Jumat, 15 Maret 2013

KAJIAN RINGKAS ILMU HADITS ( 1 )

AJIAN RINGKAS ILMU HADITS ( 1 )
oleh Jack Budi Satrio (Catatan) pada 15 Maret 2013 pukul 21:39

بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــمِ





Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, keluarga, para sahabat dan pengikut setia mereka sampai hari kiamat,



Aku memuji-Nya atas besarnya anugerah dan kebaikan-Nya. Aku bersaksi bahwa tidak ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya tidak ada sekutu bagi-Nya, sebagai bentuk pengagungan terhadap-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya .



Segala puji yang disertai pengagungan seagung-agungnya hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan perendahan diri kita yang serendah-rendahnyanya hanya kita berikan kepadaNya Robbul ‘Alamin. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam.

Amma ba’d :



Sahabat..Ikhwan dan Ukhti sekalian..yang di Rahmati Allah Ta'ala , kita meyakini bahwa yang menjadi suri tauladan yang baik bagi umat ini adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan sunnahnya adalah hakim bagi setiap sesuatu perkara .

Marilah kita untuk lebih mengukuhkan keimanan serta ketaqwaan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan mengenal lebih dekat dan senantiasa memuji serta berseru dan melaksanakan apa yang telah di Syari'atkkan pada Kita Umat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam...



Untuk itu marilah kita bersama belajar mengkaji perihal Ilmu Hadits yg telah di ringkas . Adapun tujuannya agar kita tidaklah mudah mengambil Hujjah dari sebuah riwayat Hadits dan terhindar dari keburukan / kekeliruan dalam melaksanakan syariat yg telah di ajarkan pada kita semua .



Pada kesempatan ini marilah kita mengenal apa itu Hadits dan juga belajar untuk mengetahui Ilmu yg berkaitan dengan perihal mempelajari hadits ...



ILMU AL-JARH WAT-TA’DIL





Al-Jarh secara bahasa merupakan isim mashdar yang berarti luka yang mengalirkan darah atau sesuatu yang dapat menggugurkan ke’adalahan seseorang (Lisaanul-Arab; kosa kata “Jaraha”).



- Al-Jarh menurut istilah yaitu terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke’adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak.



- At-Tajrih yaitu memberikan sifat kepada seorang perawi dengan sifat yang menyebabkan pendla’ifan riwayatnya, atau tidak diterima riwayatnya.



- Al-‘Adlu secara bahasa adalah apa yang lurus dalam jiwa; lawan dari durhaka. Dan seorang yang ‘adil artinya kesaksiannya diterima; dan At-Ta’dil artinya mensucikannya dan membersihkannya.



- Al-‘Adlu menurut istilah adalah orang yang tidak nampak padanya apa yang merusak agamanya dan perangainya, maka oleh sebab itu diterima beritanya dan kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat menyampaikan hadits (yaitu : Islam, baligh, berakal, dan kekuatan hafalan).



- At-Ta’dil yaitu pensifatan perawi dengan sifat-sifat yang mensucikannya, sehingga nampak ke’adalahannya, dan diterima beritanya.



Dan atas dasar ini, maka ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka (Ushulul-Hadiits halaman 260; dan Muqaddimah Kitab Al-Jarh wat-Ta’dil 3/1)



Perkembangan Ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil





Para ulama menganjurkan untuk melakukan jarh dan ta’dil, dan tidak menganggap hal itu sebagai perbuatan ghibah yang terlarang; diantaranya berdasarkan dalil-dalil berikut :



1. Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada seorang laki-laki :



ﺓﺮﻴﺸﻌﻟﺍ ﻮﺧﺃ ﺲﺌﺑ



”(Dan) itu seburuk-buruk saudara di tengah-tengah keluarganya” (HR. Bukhari).



2. Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada Fathimah binti Qais yang menanyakan tentang Mu’awiyyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm yang tengah melamarnya :



”Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (suka memukul), sedangkan Mu’awiyyah seorang yang miskin tidak mempunyai harta” (HR. Muslim).



Dua hadits di atas merupakan dalil Al-Jarh dalam rangkan nasihat dan kemaslahatan. Adapun At-Ta’dil, salah satunya berdasarkan hadits :



3. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid bin Walid, salah satu pedang diantara pedang-pedang Allah” (HR. Ahmad dan Tirmidzi dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu).



----------------

Oleh karena itu, para ulama membolehkan Al-Jarh wat-Ta’dil untuk menjaga syari’at/agama ini, bukan untuk mencela manusia. Dan sebagaimana dibolehkan Jarh dalam persaksian, maka pada perawi pun juga diperbolehkan; bahkan memperteguh dan mencari kebenaran dalam masalah agama lebih utama daripada masalah hak dan harta.



Al-Jarh dan At-Ta’dil dalam ilmu hadits menjadi berkembang di kalangan shahabat, tabi’in, dan para ulama setelahnya hingga saat ini karena takut pada apa yang diperingatkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :



ﺍﻮﻌﻤﺴﺗ ﻢﻟ ﺎﻣ ﻢﻜﻧﻮﺛﺪﺤﻳ ﺱﺎﻧﺃ ﻲﺘﻣﺃ ﺮﺧﺁ ﻲﻓ ﻥﻮﻜﻴﺳ

ﻢﻫﺎﻳﻭ ﻢﻛﺎﻳﺈﻓ ﻢﻜﺋﺎﺑﺁ ﻻﻭ ﻢﺘﻧﺃ



”Akan ada pada umatku yang terakhir nanti orang-orang yang menceritakan hadits kepada kalian apa yang belum pernah kalian dan juga bapak-bapak kalian mendengar sebelumnya. Maka waspadalah terhadap mereka dan waspadailah mereka” (Muqaddimah Shahih Muslim).



Dari Yahya bin Sa’idAl-Qaththan dia berkata,”Aku telah bertanya kepada Sufyan Ats-Tsaury, Syu’bah, dan Malik, serta Sufyan bin ‘Uyainah tentang seseorang yang tidak teguh dalam hadits. Lalu seseorang datang kepadaku dan bertanya tentang dia, mereka berkata,”Kabarkanlah tentang dirinya bahwa haditsnya tidaklah kuat” (Muqaddimah Shahih Muslim).



Dari Abu Ishaq Al-Fazary dia berkata,”Tulislah dari Baqiyyah apa yang telah ia riwayatkan dari orang-orang yang dikenal, dan jangan engkau tulis darinya apa yang telah dia riwayatkan dari orang-orang yang tidak dikenal, dan janganlah kamu menulis dari Isma’il bin ‘Iyasy apa yang telah ia riwayatkan dari orang-orang yang dikenal maupun dari selain mereka” (- Baqiyyah bin Al-Walid banyak melakukan tadlis dari para dlu’afaa).



Diketahuinya hadits-hadits yang shahih dan yang lemah hanyalah dengan penelitian para ulama’ yang berpengalaman yang dikaruniai oleh Allah kemampuan untuk mengenali keadaan para perawi. Dikatakan kepada Ibnul-Mubarak : ”(Bagaimana dengan) hadits-hadits yang dipalsukan ini?”. Dia berkata,”Para ulama yang berpengalaman yang akan menghadapinya”.



Maka penyampaian hadits dan periwayatannya itu adalah sama dengan penyampaian untuk agama. Oleh karenannya kewajiban syar’i menuntut akan pentingnya meneliti keadaan para perawi dan keadilan mereka, yaitu seorang yang amanah, alim terhadap agama, bertaqwa, hafal dan teliti pada hadits, tidak sering lalai dan tidak peragu. Melalaikan itu semua (Al-Jarh wat-Ta’dil) akan menyebabkan kedustaan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.



Dikatakan kepada Yahya bin Sa’id Al-Qaththan,”Apakah kamu tidak takut terhadap orang-orang yang kamu tinggalkan haditsnya akan menjadi musuh-musuhmu di hadapan Allah?”. Dia berkata,”Mereka menjadi musuh-musuhku lebih baik bagiku daripada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang menjadi musuhku. Beliau akan berkata : mengapa kamu mengambil hadits atas namaku padahal kamu tahu itu adalah kedustaan?”

(Al-Kifaayah halaman 144).



Tingkatan Al-Jarh



1. Tingkatan Pertama



Yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan al-jarh seperti : layyinul-hadiits (lemah haditsnya), atau fiihi maqaal (dirinya diperbincangkan), atau fiihi dla’fun (padanya ada kelemahan).



2. Tingkatan Kedua



Yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah; seperti : “Fulan tidak boleh dijadikan hujjah”, atau “dla’if, atau “ia mempunyai hadits-hadits yang munkar”, atau majhul (tidak diketahui identitas/kondisinya).



3. Tingkatan Ketiga



Yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis haditsnya, seperti : “Fulan dla’if jiddan (dla’if sekali)”, atau “tidak ditulis haditsnya”, atau “tidak halal periwayatan darinya”, atau laisa bi-syai-in (tidak ada apa-apanya). (Dikecualikan untuk Ibnu ma’in bahwasannya ungkapan laisa bisyai-in sebagai petunjuk bahwa hadits perawi itu sedikit).



4. Tingkatan Keempat



Yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsua hadits, seperti : Fulan muttaham bil-kadzib (dituduh berdusta) atau “dituduh memalsukan hadits”, atau “mencuri hadits”, atau matruk (yang ditinggalkan), atau laisa bi tsiqah (bukan orang yang terpercaya).



5. Tingkatan Kelima



Yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya; seperti : kadzdzab (tukang dusta), atau dajjal, atau wadldla’ (pemalsu hadits), atau yakdzib (dia berbohong), atau yadla’ (dia memalsikan hadits).



6. Tingkatan Keenam



Yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini seburuk-buruk tingkatan; seperti : “Fulan orang yang paling pembohong”, atau “ia adalah puncak dalam kedustaan”, atau “dia rukun kedustaan”.



Hukum Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh



1. Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap hadits mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya orang untuk tingkatan kedua lebih rendah kedudukannya daripada tingkatan pertama.



2. Sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh ditulis, dan tidak dianggap sama sekali.

(Tadriibur-Rawi halaman 229-233; dan Taisir Musthalah Al-Hadits halaman 152-154).



Kitab-Kitab yang membahas Tentang Al-Jarh wat-Ta’dil



Penyusunan karya dalam ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil telah berkembang sekitar abad ketiga dan keempat, dan komentar orang-orang yang berbicara mengenai para tokoh secara jarh dan ta’dil sudah dikumpulkan. Dan jika permulaan penyusunan dalam ilmu ini dinisbatkan kepada Yahya bin Ma’in, Ali bin Al-Madini, dan Ahmad bin Hanbal; maka penyusunan secara meluas terjadi sesudah itu, dalam karya-karya yang mencakup perkataan para generasi awal tersebut.



Para penyusun mempunyai metode yang berlainan :



a. Sebagian di antara mereka hanya menyebutkan orang-orang yangdla’if saja dalam karyanya.

b. Sebagian lagi menyebutkan orang-orang yang tsiqaat saja.

c. dan sebagian lagi menggabungkan antara yang dla’if dan yang tsiqaat.



Sebagian besar metode yang dipakai oleh para pengarang adalah mengurutkan nama para perawi sesuai dengan huruf kamus (mu’jam). Dan berikut ini karya-karya mereka yang sampai kepada mereka :



1. Kitab Ma’rifatur-Rijaal, karya Yahya bin Ma’in (wafat tahun 233 H), terdapat sebagian darinya berupa manuskrip.



2. Kitab Adl-Dlu’afaa’ul-Kabiir dan Adl-Dlu’afaa’ush-Shaghiir, karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (wafat tahun 256 H), dicetak di India. Karya beliau yang lain : At-Tarikh Al-Kabiir, Al-Ausath, dan Ash-Shaghiir[/I].



3. Kitab Ats-Tsiqaat, karya Abul-Hasan Ahmad bin Abdillah bin Shalih Al-‘Ijly (wafat tahun 261 H), manuskrip.



4. Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Abu Zur’ah Ubaidillah bin Abdilkariim Ar-Razi (wafat tahun 264 H), manuskrip.



5. Kitaab Adl-Dlu’afaa’ wal-Kadzdzabuun wal-Matrukuun min-Ashhaabil-Hadiits, karya Abu ‘Utsman Sa’id bin ‘Amr Al-Bardza’I (wafat tahun 292 H).



6. Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Imam Shmad bin Ali An-Nasa’I (wafat tahun 303 H), telah dicetak di India bersama kitab Adl-Dlu’afaa’ karya Imam Bukhari.



7. Kitab Adl-Dlu’afaa’, karya Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr binMusa bin Hammad Al-‘Uqaily (wafat tahun 322 H), manuskrip.



8. Kitab Ma’rifatul-Majruhiin minal-Muhadditsiin, karya Muhammad bin Ahmad bin Hibban Al-Busti (wafat tahun 354 H), manuskrip; dan karyanya Kitab Ats-Tsiqaat, juga manuskrip.



Dan di antara karya-karya mereka adalah tentang sejarah perawi hadits secara umum, tidak hanya terbatas pada biografi tokoh-tokoh saja, atau biografi para tsiqaat saja, atau para dlu’afaa’ saja; seperti :



9. Kitab At-Tarikhul-Kabiir, karya Imam Bukhari (wafat tahun 256 H) mencakup atas 12315c biografi sebagaimana dalam naskah yang dicetak dengan nomor.



10. Kitab Al-Jarh wat-Ta’dil, karya Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi (wafat tahun 327 H) dan ia termasuk di antara yang paling besar dari kitab-kitab tentang Al-Jarh wat-Ta’dil yang sampai pada kita, dan paling banyak faidahnya; dimana ia mencakup banyak perkataan para imam Al-Jarh wat-Ta’dil terkait dengan para perawi hadits. Kitab ini merupakan ringkasan dari upaya para pendahulu yang mengerti ilmu ini mengenai para perawi hadits secara umum.



Kemudian karya-karya mengenai perawi hadits yang disebutkan dalam kutubus-sittah dan lainnya, sebagian di antaranya khusus pada perawi satu kitab, dan sebagian yang lain mencakup kitab-kitab hadits dan lainnya.



11. Kitab Asaami’ Man Rawa ‘anhum Al-Bukhari karya Ibnu Qaththan – Abdullah bin ‘Ady Al-Jurjani (wafat tahun 360 H), manuskrip.



12. Kitab Dzikri Asma’it-Tabi’iin wa Man ba’dahum Min Man Shahhat Riwayatuhu minats-Tsiqaat ‘indal-Bukhari, karya Abul-hasan Ali bin Umar Ad-daruquthni (wafat tahun 385 H), manuskrip.



13. Kitab Al-Hidayah wal-Irsyaad fii Ma’rifati Ahlits-Tsiqah was-Sadaad, karya Abu Nashr Ahmad bin Muhammad Al-kalabadzi (wafat tahun 398 H), khusus tentang perawi Imam Bukhari; manuskrip.



14. Kitab At-Ta’dil wat-Tarjih li Man Rawa ‘anhul-Bukhari fish-Shahiih, karya Abul-Walid Sulaiman bin Khalaf Al-Baaji Al-Andalusi (wafat tahun 474 H), manuskrip.



15. Kitab At-Ta’rif bi Rijaal Al-Muwaththa’, karya Muhammad bin Yahya bin Al-Hidza’ At-tamimi (wafat tahun 416 H); manuskrip.



16. Kitab Rijaal Shahih Muslim, karya Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Manjawaih Al-Ashfahani (wafat tahun 247 H); manuskrip.



17. Kitab Rijal Al-Bukhari wa Muslim, karya Abul-hasan Ali bin ‘Umar Ad-daruquthni (wafat tahun 385 H); manuskrip.



18. Kitab Rijaal Al-Bukhari wa Muslim, karya Abu Abdillah Al-hakim An-Naisabury (wafat tahun 404 H); telah dicetak.



19. Kitab Al-Jam’I baina Rijalish-Shahihain, karya Abul-Fadll Muhammad bin Thahir Al-Maqdisy (wafat tahun 507 H); dicetak.



20. Kitab Al-Kamal fi Asmaa-ir-Rijaal, karya Al-Hafidh Abdul Ghani bin Abdil-Wahid Al-Maqdisy Al-Jumma’ily (wafat tahun 600 H), termasuk karya tertua yang sampai pada kita yang secara khusus membahas perawi kutub sittah. Kitab ini dianggap sebagai asal bagi orang setelahnya dalam bab ini.

Dan sejumlah ulama’ telah melakukan perbaikan dan peringkasan atasnya.



21. Kitab Tahdzibul-Kamal, karya Al-Hafidh Al-Hajjaj Yusuf bin Az-Zaki Al-Mizzi (wafat tahun 742 H).



22. Kitab Tadzkiratul-Huffadh, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H).



23. Kitab Tahdzibut-Tahdzib, karya Adz-Dzahabi juga.



24. Kitab Al-Kasyif fii Ma’rifat man Lahu Riwayat fil-Kutubis-Sittah, karya Adz-Dzahabi juga.



25. Kitab Tahdzibut-Tahdzib, karya Al-hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani (wafat tahun 852 H), yang merupakan ringkasan dan perbaikan dari Tahdzibul-Kamal karya Al-Hafidh Al-Mizzi; dan dia adalah kitab yang paling menonjol yang dicetak secara terus-menerus. Di dalamnya Ibnu hajar telah meringkas hal-hal yang perlu diringkas, dan menambah hal-hal yang terlewatkan di kitab asli, dan kitab Kitab Tahdzibut-Tahdzib adalah kitab paling baik dan paling detil.



26. Kitab Taqribut-Tahdzib, karya Ibnu Hajar juga.



27. Kitab Khulashah Tahdzibul-Kamal, karya Shafiyyuddin Ahmad bin Abdillah Al-Khazraji (wafat tahun 934 H).



28. Kitab Ta’jilul-Manfa’ah bi Zawaid Al-Kutub Al-Arba’ah, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalany.



29. Kitab Mizaanul-I’tidaal fii Naqdir-Rijaal, karya Al-Hafidh Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H). dan termasuk kitab yang paling lengkap tentang biografi orang-orangyang di-jarh.



30. Kitab Lisaanul-Mizaan, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani.



31. Kitab At-Tadzkiratul bir-Rijaal Al-‘Asyarah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ali Al-Husaini Ad-Dimasyqi (wafat tahun 765 H).

Kitab ini mencakup atas biografi sepeuluh perawi dari kitab-kitab hadits, yaitu : al-kutubus-sittah, yang menjadi objek pembahasan pada kitab Tahdzibul-Kamal-nya Al-Mizzi, ditambah empat kitab lagi karya imam empat madzhab : Al-Muwaththa’, Musnad Asy-Syafi’I, Musnad Ahmad, Al-Musnad yang diriwayatkan oleh Al-Husain bin Muhammad bin Khasru dari hadits Abu Hanifah. Dan terdapat manuskrip lengkap dari kitab At-Tadzkirah ini.



Demikian yang bisa saya sampaikan Insya Allah , semoga bisa bermanfaat bagi kita semua khususnya saya pribadi dan juga bagi sahabat serta teman dan saudara muslim lainnya pada Umumnya , serta menjauhkan kita dari kesesatan yang nyata .Bilamana ada kalimat atau lafadz yang salah mohon maaf .



Akhirnya Segala perkara yang benar datangnya hanya dari Allah Ta'ala semata , sedang yang salah dan keliru datangnya dari saya sendiri dan Syaitan yang selalu menghembus hembuskan kedzaliman serta kesesatan , bila ada kekurangannya mohon maaf .





Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa melimpahkan Rahmat serta Hidayah-Nya pada Junjungan kita Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam beserta keluarganya dan Para Shahabat serta Kita semua ...aamiin..aamiin..Ya Rabbal 'alamiin....







" Ya Allah damaikanlah hati hati kami dan tunjukkanlah kami kepada jalan jalan keselamatan Selamatkanlah kami dari kegelapan menuju cahaya , jauhkanlah kami dari kekejian baik yang nampak maupun yang tersembunyi , berkatilah kami pada pendengaran , penglihatan , hati , istri istri dan keturunan keturunan kami .Ampunilah kami , sesungguhnya Engkaulah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.Jadikanlah kami termasuk orang orang yang mensyukuri nikmat - Mu dan senang hati menerimanya .serta Sempurnakanlah nikmat tersebut atas kami" amin....



Allahu A'lam bish showaab ...

Buat Allah-puisi

 DIALEKTIK

ya Allah, kami sebenarnya bukan tidak mau berfikir
tapi kami takut menjadi kafir atau dikafir-kafirkan oleh yang telah lebih dulu berfikir

kami sebenarnya bukan tidak mau berdoa, tapi kami takut
menjadi perintah yang memaksamu melayani kami



DOA

 kadang orang-orang dengan sabar bilang kau jangan melakukan ini itu nanti kau dosa
tapi pada siapa Tuhan akan marah

kadang orang-orang begitu baiknya mengingatkan kita untuk shalat, tapi shalatnya tidak mencegah keji dan munkar

katanya jangan omong sembarangan padaTuhan, lalu dengan siapa aku harus mengadu?


DOA CINTA
 
Ya Allah
Perkara cinta bukan perkara yang mudah buat kami
Sederhanakanlah ia

Bukan karena wajahnya yang manis
Pipinya yang halus
Tangannya yang lincah mempermainkan angin

Malam ini, izinkan aku merindukannya lagi
Dan jadikan Engkau menjaga kami

Kamis, 14 Maret 2013


Cerpen-Topeng Monyet

Tiap pulang kerja, mataku selalu iseng memperhatikan Topeng Monyet dan Pawangnya, yang mangkal tepat di seberang istana. 


Jalan Merdeka memang sangat padat. Memaksa mata siapa saja yang melewatinya pantang melihat kedepan karena jenuh, tetapi menengok istana yang megah, atau ke arah lapangan Monas yang sangat permai.


Ia mangkal tepat dibawah reklame yang dipasangi spanduk kampanye calon presiden. Ada foto dua orang yang sangat besar, dengan kualitas editan yang buruk, lalu ada nomor urut. 


Janjinya banyak, mulai dari utara hingga selatan. Kontras dengan taman Monas di belakang reklame itu, yang segar dan hijau.


Jika lampu merah menyala, ia akan memainkan Monyetnya kesana-kemari di trotoar, bersamaan dengan berhentinya motor-motor dan pejalan kaki yang antre. Mulai dari Monyetnya yang berlagak kehujanan, memegang payung warna pelangi, berlagak perang menenteng senapan kayu kecil yang dicat putih, hingga mengenakan rok mini seperti banci. Pawangnya mengendalikan si Monyet dengan seringai senyum aneh sambil berkata-kata.


Tentu, ada jalan cerita dan hikayat yang terus dirapalkan sang Pawang. Dulu ketika kecil, di Depok, aku sering mendengarkan si Pawang itu bercerita tentang si Monyet, yang kadang dinamai Mumun, Mimin, Maman, Eman, atau yang lain—yang penting ada imbuhan -man di belakang namanya—berkelana ke berbagai tempat dan menyamar menjadi beragam tokoh.


Cerita itu kadang begini bunyinya: Suatu pagi si Mimin ingin belanja ke pasar, membeli timun, kol, terong, teri dan petai. Maka si Mimin Pergi Ke Pasaaar (pawang melemparkan keranjang kecil). Pulang dari pasar, si Mimin kehujanan! (pawang melemparkan payung mini yang segera disambar si Monyet). 


Kata bapak si Monyet, kakeknya dulu adalah pejuang kemerdekaan. Begini caranya, si Mimin Jadi Pahlawaaan! (melemparkan senapan kayu kecil).


Si Pawang setengah baya. Berkumis lebat, menggantung seperti krim diatas kue ulang tahun keponakanku. Hanya, yang ini warnanya hitam. Hitam, sering berjemur di panasnya Jalan Merdeka. 


 Ia selalu mengenakan topi koboi putih, kaus lusuh yang kadang putih kadang hitam, celana setengah betis, dan sandal kulit hitam yang tua dan hampir lapuk.


Kandang si Monyet kecil sekali. Hanya cukup ia berjongkok di dalamnya seperti burung nuri yang dikurung. Warnanya hijau bergaris kuning dan hitam. Sambil makan pepaya atau pisang, ia menanti-nanti saat pentasnya di panggung bata trotoar Jalan Merdeka yang panas bila disentuh tanpa alas kaki.



Satu kali, aku terjebak lampu merah agak lama dan sempat kudengarkan suaranya yang khas seperti tukang hikayat dari Melayu mendendangkan cerita, diselingi irama gambang mainan, kendang plastik, dan kadang ketukan kayu di kandang kotak sang Monyet. Suaranya agak keras, tebal, namun parau. 


Karena ia selalu bercerita dengan senyum lima senti, maka entah kenapa ceritanya selalu terdengar lebih ceria dari seharusnya. Lebih mampu menonjolkan kesan jenaka.


“Si Mimin keeehujanaaan!” lalu si Monyet memegang payung yang dilemparkan Pawang.


“Si Mimin kepanasaaaaan!” lalu si Monyet berlagak membuka baju dan minum beer. Kaleng kosong.


“Si Mimin jadi pahlawaan kemerdekaaaan!” maka si Monyet menyambar senapan dan mendadak, dengan suaranya yang berat dan parau si Pawang melagukan Hari Merdeka milik H. Muntahar:


“Tujuh belas Agustus tahun empat lima! Itulah hari kemerdekaan kita (sambil menatap Monyet, seolah kemerdekaan ‘kita’ adalah kemerdekaan si Pawang dan si Monyet) hari merdeka nusa dan bangsa, hari lahirnya bangsa Indonesia! Merdeka!”


Kendang dan gambang mengiringinya dengan bunyi teratur, namun tak bernada. Maklum, alatnya sederhana dan tidak di desain untuk mengiringi nyanyian lagu kemerdekaan.


Sampai sini, nyanyian biasanya berhenti karena lampu hijau menyala dan ia harus segera mengambil uang yang berserakan. Percuma diteruskan, takkan ada yang mendengar.


Monyetnya sendiri biasa saja, warnanya cokelat keunguan, mungkin sejenis dengan spesies Monyet hutan yang sering juga kutemui jika aku berlibur ke curug-curug di Puncak sana.

Taringnya panjang, sering dikeluarkan ketika tuannya menarik rantai di leher, hingga ia meringis.


Kasihan juga, sih. Sering si Monyet membangkang, misalnya jika aku iseng pulang sebelum jam empat, hari sangat panas, dan si Monyet dipaksa menari. Ia terlihat sangat kehausan, dan menatap murung pada sang Pawang yang minum minuman berenergi warna kuning yang baunya seperti urin.


Ia lantas guling-gulingan, muka ditutup topeng, dan memegang senapan. Banyak juga orang yang memberikan uang. Terhibur, sirkus trotoar ini menarik sebetulnya. Entahlah. Aku sendiri memang suka melihat ini, dari pada mendengarkan pengamen yang suaranya diakrobatkan seperti Monyet itu juga, tetapi malah terlihat seperti main-main.


Akan tetapi, tetap saja. selepas lampu merah Jalan Merdeka itu, aku memikirkan sesuatu. jika setiap main ada lima orang memberi uang, seribu, dan sehari bisa main sepuluh kali—taruhlah dia datang siang dan istirahat tengah hari, dengan durasi sekali main lima menit—maka ia hanya mendapat sekitar limapuluhribu rupiah.


Itu makanku dua kali. Belum parkirnya. Belum pertamaxnya. Ya, kan?


Masalah si Monyet ini sederhana: ia tak mungkin dipaksa makan nasi.


Dua, ia hanya makan buah. Baik, menurut lawak jam delapan di tivi, ia makan pisang.


Tiga. Yang utama, uang si Pawang tak cukup memberi makan dan minum mereka berdua.


Baiklah. Minggu datang, dan aku memutuskan bersepeda ke lapangan Monas dengan harapan bisa menjumpai Monyet dan Pawangnya. Aku ingin menontonnya sekali lagi dengan santai, dan bila perlu, menghilangkan penasaranku dengan mengobrol.


Benar saja. ia sedang memainkan Monyetnya dengan riang, dan seperti biasa, dengan gaya hikayat, sampai pada bagian menyanyikan Hari Merdeka dan lampu hijau yang muncul seenaknya. Padahal ini hari khusus, dimana mobil dilarang melintas pada hari minggu.


“Dari pagi, pak?” basa-basi, biasa.


“Iya, ini lagi ramai...” mungkin si Pawang ini berpikiran, aku seperti intel.


“Monyetnya bagus.. (sumpah, aku bingung mau bilang apa sebagai pengantar) sehari bisa dapat berapa pak?”


“ya... lumayan, gocap. Nutup makan, lah...”


“Rumah dimana, pak?” aku seperti orang penasaran yang sok akrab, ya?


Selanjutnya, benar dugaanku. Uangnya ini tak cukup menghidupinya sehari-hari. Dulu, ketika aku bekerja di BPS, aku mendapat lelucon tentang orang Indonesia. Pengeluarannya, lumrah dua kali lipat dari penghasilannya. Dan untuk memenuhi kebutuhan, mereka menggunakan cara-cara yang mustahil namun masuk akal.


Hari itu, dia menolak membeberkan rahasianya, darimana ia memenuhi pisang monyetnya, kontrakannya, sepatunya yang baru, dan sedekah bulanan. Namun ia merasa aku seperti sahabatnya dan menjadi kenalan untukku.


Minggu ini adalah musim kampanye terbuka. Banyak janji-janji mewarnai televisi. Pidato mendadak marak ditampilkan, dengan gaya ala-ala Pak Karno.


“Rakyat masih miskin....”


“Pengangguran melimpah...”


“Reformasi gagal....”


“Hanya jika saya terpilih....” sambung calon terakhir.


Ngomong-ngomong, keponakanku yang TK masih cadel. Jika ia melihat kampanye di televisi ia sontak bernyanyi:


“Langit kecil... di bintang yang biru, amat banyak... menghias angkasa....”


Lalu mengajakku melihat topeng Monyet. Padahal, sulit mencari topeng Monyet di sekitar kediamanku sekarang ini. Ah, aku jadi teringat kembali dengan Pawang dan Monyetnya.


Ketika akhirnya hari pemilihan tiba, diadakan penghitungan cepat dan aku tak terlalu peduli siapa yang menang. Pikiranku masih melayang-layang pada Pawang dan monyetnya yang misterius, memainkan atraksinya di bawah reklame calon presiden nomor sekian. Semakin misterius. Zaman sekarang, mana ada orang hidup dengan uang yang kurang, coba? Sejujur apapun dia, pasti ada main.


Akhirnya, minggu itu kuputuskan memaksaanya bercerita. Memang sangat sulit. Bahkan aku tak terlalu peduli siapa namanya. Aku hanya penasaran. Si Monyet yang tak kurus-kurus amat itu—sebagai tanda kemelaratan—memandangiku jelalatan, mencari makanan. Persis seperti laki-laki memandangi perempuan.


Si Pawang akhirnya hanya memberi petunjuk sederhana, nanti malam, dia akan pindah ke seberang jalan, tepat di depan istana. Aneh memang. Kalau malam-malam ‘kan istana tutup, persis seperti toko. Sepi pula. Buat apa ia pindah kesana? Padahal kalau malam, Monas yang ramai.

****


Baik. Kuturuti petunjuknya. Malam itu, dengan berkendara motor dan mengendap-endap dari rumah, aku pergi ke Monas. Jam sembilan malam, tepat ketika anak muda yang besok masuk


pagi sekolahnya bersiap pulang dari lapangan Monas. Jalanan lebar jadi lengang. Jakarta Pusat malam-malam begini malah sepi, beda dengan Depok atau Jak-sel dan Jak-tim.


Motor sudah kuparkir, aku menuju tepat ke depan istana merdeka. Benar, kutemukan dia di depan pagar istana. Hanya dia dan monyetnya. Berdua. Heran, kenapa dia seperti berlagak mengikuti monyetnya, ya?


Akan tetapi, setelah aku mendekat, alangkah terkejutnya aku, ketika mendapati rantai si Monyet kecil yang biasa melekat di leher Monyet, kini tergelang di leher sang Pawang, dan sang Pawang menari-nari layaknya Monyet kecil di siang hari.


Berlembar-lembar brosur kebijakan pemerintah masuk ke kantong bekas permen lusuh tempat ia mengumpulkan receh, dan si Monyet dengan tangkas memainkan gambang dan kendang sambil sesekali melemparkan payung, baju, boneka, apapun yang menjadi alat peraga hikayat Monyetnya.


Tepat di gerbang istana, si Pawang, yang adalah manusia, dipermainkan Monyet kecil dan berlembar-lembar brosur, cek kosong, proposal, serta koran bekas tentang masa pemilihan umum dilontarkan dari dalam istana, namun si Pawang melihatnya, persis dengan tatapan manusia diluaran sana yang melihat uang ditaburkan sekenanya!


Siapa yang melontarkan barang-barang itu? Apa pula maksudnya ini? Istana masih sepi, sepi sekali!


Si Monyet memunguti brosur, majalah, pamplet, dan koran bekas itu persis seperti pada siang hari ketika ia memunguti uang yang dilemparkan penontonnya.


Aku mengepalkan tangan untuk meyakinkan bahwa ini kenyataan, dan semakin terpana ketika si Monyet betul-betul bersuara berat, parau, dan bicara seperti manusia. tepat pada hikayat, ketika si Mimin diharuskan menenteng senjata kayu kecil seperti senapan, dan Pawang biasa menyanyikan hari merdeka milik H. Mutahar dengan suara parau dan senyum lima senti, si Monyet bernyanyi dengan seringai senang menerima brosur dan koran bekas kampanye itu:


“S’kali merdeka tetap merdekaa! Selama hayat masih di kandung badaaan! Kita tetap setia, tetap sedia, mempertahankan Indonesia, kita tetap sedia, tetap setia, membela negara k-i-t-aaaaaaaaaa!”

Cerpen: Ombak


Setahun setelah perpisahannya dengan perempuan yang sangat disayanginya, pria itu, dengan segenap hatinya telah memutuskan untuk melepaskan bingkai jendela dari dinding kamarnya di lantai dua. Ia membulatkan perasaannya, untuk terus mengembara selama beberapa bulan. Meninggalkan kesibukan untuk menenangkan dirinya sendiri.

Entah dari apa.

Entah dari siapa.

Pria itu hanya sedang ingin berjalan dengan jendelanya.

Banyak tetangga dan rekan-rekan menganggapnya gila, meski ada juga yang menyayangkan tindakannya. Mencopot jendela itu sia-sia, katanya. Pria itu mengacuhkan, lantas pergi dari rumah. Ia ingin merenung di tengah kota besar. Di puncak sebuah gedung tinggi, tempat ia bisa melihat segala dinamika kota.

Lewat jendela itu, ia menyandarkan tangannya dan memandang jauh. Di sana, ia melihat sebelum senja, matahari telah terbenam lalu padam. Burung-burung yang kebingungan, hinggap sekenanya di kabel-kabel listrik.

Jalanan macet. Semua sibuk mengomentari kendaraan di depannya, sementara kendaraan terdepan mengumpat-umpat kepada lampu merah yang menghentikannya. Kota ini kehilangan cinta. Sudah tidak mengenal senja, dan hanya menganggapnya sebagai peristiwa biasa.

Tak ada pohonan yang menghitam karena bayang-bayang sendiri. Tak ada juga awan senja yang berarak. Semua kubus. Kubus gedung-gedung kota, dan kita tinggal di salah satunya. Senja tak pernah membeda-bedakan kubus, semuanya sama.

Tidak untuk dinikmati.

Ketika senja seharusnya mencapai titik terindahnya, deretan gedung-gedung perkantoran menghalangi. Maka, tidak pernah ada warga kota yang melihat senja. Pria itu akhirnya mengerti, kenapa kotanya menjadi kaku dan kehilangan rasa cinta. Tak pernah ada yang menikmati senja. Ia lewat begitu saja.

Ketika langit betul-betul jadi malam, sebuah gedung bertanya padanya.

“Kenapa kau membawa jendela sampai kesini?”

“Aku ingin menyelamatkan senja kedalam jendelaku”

“Sendirian?”

“Aku tidak lagi mempercayai siapa-siapa”

“Kenapa?” Kaca-kaca jendela gedung membiaskan kegiatan orang-orang di dalamnya.

“Entahlah, tetapi...”

Pria itu termenung-menung melihat dua orang, di sebuah jendela gedung itu, sedang tidur dengan nyenyaknya. Berdua. Tidak takut kehilangan apa-apa.

“Banyak yang menikmati senja lewat jendela rumahnya, bersama”

“Aku hanya ingin merenung”

“Tentang apa”

“Jendelanya”

Gedung itu akhirnya paham, ia tak melanjutkan pertanyaannya. Tetapi, mata gedung itu menyiratkan sesuatu. Pria itu entah, seperti merindukan masa lalu. tetapi bukan jendelanya.

Perjalanannya membawa jendela, terus mengantarnya sampai ke sebuah tepi laut yang tenang. Ombak-ombak bisa bicara. Senjapun hampir datang.

Ombak, yang melihat pria itu lalu berbisik pada yang lainnya, untuk sekedar mengajaknya bicara. Pantai dan lautan tidak pernah membiarkan siapapun sendirian di hadapannya. Disana, siang dan malam berbagi menjadi senja.

Matahari mengorbankan dirinya kepada malam, agar senja bisa muncul dan merenungi sisa-sisa siang hari. Pesisir mengorbankan dirinya dihantam ombak, agar pasir tercipta dan menjadi batas samudra.

“Senja yang indah, Teman?”

Pria itu tersenyum singkat, tetapi matanya sayu.

“Kau menikmati senja?”

“Ya, Ombak. Maukah kau duduk di sampingku?” Ia akhirnya menyerah pada sepi.

“Mari” Kata Ombak yang segera mengambil duduk di sebelah pria itu.

“Untuk apa kau membawa jendela sebesar itu?"

“Aku melepasnya dari tembok rumahku”

“Kau nampak berjalan teramat jauh. Aku melihatmu dari teluk seberang. Jendela ini untuk apa?”

“Entahlah, tetapi aku suka membawanya, untuk melihat apa saja dari salahsatu sudutnya, terutama, senja”

“Apa yang kau lihat, Teman?”

“Aku pernah melihat siang, matahari bersinar diatasnya. Aku berjalan, lalu kutemukan diriku telanjang tanpa busana”

“Bagaimana seterusnya?”

“Aku lalu merebahkan diriku di tanah. Aku melihat diriku begitu rapuhnya: matahari menghabisi kesegaranku. Aku mengering, lalu hujan turun”

“ Apa yang dikatakan hujan padamu? Ia senang sekali mengunjungi lautan dan bercerita apa saja”

“Aku diberinya pakaian hujan. Lalu aku dilarutkan, bersama jendela dan terhanyut sampai muara”

“Sebetulnya, apa yang ingin kau katakan, Teman? Jujurlah pada kami”

“Setiap kali ada wanita yang mengenakan jilbab, aku selalu teringat dia. Jilbab kesukaannya berwarna abu-abu, khas sekali, diselempangkan menyilang melingkari leher”

“Aku selalu ingat dia”

“Dua bulan yang lalu, kami tidak sedang bertengkar, tetapi dia sekejap membenci aku. Kami memang berhubungan jarak jauh, tetapi...” Pria itu merenung sebentar.

“Nampaknya, kau sangat mencintainya, hanya dengan cara yang tak ia mengerti”

“Bagaimana kau tahu?”

“Beribu tahun lamanya, aku menghantamkan diriku pada karang hitam itu, karena aku mencintainya. Aku tak pernah bicara, hingga akhirnya, ia mati menjadi pasir yang ada di kakimu saat ini, juga tanpa mengatakan apa-apa”

Matahari makin terbenam, pria itu masih memperhatikan dengan tatapan penuh makna pada senja yang merah dan bau laut. Terasa benar padanya, laut memiliki tenaga yang sangat besar.

“Tak inginkah kau kembali pulang? Tentu kau memiliki keluarga”

“Aku kehilangan diriku sendiri”

“Aku tak tahu kemana harus pulang” Tandas pria itu.

“Kau pasti tetap harus pulang”

“Suatu ketika, mungkin aku memang harus pulang. Mengetuk pintu dengan sepantasnya. Kembali menghirup aroma teh hangat di atas meja. Meletakkan tasku di kursi, dan mencium tangannya kembali.”

“Keluargamu pasti sangat merindukanmu”

“Pulanglah, teman”

“Suatu ketika, aku mungkin harus pulang. Membuka pintu kamar dengan lembut, dan berganti busana di dalam. Tidur dengan tenang, sementara sinar matahari sore masuk perlahan-lahan“

“Bukankah dengan kepergianmu, nantinya keluargamu hanya akan merasakan kehilangan yang lain?”

“Aku memang harus pulang. Aku pergi terlalu lama dan jauh untuk menyelamatkan senja. Tak kudengar kabar rumah yang nyaman, telah sekian lama...”

“Bagaimana dengan senja di rumahmu, apakah pernah kau selamatkan dengan jendela?”
Pria itu terdiam.

Pertemuan terakhirnya dengan rumah dan wanita yang sangat disayanginya, berakhir dengan perdebatan. Yang sepertinya sudah terpendam ratusan hari lamanya, tanpa sempat terselesaikan karena ragu-ragu.

“Teman?” Tegur Ombak.

“Ya, kami melinangkan airmata bersama-sama. Ia mengenakan baju ungu kemerahan, yang mengartikan ia sedang lelah terhadap sesuatu. Jilbabnya abu-abu. Sepertinya ia ragu-ragu juga dengan sesuatu...”

“Tentang wanita itu, ya?”

“Nampak benar ia menyembunyikan sesuatu”

“Sesuatu, yang aku juga tidak tahu. Aku tidak punya kemampuan membaca pikiran. Apa yang menjadi dasar pikirannya memisahkan antara kita? Aku gagal. Ya, aku gagal, aku tak bisa memaafkan diriku sendiri”

Senja sudah jadi malam, dan pria itu tak menyelamatkan sedikitpun senja di laut itu dengan jendela, karena lebih banyak merenungkan kata-kata Ombak padanya.

“Katakanlah pada kami, untuk apa kau bawa jendela ini?”

“Untuk menyelamatkan senja”

“Dari apa?”

“Aku ingin menikmatinya lagi”

“Jujurlah, teman! Itu tak akan membuatmu lebih baik!”

“Ya, aku ingin menikmatinya lagi, dengan dia! Apakah jelas?!” Tiba-tiba pria itu berseru, beban di hatinya terasa memuncak.

“Aku tak pernah bisa menikmati senja bersamanya, karena kesibukanku, karena aku tak pernah mau memahami apa yang bisa dipahaminya sebagai kasih sayang!”

****

Empatpuluh kilometer per jam. Tidak begitu kencang. Semakin senja saja, angin tak hendak menyingkir dari jalan kami berdua. Asramanya terletak agak jauh, selang satu kota dari kota asal kami. Aku mengantarnya. Senja ini. entah kenapa ada perasaan yang berbeda, langitnya lebih senja dari biasanya. Berboncengan dengan sepeda motor.

“Ta?” Aku agak mengeraskan suara, mengalahkan deru angin.

“Kenapa?” Ia menjawab lembut, mendekatkan sedikit telinganya.

“Macet, ya?” Bodoh. Aku memulai percakapan dengan bodoh. Memang macet, tetapi bukan itu!

“Iya, kamu lelah? Kita istirahat saja dulu,” Jawabnya.

“Tidak, tidak usah, jika kamu lelah, tidurlah di punggungku”

“Iya, santai saja. jangan terlalu cepat”

“Kenapa, ya, kita mesti terpisah jauh? Dan ini hari terakhir aku bisa mengantarmu”

“Jangan begitu”

“beberapa jam, dalam sebulan. Aku hanya mampu memberikan itu”

“Jangan dipikirkan...”

“Jalanan ini makin macet, ya, sayang?”

“ini akhir pekan, semuanya keluar untuk menyentuh senja”

“Kita?”

“Apa?”

“Iya, kita, keluar untuk apa?”

“Maafkan aku, sayang”

“Tidak apa-apa. Kamu lelah, kan? Tidurlah. Akan kujalankan pelan-pelan motornya”

Percakapan-percakapan ini memperlambat senja. Apa lagi yang harus ku katakan? Dia telah tertidur di punggungku. Beberapa minggu ini dia mendiamkan aku. Tak juga dibalasnya pesan singkatku. Panggilanku. Nada-nada yang sama ketika aku memanggilnya menusuk-nusuk mimpi dan prasangkaku.

Jenuhkah ia?

Ya,
Jenuhkah ia?

Aku sadar betul, sikap dan penampilanku selama ini akan membuat orang berpikir dua kali untuk menghubungiku. Tegakah aku padanya? Jalanan yang aku lalui menuju asramanya menjadi penuh angka-angka dan huruf yang berantakan untuk aku tata sedemikian rupa: menjadi jawaban pertanyaan-pertanyaanku padanya. Dia diam.

“Kamu sudah makan, sayang? Ayo kita ke By Pass, ada warung enak disana...”

“Belum, kebetulan! Jam berapa?”

“Hm... Jam lima? Sudah siap, kan, sayang?”

Pesan semakin singkat saja. semakin mampu mewakili sebanyak mumgkin arti dalam sesedikit mungkin kata-kata. pada pertemuan terakhir sebelum saat ini, ada yang berbeda. Dia lebih lemah, terlihat lebih rapuh.

Ia tak mau dipaksa memberikan alasan-alasan yang logis menurut senja, ketika kutanya sebabnya. Wajahnya yang pucat. Matanya yang sayu. Flu. Suaranya yang lebih lembut. Ia hanya terlihat menikmati makan malam bersamaku, tidak lebih.

“Masih jauh, ya?”

“Iya, semakin gelap”

“Kamu sakit, ya?” Beban kuliahnya teras berat, membekas di matanya.

“tidak,” jawabnya. Sangat singkat.

“Baiklah,”

“Sayang?” aku menyapanya ketika terdiam. Sudah saatnya aku bicara serius!

“Kamu... jenuh, ya?”

Semakin malam. Mobil-mobil sudah menyalakan lampu, jalan raya semakin semarak.