Senin, 19 Februari 2018

Hari-Hari Akhir Ekstra Kampus



Mesir. Perang Dunia I meninggalkan banyak ketidakstabilan di mana-mana. Sementara, Perang Dunia II sekejap mata lagi terjadi. Ekskalasi kekuatan di seluruh dunia bergeser besar-besaran dengan bangkitnya Jerman, Jepang, Italia, dan Uni Sovyet.

Gerakan Ikhwanul Muslimin kala itu cukup besar untuk bisa mempengaruhi opini publik. Kader-kadernya terdiri dari para mahasiswa yang justru mencari mati. Orang-orang muda yang tegap, tangkas, dan  kuat.

Di samping Gerakan Ikhwan, ada banyak partai politik. Partai-partai itu, ada yang sekular dan ada pula yang sosialis. Akan tetapi, di parlemen, berhadapan dengan Raja Farouk yang licik:

Partai-partai itu tak lebih dari sekadar atlet catur yang sedang latihan. Bidak-bidaknya adalah, terutama, rakyat.

Hasan Al-Banna dihadapkan pada satu  masalah: partai-partai itu mengkader sebagaimana Ikhwan mengkader. Partai-partai itu menyasar anak muda, sebagaimana Ikhwan mencari anak muda untuk dibina.

Perebutan kader menjadi hal biasa. Tidak ada data yang sampai pada kita di negeri ini, mengenai berapa dominasi anggota parlemen atau menteri yang berusia muda, relatif di bawah 40 atau 30 tahun.

Hanya saja kala itu, Gerakan Ikhwan dan Hasan Al-Banna dihadapkan pada sebuah tantangan: mengapa para pemuda harus memilih Ikhwan? Mengapa tidak langsung memilih partai politik yang menyediakan lapangan besar permainan politik?

Mengapa para mahasiswa dan pelajar yang cerdas, kuat, dan tangkas, harus memilih Ikhwan ketika partai politik lebih menjanjikan jabatan, uang-uang besar yang syubhat, dan keterkenalan yang cepat?

Dari tahun-tahun 30-an itu, kita beranjak ke Indonesia. Hari ini. Masa-masa ketika para pemuda dihadapkan pada pilihan yang sama. Mereka bisa memilih KAMMI, HMI, IMM, atau PMII.


Tetapi di hadapan mereka, juga ada partai-partai yang menyediakan kursi-kursi seksi. Ada PSI yang jelas berplatform partai anak muda. Ada Perindo yang menjanjikan hal serupa. Bahkan belum lama kader-kader KAMMI kalangkabut, iri, dengki, hasud, dan mungkin bangga-bangga malu dengan PKS Muda yang mencalonkan kader berusia 18 tahun sebagai calon anggota legislatif!

Lalu mengapa para pemuda dan pemudi harus memilih KAMMI? Apa alasannya kita harus bersesak-sesakan di Musda, Muswil, dan Muktamar berebut jabatan, padahal partai politik sudah menyediakan ruang seluas-luasnya untuk berpolitik?

Organisasi ekstra kampus yang memiliki basis kajian politik sudah jelas tanpa perlu mengutip pendapat siapapun, bertujuan mempersiapkan kadernya, mempersiapkan satu generasi untuk menempati posisi strategis kepemimpinan umat.

Hanya saja, tantangan besarnya adalah, ternyata partai politik melakukan pengaderan serupa. Sehingga, agaknya, di era milenial hari ini, organisasi seperti KAMMI harus menghadapi ancaman tidak lakunya gerakan yang menawarkan an sich kajian dan pengalaman politik laboratorium, di tengah promosi partai praktis semacam PSI dan PKS Muda.

Lalu bagaiman cara KAMMI bertahan? Apa yang membuat kader KAMMI harus tetap dan harus menawarkan KAMMI kepada pemuda lainnya?

Kiranya, dalam hal ini, ada sebuah pameo yang bilang bahwa ideologi sudah tidak laku. Bahwa ideologi adalah mainan kuno tahun-tahun ketika dasar negara sudah tidak ada.

Padahal itulah, yang dulu pernah memikat banyak orang, bergabung kedalam Ikhwanul Muslimin. Kekuatan kajian. Kekuatan iman. Kekuatan ketulusan. Dan kemerdekaan bertauhid. Bebas dari segala anasir politik buruk.

*
Jakarta. Memasuki dasawarsa kedua abad 21. Basuki Tjahaja Purnama, orang yang pernah dikaji di internal KAMMI sebagai pseudo-Dajjal, pernah mengeluarkan satu statemen yang kelihatannya receh, tapi lebih populer  daripada usaha keras Anis Matta mempopulerkan quotenya.


Deparpolisasi. Orang ini cerdas. Sebab ia paham betul bahwa masyarakat sudah muak 20 tahun memilih anggota dewan yang tidak mewakili siapa-siapa dan apa-apa. masyarakat tidak bisa lagi dibohongi dengan visi misi hasil rapat semalam dua malam untuk dijual di poster.

Ahok, dan Hasan Al-Banna, punya ide yang sama. Bahwa sebuah negara demokrasi yang mengandalkan banyaknya partai politik untuk hidup, justru tengah memelihara sel kanker yang menyedot gizi dari makanannya.

Masyarakat, baik pengikut Ahok maupun pengikut Hasan Al-Banna, punya satu pemikiran yang bisa jadi sama. Bahwa uang negara habis untuk membiayai penyelenggaraan negara, bukan mencapai cita-cita kebangsaan dan keumatan.

Ahok, kemudian lebih dari mampu mengumpulkan pemuda yang ideologis dan siap mati membelanya: organisasi Teman Ahok bahkan dalam waktu singkat mengalahkan kepopuleran KAMMI.

Bahkan Ahok dan Teman Ahok mampu menciptakan satu kubu tersendiri dalam lapisan sosial masyarakat ibukota; bahwa ia jelas dengan bahasa politik ingin berkata: tak ada gunanya berorganisasi ekstra!

Saya yakin KAMMI tak akan pernah mampu mengumpulkan sejuta KTP untuk calon gubernur muslim yang mereka usung atau sekadar menjadikan ketua mereka menjadi menteri.

Lalu mengapa ini terjadi?  Mengapa partai politik akhirnya menghemat waktu dan tenaga untuk menunggu ekstra kampus mengkader dan membina, lalu binaan mereka masuk ke partai? Mengapa partai akhirnya mencalonkan anak kecil, bahkan menjadikannya ketua partai?

Sementara di sisi mereka, anak-anak muda “ideologis”, “tangguh”, “intelek”, dan  “berbakat”, tengah belajar membunuh di dalam organisasi mereka. Mereka belajar makan uang-uang residu politik yang jatuh bagai daun berguguran.

ideologi? Orang-orang kabinet dan kepolisian lebih mengetahui daripada orang ekstra kampus. Cukup ajak mereka bertemu sekali dua kali atau berikan uang, habis perkara.


Sementara partai membuka peluang sebesar-besarnya untuk anak muda belajar jabat menjabat, ekstra kampus masih bergumul dengan urusan jegal-jegalan saat muktamar, tipu menipu saat musyawarah.

Dan kita hari ini masih dengan senang hati memakan tipuan-tipuan itu: berkeras-keras orasi di jalan mengenai anggota dewan yang lalai saat sidang, alpa saat paripurna. Tetapi muktamar kita:

Para Yang Terhormat sibuk ngopi dan tawar menawar di kedai duren; yang musyawarah adalah mereka yang tulus, suci, polos, dan terlalu saleh sampai-sampai ikhlas lillahi ta’ala ditipu begitu.

Ideologi? Uruslah ideologi setelah kenyang, perut ada kemajuan, bisa nempel anggota dewan, dan bisa masuk ke kantor-kantor pemerintahan pusat tanpa nitip KTP di penjaga gerbang depan!

Baik Ahok maupun Hasan Al-Banna sadar itu semua. Mereka mengambil garis tengah dan garis terdepan untuk melawan itu semua. Ahok dan Al-Banna, sama-sama dimusuhi partai-partai karena menyerukan pupusnya sistem kepartaian.

Sementara para pemuda berkumpul di sekeliling mereka; karena satu hal. Organisasi dan partai yang ada, tidak menawarkan air bagi dahaga ideologi dan dahaga kebenaran mereka. Sementara, keduanya menawarakan itu:

Meski Hasan Al-Banna adalah ulama, sedang Ahok adalah, bisa jadi memang Pseudo-Dajjal.

*
Tak ada jawaban yang lebih logis daripada, hari ini daya tawar ekstra kampus  tinggal pada penyadaran ideologi. Memang betul kata BNPT.

Radikal, adalah mereka yang kajian diam-diam, dan meyakinkan kita bahwa kita tidak sedang bahagia, bahwa ada yang salah di negeri ini. Dan memang itulah alasan kita, barangkali, bergabung dalam gerakan ini.

Ketika kemudian sebuah gerakan malah menjadi bagian dari masalah dan kesalahan suatu negeri; apalagi alasannya mengajak orang bergabung kedalam gerakan ini?

Maka, tahun-tahun kedepan, kita akan menghadapi kiamat gerakan ekstra kampus. Kiamat baru dan belum pernah terjadi; sebab saat ini, menjelang 100 tahun pertama tanpa adanya kekhalifahan islam.

Alasan utama munculnya pergerakan mahasiswa islam, adalah tak adanya pemerintahan dan organisasi ideal berasaskan islam yang betul-betul menjalankan kemauan bersama dan tafsir ideologi yang baik.

Ketika bergabung kedalam organisasi ekstra kampus sudah dianggap tidak praktis; dan menawarkan hal yang kira-kira sama dengan parpol tetapi dalam versi tidak konkret, insyaa Allah ekstra kampus akan ditinggal.

Bisa jadi orang akan langsung main calon-calonan ke partai politik. Atau karena gerakan ekstra tidak lagi menawarkan perbaikan konkret itu; maka orang akan beralih ke organisasi jenis ketiga:

Yang ikatannya, ikatan hobi. Yang isunya, isu khusus, tajam, mendalam, dan spesial. Jangan heran organisasi pecinta vespa lebih besar daripada KAMMI.

Jangan heran organisasi para Hooligan atau pecinta marmut, kodok, iguana, cupang, dan cebong bakal lebih laku daripada gerakan kampus!