Mesir. Perang Dunia I
meninggalkan banyak ketidakstabilan di mana-mana. Sementara, Perang Dunia II
sekejap mata lagi terjadi. Ekskalasi kekuatan di seluruh dunia bergeser
besar-besaran dengan bangkitnya Jerman, Jepang, Italia, dan Uni Sovyet.
Gerakan Ikhwanul
Muslimin kala itu cukup besar untuk bisa mempengaruhi opini publik. Kader-kadernya
terdiri dari para mahasiswa yang justru mencari mati. Orang-orang muda yang
tegap, tangkas, dan kuat.
Di samping Gerakan
Ikhwan, ada banyak partai politik. Partai-partai itu, ada yang sekular dan ada
pula yang sosialis. Akan tetapi, di parlemen, berhadapan dengan Raja Farouk
yang licik:
Partai-partai itu tak
lebih dari sekadar atlet catur yang sedang latihan. Bidak-bidaknya adalah,
terutama, rakyat.
Hasan Al-Banna
dihadapkan pada satu masalah:
partai-partai itu mengkader sebagaimana Ikhwan mengkader. Partai-partai itu
menyasar anak muda, sebagaimana Ikhwan mencari anak muda untuk dibina.
Perebutan kader
menjadi hal biasa. Tidak ada data yang sampai pada kita di negeri ini, mengenai
berapa dominasi anggota parlemen atau menteri yang berusia muda, relatif di
bawah 40 atau 30 tahun.
Hanya saja kala itu,
Gerakan Ikhwan dan Hasan Al-Banna dihadapkan pada sebuah tantangan: mengapa
para pemuda harus memilih Ikhwan? Mengapa tidak langsung memilih partai politik
yang menyediakan lapangan besar permainan politik?
Mengapa para mahasiswa
dan pelajar yang cerdas, kuat, dan tangkas, harus memilih Ikhwan ketika partai
politik lebih menjanjikan jabatan, uang-uang besar yang syubhat, dan
keterkenalan yang cepat?
Dari tahun-tahun 30-an
itu, kita beranjak ke Indonesia. Hari ini. Masa-masa ketika para pemuda
dihadapkan pada pilihan yang sama. Mereka bisa memilih KAMMI, HMI, IMM, atau
PMII.
Tetapi di hadapan
mereka, juga ada partai-partai yang menyediakan kursi-kursi seksi. Ada PSI yang
jelas berplatform partai anak muda. Ada Perindo yang menjanjikan hal serupa. Bahkan
belum lama kader-kader KAMMI kalangkabut, iri, dengki, hasud, dan mungkin
bangga-bangga malu dengan PKS Muda yang mencalonkan kader berusia 18 tahun
sebagai calon anggota legislatif!
Lalu mengapa para
pemuda dan pemudi harus memilih KAMMI? Apa alasannya kita harus
bersesak-sesakan di Musda, Muswil, dan Muktamar berebut jabatan, padahal partai
politik sudah menyediakan ruang seluas-luasnya untuk berpolitik?
Organisasi ekstra
kampus yang memiliki basis kajian politik sudah jelas tanpa perlu mengutip
pendapat siapapun, bertujuan mempersiapkan kadernya, mempersiapkan satu
generasi untuk menempati posisi strategis kepemimpinan umat.
Hanya saja, tantangan
besarnya adalah, ternyata partai politik melakukan pengaderan serupa. Sehingga,
agaknya, di era milenial hari ini, organisasi seperti KAMMI harus menghadapi
ancaman tidak lakunya gerakan yang menawarkan an sich kajian dan pengalaman
politik laboratorium, di tengah promosi partai praktis semacam PSI dan PKS
Muda.
Lalu bagaiman cara
KAMMI bertahan? Apa yang membuat kader KAMMI harus tetap dan harus menawarkan
KAMMI kepada pemuda lainnya?
Kiranya, dalam hal
ini, ada sebuah pameo yang bilang bahwa ideologi sudah tidak laku. Bahwa
ideologi adalah mainan kuno tahun-tahun ketika dasar negara sudah tidak ada.
Padahal itulah, yang
dulu pernah memikat banyak orang, bergabung kedalam Ikhwanul Muslimin. Kekuatan
kajian. Kekuatan iman. Kekuatan ketulusan. Dan kemerdekaan bertauhid. Bebas dari
segala anasir politik buruk.
*
Jakarta. Memasuki dasawarsa
kedua abad 21. Basuki Tjahaja Purnama, orang yang pernah dikaji di internal
KAMMI sebagai pseudo-Dajjal, pernah mengeluarkan satu statemen yang
kelihatannya receh, tapi lebih populer
daripada usaha keras Anis Matta mempopulerkan quotenya.
Deparpolisasi. Orang ini
cerdas. Sebab ia paham betul bahwa masyarakat sudah muak 20 tahun memilih
anggota dewan yang tidak mewakili siapa-siapa dan apa-apa. masyarakat tidak
bisa lagi dibohongi dengan visi misi hasil rapat semalam dua malam untuk dijual
di poster.
Ahok, dan Hasan
Al-Banna, punya ide yang sama. Bahwa sebuah negara demokrasi yang mengandalkan banyaknya
partai politik untuk hidup, justru tengah memelihara sel kanker yang menyedot
gizi dari makanannya.
Masyarakat, baik
pengikut Ahok maupun pengikut Hasan Al-Banna, punya satu pemikiran yang bisa
jadi sama. Bahwa uang negara habis untuk membiayai penyelenggaraan negara,
bukan mencapai cita-cita kebangsaan dan keumatan.
Ahok, kemudian lebih
dari mampu mengumpulkan pemuda yang ideologis dan siap mati membelanya:
organisasi Teman Ahok bahkan dalam waktu singkat mengalahkan kepopuleran KAMMI.
Bahkan Ahok dan Teman
Ahok mampu menciptakan satu kubu tersendiri dalam lapisan sosial masyarakat
ibukota; bahwa ia jelas dengan bahasa politik ingin berkata: tak ada gunanya
berorganisasi ekstra!
Saya yakin KAMMI tak
akan pernah mampu mengumpulkan sejuta KTP untuk calon gubernur muslim yang
mereka usung atau sekadar menjadikan ketua mereka menjadi menteri.
Lalu mengapa ini
terjadi? Mengapa partai politik akhirnya
menghemat waktu dan tenaga untuk menunggu ekstra kampus mengkader dan membina,
lalu binaan mereka masuk ke partai? Mengapa partai akhirnya mencalonkan anak
kecil, bahkan menjadikannya ketua partai?
Sementara di sisi
mereka, anak-anak muda “ideologis”, “tangguh”, “intelek”, dan “berbakat”, tengah belajar membunuh di dalam
organisasi mereka. Mereka belajar makan uang-uang residu politik yang jatuh
bagai daun berguguran.
ideologi? Orang-orang
kabinet dan kepolisian lebih mengetahui daripada orang ekstra kampus. Cukup ajak
mereka bertemu sekali dua kali atau berikan uang, habis perkara.
Sementara partai
membuka peluang sebesar-besarnya untuk anak muda belajar jabat menjabat, ekstra
kampus masih bergumul dengan urusan jegal-jegalan saat muktamar, tipu menipu
saat musyawarah.
Dan kita hari ini
masih dengan senang hati memakan tipuan-tipuan itu: berkeras-keras orasi di
jalan mengenai anggota dewan yang lalai saat sidang, alpa saat paripurna. Tetapi
muktamar kita:
Para Yang Terhormat
sibuk ngopi dan tawar menawar di kedai duren; yang musyawarah adalah mereka
yang tulus, suci, polos, dan terlalu saleh sampai-sampai ikhlas lillahi ta’ala
ditipu begitu.
Ideologi? Uruslah ideologi
setelah kenyang, perut ada kemajuan, bisa nempel anggota dewan, dan bisa masuk
ke kantor-kantor pemerintahan pusat tanpa nitip KTP di penjaga gerbang depan!
Baik Ahok maupun Hasan
Al-Banna sadar itu semua. Mereka mengambil garis tengah dan garis terdepan
untuk melawan itu semua. Ahok dan Al-Banna, sama-sama dimusuhi partai-partai
karena menyerukan pupusnya sistem kepartaian.
Sementara para pemuda
berkumpul di sekeliling mereka; karena satu hal. Organisasi dan partai yang
ada, tidak menawarkan air bagi dahaga ideologi dan dahaga kebenaran mereka. Sementara,
keduanya menawarakan itu:
Meski Hasan Al-Banna
adalah ulama, sedang Ahok adalah, bisa jadi memang Pseudo-Dajjal.
*
Tak ada jawaban yang
lebih logis daripada, hari ini daya tawar ekstra kampus tinggal pada penyadaran ideologi. Memang betul
kata BNPT.
Radikal, adalah mereka
yang kajian diam-diam, dan meyakinkan kita bahwa kita tidak sedang bahagia,
bahwa ada yang salah di negeri ini. Dan memang itulah alasan kita, barangkali,
bergabung dalam gerakan ini.
Ketika kemudian sebuah
gerakan malah menjadi bagian dari masalah dan kesalahan suatu negeri; apalagi
alasannya mengajak orang bergabung kedalam gerakan ini?
Maka, tahun-tahun
kedepan, kita akan menghadapi kiamat gerakan ekstra kampus. Kiamat baru dan
belum pernah terjadi; sebab saat ini, menjelang 100 tahun pertama tanpa adanya
kekhalifahan islam.
Alasan utama munculnya
pergerakan mahasiswa islam, adalah tak adanya pemerintahan dan organisasi ideal
berasaskan islam yang betul-betul menjalankan kemauan bersama dan tafsir
ideologi yang baik.
Ketika bergabung
kedalam organisasi ekstra kampus sudah dianggap tidak praktis; dan menawarkan
hal yang kira-kira sama dengan parpol tetapi dalam versi tidak konkret, insyaa
Allah ekstra kampus akan ditinggal.
Bisa jadi orang akan
langsung main calon-calonan ke partai politik. Atau karena gerakan ekstra tidak
lagi menawarkan perbaikan konkret itu; maka orang akan beralih ke organisasi
jenis ketiga:
Yang ikatannya, ikatan
hobi. Yang isunya, isu khusus, tajam, mendalam, dan spesial. Jangan heran
organisasi pecinta vespa lebih besar daripada KAMMI.
Jangan heran
organisasi para Hooligan atau pecinta marmut, kodok, iguana, cupang, dan cebong
bakal lebih laku daripada gerakan kampus!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar