan cara melepaskan diri dari perselisihan pada perkara yang kemudaratannya ringan. Apabila meninggalkan sebagian hal yang disunnahkan akan menyampaikan kepada maslahat yang lebih dominan dan menutup pintu khilaf, maka perkara sunnah ditinggalkan.
Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membatalkan rencana untuk memugar Ka’bah dan menjadikannya dua pintu. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang bahwa membiarkan Ka’bah seperti itu lebih besar maslahatnya, di mana banyak orang Quraisy yang baru masuk Islam dikhawatirkan akan punya anggapan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menghormati kesucian Ka’bah. Dikhawatirkan nantinya mereka bisa murtad dari agama karenanya.
Demikian pula sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhumengingkari Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu di saat ia shalat dengan tetap seperti ketika bermukim (tidak qashar) dalam bepergian. Namun Ibnu Mas’ud tetap shalat di belakang ‘Utsman dengan tidak meng-qashar dan mengikuti khalifah. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Perselisihan itu jelek.”
Oleh karena itu sejak dahulu ulama telah sepakat tentang sahnya shalat orang yang bermazhab Syafi’i di belakang orang yang bermazhab Hanafi. Demikian pula sebaliknya, sekalipun mereka berselisih tentang batal atau tidaknya wudhu seseorang bila menyentuh perempuan.
Kemudian yang perlu diperhatikan, dalam perkara yang diperselisihkan keharamannya maka jalan keluarnya adalah dengan meninggalkannya. Sedangkan perkara yang diperselisihkan tentang wajibnya maka jalan keluarnya adalah dengan dikerjakan.
Namun tingkatan untuk dianjurkan keluar dari area khilaf berbeda-beda sesuai dengan kuat atau lemahnya dalil. Yang menjadi ukuran adalah kuatnya dalil yang menyelisihi. Jika dalil yang menyelisihi lemah maka tidak dianggap, terlebih jika menjaga kaidah ini (karena dalil yang lemah) bisa menyampaikan kepada meninggalkan sunnah yang telah kuat.
Sebagai misal, bila ada yang mengatakan bahwa mengangkat tangan dalam shalat menjadikan batal shalatnya. Pendapat seperti ini tidak perlu dihiraukan karena bertentangan dengan hadits-hadits yang kuat dalam permasalahan ini.
Kemudian juga yang perlu diperhatikan bahwa jangan sampai karena menjaga kaidah ini kita menyelisihi ijma’. Jadi untuk bisa dijalankan kaidah tadi adalah dengan melihat kuatnya dalil orang yang khilafnya teranggap. Adapun bila khilafnya jauh dari dalil syariat atau merupakan suatu pendapat yang ganjil maka tidak dianggap. Orang yang pengambilan dalilnya kuat maka khilafnya dianggap meskipun derajatnya di bawah orang yang diselisihinya. (Diringkas dari Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah karya Ali Ahmad An-Nadawi dari hal. 336-342)

Adab yang harus Diperhatikan untuk Mengobati Perselisihan yang Terjadi di Antara Ahlus Sunnah

Pertama: Niatan yang tulus dan ingin mencari kebenaran. Seorang penuntut ilmu seharusnya bersikap obyektif.

Ini mudah secara teori namun susah dalam praktik. Karena tidak sedikit orang yang lahiriahnya seolah menyeru kepada kebenaran, padahal sejatinya dia sedang mengajak kepada dirinya atau membela dirinya dan syaikhnya. Mungkin hal ini yang menjadikan sebagian orang ketika membantah dan berdiskusi tidak bisa ilmiah, namun semata ingin menjatuhkan lawannya (yang menyelisihinya) dengan mengangkat masalah pribadi dan menggunakan bahasa celaan. Hendaklah masing-masing menjadikan Al-Qur`an dan hadits sebagai hakim yang memutuskan di antara mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa`: 59)
Kedua: Bertanya kepada ulama Ahlus Sunnah.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (Al-Anbiya`: 7)
Ketiga: Menghindarkan perselisihan beserta penyulutnya semampu mungkin.
Hal ini bisa terwujudkan dengan:
1. Berbaik sangka terhadap ulama dan para penuntut ilmu serta mengutamakan ukhuwah Islamiah di atas segala kepentingan.
2. Apa yang dinyatakan/keluar dari mereka atau disandarkan kepada mereka dibawa kepada kemungkinan yang baik.
3. Bila keluar dari mereka sesuatu yang tidak bisa dibawa kepada penafsiran yang baik maka dicarikan alasan yang paling tepat. Hal ini bukan dimaksudkan untuk menyatakan bahwa ulama itu ma’shum atau tidak bisa salah, namun sebagai bentuk berbaik sangka kepada ulama.
4. Koreksi diri serta tidak memberanikan diri menyalahkan ulama kecuali setelah penelitian yang mendalam dan kehati-hatian yang panjang.
5. Membuka dada untuk menerima segala kritikan dari saudaramu dan menjadikannya sebagai acuan untuk ke depan yang lebih baik.
6. Menjauhkan diri dari perkara yang bisa menimbulkan fitnah dan huru-hara.
7. Komitmen dengan adab-adab Islam dalam memilih kata-kata yang bagus serta menjauhkan kata-kata yang tidak pantas.
(Lihat Adabul Khilaf, Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid hal. 44-47 dan An-Nush-hul Amin Asy-Syaikh Muqbil)

Contoh Penerapan Adabul Khilaf di Masa Salaf

Di antara sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dengan Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu terjadi perselisihan pendapat tentang masalah yang berkaitan dengan hukum waris, di mana ia berpendapat bahwa kedudukan kakek itu seperti ayah, bisa menggugurkan saudara-saudara mayit dari mendapatkan warisan. Sementara sahabat Zaid radhiyallahu ‘anhu berpendapat bahwa saudara-saudara mayit tetap mendapat warisan bersama adanya kakek. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma sangat yakin bahwa pendapat Zaid radhiyallahu ‘anhu salah, sampai-sampai Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkeinginan untuk menantangnya bermubahalah (saling berdoa agar Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi laknat kepada yang salah) di sisi Ka’bah.
Pada suatu saat, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma melihat Zaid radhiyallahu ‘anhu mengendarai kendaraannya. Maka dia pun mengambil kendali kendaraan Zaid dan menuntunnya. Zaid radhiyallahu ‘anhu berkata: “Lepaskan, wahai anak paman Rasulullah!” Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjawab: “Seperti inilah yang kita diperintahkan untuk melakukan (penghormatan) kepada ulama dan pembesar kita.”
Zaid radhiyallahu ‘anhu berkata: “Perlihatkan kepadaku tanganmu!” Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengeluarkan tangannya. Lalu Zaid radhiyallahu ‘anhu menciumnya, seraya mengatakan: “Seperti inilah kita diperintahkan untuk menghormati keluarga Nabi.”
Ketika Zaid radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Seperti inilah –yakni wafatnya ulama– (caranya) ilmu itu lenyap. Sungguh pada hari ini telah terkubur ilmu yang banyak.” (Adabul Khilaf hal. 21-22)

Penutup
Telah terang atas kita rambu-rambu dalam menyikapi perbedaan pendapat di antara ulama Ahlus Sunnah. Yang tak kalah pentingnya bahwa kita hendaknya selalu memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk ditunjuki kepada kebenaran pada perkara yang diperselisihkan. Kita yakin bahwa kita lemah dalam segala sisinya. Hawa nafsu sering kita kedepankan sehingga jalan kebenaran seolah tertutup di hadapan kita. Kita menghormati para pendahulu kita yang telah mendahului kita dalam iman dan amal serta mendoakan kebaikan untuk mereka.

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului dengan keimanan, dan janganlah Engkau jadikan pada hati kami kedengkian kepada orang-orang yang beriman, wahai Rabb kami sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr: 10)
Wallahu a’lam.

Disebarluaskan oleh www.kajiansalaf.com

Minggu, 15 April 2012

Wasiat Syaikh Andurrahman As-Sudais

Saudara seiman ! sesungguhnya syari'at kita yang mulia mengarah serta menuju kepada persatuan dan kesatuan, menjauhkan dari jalan-jalan perselisihan, bercerai berai dan perpecahan, mengajak kepada kasih sayang dan persaudaraan, memerintahkan pada toleransi saling kasih, membela dan saling menyatu, terlebih lagi sesama ahlul haq, yang sama dalam sumber dan manhaj. Alqur'an dan Sunnah sangatlah sarat dengan keterangan dan dalil yang menunjukkan hal-hal diatas dengan segenap makna yang suci.

Alloh berfirman yang artinya : "dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali agama Alloh, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Alloh mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Alloh, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada ditepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamudari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk". (QS. Ali Imran : 103)

Dalam ayat ini terdapat keterangan tentang nikmat Allah yang merubah satu keadaan yang kacau kepada keadaan yang teratur dan rapi.

Sementara itu dari Sabda Rasulullah shollallahu 'alaihi wasallam kita dapati hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim : 


((إن من أحبكم إلي وأقربكم مني مجلسا يوم القيامة أحاسنكم أخلاقا الموطئون أكنافا الذين يألفون ويؤلفون))
"sesungguhnya termasuk orang yang paling aku cintai dan paling dekat tempat duduknya denganku kelak di hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya diantara kalian, yang tawadhu' (merendah) yang akrab dan bisa diakrabi".



Wahai umat pengikut Al-Quran dan sunnah! Siapa yang menyembunyikan penyakit maka ia akan tersiksa, merana, meradang, dan menyulitkannya. Sesungguhnya termasuk penyakit yang mestinya dikategorikan sebagai penyakit paling berbahaya dan parah adalah penyakit yang muncul akibat kekerasan hati, sikap saling menjauh, kasar dan saling membelakangi yang sampai pada tingkat tajrih (menilai cacat orang lain) tahdzir (memperingatkan), membodohkan-bodohkan, serta mengumbar aib orang lain yang muncul dari kaum muslimin sebagaian yang satu terhadap yang lain, dari mereka yang menapaki jalan kebenaran secara aqidah, ibadah, maupun perilaku. Juga dari mereka yang menisbatkan diri kepada kebaikan, dakwah dan kecemburuan terhadap perkara-perkara yang diharamkan, begitu pun perhatian terhadap keselamatan ummat dari kesalahan dan ketergelinciran, dan sangat mendambakan persatuan dan membenci perpecahan.

Dan sesungguhnya termasuk musibah yang memalukan adalah sebagian kaum muslimin yang bersikap lancang terhadap saudara-saudara mereka dari kalangan ulama yang mulia dan para da'i yang terhormat, dengan tujuan menghinakan kedudukan serta melecehkan kehormatan, mengaburkan sisi kebaikan mereka serta mencabut rasa kepercayaan dari diri mereka.

Hal yang memalukan ini semakin menjadi-jadi ketika dibarengi niat untuk menghinakan, mencemooh, dan mengumbar kekurangan mereka melalui satelit dan media massa seperti surat kabar, majalah, stasiun televisi, serta internet. Semua dilakukan dengan segenap kenekadan, jauh dari sifat wara' atau merasa bersalah. Padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah memperingatkan dan mengancam :

((يًا مًعشر من آمن بلسانه ولم يدخل الإيمان قلبًه, لا بغتابوا المسلمين ولا تتبعوا عوراتهم, فإنه من تتبع عوراتهم تتبع الله عورته, ومن تتبع الله عورته يفضحه ولو في جوف بيته ))
"wahai orang-orang yang mengaku beriman dengan lisan mereka sementara iman belum masuk ke lubuk hati mereka, janganlah kalian menggunjing kaum muslimin, jangan mencari-cari kesalahan mereka, sbab siapa yang mencari-cari kesalahan mereka maka pasti Allah akan mencari-cari kesalahan dan kekurangannya. Dan siapa yang dicari-cari kesalahannya oleh Allah, maka pasti ia akan dihinakan (dibongkar semua cacat dan aibnya) sekalipun ia bersembunyi jauh dalam rumahanya". (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi).

Imam Ahmad berkata, : "menodai kehormatan ulama (mencaci dan menghinakan) –terlebih lagi ulama-ulama besar- termasuk dosa besar! ".

Sedangkan Malik bin Dinar berkata, : "cukuplah keburukan seseorang, jika ia tidak menjadi sholeh, malah menjelek-jelekkan orang saleh".

Maka bagaimana pula halnya dengan orang-orang dari kaum muslimin –semoga Allh memberikan hidayah kepada mereka- yang mana puncak tujuan duniawinya, harapan dan cita-cita terbesarnya, adalah untuk menelusuri (mencari-cari) kesalahn, berburu kekeliruan dan mengipas-ngipas kesalahan yang sepele sehingga menjadi fitnah, dan mengumbar cacat orang melalui majelis-majelis serta tempat-tempat pertemuan ?! mereka tidak henti-hentinya menghina, tidak bosan-bosannya mencaci, dan tidak pernah sedikit pun meninggalkan cibiran. Ciri mereka adalah membikin rusuh, karakter mereka adalah memprovokasi, dan watak dasar mereka adalah mengganggu dan menghina. Kamus mereka adalah berburuk sangka, kosakata mereka adalah menyakiti dan mengungkit-ngungkit, berebut dalam menuduh, bersegera dalam bersikap keras dan mengucilkan, banyak mencaci dan memarahi, tidak merasa takut untuk mencaci dan mencela, melukai teman sendiri dari samping, serta memberondongkan anak panah dari belakang. Jika merka meliahat anda bergelimang nikmat maka mereka meradang karena hasut, dan jika jauh di belakang, mereka menggungjing anda.

إن يسمعوا هفوة طاروا بها فرحا وما علموا من صالح كتموا
"Apabila mereka mendengar ada kesalahan maka mereka serta merta bergembira dan terbang membawanya, tetapi kebaikan apa saja yang mereka ketahui mereka tutup-tutupi"


Mereka bekerja siang malam untuk menodai dan meremehkan orang, mencela dan menjelekkan citra orang-orang baik yang tidak bersalah, bergerak bak kelelawar di kegelapan malam, beraksi dibalik teralis, jika ada yang melihat mereka pasti wajah-wajah orang yang melihatnya penuh dengan pengingkaran, raut dan air muka mereka bisa berubah karena geram. Dalam keadaan lapang mereka adalah teman, tetapi jika dalam kesempitan mereka berbalik menjadi musuh paling kejam, yang tidak bisa membedakan mana kerabat dan sahabat dekat,. Mereka tidak mau mencarikan alasan untuk memaafkan saudaranya. Selalu berupaya menjatuhkan orang-orang mulia dan ternama, menebarkan aib dan kekurangan mereka,, mengada-adakan hasutan dan provokasi untuk menghantam mereka, Subhanalloh al-'Adzim,.!! Tidakkah mereka merasa takut pada Alloh Rabb semesta alam? Hanya kepada Allah tempat kita mengadu wa la hawla wala Quwwata illa billahil 'aly al-'Adzim.

Lebih dari itu, mereka selalu memanfaatkan situs-situs di internet, atau sebut saja situs-situs ular berbisa, dengan menklaim mereka hendak menjelaskan kebenaran, padahal sebenarnya mereka seperti lalat yang selalu mengerumuni luka-luka. Mereka tidak ambil pusing apakah mereka mendapat berita dari orang-orang yang buruk atau kedustaan, atau melalui buku-buku yang lolos dari koreksi atau tidak tersentuh oleh komentar dan penjelasan para ulama.

Kemudian berdasarkan dugaan atau kesalahan persepsi yang masih memungkinkan untuk difahami atau dimaafkan karena tenggelam dalam lautan kebaikan, mereka membangun konsep al-wala' dan bara', sikap boikot, memusuhi, sayang dan memerangi, yang dilakukan melalui tashnif (menggolong –golongkan orang), ta'asshub (fanatisme), dan tahazzub (fam golongan yang sempit).

Akibatnya para pencari ilmu yang baru belajar, atau kaum terdidik dan para pejuang kebaikan tersibukkan dengan fitnah mereka apalagi orang awwam. Di sisi lain, orang-orang yang berkepentingan dan memiliki ambisi di setiap tempat menelan mentah-mentah fitnah tersebut. Akibat lainnya adalah banyak kekuatan, potensi dan waktu terbuang percuma karena disibukkan antara yang membantah dan yang dibantah. Diadakan perhelatan dalam rangka menodai kehormatan dengan kata-kata yang kasar dan melukai, peda, dan menyakitkan, disertai tuduhan-tuduhan yang seakan-akan jilatan api yang menyala-nyala, yang menghasut dan mengadu domba akibat buruknya niat dan keinginan, me,mbentur kesucian diri dengan kesucian lisan dengan segenap kekuatan, padahal yang lebih utama semestinya menggunakannya untuk memusuhi dan membidik kelompok-kelompok menyimpang yang memusuhi kaum muslimin, berupaya untuk menggerogoti rasa aman dan kemurniannya. Saya peringatkan kepada orang-orang baik dan pencari kebaikan, jangan sampai menyerupai sifat dan karakter kelompok sesat yang mana kita telah diperingatkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam seperti dalam riwayat Ahmad dan Bukhori Muslim :

((قوم يقرؤون القران, لا يجاوز حناجرهم, يمرقون من الإسلام كما يمرق السهم من الرمية, يقتلون أهل الإسلام ويدعون أهل الأوثان))
"mereka adalah kaum yang membaca Al-Qur'an, tidaklah ayat-ayat itu melewati kerongkongan mereka. Mereka keluar dari islam sebagaimana anak panah melesat dari sasarannya, mereka membunuhi kaum muslimin sementara para penyembah berhala mereka biarkan!".

BERSAMBUNG...

Dalam situs ini kami memuat khutbah Beliau secara lengkap dalam bentuk audio. Silahkan klik :
http://www.alinshof.com/2010/01/khutbah-fadhilatus-syekh-drabdurrahman.html

Tafsir Surah Al-Ma'un

Merenungi Tafsir Surat Al Ma’un
[ وقفة مع سورة الماعون ]  Indonesia – Indonesian – [ إندونيسي

Karya : Dr. Amin bin Abdullah asy-Syaqawi

Terjemah : Muzaffar Sahidu
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad 

2010 - 1431


( وقفة مع سورة الماعون )


 تأليف : د. أمين بن عبد الله الشقاوي

ترجمة : مظفر شهيد
مراجعة: أبو زياد إيكو هاريانتو

2010 - 1431

Merenungi Tafsir Surat Al Ma’un

Segala puji hanya bagi Allah SWT, shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Rasulullah SAW, dan aku bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya selain Allah yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi -Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan -Nya.. Amma Ba’du:
Di antara surat yang agung kedudukannya yang sering terdengar pada pendengaran kita, dan membutuhkan perenungan dan tadabbur adalah surat Al-Ma’un. Allah SWT berfirman:

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?. Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat ria. dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (QS. Al-Ma’un : 1-7)
Allah SWT berfirman :
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama ?.

Maksudnya adalah tidakkah engkau menyaksikan wahai Muhammad orang yang mendustkan hari pembalasan, baik peristiwa-peristiwa yang ada di dalamnya berupa balasan dan sisksaan ?. Dikatakan bahwa ayat ini umum bagi setiap orang yang menjadi sasaran perintah ini, mereka itulah orang-orang yang mengingkari hari pembalasan :
Dan mereka selalu mengatakan: "Apakah apabila kami mati dan menjadi tanah dan tulang belulang, apakah sesungguhnya kami benar-benar akan dibangkitkan kembali ?. (QS. Al-Waqi’ah : 47)

Dan di antara yang mendustakan hari pembalasan itu ada yang berkata :

"Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh ?. (QS. Yasin : 78)

Allah SWT berfirman :
“Itulah orang yang menghardik anak yatim”.

Maksudnya adalah Mereka yang mengahardik anak yatim, menzalimi hak-haknya, dan tidak memberinya makan, tidak berbuat baik kepada mereka. Yatim adalah orang yang bapakanya telah meninggal dan dia di bawah usia baligh baik lelaki atau wanita.

Firman Allah SWT :

“dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin”.

Maksudnya adalah tidak memerintahkan untuk memberi makan orang miskin karena kebakhilan atau karena mendustakan hari pembalasan. Sebagaimana disebutkan di dalam firman Allah SWT :
Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim, dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin, (QS. Al-Fajr : 17-18).

Firman Allah SWT :

Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya.
Kata wail bermakna : Siksa bagi mereka. Sebagian ahli tafsir berkata: mereka adalah orang yang mengakhirkan shalat dari waktunya, dan mereka tidak menunaikan shalat kecuali setelah keluar waktunya.

Diriwzyatkan oleh Abu Ya’la di dalam musnadnya dari hadits riwayat Mus’ab bin Sa’d dari Sa’id bin Abi Waqqas berkata : Aku berkata kepada bapakku: Wahai bapakku, bagaimanakah pendapatmu tentang firman Allah SWT :

(yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya.

Siapakah di antara kita yang tidak lupa dan tidak membisikkan sesuatu pada dirinya ?. Dia berkata: Bukan itu maksudnya adalah menyia-nyiakan waktu shalat, dia lalai sehingga menyia-nyiakan waktu shalat.[1]

Allah SWT berfirman :

Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. (QS. Maryam : 59).

Dan ulama yang lain berkata : Mereka meninggalkan shalat dan tidak pula menunaikannya. Penafsiran ini datang dari Ibnu Abbas. Dan ada yang berkata: Mereka adalah orang-orang munafiq yang meninggalkan shalat secara rahasia dan menjalankannya secara terang-terangan saja.[2]
Ibnu Katsir rahimhullah berkata : Maksudnya adalah mereka selalu atau biasanya meninggalkan shalat sampai akhir waktunya, atau mereka tidak mengerjakan shalat dengan sempurna baik dalam rukun-rukunnya, syarat-syaratnya, mereka tidak mengerjakannya sesuai dengan apa yang diperintahkan, atau mereka tidak khusyu dalam menjalankan shalat dan tidak pula merenungi makna yang terkandung di dalamnya. Makna lafaz yang disebutkan oleh Al-Qur’an tersebut mencakup semua makna ini. Maka setiap orang yang memiliki sifat seperti ini berarti dia termasuk dalam bagian yang disebutkan di dalam ayat di atas, dan barangsiapa yang memiliki prilaku seperti semua prilaku yang disebutkan di dalam penafsiran ayat di atas maka sempurnalah bagiannya dalam keburukan tersebut. Yaitu kesempurnaan nifaq yang bersiat amali, sebagaimana disebutkan di dalam riwayat Muslim dari Anas bin Malik bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda : Itulah shalatnya orang munafiq, duduk menunggu bulan, sehingga apabila telah sampai pada dua tanduk setan maka diapun bangkit dan shalat dengan cepat empat rekaat, tidak menyebut Allah padanya kecuali sedikit”.[3]

Mereka mengerjakan pada waktu yang dimakruhkan, kemudian dia mengerjakannya pada waktu tersebut, mereka mengerjakannya dengan cepat sama seperti burung gagak mematuk, tidak thum’aninah dan tidak pula khusyu’, oleh karena itulah Rasulullah SAW bersabda : “...tidak menyebut Allah padanya kecuali sedikit”. Dan semoga yang mendorong mereka melakukan hal itu adalah untuk berbuat riya’ di hadapan orang lain bukan untuk mengharap keredhaan Allah SWT, hal itu sama saja dengan tidak shalat secara keseluruhan. Allah SWT berfirman :
"Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali". (QS. Al-Nisa’ : 142).
Dan di dalam ayat ini Allah SWT berfirman : [4] الَّذِينَ هُمْ يُرَاؤُونَ

Firman Allah SWT:

“orang-orang yang berbuat ria. dan enggan (menolong dengan) barang berguna”. Artinya mereka tidak berbuat ihsan dalam beribadah kepada Tuhan mereka dengan mewujudkan keikhlaskan dalam beribadah kepada Allah SWT, dan tidak pula berbuat ihsan kepada makhluk -Nya  walaupun dengan memberikan pinjaman barang yang bisa dimanfaatkan, dan bisa digunakan untuk keperluan tertentu padahal wujud barang tersebut tetap serta akan dikemblikan kepada mereka selaku pemilik, seperti meminjam bejana, ember dan parang. Maka orang yang bertipe seperti ini akan lebih gampang dalam meninggalkan zakat dan ibadah lainnya.

Di antara pelajaran yang dapat dipetik dari ayat ini adalah :
Pertama : Ayat ini menjelaskan tentang anjuran memberi makan kepada orang miskin dan anak yatim. Diriwayatkan oleh A;-Bukhari di dalam kitab shahihnya dari Sahl bin Sa’d bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda : Aku bersama orang yang menanggung anak yatim seperti ini”. Dan beliau menjadikan jari telunjuk berjejeran dengan jari tengah.[5]
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim di dalam kitab shahihnya dari Abi Hurairah RA bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda : Orang yang berusaha untuk kebutuhan wanita janda dan miskin seperti seorang mujahid di jalan Allah”, dan aku menyangka beliau bersabda : “Seperti orang yang bangun malam tanpa merasa putus asa dan orang yang puasa yang tidak pernah meninggalkannya”.[6]
Kedua : Anjuran untuk menunaikan shalat pada waktunya. Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. (QS. Al-Nisa’ : 103)
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim di dalam kitab shahihnya dari Abdullah bin Mas’ud RA berkata: Aku bertanya kepada Nabi Muhammad SAW : Amal apakah yang paling dicintai oleh Allah ?. Beliau SAW bersabda : Shalat tepat pada waktunya”.[7]
Ketiga : Anjuran untuk mengerjakan kebajikan, dan berbuat baik kepada orang lain dengan memberikan meminjam harta walaupun kecil, seperti  meminjamkan bejana, timba, buku, parang dan yang lainnya sebab Allah mencela orang yang tidak berbuat demikian.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari di dalam kitab shahihnya dari Ibnu Amr bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda : Empatpuluh kebaikan, dan yang paling tinggi adalah menghadiahkan seekor kambing betina. Tidaklah seseorang mengerjakan salah satu dari bagian tersebut karena mengharap pahala dari Allah dan percaya akan dijanjikan kecuali Allah akan memasukkannya ke dalam surga”.[8]
Hasan berkata : Maka kami kembali dan menghitung apa saja yang termasuk dalam pemberian yang nilainya di bawah kambing betina, seperti menjawab salam, mendo’akan orang yang bersin, menjauhkan gangguan dari jalan umum dan yang lainnya, dan kami tidak mampu menyebut lima belas kebaikan.[9]
Keempat : Anjuran untuk berbuat ikhlas dalam beramal dan waspada terhadap riya dan sum’ah, sebagaimana firman Allah tentang sifat orang-orang yang beriman :
"(8) Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. (9) Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih". (QS. Al-Insan : 8-9)

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari hadits riwayat Jundub RA bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda : Barangsiapa yang memperdengarkan amal baiknya maka Allah akan memperdengarkannya dan barangsiapa yang memperlihatkan amal baiknya maka Allah akan memperlihatkan amal baiknya di hadapan orang lain”.[10]

Maknanya adalah barangsiapa yang senang memperdengarkan amal baiknya maka Allah akan menyingkapnya dan menjelaskan serta mambuka kedoknya di hadapan masyarakat bahwa orang tersebut tidak ikhlas dalam berbuat namun dia ingin memperdengarkan kebaikannya agar manusia memujinya atas ibadah yang telah dikerjakannya begitu pula dengan orang yang memperlihatkan amal baiknya maka Allah pun akan memperlihatkan amal tersebut di hadapan orang lain dan menyingkap kedoknya baik cepat atau lambat.
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, semoga shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad SAW dan kepada keluarga, shahabat serta seluruh pengikut beliau.


[1] Abu Ya’la di dalam musnadnya : 1/336 No. 700 dan Al-Munziri berkata di dalam kitab targib wat tarhib : 1/441; sanadnya hasan.
[2] Lihat tafsir Ibnu Katsir : 4/554
[3] HR. Muslim : No. 622
[4] Tafsir Ibnu Katsir : 4/554
[5] Al-Bukhari : No. 6005
[6] Shahih Muslim : No. 2982 dan ini adalah lafaz Muslim dan Al-Bukhari : No. 6007
[7] Al-Bukhari : No. 527 dan Muslim : No. 85
[8] Al-Bukhari : No. 2631
[9]  Halaman : 497
[10] Al-Bukhari : No. 6499 dan Muslim : No. 2987

Ittiba'

Ditulis Oleh: Ustadz Muhammad Afifuddin As-Sidawi

Definisi Ittiba’

Ittiba’ secara bahasa berarti iqtifa (menelusuri jejak), qudwah (bersuri tauladan) dan Uswah (berpanutan). Itttiba’ terhadap Al Qur’an berarti menjadikan Al Qur’an sebagai imam dan mengamalkan isi kandungannya. Ittiba’ kepada Rosul artinya menjdikannya sebagai panutan yang patut diteladani dan ditelusuri jejak langkahnya (mahabbatur Rosul hal 101-102).

Adapun secara Istilah, ittiba’ berarti mengikuti seseorang atau suatu ucapan dengan hujjah dan dalil. Ibnu Khuwaizi mandad berkata:”Setiap orang yang kau ikuti dengan hujjah dan dalil yang ada padanya, maka engkau adalah muttabi’ (orang yang mengikuti)nya.” (dinukil oleh Imam Abdil Barr dalam kitab Jami’ Bayanil Ilmi,2/143).

Ibnu Qoyyim-rahimulloh – dalam kitabnya I’lamu Muwaqqi’in 2/139 menukil ucapan Abu Daud -rahimahullah- , beliau berkata:” Aku mendengar imam Ahmad bin hanbal -rahimahullah- menyatakan: Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam dan para Shohabat rodliallohu anhum .”

Dari perkataan para imam diatas, dapat dipahami bahwa yang dinamakan ittiba’ ialah mengikuti Al Qur’an dan As-Sunnah yang shahihah dengan pemahaman salaful ummah, karena dua perkara ini adalah hujjah yang qathiyyah sebagaimana telah disepakati oleh para ulama. Oleh karena itu Imam Ahmad bin hambal berkata:’ Janganlah engkau taqlid kepadaku, kepada malik, Sufyan Ats Tsauri dan Al Auza’I, tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” {lihat: A’lamul Muwaqi’in 2/139) Sedangkan para imam yang disebut oleh imam ahmad diatas, tidak pernah mengambil pendapat rijal (orang-orang) tapi mereka mengambilnya dai Al Qur’an dan Asu Sunnah ash shahihah lengkap dengan aqwal (perkataan) para Shohabat rodliallohu anhum .

Jika ada orang-orang yang mengikuti mereka (para imam) dengan dalil dan hujjah yang mereka ambil, maka dia adalah seorang muttabi’. Demikian pula jika ada orang yang mengikuti Syaikh Muhamamd Nashiruddin Al Albani , Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baaz , Syiakh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin -rahimakumullah- atau ulama yang lainnya karena berdasarkan hujjah dari Al Qur’an dan Assunnah dengan pemahaman salaful Ummah yang ada pada mereka, maka orang ini yang mengikuti para ulama tersebut adalah seorang muttabi’.

Seseorang disebut sebagai muttabi’ jika ia berpegang dengan dalil Al Qur’an dan Sunnah dan meninggalkan ucapan para imam atau masyaikh yang dia ikuti tersebut jika mereka (imam dan masyiakh tersebut) tidak menyandarkan pada dalil Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman salaful Ummah

.

Ittiba’ Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam


Alloh Azza wa Jalla berfirman :

“Seseungguhnya telah ada pada diri Rosululloh itu suri tauladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharapkan (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” [QS Al Ahzab : 21]

Imam Ibnu Katsir -rahimahullah- menjelaskan ayat ini dengan ucapan:” Ayat ini merupakan asas pokok dan agung dalam bersuri tauladan kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam dalam segala ucapan, perbuatan dan hal ihwal lainnya…” [lihat: Tafsir Ibnu Katsir 3/475].

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani -rahimahullah- dalam kitabnya Al Hadits Hujjatun bi Nafsihi hal 35 mengatakan,”Ayat ini memberikan pengertian bahawa Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam adalah panutan kita dan suri tauladan bagi kita dalam segara bentuk urusan agama…”

Ber-uswah kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam ialah dengan mengerjakan sesuai apa yang dikerjakan oleh beliau Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam , baik berupa amalan sunnah ataupun amalan wajib dan meninggalkan semua yang ditinggalkan oleh Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam baik itu perkara makruh apalagi perkara haram. Jika Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam mnegucapkan suatu ucapan, kita juga berucap seperti apa yang beliau ucapkan tersebut, jika beliau mengerjakan sesuatu, maka kita juga mengerjakannya sesuai dengan perbuatan Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam dengan tidak ditambah apalagi dikurangi. Begitu pula jika Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam meninggalkan sesuatu maka kita juga tinggalkan selama perbuatan atau ucapan tersebut bukan suatu kekhususan bagi beliau Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam. Dan jiak beliau mengagungkan sesuatu maka kita juga mengagungkannya , dan demikian seterusnya.

Jadi, beruswah kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam berati kita mengesakannya dalam hal mutaba’ah (mengikuti) sebagaimana kita mengesakan Alloh Azza wa Jalla dalam beribadah. Hal ini merupakan konsekuensi dari ucapan syahadat Laa Ilaha Illallah wa Asyhadu Anna Muhammadan rasululloh, jika hilang salah satu hal dari diri seseorang kedua kalimat persaksian tersebut maka belum dapat dikatakan seseorang tersebut sebagai muslim.

Perlu diperhatikan, bahwa mustahil seseorang itu mampu beruswah dan beriittiba’ kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam jika dia jahil (bodoh) terhadap sunnah dan petunjuk-petunjuk Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam . Oleh karena itu jalan satu-satunya untuk bisa beriittiba’ kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam adalah dengan mengetahui sunnah-sunnah beliau dan ini menunjukkan bahwa atba’ (pengikut rosul) adalah ahlul bashiroh (orang yang berilmu).

Al Imam Ibnul Qoyyim Al Jauziyah dalam kitabnya Zaadul Ma’ad 1/69-70 mengatakan :”Kalau kebahagian seorang hamba di dunia dan akherat tergantung dengan petunjuk Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam maka wajib bagi setiap hamba yang ingin mendapatkannya utnuk mengetahui dan memahami Sunnah Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam , petunjuk-petunjuk dna jalan hidup beliau sehingga dapat digolongkan sebagai atba’ (pengikut) belia..”

Setelah mengilmui sunnah-sunnah beliau Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam , maka wajib bagi kita selanjutnya adalah tathbiqu Sunnah (mengamalkan sunnah) baik secara individu maupun masyarakat. Di dalam menjalankan sunnah ini tidak boleh hanya mengamalkan sebagian dan meninggalkan sebagian lainnya. Tidak boleh hanya mementingkan sholat saja tanpa mengamalkan yang lain, begitu juga tidak boleh mementingkan akhlak saja namun tauhidnya tidak. Akan tetapi harus mengamalkan sunnah Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam baik yang berkaitan dengan masalah I’tiqod, ibadah, muamalah, akhlaq, adab, hubungan social ataupun lainnya.

Salah satu cara dalam tahthbiqu sunnah adalah dengan menyebarkan ilmu syar’I yang telah diwariskan Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam kepada ummat. Jadi merupakan kewajiban bagi setiap orang yang mempunyai illmu syari tersebut untuk meyampaikan dan mendakwahkan kepada ummat tentang sunnah.

Imam Al Baihaqi -rahimahullah- mengatakan:” Jika ittiba’ kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam merupakan suatu kewajiban dan tidak ada cara lain untuk bisa berittiba’ kepada sunnah beliau kecuali dengan mengilmuinya, maka tidak ada jalan lain untuk bisa mengilmuinya kecuali dengan menerima semua apa yang datang dari beliau. Oleh sebab itu beliau memerintahkan umatnya untuk mengajarkan dan mendakwahkan sunnah kepada ummat.” [lihat Al I’tiqod Wal Hidayah Ila Sabili Ar Rasyad hal 154]

Kemudian yang perlu diperjelas adalah suatu perbuatan yang ditinggalkan oleh Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam atau yang lebih dikenal dengan sunnah matrukah atau sunnah tarkiyah.

Sunnah Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam dibagi menjadi dua yaitu: Sunnah fi’liyah dan sunnah tarqiyyah. Segala sesuatu yang dikerjakan Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam termasuk sunnah yang kita kerjakan selama bukan merupakan kekhususan bagi beliau. Sunnah ini yang yang dinamakan sunnah fi’liyah. Sedangkan segala sesuatu yang ditinggalkan beliau adalah termasuk sunnah untuk kita tinggalkan dan ini dinamakan sunnah tarkiyyah.

Al Hafidz Ibnu Rajab Al Hambali -rahimahullah- dalam kitabnya Fadllu ‘Ilmi Salaf hal 31 beliau berkata”…Segala sesuatu yang disepakati oleh salafush shalih untuk ditinggalkan maka tidak boleh diamalkan karena mereka tidak akan meninggalkan suatu amalan karena mereka tahu bahwa amalan itu tidak dikerjakan Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam “

Dasar kaidah sunnah tarkiyyah ini diambil dari beberapa dalil. Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori -rahimahullah- (no 5063) dan Imam Muslim -rahimahullah- (no 1401) dari anas bin malik -Rodliallohu anhu- , dia berkata :”Datang tiga orang ke rumah istri Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam . Ketika mereka dikabari tentang ibadah Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam mereka merasa bahwa ibadah mereka amat sedikit. Oleh karena itu mereka mengatakan’Ada apanya kita dibanding Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam? padahal beliau telah diampuni oleh Alloh dosanya yang lalu maupun yang akan datang’, salah satu diantara mereka berkata,’Saya akan sholat semalam suntuk selama-lamanya’ yang lainya berucap,’ Saya akan berpuasa sepanjang masa dan tidak akan berbuka.’ dan yang lainnya berkata,’saya akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya’ (mendengar hal ini) Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam pun bersabda,”Kalian mengucapkan begini dan begitu?! Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling taqwa kepadaNya, namun aku berpuasa juga berbuka, aku sholat dan juga tidur serta aku pun menikahi wanita. Maka barangsiapa yang benci terhadap sunnahku maka dia bukan dari golonganku” [HR Bukhori dan Muslim]

Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid -Hafidlahullah- dalam kitabnya Ilmu Ushulil Bida’ hal 108 menjelaskan hadits tersebut :’Hadits ini secara jelas mengisyaratkan tentang usaha tiga orang yang tersebut dalam hadits untuk mengerjakan ibadah-ibdah yang pada dasarnya memeang disyariatkan, namun kaifiyyah (tata cara) yang tidak pernah dilakukan Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam . Puasa pada asalnya ibadah yang dianjurkan. Qiyamul Lail pun asalnya dalah ibadah yang disukai . Tetapi kaifiyah dan sifat ibadah yang akan dilakukan oleh tiga orang tadi ditinggalkan oleh Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam .dalam praktek ibadahnya dan tidak pernah diajarkan oleh beilau, maka beliau pun mengingkari perbuatan mereka. Pengingkaran Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam tesebut sesuai sabda beliau:’barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan itu tertolak.”[HR Muslim 1718]. “

Dalam hadits ini ada faedah yang sangat penting yaitu niat yang baik semata tidak dapat menjadikan suatu amalan menjadi baik dan diterima di sisi Alloh Azza wa Jalla , akan tetatpi harus sesuai dengan cara yang diajarkan oleh Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam .Oleh karena itu Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam menutup pengingkarannya dengan sabdanya,”…siapa yang benci (meninggalkan) sunnahku, maka dia bukan berasal dari golonganku.”

Oleh karena itu untuk menyempurnakan ittiba’ kepda Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam adalah mengerjakan apa yang telah dikerjakan oelh ros (sunnah fi’liyah) dan meninggalkan apa yang ditinggalkan Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam (sunnah tarkiyyah). Dengan demikian seseorang akan terjauh dari perbuatan bid’ah dan dapat menutup pintu bid’ah serapat-rapatnya. Karena semakin ber-ittiba’ kapada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam, maka semakin jauh pula seseorang dari kebid’ahan, Sebaliknya kalau seseorang lemah dalam ber-ittiba’ kepada beliau, maka pintu bid’ah akan terbuka lebar-lebar dan kemungkinan terjerumus sangat besar sekali baginya.

Meninggalkan apa yang ditinggalkan Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam berati telah mengerjakan sunnah tarkiyyah, tetapi sebaliknya meninggalkan apa yang dikerjakan oleh Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam (sunnah fi’liyah), maka kan terjerumus ke dalam bid’ah tarkiyyah. wal ‘iyadzubillah.

Bid’ah tarkiyyah adalah jika seseorang mengharamkan atas dirinya apa yang dihalalkan oleh Alloh Azza wa Jalla dan rosulNya tanpa udzur syar’I dan menjadikannya segabagai agama yang harus dipeluk.

Orang yang meninggalkan sesuatu yang dihalalkan atau yang disyariatkan oleh agama itu memiliki dua alternatif :

Dia meninggalkan karena udzur syar’I
kalau dia meninggalkan sesuatu yang halal karena ada udzur syariat berarti dia meninggalkan sesuatu yang boleh ditinggalkan atau bahkan dituntut untuk ditinggalkan. Seperti orang yang meninggalkan suatu makanan tertentu karena dapat merusak kesehatan.

Dia meninggalkan tanpa ada udzur syar’I
Orang yang meninggalkan sesuatu tanpa ada udzur syari juga mempunyai dua alternatif :

Dia meninggalkannya tapi tidak dianggap sebagai agama.
Orang seperti ini berarti telah mengerjakan suatu yang sia-sia, namun belum bisa dikatakan sebagai perbuatan bid’ah tarkiyyah, sekali pun dia telah berbuat maksiat karena telah mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah dan RosulNya

Dia meninggalkan dan menggangap sebagai agama
Orang yang meninggalkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan RasulNya dan menganggap bahwa apa yang dia perbuat adalah agama yang harus dipeluk, maka dia telah terjatuh dlam bid’ah tarkiyyah. Karena orang yang mengharamkan dirinya untuk memakan apa yang dihalalkan oleh Allah dan RosulNya tanpa ada udzur syar’I berarti dia telah keluar dari sunnah Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam , sedangkan orang yang meninggalkan sunnah karena tadayyun (dianggap sebagai agama) adalah seorang mubtadi’ {lihat Al I’tisham 1/42]



Bentuk-Bentuk Ittiba’

Ittiba’ kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam memiliki mazhahir (bentuk-bentuk) yang banyak. kalu madzahir itu direalisasikan, maka hal itu menunjukkan kejujuran seseorang dalam ber-ittiba’ kepada RosulNya. Diantara madzahir itu adalah :


Menta’ati Perintah Beliau Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam

Alloh Azza wa Jalla dalam banyak ayat Al Qur’an memerintahkan kaum mukminin untuk taat kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam . Hal ini merupakan suatu bukti kebenaran dalam ber-ittiba’ kepadanya. dan seringkali Alloh Azza wa Jalla menggabungkan perintah untuk taat kepadaNya dengan perintah untuk taat kepada RosulNya untuk menunjukkan bahwa taat kepada RoslNya dalam segala yang diperintahkan itu mutlak adanya, tidak perlu lagi dicocokkan dengan Al Qur’an. didalam Al Qur’an juga disebutkan bahwa orang yang taat kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam berarti dia telah taat kepada Alloh Azza wa Jalla .

Alloh Azza wa Jalla berfirman

“ Hai orng-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RosulNya dan ulil amri diantara kalian….” [QS An Nisa 59]

“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah…”[QS An Nisa 80]

Ta’at kepada Allah dan RasulNya merupakan sebab turunnya rahmat dari Alloh Azza wa Jalla , sebagaimana firmannya:

“Dan taatilah Allah dan Rosul, supaya kamu diberi rahmat “ [QS Ali Imron 132]

Juga merupakan sebab seseorang itu mendapatkan hidayah dari Alloh Azza wa Jalla , dalam firmannya:

“Katakanlah :’Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rosul, dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rosul hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, kewajiban kamu adalah apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya niscaya kamu mendapat petunjuk…[QS An Nuur 13]

Allah menjanjikan bagi orang yang taat kepadaNya dan kepada RosulNya dengan surga yang mengalir dibawahnya dlam firmanNya:

“..Barangkali yang taat kepada Allah dan RosulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal didalamnya, dan itulah kemenangan yang besar.”[QS An Nisa 13]

Sebaliknya Alloh Azza wa Jalla mengancam orang-orang yang tidak taat kepada RosulNya dengan adzab yang pedih, firmanNya :

“….maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahNya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” [QS An Nuur 63].


Menjauhi Larangan Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam

Hal ini juga merupakan bukti nyata tentang kebenaran seseorang dalam berittiba’ kepda RosulNya. Orang yang terkumpul pda dirinya dua hal ini yakni mengerjakan perintah Alloh Azza wa Jalla dan RosulNya serta menjauhi laranganNya, maka dia telah mencapai derajat orang yang bertaqwa.

Di dalam menjauhi larangan Alloh Azza wa Jalla dan RosulNya, kita harus meninggalkan semuanya tanpa terkecuali sekalipun hawa nafsu kita berat meninggalnya. Merupakan rahmat Alloh Azza wa Jalla yang Maha Luas di dalam kita mengerjakan perintahNya kita hanya dituntut mengerjakan sesuai kemampuan kita. Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda dalam sebuah hadits ,” Apa yang aku larang untuk kalian, maka jauhilah (semuanya), dan apa yang aku perintahkan, maka kerjakanlah semampu kalian..” [HR Bukhori 13/251 da Muslim 1337].


Membenarkan Khabar/berita yang datang dari Beliau

Termasuk kebenaran bukti ittiba’ seseorang kepada NabiNya adalah dia membenarkan seluruh berita yang memang benar darinya sekalipun berita itu tidak masuk akal atau tidak dapat dijangkau dengan nalar dan panca indra. Karena dia yakin bahwa Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam tidak akan pernah berbicara dari hawa nafsunya, melainkan berbicara sesuai wahyu dari Alloh Azza wa Jalla .

“ Dan tidaklah dia mengucapkan dari hawa nafsunya melainkan wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [QS An Najm 4]


Beribadah kepada Alloh Azza wa Jalla dengan syariat yang diajarkan beliau.

Empat point penting diatas adalah sebagian dari sekian banyak mazhahir iitiba’ kepda Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam dan merupakan makna persaksian syahadat Muhammad Rosululloh , demikian yang dikemukakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalm risalahnya [ lihat : Hasyiyah Ushulu Ats Tsalatsah 57]


Kedudukan Ittiba dalam Islam

Ittiba’ didalam islam memiliki kedudukan yang sangat tinggi, bahkan merupakan salah satu pintu seseorang dapat masuk agama Islam. Berikut ini point-point penting kedudukan ittiba di dalam Islam

Ittiba’ kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam adalah salah satu diterimanya amal ibadah seseorang oleh Alloh Azza wa Jalla .
Ittiba’ dijadikan oleh Alloh Azza wa Jalla dan RosulNya sebagai salah satu syarat diterimanya suatu amalan ibadah. Sedangkan syarat ibadah itu sendiri sebagaimana yang disepakati oleh para Ulama Ahlus Sunnah ada 2 yakni:

Mengikhlaskan niat ibadah hanya untuk Alloh Azza wa Jalla
Amalan ibadah yang dilakukan tersebut harus sesuai/mencocoki dengan apa yang diajarkan Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam .
Alloh Azza wa Jalla berfirman ,” Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” [QS Al Mulk 2]

Imam Al Fudhail bin Iyadh menafsirkan firman Alloh Azza wa Jalla [tafsir makna “ yang lebih baik amalnya”], dengan ucapan beliau -rahimahullah- ,” Yaitu yang paling ikhlas dan paling cocok dengan ajaran Rosul, karena suatu amalan yang didasarkan dengan ikhlas, namun tidak sesuai dengan ajaran Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam maka amalan tersebut tertolak. Begitu pula sebaliknya, kalau amalan itu benar namun dilakukan tidak ikhlas untuk Alloh Azza wa Jalla semata, amalan inipun tidak diterima…” [Lihat Jami’ul Ulum wal Hikam hal 10 dan Ilmu Ushulil Bida’ hal 61].

Ibnu Ajlan -rahimahullah- mengatakan ,” Tidak sah suatu amalan melainkan dengan tiga perkara : taqwa kepada Allah, niat yang baik (ikhlas), dan ishabah (sesuai dan mengikuti sunnah Rosul).” [lihat Jami’ul Ulum wal Hikam hal 10]

Maka barangsiapa mengerjakan amalan suatu amalan dengan didasari ikhlas karena Alloh semata dan sesuai dengan sunnah Rosululloh, niscaya amalan itu akan diterima Alloh Azza wa Jalla . Akan tetapi jika hikang salah satunya maka amal itu akan tertolak dan tidak diterima Alloh Azza wa Jalla . Hal inilah yang sering luput dan dilalaikan oleh sebagian orang yang mengaku muslim, mereka hanya memperhatikan satu sisi saja dan tidak memperdulikan sisi lainnya. Sehingga seringkali kita dengar ucapan mereka” yang penting kan niatnya, kalau niatnya baik maka amalannya akan baik.” Suatu ucapan bodoh dan jahilnya orang-orang tersebut.


Ittiba’ merupakan bukti kebenaran cinta seseorang kepada Allah dan RosulNya.
Alloh Azza wa Jalla berfirman:

“ Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’. Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [QS Ali Imron 31]

Imam Ibnu Katsir -rahimahullah- menafsirkan ayat diatas dengan ucapannya,” Ayat yang mulai ini sebagai hakim bagi orang-orang yang mengaku cinta kepada Alloh Azza wa Jalla , namun tidak mengikuti sunnah Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam , karena orang yang seperti ini pada intinya adalah pendusta dalam pengakuan cintanya kepda Alloh Azza wa Jalla sampai dia ittiba’ kepada syari’at agama Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam dalam segala ucapan dan tingkah lakunya.” [Tafsir Ibnu Katsir 1/358].


Ittiba’ adalah sifat utama bagi wali-wali Alloh Azza wa Jalla
Imam Ibnu Taimiyah -rahimahullah- dalam kitabnya Al Furqon Baina Aulia Rahman wa Auliya Syaithon halaman 28-47 menjelaskan panjang lebar tentang perbedaan antara waliyulloh dan wali syaithon, diantaranya beliau mengatakan,” Tidak bisa dikatakan wali Allah kcuali orang yang beriman kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam dan syariat yang dibawanya serta ber-ittiba’ kepada kepadanya lahir dan batin. Barangsiapa mengaku cinta kepada Alloh Azza wa Jalla namun dia tidak ittiba’ kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam berarti dia dusta. bahkan kalu dia menentang RosulNya , berarti dia juga termasuk musuh Allah dan sekaligus sebagai Wali Syaithon.”

Kemudian beliau ( dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab -rahimahullah- dalam kitabnya Al Ushul As Sittah) berdalil dengan firman Alloh Azza wa Jalla surat Ali Imron 31 diatas.

Imam Ibnu Abil Izzi Al Hanafi -rahimahullah- dalam kitabnya Syarah Aqidah Ath Thahawiyah hal 496 beliau berkata,” Pada hakekatnya yang dinamakan karomah adalah kemampuan untuk senantiasa istiqomah berada diatas al haq, karena Alloh Azza wa Jalla tidak memuliakan hambanya dengan suatu karomah yang lebih besar dari taufikNya yang diberikan kepada hamba itu untuk senantiasa memcocoki apa yang dicintai dan diridloiNya yaitu istiqomah didalam mentaati Alloh Azza wa Jalla dan RosulNya an ber-wala (loyal) kepda wali-wali Allah serta bara’ (berlepas diri) dari musuh-mushNya.” Mereka itulah wali-wali Allah sebagaimana yang difirmankanNya :

“ Ingatlah, sesungguhnya wali-ali Alloh itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” [QS Yunus 62]

Demikianlah beberapa kedudukan Ittiba’ yang tinggi dalam syariah Islam dan masih banyak lagi kedudukan yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa ittiba’ kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam merupakan amalan besar yang banyak mendapat rintangan. Mudah-mudahan Alloh Azza wa Jalla menjadikan kita sebagai orang-orang yang berittiba kepada NabiNya dalam setiap detail aspek kehidupan kita.

Dan Bagaimana dengan Taqlid?????...insya alloh dibahas dibagian kedua dari tulisan ini

ma’raji :

Al Qur’anul Karim dan terjemahannya

Jami’ul Ulum wal Hikam , Al Hafidz Ibnu Rajab

Mahabbatur Rasul, Abdu rauf Muhammad Utsaman

Jami’ Bayanil Ilmu wa Fadllih, Imam Ibnu Abdil Barr

Al Hadits Hujjatun bi Nahsihi, Syaikh Al Albani

Al I’tiqod wal Hidayah Ila Sabdi Ar Rasyad, Imam Al Baihaqi

Fadlu Ilmi Salaf, Al Hafidz Ibnu Rajab

Shahih Bukhori, Imam Bukhori

Shahih Muslim, Imam Muslim

Ilmu Ushulil Bida’, Syaikh Ali Hasan Al Halabi

Al I’tishom, Imam Asy Syatibi

Syarh Aqidah Thahawiyah, Imam Ibnu Abil Izzi Al hahafi

Al Aqalid, Syaikh Muhammad Amin Asy Syinqithi

Al Ushul As Sittah, Imam Muhammad bin Abdul Wahab

Hal lil Muslim Mulzamun bi ittiba’ Madzab Mu’ayyan, Muhammad sulthon Al Ma’shumi.


(Dapatkan kitabnya di www.al-aisar.com)