Jumat, 15 Maret 2013
Buat Allah-puisi
DIALEKTIK
ya Allah, kami sebenarnya bukan tidak mau berfikir
tapi kami takut menjadi kafir atau dikafir-kafirkan oleh yang telah lebih dulu berfikir
kami sebenarnya bukan tidak mau berdoa, tapi kami takut
menjadi perintah yang memaksamu melayani kami
DOA
kadang orang-orang dengan sabar bilang kau jangan melakukan ini itu nanti kau dosa
tapi pada siapa Tuhan akan marah
kadang orang-orang begitu baiknya mengingatkan kita untuk shalat, tapi shalatnya tidak mencegah keji dan munkar
katanya jangan omong sembarangan padaTuhan, lalu dengan siapa aku harus mengadu?
DOA CINTA
Ya Allah
Perkara cinta bukan perkara yang mudah buat kami
Sederhanakanlah ia
Bukan karena wajahnya yang manis
Pipinya yang halus
Tangannya yang lincah mempermainkan angin
Malam ini, izinkan aku merindukannya lagi
Dan jadikan Engkau menjaga kami
ya Allah, kami sebenarnya bukan tidak mau berfikir
tapi kami takut menjadi kafir atau dikafir-kafirkan oleh yang telah lebih dulu berfikir
kami sebenarnya bukan tidak mau berdoa, tapi kami takut
menjadi perintah yang memaksamu melayani kami
DOA
kadang orang-orang dengan sabar bilang kau jangan melakukan ini itu nanti kau dosa
tapi pada siapa Tuhan akan marah
kadang orang-orang begitu baiknya mengingatkan kita untuk shalat, tapi shalatnya tidak mencegah keji dan munkar
katanya jangan omong sembarangan padaTuhan, lalu dengan siapa aku harus mengadu?
DOA CINTA
Ya Allah
Perkara cinta bukan perkara yang mudah buat kami
Sederhanakanlah ia
Bukan karena wajahnya yang manis
Pipinya yang halus
Tangannya yang lincah mempermainkan angin
Malam ini, izinkan aku merindukannya lagi
Dan jadikan Engkau menjaga kami
Kamis, 14 Maret 2013
Cerpen-Topeng Monyet
Tiap pulang kerja, mataku selalu iseng memperhatikan Topeng Monyet dan Pawangnya, yang mangkal tepat di seberang istana.
Jalan Merdeka memang sangat padat. Memaksa mata siapa saja yang melewatinya pantang melihat kedepan karena jenuh, tetapi menengok istana yang megah, atau ke arah lapangan Monas yang sangat permai.
Ia mangkal tepat dibawah reklame yang dipasangi spanduk kampanye calon presiden. Ada foto dua orang yang sangat besar, dengan kualitas editan yang buruk, lalu ada nomor urut.
Janjinya banyak, mulai dari utara hingga selatan. Kontras dengan taman Monas di belakang reklame itu, yang segar dan hijau.
Jika lampu merah menyala, ia akan memainkan Monyetnya kesana-kemari di trotoar, bersamaan dengan berhentinya motor-motor dan pejalan kaki yang antre. Mulai dari Monyetnya yang berlagak kehujanan, memegang payung warna pelangi, berlagak perang menenteng senapan kayu kecil yang dicat putih, hingga mengenakan rok mini seperti banci. Pawangnya mengendalikan si Monyet dengan seringai senyum aneh sambil berkata-kata.
Tentu, ada jalan cerita dan hikayat yang terus dirapalkan sang Pawang. Dulu ketika kecil, di Depok, aku sering mendengarkan si Pawang itu bercerita tentang si Monyet, yang kadang dinamai Mumun, Mimin, Maman, Eman, atau yang lain—yang penting ada imbuhan -man di belakang namanya—berkelana ke berbagai tempat dan menyamar menjadi beragam tokoh.
Cerita itu kadang begini bunyinya: Suatu pagi si Mimin ingin belanja ke pasar, membeli timun, kol, terong, teri dan petai. Maka si Mimin Pergi Ke Pasaaar (pawang melemparkan keranjang kecil). Pulang dari pasar, si Mimin kehujanan! (pawang melemparkan payung mini yang segera disambar si Monyet).
Kata bapak si Monyet, kakeknya dulu adalah pejuang kemerdekaan. Begini caranya, si Mimin Jadi Pahlawaaan! (melemparkan senapan kayu kecil).
Si Pawang setengah baya. Berkumis lebat, menggantung seperti krim diatas kue ulang tahun keponakanku. Hanya, yang ini warnanya hitam. Hitam, sering berjemur di panasnya Jalan Merdeka.
Ia selalu mengenakan topi koboi putih, kaus lusuh yang kadang putih kadang hitam, celana setengah betis, dan sandal kulit hitam yang tua dan hampir lapuk.
Kandang si Monyet kecil sekali. Hanya cukup ia berjongkok di dalamnya seperti burung nuri yang dikurung. Warnanya hijau bergaris kuning dan hitam. Sambil makan pepaya atau pisang, ia menanti-nanti saat pentasnya di panggung bata trotoar Jalan Merdeka yang panas bila disentuh tanpa alas kaki.
Satu kali, aku terjebak lampu merah agak lama dan sempat kudengarkan suaranya yang khas seperti tukang hikayat dari Melayu mendendangkan cerita, diselingi irama gambang mainan, kendang plastik, dan kadang ketukan kayu di kandang kotak sang Monyet. Suaranya agak keras, tebal, namun parau.
Karena ia selalu bercerita dengan senyum lima senti, maka entah kenapa ceritanya selalu terdengar lebih ceria dari seharusnya. Lebih mampu menonjolkan kesan jenaka.
“Si Mimin keeehujanaaan!” lalu si Monyet memegang payung yang dilemparkan Pawang.
“Si Mimin kepanasaaaaan!” lalu si Monyet berlagak membuka baju dan minum beer. Kaleng kosong.
“Si Mimin jadi pahlawaan kemerdekaaaan!” maka si Monyet menyambar senapan dan mendadak, dengan suaranya yang berat dan parau si Pawang melagukan Hari Merdeka milik H. Muntahar:
“Tujuh belas Agustus tahun empat lima! Itulah hari kemerdekaan kita (sambil menatap Monyet, seolah kemerdekaan ‘kita’ adalah kemerdekaan si Pawang dan si Monyet) hari merdeka nusa dan bangsa, hari lahirnya bangsa Indonesia! Merdeka!”
Kendang dan gambang mengiringinya dengan bunyi teratur, namun tak bernada. Maklum, alatnya sederhana dan tidak di desain untuk mengiringi nyanyian lagu kemerdekaan.
Sampai sini, nyanyian biasanya berhenti karena lampu hijau menyala dan ia harus segera mengambil uang yang berserakan. Percuma diteruskan, takkan ada yang mendengar.
Monyetnya sendiri biasa saja, warnanya cokelat keunguan, mungkin sejenis dengan spesies Monyet hutan yang sering juga kutemui jika aku berlibur ke curug-curug di Puncak sana.
Taringnya panjang, sering dikeluarkan ketika tuannya menarik rantai di leher, hingga ia meringis.
Kasihan juga, sih. Sering si Monyet membangkang, misalnya jika aku iseng pulang sebelum jam empat, hari sangat panas, dan si Monyet dipaksa menari. Ia terlihat sangat kehausan, dan menatap murung pada sang Pawang yang minum minuman berenergi warna kuning yang baunya seperti urin.
Ia lantas guling-gulingan, muka ditutup topeng, dan memegang senapan. Banyak juga orang yang memberikan uang. Terhibur, sirkus trotoar ini menarik sebetulnya. Entahlah. Aku sendiri memang suka melihat ini, dari pada mendengarkan pengamen yang suaranya diakrobatkan seperti Monyet itu juga, tetapi malah terlihat seperti main-main.
Akan tetapi, tetap saja. selepas lampu merah Jalan Merdeka itu, aku memikirkan sesuatu. jika setiap main ada lima orang memberi uang, seribu, dan sehari bisa main sepuluh kali—taruhlah dia datang siang dan istirahat tengah hari, dengan durasi sekali main lima menit—maka ia hanya mendapat sekitar limapuluhribu rupiah.
Itu makanku dua kali. Belum parkirnya. Belum pertamaxnya. Ya, kan?
Masalah si Monyet ini sederhana: ia tak mungkin dipaksa makan nasi.
Dua, ia hanya makan buah. Baik, menurut lawak jam delapan di tivi, ia makan pisang.
Tiga. Yang utama, uang si Pawang tak cukup memberi makan dan minum mereka berdua.
Baiklah. Minggu datang, dan aku memutuskan bersepeda ke lapangan Monas dengan harapan bisa menjumpai Monyet dan Pawangnya. Aku ingin menontonnya sekali lagi dengan santai, dan bila perlu, menghilangkan penasaranku dengan mengobrol.
Benar saja. ia sedang memainkan Monyetnya dengan riang, dan seperti biasa, dengan gaya hikayat, sampai pada bagian menyanyikan Hari Merdeka dan lampu hijau yang muncul seenaknya. Padahal ini hari khusus, dimana mobil dilarang melintas pada hari minggu.
“Dari pagi, pak?” basa-basi, biasa.
“Iya, ini lagi ramai...” mungkin si Pawang ini berpikiran, aku seperti intel.
“Monyetnya bagus.. (sumpah, aku bingung mau bilang apa sebagai pengantar) sehari bisa dapat berapa pak?”
“ya... lumayan, gocap. Nutup makan, lah...”
“Rumah dimana, pak?” aku seperti orang penasaran yang sok akrab, ya?
Selanjutnya, benar dugaanku. Uangnya ini tak cukup menghidupinya sehari-hari. Dulu, ketika aku bekerja di BPS, aku mendapat lelucon tentang orang Indonesia. Pengeluarannya, lumrah dua kali lipat dari penghasilannya. Dan untuk memenuhi kebutuhan, mereka menggunakan cara-cara yang mustahil namun masuk akal.
Hari itu, dia menolak membeberkan rahasianya, darimana ia memenuhi pisang monyetnya, kontrakannya, sepatunya yang baru, dan sedekah bulanan. Namun ia merasa aku seperti sahabatnya dan menjadi kenalan untukku.
Minggu ini adalah musim kampanye terbuka. Banyak janji-janji mewarnai televisi. Pidato mendadak marak ditampilkan, dengan gaya ala-ala Pak Karno.
“Rakyat masih miskin....”
“Pengangguran melimpah...”
“Reformasi gagal....”
“Hanya jika saya terpilih....” sambung calon terakhir.
Ngomong-ngomong, keponakanku yang TK masih cadel. Jika ia melihat kampanye di televisi ia sontak bernyanyi:
“Langit kecil... di bintang yang biru, amat banyak... menghias angkasa....”
Lalu mengajakku melihat topeng Monyet. Padahal, sulit mencari topeng Monyet di sekitar kediamanku sekarang ini. Ah, aku jadi teringat kembali dengan Pawang dan Monyetnya.
Ketika akhirnya hari pemilihan tiba, diadakan penghitungan cepat dan aku tak terlalu peduli siapa yang menang. Pikiranku masih melayang-layang pada Pawang dan monyetnya yang misterius, memainkan atraksinya di bawah reklame calon presiden nomor sekian. Semakin misterius. Zaman sekarang, mana ada orang hidup dengan uang yang kurang, coba? Sejujur apapun dia, pasti ada main.
Akhirnya, minggu itu kuputuskan memaksaanya bercerita. Memang sangat sulit. Bahkan aku tak terlalu peduli siapa namanya. Aku hanya penasaran. Si Monyet yang tak kurus-kurus amat itu—sebagai tanda kemelaratan—memandangiku jelalatan, mencari makanan. Persis seperti laki-laki memandangi perempuan.
Si Pawang akhirnya hanya memberi petunjuk sederhana, nanti malam, dia akan pindah ke seberang jalan, tepat di depan istana. Aneh memang. Kalau malam-malam ‘kan istana tutup, persis seperti toko. Sepi pula. Buat apa ia pindah kesana? Padahal kalau malam, Monas yang ramai.
****
Baik. Kuturuti petunjuknya. Malam itu, dengan berkendara motor dan mengendap-endap dari rumah, aku pergi ke Monas. Jam sembilan malam, tepat ketika anak muda yang besok masuk
pagi sekolahnya bersiap pulang dari lapangan Monas. Jalanan lebar jadi lengang. Jakarta Pusat malam-malam begini malah sepi, beda dengan Depok atau Jak-sel dan Jak-tim.
Motor sudah kuparkir, aku menuju tepat ke depan istana merdeka. Benar, kutemukan dia di depan pagar istana. Hanya dia dan monyetnya. Berdua. Heran, kenapa dia seperti berlagak mengikuti monyetnya, ya?
Akan tetapi, setelah aku mendekat, alangkah terkejutnya aku, ketika mendapati rantai si Monyet kecil yang biasa melekat di leher Monyet, kini tergelang di leher sang Pawang, dan sang Pawang menari-nari layaknya Monyet kecil di siang hari.
Berlembar-lembar brosur kebijakan pemerintah masuk ke kantong bekas permen lusuh tempat ia mengumpulkan receh, dan si Monyet dengan tangkas memainkan gambang dan kendang sambil sesekali melemparkan payung, baju, boneka, apapun yang menjadi alat peraga hikayat Monyetnya.
Tepat di gerbang istana, si Pawang, yang adalah manusia, dipermainkan Monyet kecil dan berlembar-lembar brosur, cek kosong, proposal, serta koran bekas tentang masa pemilihan umum dilontarkan dari dalam istana, namun si Pawang melihatnya, persis dengan tatapan manusia diluaran sana yang melihat uang ditaburkan sekenanya!
Siapa yang melontarkan barang-barang itu? Apa pula maksudnya ini? Istana masih sepi, sepi sekali!
Si Monyet memunguti brosur, majalah, pamplet, dan koran bekas itu persis seperti pada siang hari ketika ia memunguti uang yang dilemparkan penontonnya.
Aku mengepalkan tangan untuk meyakinkan bahwa ini kenyataan, dan semakin terpana ketika si Monyet betul-betul bersuara berat, parau, dan bicara seperti manusia. tepat pada hikayat, ketika si Mimin diharuskan menenteng senjata kayu kecil seperti senapan, dan Pawang biasa menyanyikan hari merdeka milik H. Mutahar dengan suara parau dan senyum lima senti, si Monyet bernyanyi dengan seringai senang menerima brosur dan koran bekas kampanye itu:
“S’kali merdeka tetap merdekaa! Selama hayat masih di kandung badaaan! Kita tetap setia, tetap sedia, mempertahankan Indonesia, kita tetap sedia, tetap setia, membela negara k-i-t-aaaaaaaaaa!”
Cerpen: Ombak
Setahun setelah perpisahannya dengan perempuan yang sangat disayanginya, pria itu, dengan segenap hatinya telah memutuskan untuk melepaskan bingkai jendela dari dinding kamarnya di lantai dua. Ia membulatkan perasaannya, untuk terus mengembara selama beberapa bulan. Meninggalkan kesibukan untuk menenangkan dirinya sendiri.
Entah dari apa.
Entah dari siapa.
Pria itu hanya sedang ingin berjalan dengan jendelanya.
Banyak tetangga dan rekan-rekan menganggapnya gila, meski ada juga yang menyayangkan tindakannya. Mencopot jendela itu sia-sia, katanya. Pria itu mengacuhkan, lantas pergi dari rumah. Ia ingin merenung di tengah kota besar. Di puncak sebuah gedung tinggi, tempat ia bisa melihat segala dinamika kota.
Lewat jendela itu, ia menyandarkan tangannya dan memandang jauh. Di sana, ia melihat sebelum senja, matahari telah terbenam lalu padam. Burung-burung yang kebingungan, hinggap sekenanya di kabel-kabel listrik.
Jalanan macet. Semua sibuk mengomentari kendaraan di depannya, sementara kendaraan terdepan mengumpat-umpat kepada lampu merah yang menghentikannya. Kota ini kehilangan cinta. Sudah tidak mengenal senja, dan hanya menganggapnya sebagai peristiwa biasa.
Tak ada pohonan yang menghitam karena bayang-bayang sendiri. Tak ada juga awan senja yang berarak. Semua kubus. Kubus gedung-gedung kota, dan kita tinggal di salah satunya. Senja tak pernah membeda-bedakan kubus, semuanya sama.
Tidak untuk dinikmati.
Ketika senja seharusnya mencapai titik terindahnya, deretan gedung-gedung perkantoran menghalangi. Maka, tidak pernah ada warga kota yang melihat senja. Pria itu akhirnya mengerti, kenapa kotanya menjadi kaku dan kehilangan rasa cinta. Tak pernah ada yang menikmati senja. Ia lewat begitu saja.
Ketika langit betul-betul jadi malam, sebuah gedung bertanya padanya.
“Kenapa kau membawa jendela sampai kesini?”
“Aku ingin menyelamatkan senja kedalam jendelaku”
“Sendirian?”
“Aku tidak lagi mempercayai siapa-siapa”
“Kenapa?” Kaca-kaca jendela gedung membiaskan kegiatan orang-orang di dalamnya.
“Entahlah, tetapi...”
Pria itu termenung-menung melihat dua orang, di sebuah jendela gedung itu, sedang tidur dengan nyenyaknya. Berdua. Tidak takut kehilangan apa-apa.
“Banyak yang menikmati senja lewat jendela rumahnya, bersama”
“Aku hanya ingin merenung”
“Tentang apa”
“Jendelanya”
Gedung itu akhirnya paham, ia tak melanjutkan pertanyaannya. Tetapi, mata gedung itu menyiratkan sesuatu. Pria itu entah, seperti merindukan masa lalu. tetapi bukan jendelanya.
Perjalanannya membawa jendela, terus mengantarnya sampai ke sebuah tepi laut yang tenang. Ombak-ombak bisa bicara. Senjapun hampir datang.
Ombak, yang melihat pria itu lalu berbisik pada yang lainnya, untuk sekedar mengajaknya bicara. Pantai dan lautan tidak pernah membiarkan siapapun sendirian di hadapannya. Disana, siang dan malam berbagi menjadi senja.
Matahari mengorbankan dirinya kepada malam, agar senja bisa muncul dan merenungi sisa-sisa siang hari. Pesisir mengorbankan dirinya dihantam ombak, agar pasir tercipta dan menjadi batas samudra.
“Senja yang indah, Teman?”
Pria itu tersenyum singkat, tetapi matanya sayu.
“Kau menikmati senja?”
“Ya, Ombak. Maukah kau duduk di sampingku?” Ia akhirnya menyerah pada sepi.
“Mari” Kata Ombak yang segera mengambil duduk di sebelah pria itu.
“Untuk apa kau membawa jendela sebesar itu?"
“Aku melepasnya dari tembok rumahku”
“Kau nampak berjalan teramat jauh. Aku melihatmu dari teluk seberang. Jendela ini untuk apa?”
“Entahlah, tetapi aku suka membawanya, untuk melihat apa saja dari salahsatu sudutnya, terutama, senja”
“Apa yang kau lihat, Teman?”
“Aku pernah melihat siang, matahari bersinar diatasnya. Aku berjalan, lalu kutemukan diriku telanjang tanpa busana”
“Bagaimana seterusnya?”
“Aku lalu merebahkan diriku di tanah. Aku melihat diriku begitu rapuhnya: matahari menghabisi kesegaranku. Aku mengering, lalu hujan turun”
“ Apa yang dikatakan hujan padamu? Ia senang sekali mengunjungi lautan dan bercerita apa saja”
“Aku diberinya pakaian hujan. Lalu aku dilarutkan, bersama jendela dan terhanyut sampai muara”
“Sebetulnya, apa yang ingin kau katakan, Teman? Jujurlah pada kami”
“Setiap kali ada wanita yang mengenakan jilbab, aku selalu teringat dia. Jilbab kesukaannya berwarna abu-abu, khas sekali, diselempangkan menyilang melingkari leher”
“Aku selalu ingat dia”
“Dua bulan yang lalu, kami tidak sedang bertengkar, tetapi dia sekejap membenci aku. Kami memang berhubungan jarak jauh, tetapi...” Pria itu merenung sebentar.
“Nampaknya, kau sangat mencintainya, hanya dengan cara yang tak ia mengerti”
“Bagaimana kau tahu?”
“Beribu tahun lamanya, aku menghantamkan diriku pada karang hitam itu, karena aku mencintainya. Aku tak pernah bicara, hingga akhirnya, ia mati menjadi pasir yang ada di kakimu saat ini, juga tanpa mengatakan apa-apa”
Matahari makin terbenam, pria itu masih memperhatikan dengan tatapan penuh makna pada senja yang merah dan bau laut. Terasa benar padanya, laut memiliki tenaga yang sangat besar.
“Tak inginkah kau kembali pulang? Tentu kau memiliki keluarga”
“Aku kehilangan diriku sendiri”
“Aku tak tahu kemana harus pulang” Tandas pria itu.
“Kau pasti tetap harus pulang”
“Suatu ketika, mungkin aku memang harus pulang. Mengetuk pintu dengan sepantasnya. Kembali menghirup aroma teh hangat di atas meja. Meletakkan tasku di kursi, dan mencium tangannya kembali.”
“Keluargamu pasti sangat merindukanmu”
“Pulanglah, teman”
“Suatu ketika, aku mungkin harus pulang. Membuka pintu kamar dengan lembut, dan berganti busana di dalam. Tidur dengan tenang, sementara sinar matahari sore masuk perlahan-lahan“
“Bukankah dengan kepergianmu, nantinya keluargamu hanya akan merasakan kehilangan yang lain?”
“Aku memang harus pulang. Aku pergi terlalu lama dan jauh untuk menyelamatkan senja. Tak kudengar kabar rumah yang nyaman, telah sekian lama...”
“Bagaimana dengan senja di rumahmu, apakah pernah kau selamatkan dengan jendela?”
Pria itu terdiam.
Pertemuan terakhirnya dengan rumah dan wanita yang sangat disayanginya, berakhir dengan perdebatan. Yang sepertinya sudah terpendam ratusan hari lamanya, tanpa sempat terselesaikan karena ragu-ragu.
“Teman?” Tegur Ombak.
“Ya, kami melinangkan airmata bersama-sama. Ia mengenakan baju ungu kemerahan, yang mengartikan ia sedang lelah terhadap sesuatu. Jilbabnya abu-abu. Sepertinya ia ragu-ragu juga dengan sesuatu...”
“Tentang wanita itu, ya?”
“Nampak benar ia menyembunyikan sesuatu”
“Sesuatu, yang aku juga tidak tahu. Aku tidak punya kemampuan membaca pikiran. Apa yang menjadi dasar pikirannya memisahkan antara kita? Aku gagal. Ya, aku gagal, aku tak bisa memaafkan diriku sendiri”
Senja sudah jadi malam, dan pria itu tak menyelamatkan sedikitpun senja di laut itu dengan jendela, karena lebih banyak merenungkan kata-kata Ombak padanya.
“Katakanlah pada kami, untuk apa kau bawa jendela ini?”
“Untuk menyelamatkan senja”
“Dari apa?”
“Aku ingin menikmatinya lagi”
“Jujurlah, teman! Itu tak akan membuatmu lebih baik!”
“Ya, aku ingin menikmatinya lagi, dengan dia! Apakah jelas?!” Tiba-tiba pria itu berseru, beban di hatinya terasa memuncak.
“Aku tak pernah bisa menikmati senja bersamanya, karena kesibukanku, karena aku tak pernah mau memahami apa yang bisa dipahaminya sebagai kasih sayang!”
****
Empatpuluh kilometer per jam. Tidak begitu kencang. Semakin senja saja, angin tak hendak menyingkir dari jalan kami berdua. Asramanya terletak agak jauh, selang satu kota dari kota asal kami. Aku mengantarnya. Senja ini. entah kenapa ada perasaan yang berbeda, langitnya lebih senja dari biasanya. Berboncengan dengan sepeda motor.
“Ta?” Aku agak mengeraskan suara, mengalahkan deru angin.
“Kenapa?” Ia menjawab lembut, mendekatkan sedikit telinganya.
“Macet, ya?” Bodoh. Aku memulai percakapan dengan bodoh. Memang macet, tetapi bukan itu!
“Iya, kamu lelah? Kita istirahat saja dulu,” Jawabnya.
“Tidak, tidak usah, jika kamu lelah, tidurlah di punggungku”
“Iya, santai saja. jangan terlalu cepat”
“Kenapa, ya, kita mesti terpisah jauh? Dan ini hari terakhir aku bisa mengantarmu”
“Jangan begitu”
“beberapa jam, dalam sebulan. Aku hanya mampu memberikan itu”
“Jangan dipikirkan...”
“Jalanan ini makin macet, ya, sayang?”
“ini akhir pekan, semuanya keluar untuk menyentuh senja”
“Kita?”
“Apa?”
“Iya, kita, keluar untuk apa?”
“Maafkan aku, sayang”
“Tidak apa-apa. Kamu lelah, kan? Tidurlah. Akan kujalankan pelan-pelan motornya”
Percakapan-percakapan ini memperlambat senja. Apa lagi yang harus ku katakan? Dia telah tertidur di punggungku. Beberapa minggu ini dia mendiamkan aku. Tak juga dibalasnya pesan singkatku. Panggilanku. Nada-nada yang sama ketika aku memanggilnya menusuk-nusuk mimpi dan prasangkaku.
Jenuhkah ia?
Ya,
Jenuhkah ia?
Aku sadar betul, sikap dan penampilanku selama ini akan membuat orang berpikir dua kali untuk menghubungiku. Tegakah aku padanya? Jalanan yang aku lalui menuju asramanya menjadi penuh angka-angka dan huruf yang berantakan untuk aku tata sedemikian rupa: menjadi jawaban pertanyaan-pertanyaanku padanya. Dia diam.
“Kamu sudah makan, sayang? Ayo kita ke By Pass, ada warung enak disana...”
“Belum, kebetulan! Jam berapa?”
“Hm... Jam lima? Sudah siap, kan, sayang?”
Pesan semakin singkat saja. semakin mampu mewakili sebanyak mumgkin arti dalam sesedikit mungkin kata-kata. pada pertemuan terakhir sebelum saat ini, ada yang berbeda. Dia lebih lemah, terlihat lebih rapuh.
Ia tak mau dipaksa memberikan alasan-alasan yang logis menurut senja, ketika kutanya sebabnya. Wajahnya yang pucat. Matanya yang sayu. Flu. Suaranya yang lebih lembut. Ia hanya terlihat menikmati makan malam bersamaku, tidak lebih.
“Masih jauh, ya?”
“Iya, semakin gelap”
“Kamu sakit, ya?” Beban kuliahnya teras berat, membekas di matanya.
“tidak,” jawabnya. Sangat singkat.
“Baiklah,”
“Sayang?” aku menyapanya ketika terdiam. Sudah saatnya aku bicara serius!
“Kamu... jenuh, ya?”
Semakin malam. Mobil-mobil sudah menyalakan lampu, jalan raya semakin semarak.
Langganan:
Postingan (Atom)