Rabu, 21 Maret 2018

Puisi-Puisi Amar Ar-Risalah

Nyanyian Musim


Kau tentu tahu; jika bunga-bunga randu itu beterbangan
Menutupi jalan; pada waktu menjelang Ashar
Yang ingin bunga itu katakan berbeda
saat kau dengan sengaja-diam-diam atau terbuka-mengetamnya
Menjadikannya kasur bagi tidurmu yang sejahtera

Kau tentu pernah mendengar bahwa
daun-daun jati itu pergi tanpa mengetuk pintumu
Saat tangan-tangan yang tak bakal dimakan rayap datang menebang
Dan daun-daun itu menjelma sayap; yang kaugunakan
terbang ke masa kenangan

Kau bisa jadi ingat pernah bercakap pada rebung bambu
Betapa ia tak tahu nasib memberinya berapa waktu
Barangtentu kau tak tahu bagaimana
ingatan permainan anak-anak kita
Disimpan di rongga-rongga bambu
Dan bagaimana rongga-rongga itu
akan menceritakan muasalnya padamu:
"Aku tercipta dari punggung dan jemari ibu..."



Nyanyian Semesta
 
 "Menjelang matahari terlelap;
aku mendengar nyanyian
Yang gaib. Dari dasar
alam semesta
Dari akar-akar penciptaan
Partikel Tuhan.
Dzarrah yang pekat.
Dawai yang bergetar
Nada yang gelepar
Tenaga yang pencar
Wujud dan tak wujud.
Wurd dan sujud.
Kekosongan dan materi.
Kehampaan dan gravitasi.
Cahaya adalah
yang nampak--dan--menampakkan. Kita
adalah cahaya
Nyanyian Ghazali.
Kantung-kantung cahaya.
Nyanyian taman
para pencari
Hidup-hidupkan hari
Yang telah mati
Kita di dalam peti
Yang dikunci berpuluh juta hari
Kita adalah anak-anak pewaris Sohrawardi
Kita adalah pencari
Amanat tekateki Rumi....."





Safar Hujan 


 

Suatu hari
Hujan, dengan jubahnya yang lapang
Bermurah hati
Menjenguk ladang-ladang
Di desa-desa
Menziarahi orang-orang tua
Yang paham sejarah
Bagaimana sebuah kota
Kelewat jatuh cinta
Pada dirinya sendiri

Hujanpun terus melangkah
Disingkapnya daun-daun pisang
Yang usil; ditepisnya
bunga-bunga ilalang
Dari lahan yang ditinggalkan
"Betapa lamanya," ia mendesah,
"Betapa lama desa-desa di sini
Tak dijenguk rajanya sendiri."
Dengan senyum yang lebat
Hujan membasuh pipi-pipi perawan
Yang bersitahan di celah-celah zaman
Dengan kasihnya yang deras
Ia pastikan tak ada yang sanggup melawan....




 Ode

Ijinkan aku membawakan padamu
Airmata para Nabi
Yang kerap dijatuhkan di malam-malam bisu
Kita terpaksa memanggil burung-burung bagi bernyanyi
Menutupi isak yang rahasia; yang tak seorangpun
Boleh mengetahui. Kita terpaksa
Meragukan mustajab doa-doa

Dengarkan aku: suara langkah kita
Telah berapa lama barangkali tak didengar sesiapa
Yang menjenguk taman surga. Suara bercanda kita
Yang sederhana; barangkali telah diliputi
prasangka-prasangka
pantun teka teki jenaka
Rupanya pertanyaan hidup
Telah kau jawab dengan lugas dan wibawa:
Tak ada kehidupan, jika tak ada kematian 
untuk membedakan

Belajar Menulis Pada Dua Ulama


Sepanjang peradaban manusia, sebetulnya, para ulama besar menulis sebuah proposal. Mereka—rahimahullah—menyaksikan umat ini di ambang keruntuhan: 

Jauh, setelah Rasulullah meninggal; mereka lebih dari sekadar meninggalkan Al-Qur’an. Para ulama, terbagi dua golongan. Pertama, adalah mereka yang menjual dirinya kepada para penguasa. 

Mereka mencari makan dengan cara menjual fatwa-fatwa yang disesuaikan dengan keinginan penguasa. Pengaruh mereka masih besar di masyarakat, dan para penguasa tahu itu. mereka ingin masyarakat berpihak pada penguasa; dengan cara, para ulama membuat fatwa yang mendukung pemerintahan. 

Di saat-saat seperti itu, para ulama juga menghadapi fakta bahwa pemerintahan tak lagi bekerja untuk memakmurkan rakyat dan membina umat sebagaimana seharusnya. Mereka ternyata menjilat bangsa lain yang lebih besar. 

Sehingga bangsa-bangsa itu datang dan menyerbu kekuasaan islam. Dan saat itulah kita akan mengenang peristiwa ini dengan satu kalimat kecil: “Runtuhnya dinasti islam…”

Golongan ulama jenis kedua, adalah mereka yang dengan segala ilmunya yang luas, menjadi sesat. Mereka terpapar pemikiran filsafat sesat. Di antara mereka ada yang menjadi pengikut Aristoteles. Sebagian menjadi pemikir yang terlalu jauh memikirkan Tuhan.

Akhirnya, mereka hanya memenuhi negara dengan pikiran-pikiran yang tidak perlu. Mereka kehilangan gairah kerja karena beranggapan, Tuhan mencukupkan rezeki hambanya, maka jika kita bekerja untuk mendapat rezeki, sama saja menghina Tuhan. 

Orang dengan pemikiran semacam itu, tidak mau menjawab panggilan jihad para pasukan dan juga tidak mau mendukung pemerintahan untuk memperbaiki dirinya. 

Pada waktu begitulah, bangkit para ulama bersenjatakan pena. Mereka menulis suatu blue print, suatu karya besar, yang bisa digunakan untuk membangkitkan kembali umat. Merekalah golongan ulama ketiga:

Yang senantiasa akan dibangkitkan Allah untuk kembali meluruskan agama islam. Golongan ulama ketiga ini kemudian paham betul makna dakwah para Nabi, bahwa nabi-nabi itu dibekali kitab suci yang berupa tulisan, sebagai sebuah tawaran proposal pada umat manusia. 

Dan ulama-ulama itu tinggal mengambil sisi dari proposal itu untuk dipecah kembali menjadi proposal-proposal baru yang sesuai dengan kondisi zamannya. Begitulah, setiap waktu para ulama terus menulis.
*

Awal pergantian milenium pertama sejarah manusia. Kerajaan besar dalam sejarah islam, Dinasti Abbasiyah, dilemahkan oleh kelompok Syiah Al-Buwaihi yang mengambil alih pemerintahan dari tangan Ahlu Sunnah wal Jamaah. 

Sementara, di luar tembok istana, para penduduk kehilangan pegangan. Aliran-aliran sesat masuk dan mengacaukan kehidupan keagamaan di sana: pemikiran filsafat ekstrim, syiah batiniyah, muktazilah, dan lain sebagainya membuat umat kehilangan daya pembangunan. 

Di sisi lain, muncul kelompok sufi sesat yang punya keyakinan bahwa umat islam tidak perlu mengurus politik. Fokus saja pada pencarian ketuhanan yang sebetulnya telah jelas di dalam Al-Quran. 

Segala  puji bagi Allah, yang pada tahun-tahun itu, dibangkitkan-Nya seorang ulama besar. ulama ini dengan mata kepalanya menyaksikan bahwa negara besar Abbasiyah yang menguasai seperempat dunia, hancur di tangan syiah. 

Kondisi sosial politik begitu mencekam. Entah siapa, asalkan kuat, bisa saja menginjak-injak takhta. Pelacuran marak di kota terbesar islam itu. bahkan diberitakan, ada kasus kanibalisme yang terjadi.. 

Ulama ini bukanlah ulama ahli perang. Ia hanya bisa menasihati orang lain. Akan tetapi, ia melihat satu masalah utama. Umat harus diberikan tawaran baru dari apa yang ia tulis. Sebab umat telah kehilangan identitasnya. Umat tak punya lagi rencana untuk menjalankan peradaban islam. 

Sejarah mencatat, ia akan menulis ribuan kitab yang menyelamatkan garis perjalanan umat ini. Nama ulama ini, adalah Imam Al-Ghazali. Ulama besar Ahlu Sunnah wal Jamaah. 

Kelak ia akan menulis sebuah kitab untuk membangkitkan kembali ilmu agama yang sudah mati ketika itu. Ihya Ulumuddin. Bangkitnya ilmu-ilmu agama, itulah nama kitabnya. 

Kelak, ia juga akan menulis sebuah kitab yang khusus dia hadiahkan kepada penguasa Bani Seljuk untuk memperbaiki kondisi umat dan mengkritik penguasa. 

Kita akan melihat bahwa Imam Ghazali akhirnya menulis ratusan kitab yang mengkritik penguasa syiah waktu itu, dan pada gilirannya menjadi buku petunjuk bagi umat islam. 

Buku Ghazali, terutama Ihya Ulumuddin, adalah sebuah proposal kebangsaan, untuk membangkitkan kembali daya hidup dan kebesaran umat islam lagi!

Dan hari ini kita akan mengenal Al-Ghazali sebagai peletak dasar filsafat islam. Kita juga akan mengenal Ghazali sebagai seorang pembaru, ulama besar sepanjang zaman, dan pada gilirannya menginspirasi jutaan umat di seluruh dunia.
*

Lewat 100 tahun setelah Ghazali. Kaki-kaki kuda mongol yang buas, bergemuruh di ufuk. Kota Baghdad yang megah, yang indah, yang tiada duanya, diambang kehancuran. Ratusan ribu pasukan Mongol itu merobek-robek langit dengan suara teriakannya.

Beberapa ulama besar di kota itu mengira, mereka adalah Ya’juj wa Ma’juj yang diturunkan Allah untuk menghabisi umat manusia sebab mereka membakar dan menjarah apapun yang bernyawa. Para penguasa islam ditangkap dan dipenggal, tak bisa melindungi umat islam, rakyatnya. 

Seorang anak, 6 tahun usianya, tergopoh-gopoh dilarikan keluarganya ke Suriah, menghindari serbuan pasukan itu. kehancuran kampung halamannya begitu membekas di hati anak ini. Ia bersumpah membalas kembali kehancuran kotanya. 

Di Suriah, anak ini tumbuh menjadi anak ajaib. Ia mampu menghafal ribuan hadis. Tentu saja ia sudah hafiz Qur’an. Tetapi bukan itu. kenangan masa kecilnya mengenai hancurnya Kota Baghdad yang megah begitu membekas.

Ia marah; tapi tak tahu pada siapa. Sebab ia tahu alasan utama hancurnya Baghdad adalah karena, para pemimpin dan ulama di sana menjual diri kepada bangsa Mongol, bukan karena pasukan militer islam yang lemah. 

Sepanjang usianya, kelak kita mengetahui, ia akan memimpin sebuah pasukan besar berkuda untuk mengusir Mongol yang mendekati Suriah, dan ia menang. 

Kemudian, ia juga akan memimpin pasukan besar yang memagari Jerussalem dari luapan militer Mongol ke sana. Dan, lagi-lagi ia menang. Tapi ia belum merasa puas membalaskan dendam masa kecilnya. 

Ulama-penulis ini sadar bahwa tulisan-tulisannya itu harus ditanda-tangani dengan darahnya sendiri. Diksi-diksi yang ia tulis harus tahu rasanya himpitan medan perang atas nama: "mempertahankan kehormatan umat islam."

Untuk menyelamatkan bangsanya, ia menilai bahwa islam sudah  jauh dari nilainya yang asli. Islam sudah tidak lagi diketahui dan dipelajari dari sumbernya yang pasti. Sebab ia paham, pangkal runtuhnya umat ditangan Mongol kala itu, adalah karena Al-Qur’an sudah dilupakan orang.

Maka ia menulis ratusan kitab:

Ratusan kitab itu, ia titipkan pada generasi selanjutnya. Ia hendak serang sendi-sendi kebobrokan umat dan ia tawarkan proposal baru bagi jalannya umat islam di dunia ini.

Saksikanlah, bahwa ulama ini bernama Ibnu Taimiyah. Orang besar, yang satu dari dua orang di dalam sejarah yang digelari Syaikhul Islam karena luas ilmunya. 

Orang-orang tidak menyukainya karena sikap kerasnya pada bid’ah dan kemusyrikan.  Ke mana saja ia beranjak, orang akan memenjarakannya karena kritiknya yang keras. Sebab, baginya, kebenaran harus disuarakan tanpa dirahasiakan sedikitpun.

Kritik itu, ditulisnya menjadi pedang yang tajam terhunus kepada musuh-musuh islam. Dengan tulisannya itu, ia berhasil membangkitkan kembali semangat umat, hingga mampu mengusir Mongol kembali. 

Bahwa, dekat dengan masa hidupnya, kemudian Sultan Saifuddin Qathiz bangkit dan menang untuk pertama kalinya dalam sejarah dunia, melawan Mongol di Pertempuran Ain Jalut, sebab Saifuddin Qathiz melibatkan ulama di sana. 

“Kalau aku dibunuh,” kata Ibnu Taimiyah, itu adalah kesyahidan bagiku. Bila aku diusir, itu  adalah hijrah bagiku. Kalau aku dibuang ke Siprus, lalu aku menyeru penduduknya kepada Allah, mereka akan menyambut seruanku.

Kalau mereka memenjarakan diriku, maka itu adalah tempat ibadah bagiku, aku ini bagaikan domba yang bagaimana pun berguling, ia akan berguling di bulunya yang tebal!”

Kitabnya yang berjudul Al-Furqan sangat menusuk jantung orang-orang sufi yang sesat yang menganggap diri mereka adalah kekasih Allah yang benar.

Kitab Siyasah Syar’iyah adalah tawaran proposal politiknya kepada umat islam, sebab umat pada waktu itu berada di dalam ketidak pastian pemerintahan. 

Selain dua kitab itu, ada ratusan kitab lain yang semuanya merupakan proposal kebangkitan umat kala itu. ia ingin membangun kembali islam di atas reruntuhan kampung halamannya!

Dan kini kita tahu bahwa Ibnu Taimiyah, adalah salah satu ulama paling berpengaruh sepanjang sejarah islam. Kitab-kitabnya begitu mengubah wajah dunia dan bagaimana muslim memandang bid’ah.

*
Menulis dan dakwah, sesungguhnya adalah dua sisi mata uang. Tulisan adalah alat dari dakwah, dan memang hanya salah satu alat. Akan tetapi, dengan buku-buku itu, nama para ulama itu menjadi abadi. 

Sesungguhnya, latar belakang mengapa mereka menulis selalu sama. Sebab mereka memandang, pada suatu waktu, umat islam telah kehilangan identitasnya. Maka para ulama penulis itu bangkit dengan caranya sendiri.

Mereka menulis ribuan kitab untuk membangkitkan semangat juang orang-orang islam. Mereka gugah kembali kesadaran umat, dan pada gilirannya, kitab-kitab itu menjadi tenaga kebangkitan umat islam. 

Dan untuk itu, para ulama menempuh jalan yang tidak sepele. Mereka menulis di bawah ancaman pemenjaraan, pembunuhan, dan pengasingan. Tetapi semua itu mereka hadapi sebagai tebusan kebangkitan umat.

Dan tak ada yang lebih baik mengartikulasikan arti dari tulisan itu, daripada seorang tokoh besar umat islam yang terkenal pada tahun 60-an, sebelum ia dihukum mati akibat “menulis buku”:

Para penulis sebenarnya bisä berbuat banyak. Tetapi ada satu syaratnya: mereka mati agar fikirannya dapat hidup. Fikiran mereka itu harus diberi makan dengan daging dan darah mereka sendiri. 

Mereka harus mengatakan apa yang mereka percayai benar, dan mereka mau menyerahkan darah mereka sebagai tebusan dan kebenaran itu. 

Pemikiran dan kata-kata kita tetap akan merupakan mayat yang kaku, sampai kita mahu mati untuk kepentingannya dan kita sirami ia dengan darah kita. 

Lalu ia tumbuh menjadi hidup, dan hidup di antara orang-orang yang hidup. 

Maka kepada orang-orang yang duduk di meja tulis mereka, yang bekerja keras untuk bakat mereka, memilih kata-kata yang indah, mengukir kalimat-kalimat yang berbunyi keras, menciptakan kata-kata yang penuh khayal yang gemilang, kepada orang-orang seperti ini, saya ingin memberikan nasihat: 

“Janganlah bersusah payah seperti itu, kerana kilatan jiwa, cahaya hati, yang didapat dengan hati yang suci, api keimanan kepada gagasan, inilah satu—satunya yang menimbulkan kehidupan, kehidupan kata-kata dan kehidupan kalimat-kalimat!”

Dari perbandingan dua sosok ulama di atas, kita akan dapati beberapa pola yang sama, sehingga nalar kritis tulisan ulama dan dampaknya bisa muncul ke tengah-tengah peradaban manusia. 

Pertama, di tengah kondisi bangsa dan umatnya yang berantakan, ulama-ulama itu dibukakan hatinya oleh Allah bahwa ada sesuatu yang harus mereka lawan dan perjuangkan. Sehingga, cara dasar menulis, bukan dengan membagus-baguskan diksi. 

Tetapi menemukan alasan melawan dan berjuang. Semua ulama yang menulis, diawali dari menemukan fakta bahwa di tengah umat ada kesalahan besar yang harus mereka lawan. Kesalahan itu bisa berupa sosok, bisa berupa konsep dan pemikiran.

Kedua, dalam sejarah islam, buku yang ditulis para ulama harus kita sikapi sebagai sebuah proposal dan rencana kerja, yang dapat digunakan untuk memperbaiki kondisi umat dan membangunnya kembali dari tatanan lama yang telah bergeser jauh dari Al-Quran.

Maka menulislah; dan jangan takut diburu, jangan takut diasingkan. Sebab kita hanya akan diburu oleh orang yang terlanjur hidup dari kejahatannya, yang mana kejahatannya itu telah menjadi sistem hidup dan identitas kemanusiaannya. 

Maka menulislah, karena dengan itu, rencana peradaban kita tengah dipersiapkan. Hanya orang-orang bernyali besar dan mengetahui akar permasalahan umat saja yang berani menuliskan proposal itu untuk umat.
Ya! Saya te
gaskan bahwa di dalam islam, segala tulisan adalah sebuah ide, rencana, yang harus digunakan untuk menafsirkan Al-Qur’an menjadi sebuah rencana kerja dalam hidup manusia!

Menulislah, dan lawanlah sesuatu!

Minggu, 18 Maret 2018

KAMMI dan Proposal Identitas Keindonesiaan Kita



Malam itu, sepulang dari perjalanan yang entah, menjelang tengah malam, saya mampir di sebuah mushala. Diskusi mengenai Sayyid Quthb dan Ali Alija tengah dilangsungkan.

Barangkali nama Sayyid Quthb sudah familiar. Tetapi, Ali Alija, adalah nama Presiden Bosnia yang mengarang sebuah buku, Mencari Jalan Tengah. Diskusi kami malam itu fokus pada tawaran apa yang diberikan Quthb kepada dunia.

Tetapi bukan itu. diskusi kami meriap pada suatu rumusan: terlepas dari putusnya sanad Sayyid Quthb secara keilmuan agama dan sejarah, di manakah posisi kitab Ma’alim fi Thariq, dan pada gilirannya, bagaimana posisi Ikhwanul Muslimin di tengah percaturan dunia, dan Indonesia?

Ma’alim fi Thariq, sebuah kitab yang ditulis pada awal tahun 60-an. Kitab itu dipelajari di internal Ikhwanul Muslimin dan kemudian ada sekelompok orang menyempal, lalu menciptakan jamaah jihad. Hari ini, dua negara atas pemikiran Quthb telah berdiri: Imarah Islam Afghanistan, dan, Daulah Islam Irak-Suriah.

Ada lagi sekelompok orang yang menamai diri mereka salafiyah, dan membawa kitab itu ke balik pegunungan Afghanistan. Orang itu, adalah Dr. Aiman Zawahiri. Jadilah pada awal abad 21, organisasi   terbesar yang melampaui negara: Al-Qaeda.

Tak cukup sampai di situ, Ayatollah Khomeini, menyelundupkan kitab itu ke balik tebalnya kabut di Iran, pada akhir tahun 1970. Ia menciptakan Garda Revolusi Iran dari blue print Ikhwanul Muslimin, dan menambahkan warna Quthbisme ke sana. Akhirnya; terjadilah revolusi itu. Republik Islam Iran.

Lalu, mengapa kitab Ma’alim fi Thariq, dan pada gilirannya, kitab Fi Zhilalil Qur’an, begitu mampu menciptakan alasan orang bergerak?

Kitab itu, sebagaimana kitab-kitab lain dari orang-orang sebelum Quthb, adalah sebuah proposal. Proposal bagi kemanusiaan. Proposal yang diajukan oleh seorang pemikir, bagi menyelesaikan krisis identitas yang terjadi.

Sebab, kondisi dunia pada masa itu ada pada kebingungan global: perang dunia yang sudah selesai satu generasi lalu melahirkan generasi Bunga. Mereka yang anti perang. Mereka yang anti penindasan. Tetapi mereka melihat:

Generasi di atas mereka hidup dengan sistem yang diciptakan sebagai hasil dari perang dunia: mereka menyaksikan sebuah negara dipecah-pecah sebagai tropi pemenang perang. Mereka melihat negara-negara Asia dan Afrika yang hancur lebur.

Mereka dibuai dengan “keberhasilan” PBB, dan dua negara besar: Amerika dan Sovyet. Kapitalis, dan Komunis. Mereka ada pada kebingungan identitas. Sebab untuk “ada” dan “eksis” di dunia, mereka harus memilih dua identitas politik: Barat, atau Komunis.

Di tengah kebingungan itu, Quthb, muncul dengan proposal identitasnya: betapa buku Ma’aim fi Thariq, menjadi jawaban orang-orang, setidaknya, jawaban orang-orang islam yang kala itu menolak tunduk pada dua identitas dunia.

Ma’alim fi Thariq, sebagaimana maknanya, dipilih menjadi “jalan lurus”, dipilih sebagai “jalan identitas” orang-orang muslim yang membutuhkan proposal untuk mereka jalankan.

Betapa, ide-ide mengenai “islam lintas negara” dan “union muslim”, diterjemahkan menjadi dua hal: “Negara-Islam baru”, dan “kekhalifahan post-modern”, dari sintesa pemikiran dan proposal seorang Sayyid Quthb.
*

Hari ini. Di masa ketika negeri kita meributkan identitasnya: mereka yang mengenal dunia ini melalui konstruksi berpikir barat yang agung itu, memahami semuanya sebagai objek berpikir yang harus diragukan, tetapi pemikiran mereka masih belum lepas dari budaya Asia yang penuh dengan magisme, mitos dan logical fallacy.

Pada suatu kali, mereka akan menggunakan standar barat dan PBB untuk menetapkan bagaimana negara dan bangsa ini harus berjalan, dan ke mana arahnya. Sebagai proposal ekonomi, mereka menggunakan Washington Consensus dengan 10 pasalnya.

Sebagai tawaran kebudayaan, mereka dengan keras memperjuangkan seni untuk seni, dan seni yang independen. Seni yang di luar peradaban dunia. Yang adanya di museum-museum.

Ada pula sebagian dari mereka yang menerima proposal dari sisa-sisa pemikiran Marx dan Lenin. Tak perlu kita ceritakan mengenai gagalnya Sovyet dan Yugoslavia, sebab pemikiran ini punya warnanya sendiri yang baru.

Sebab golongan kedua ini mencari jawaban dari kapitalisme Washington Consensus golongan pertama, yang terbukti sangat berhasil untuk “menyelamatkan sebuah negara dari kemiskinan,” dengan “menjualnya pada pemilik modal”.

Akan tetapi, ada pihak ketiga. Mereka yang berpikir kritis. Mereka yang jemu dengan tindak represif negara pada diri mereka. Mereka yang mulai mempertanyakan kebutuhan mereka atas negara kita.

Ya; diskusi kami malam itu, berkembang menjadi: saat ini, apakah kita bisa mendeskripsikan identitas keindonesiaan kita? Atau jangan-jangan, nama Indonesia sebagai sebuah negara sendiri, mulai kita ragukan?

Butuhkah kita pada negara yang memberikan identitas “tertentu” kepada kita? Sebab keindonesiaan ternyata ditafsirkan secara semberono oleh dua golongan di atas, yang sedang bertarung menjadikan Indonesia sebagai dirinya.

Kira-kira, kalau kita tanyakan pada diri kita sendiri, dan kepada masyarakat, masihkah mereka butuh negara? Dan ujung pertanyaan ini, kemudian menjadi, apakah mereka butuh identitas baru yang post-Indonesia?

Sebab ternyata tafsir identitas dari dua golongan di atas melulu kita dapati sebagai: turunnya harga rupiah. Naiknya harga beras. Naiknya harga bahan bakar. Hilangnya muru’ah para petani. Penguasaan tanah dalam jumlah besar oleh pemilik lahan.

Impor bawang putih hingga 96 persen. Impor beras saat swasembada. Impor garam saat laut begitu luas. Dikuasainya mayoritas lahan sawit oleh asing. Dikeruknya cadangan emas oleh Freeport. Hancurnya tata keagamaan bangsa.

Diserangnya simbol-simbol keislaman. Dihinanya jilbab dan jenggot. Dibuangnya Al-Qur’an. Dilarangnya atribut-atribut ibadah. Dibatasinya kemerdekaan berpikir orang-orang islam. Dibelinya beberapa ormas besar islam oleh pemilik modal. Dipesannya fatwa-fatwa. Ceramah-ceramah yang bertentangan satu sama lain.

*

Di masa-masa seperti ini, sebagai yang saya jelaskan di atas, saat inilah bangsa kita membutuhkan suatu proposal baru. suatu proposal yang belum pernah ada dalam sejarah negerinya. Suatu proposal yang mampu menjawab segala permasalahan.


Sebab tanda-tanda di bangsa kita ini sama persis dengan bulan-bulan mematikan yang terjadi di negara-negara besar yang kemudian runtuh di tangan orang-orang dengan tawaran identitas baru: Iran Lama, Kerajaan Saudi lama, Turki Utsmani, Uni Sovyet, pseudo-negara Hindia Belanda, dan bahkan di Mesir, sesaat sebelum Gamal berkuasa.

Maka kemudian wajar, para teolog dan ideolog dunia, baik yang mewujudkan dirinya menjadi suatu organisasi lintas negara, maupun yang berupa sebuah negara besar dengan ideologi tertentu, berlomba mendatangi bangsa kita.

Sebab, mereka tahu pasti melebihi tahunya kita, bahwa bangsa kita ini sudah tidak mencintai lagi dirinya sebagai identitas yang sudah ada. Setelah tahun-tahun konflik, kita membutuhkan identitas baru.

Lalu apa hubungannya dengan KAMMI? KAMMI terus menggembar-gemborkan “Jayakan Indonesia 2045”. Proposal yang kita punya, adalah manhaj pengaderan, AD ART, dan platform gerakan. Dari titik ini, apakah proposal ini cukup kuat?

Atau apakah tiga  paket proposal KAMMI kepada bangsa Indonesia itu cukup mampu menjadi jawaban identitas masa depan bangsa Indonesia?

Kiranya kita tidak perlu takut dikatakan radikal. Sebab pihak-pihak yang menggelari sebuah pergerakan dengan radikal, adalah sekelompok orang jahat yang terlanjur hidup dari tafsiran batil atas sebuah ideologi negara

Kini kita sedang melawan sebuah identitas Indonesia lama yang terbukti gagal menjawab kebutuhan kebangsaan. Telah 70 tahun kita merdeka, tapi cita-cita kemerdekaan itu terkubur di bawah kolam kodok di depan Istana Negara.

Dan, semua orang, dalam hatinya, cepat atau lambat akan sadar bahwa mereka perlu sebuah proposal untuk menghancurkan identitas lama itu, mereka sedang mencari proposal identitas baru yang berbeda secara mendasar, bahkan mungkin dengan terma Indonesia.

Hancurnya identitas lama itu tak perlu kita bayangkan caranya, yang paling lunak bisa jadi sebatas reformasi. Yang lebih kuat, bisa jadi sebuah referendum dan revolusi untuk mengeliminasi simbol-simbol identitas lama yang gagal dan busuk itu.

Dan di titik ini, formulasi manhaj dan AD ART KAMMI, saya pandang mampu menjawab itu. Manhaj Pengaderan KAMMI yang memasukkan unsur Ma’alim fi Thariq dan bahkan blue print Ikhwanul Muslimin dalam Majmu’atu Rasail, saya anggap akan mampu menjadi tawaran besar bagi bangsa ini.

Akan tetapi saya juga memperingatkan kepada kita semua. Manhaj pengaderan dan AD ART hanyalah sebuah luncuran liur dari orang yang ketiduran, ketika sekelompok kader KAMMI sendiri tidak menggunakannya sebagai tawaran identitas.

Pada hakikatnya, manhaj, adalah tawaran itu. kemudian jika kini kader KAMMI repot-repot mendekat kepada seorang tokoh yang kurang terkenal dan ikut meneriakkan arah baru Indonesia, atau kemudian susah payah menembus pintu usang partai yang kehilangan identitasnya:

Saat itu juga KAMMI akan ikut hilang bersama ditemukannya proposal baru yang lebih mapan, lebih tegar, dan mampu menjawab krisis identitas bangsa kita.

Sebab jika begitu, berarti kita sendiri masih gamang dengan identitas itu. yang kita cari bukanlah tokoh yang menjanjikan ini itu. berhentilah bersalawat pada Erdogan atau Sohibul Iman. Sebab yang kita cari adalah identitas baru yang ajeg dan kuat.

Identitas bukan ditemukan dengan ikut pada tokoh berduit atau orang nyentrik yang cuma terkenal di kalangan kecil saja. Identitas didapat dari proposal besar perjuangan dan kehidupan.

Ya. Saya ingin katakan dua hal kepada pembaca tulisan ini. Pertama, bahwa manhaj pengaderan KAMMI memang harus radikal, destruktif, dan cepat menghabisi identitas kebangsaan kita yang gagal dan berbahaya ini.

Kedua, laksanakanlah manhaj pengaderan itu sebagai sebuah proposal identitas kebangsaan. Memang dibutuhkan semacam buku tafsir atau keutuhan konstruk, tetapi biarkan bangsa kita melihat bahwa KAMMI memang yang akan memenangkan pertarungan identitas baru ini!