Kamis, 29 November 2018

Mengapa Kita Harus Mengajak Orang Gabung KAMMI?



*Amar Ar-Risalah*

Saya tulis risalah ini, saat ombak-ombak yang santun dari pantai paling barat Jawa menyentuh kaki. Ini adalah tempat dauroh paling indah yang pernah saya temui.


Seseorang, tadi malam bertanya. Ia mengambil tempat, tepat di depan saya. "Saya ada pertanyaan yang bikin saya penasaran" katanya.

"Mau apa KAMMI ini sebetulnya, kenapa kita harus bergabung kedalamnya, bertahan di sana?"


Saya diam sejenak. Saya tahu dia tidak sedang menguji. Dia sedang mencari hakikat dakwah ini. Angin laut menjadi detail. Saya coba menjelaskan.


Kira-kira, saat para sabiqunal awwalun masuk islam, apa sudah ada perangkat hukum-hukum islam yang detail, atau baru seruan sederhana, tiada Tuhan selain Allah?

Barangkali saat itu, kita bisa bayangkan seperti ini: Abu Bakar, sang pebisnis besar yang lembut hati, mengumpulkan para pebisnis lain: Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Suhaib Ar-Rumi, dan lain sebagainya.


Barangkali Abu Bakar akan mengatakan seperti ini: "mitra dagangku yang baik hati. Kita adalah orang-orang yang paham, bagaimana kebatilan yang ditimbulkan para pebisnis hitam di kota kita."


Betul. Mereka barangkali bukan cuma paham, akan tetapi hadir pada saat kongsi-kongsi dagang itu merumuskan pakta yang merampas hak orang lain.

Mereka sebelumnya memang sudah ditemui secara pribadi. Abu Bakar hanya memilih orang yang dikenal bersih dan lurus dari kehidupan kotor jahiliyah.



"Mengapa?" tantang Abu Bakar, "mengapa semua orang bebas menetapkan aturan? Mengapa tak ada beda antara hukum dengan kezaliman?"


Mereka mengangguk. Pebisnis Utsman telah melihat bagaimana kongsi dagang keluarganya, Bani Abdu Syams dengan Bani Sahm menyebabkan kondisi bebas nilai di mana-mana. Kongsi dagang itu berbalut kongsi politik Hilful Ahlaf.

Ia lahir dari generasi yang lain. Generasi saat ramalan-ramalan mengenai nabi terakhir, mengenai akan datangnya penengah, memuncak. Ia juga lahir dari generasi yang muak pada tatanan masyarakat kotanya.


Para pebisnis itu, tak punya waktu lama. Abu Bakar segera menuntaskan tawarannya. "Ya, sahabat-sahabatku. Nabi itu, sang penunjuk kebenaran yang kita tunggu bagi membalikkan keadilan, bagi memulihkan hak-hak orang, telah diutus."


"Rekan kita, mitra dagang kita, sang Jujur dan sang Terpercaya. Muhammad!"


Percakapan imajiner di atas bisa terjadi bisa juga tidak. Tapi yang saya pahami dari mengapa saya menyetujui gerakan ini, adalah tawarannya untuk mengatasi ketidakadilan dan perbaikan di masa depan.


Semua orang yang sedang merunduk-runduk saat ikut pengaderan pertama, sesungguhnya mencoba membandingkan tawaran kita, dengan kondisi yang menimpa dirinya. Ia sedang bertanya pada jamaah ini:


Apa, apa yang sedang kalian tawarkan bagi menjawab permasalahan generasi dan zaman saya? Apa yang kalian lakukan sehingga saya harus melakukan itu bersama kalian, sebab saya percaya itu sebuah perbaikan?

Saat Hasan Al-Banna diam-diam membentuk jamaah Katibah sebagai inti pengaderan Ikhwan, orang menemukan jawaban atas hancurnya tatanan moral dan politik Mesir. Beliau piawai menerjemahkan Al-Qur'an menjadi rencana buat zamannya.


Muhammad Natsir, di negeri kita, agaknya juga mampu memandang negeri ini sebagai objek Al-Qur'an. Maka orang berhimpun kesekelilingnya tanpa perlu diundang.


Orang semacam tadi bisa saja dibohongi dengan ilusi festival rekrutmen satu juta satu kader. Orang tadi, juga barangkali seperti Utsman, Zubair, Abdurrahman, dan Suhaib:


Tak punya banyak waktu untuk memikirkan hal-hal kecil, pesta pesti, atau hiruk pikuknya kepemimpinan jamaah. Orang tadi hanya bertanya hal mendasar: apa yang bakal kita lakukan. Dan apa bedanya dengan orang lain.

Ombak laut barat Jawa, dan asap Krakatau yang terlihat di kejauhan menyentak. Terdengar dentuman bagai bedug panggilan azan. Krakatau sedang meletus.

Dr. Ali Ash-Shallabi, tegas menjelaskan dalam kitabnya, Fikih Tamkin. Bahwa, seruan dakwah sejatinya adalah sebuah tawaran, yang mesti diserukan sampai ujung kota, ke segala lapisan masyarakat.

Seruan itu haruslah jelas, bisa jadi sloganistik, tapi tegas dan tidak samar. Musa, saat menyampaikan seruan laa ilaha illallah, tidak samar dan menutup-nutupinya lantaran saat itu, menuhankan Firaun dan mempertahakan Negara Mesir dari rongrongan teroris sedang tren.


Dua utusan di negeri yang disebut dalam surat Yaasin, tidaklah mengubah hakikat seruannya. Ia tegas menjelaskan kebatilan apa yang terjadi, dan bagaimana obatnya.


Lalu Allah menguatkannya dengan yang ketiga, yang tidak mengubah isi seruannya. Dari sini, kita coba tarik sebuah ide:


Jangan-jangan seruan dasar KAMMI dalam filosofi gerakan kita telah jauh menjadi samar, lantaran bid'ah-bid'ah pengaderan yang terjadi, dan dibiarkan entah kenapa.


Barangkali iming-iming alumni hebat, dana tak terbatas, koneksi bisnis, dan bahkan kemudahan menjadi tenaga ahli di pemerintahan menjadi janji-janji para dai di tubuh KAMMI.


Padahal, di tepi laut ini, bersama angin pesisir dan hamparan pasir, saya tahu apa isi percakapan Abu Bakar kepada forum para pebisnis tadi:


"Sahabat-sahabat tentu tahu. Bahwa bilamana kita ambil seruan nabi baru itu, bilamana kita coba ganggu ideologi yang membuat ketidakadilan di kota ini, tentu bani-bani kaya dan kuat tak akan membiarkan kita, dan malah memutus jaringan bisnis dengan kita!"



Tapi dengan mantap dan tegas, para pebisnis itu bersyahadat. Sebab Abu Bakar tak menyamarkan apa isi seruannya. Sekarang, kita diterkam simulakra milenial:

Bahwa generasi sekarang harus diantar dengan halus dan samar. Mereka memang susah fokus. Mereka lebih senang bicara startup daripada prinsip dasar keadilan dagang.

Bahwa generasi sekarang tak bakal nyambung bicara ideologi. Orang-orang milenial cuma peduli caption di Instagram atau quotes di Canva. Dan memang begitulah cara pikir orang tua yang cepat lapuk dimakan proyek!

 Selesai berpetualang di KAMMI, mereka akan norak dan berpetualang lagi di partai, mengekor di belakang pantat pengusaha, atau ikut ngantar para pelaku kezaliman itu ke puncak kekuasaan.


Mari pertegas saja, kepada apa KAMMI menyeru manusia? Pertegas lagi, prinsip, paradigma, dan kredo semacam apa yang kita sorakkan pada dunia ini?

Kemenangan islam.Kebatilan. Persaudaraan. Kepemimpinan. Solusi islam. Biarkan frasa-frasa itu menghiasi benak kita dan menjadi alasan kita bergerak. Dan jadikan itu ancaman bagu kejahatan-kejahatan gelap dan terang yang terjadi di negara kita.

Kepada apa KAMMI menyeru manusia? Jawablah dengan tegas dan jelas, yaitu
 pembebasan manusia dari berbagai bentuk penghambaan terhadap materi, nalar, sesama manusia dan lainnya, serta mengembalikan pada tempat yang sesungguhnya: Allah saja!

Dan biarkan orang menilai sendiri, apakah filosofi gerakan KAMMI ini masih menjadi proposal besar agenda pemenangan islam. Atau jangan-jangan, kita sendiri menganggap itu sudah tidak penting.


Sebab, monetisasi adalah segalanya! Hidup festival rekrutmen KAMMI! Hidup maba-maba lucu yang gabung KAMMI!

Rabu, 28 November 2018

Dari Masjidlah Revolusi Akan Bergulir



Amar Ar-Risalah

Kalau sekarang masjid diwaspadai, berarti ada yang sudah paham bahwa masjid adalah tempat terbaik memulai revolusi.

Sebab, di masjid, orang membersihkan dirinya, membersihkan motif hidupnya, dan kembali meluruskan cara pandangnya kepada segala sesuatu. Termasuk, kepada negara. Senetral-netralnya. Sebebas-bebasnya sebagai hamba Tuhan.

Dulu, Salahuddin Al-Ayyubi melihat bahwa kerajaan sesat syiah Dinasti Fathimiyah adalah penghambat terbesar saat akan membebaskan Palestina.

Mengapa? Dinasti Fathimiyah mengaku islam. Tapi kebijakan negaranya justru mengganggu kebijakan Kekhalifahan Abbasiyah yang Ahlu Sunnah.

Saat Abbasiyah ingin menolong Palestina, rupanya pasukan Salib membayar negara Fathimiyah dengan deal-deal politik. Dengan ilusi jalur dagang, dengan fatamorgana persekutuan militer!

Maka, Salahuddin atas perintah Nuruddin Zanki melakukan penyusupan kedalam istana, dan berhasil mendapatkan jabatan Perdana Menteri.

Rupanya, dari jabatannya yang tinggi itu, Salahuddin melihat kebawah. Kebijakan kerajaan tak pernah menyentuh rakyat kecil. Ideologi negara, tak pernah diterima masyarakat luas.

Dari mana Salahuddin tahu? Ia amati masjid! Dari ribuan masjid yang ada di Afrika Utara dalam wilayah Fathimiyah, ia tahu bahwa rakyat tidak satu ideologi dan tidak satu cara pandang dengan Sultan terhadap negara.

Rupanya di masjid, mayoritas orang masih mengikut Ahlu Sunnah. Hanya negara dan para pejabat pusat saja yang syiah. Hati umat, tak bisa dibohongi. Mereka merindukan tatanan sosial yang sesuai dengan hati mereka.

Sebab, bagi mereka, cara pandang agama, juga merupakan cara pandang kepada keadilan. Dan Negara Fathimiyah itu gagal memberikan keadilan bagi rakyatnya dengan cara pandang syiah.

Perebutan demi perebutan kekuasaan terjadi tanpa pernah melibatkan rakyat kecuali sebatas besaran suara pendukung pada saat melakukan deal politik.

Di satu sisi, Sultan Al-Adil, adalah sultan lemah. Ia baru berusia belasan tahun dan jelas gampang disetir oleh pejabat busuk disekitarnya!

Satu hal: para Khatib dan imam Ahlu Sunnah itu jelas dianggap radikal dan mengancam eksistensi negara. Mereka adalah bahaya laten dan penyebar paham radikal, bagi pemerintahan Fathimiyah yang sesat itu!

Tapi ada harapan. Senantiasa ada harapan bagi orang-orang yang menitipkan nasibnya pada Allah, di rumah-rumah Allah! Betapapun kas negara habis untuk penyuluhan anti radikalisme, Allah menitipkan Salahuddin di jantung istana!

Maka dimulailah revolusi itu: suatu saat, tersiar kabar Sultan sakit hingga tak sadarkan diri. Salahuddin memerintahkan sebuah masjid besar untuk menyelenggarakan salat Jum'at dengan cara Ahlu Sunnah.

Rencana yang berbahaya. Jika gagal, sang khatib beserta ratusan jamaah jadi taruhan. Mereka bisa mati sia-sia. Tapi, tibalah Jumat itu.

Ternyata, masyarakat berbondong-bondong datang. Mereka senang. Perkiraan Salahuddin benar. Bahwa, selama ini hati rakyat tetaplah pada Ahlu Sunnah wal Jamaah!

Pekan depannya, banyak masjid di kawasan Fathimiyah berubah menjadi ahlu sunnah. Rupanya, mayoritas penduduk di Fathimiyah tak bisa diambil hatinya dengan kebijakan-kebijakan palsu syi'ah selama ini.

Hanya beberapa kejap kemudian, kerajaan Fathimiyah yang secara wilayah, keuangan, dan dari segi apapun lebih besar dari Indonesia itu runtuh, dan berhasil ditaklukkan Salahuddin tanpa senjata. Hanya dari masjid!

Segenap mahasiswa muslim Indonesia, para pemuda Islam di Indonesia. Orang boleh bilang masjid berbahaya. Maka dari itu, datanglah ke masjid dan jagalah tempat kelahiran kita itu dari bahaya apapun yang mengancamnya.

Sebab dari masjidlah, roda gigi revolusi ini akan bergulir!


Bacaan:
Ali Ash-Shallabi, Shalahuddin Al-Ayyubi
Bernard Lewis, Assasin: Pembunuh dari Lembah Alamut

Minggu, 25 November 2018

Ghazali dan Literasi Zaman Kita


Amar Ar-Risalah

Kita tak pernah bisa membayangkan, apa yang dipikirkan oleh Imam Al-Ghazali saat menyaksikan kemunduran umat islam pada zamannya. 700 tahun lalu.

Kelak kita hanya akan tahu bahwa beliau adalah salah satu penulis paling produktif, kuat, dan hebat pada zamannya. Ia hadang gelombang pemurtadan berkedok filsafat di dalamnya, sekaligus ia islamkan pula perangkat teori filsafat itu.

Imam Ghazali mencari harapan-harapan itu melalui segenap masjid di kota-kota. Ia pergi berkelana. Tapi nihil. Ia tak dapati apapun. Kekuasaan Abbasiyah telah jauh melemah, sementara moralitas tak ada lagi.

Di masanya, kaum teolog, yang mengembalikan semuanya pada teks hadis, bertarung dengan kelompok mutakallimin yang gemar merenung dalam kekosongan.

Di antara mereka, kelompok syiah bathiniyah mengancam masyarakat. Sementara, pertarungan dua kelompok pertama tidak berarti apa-apa bagi masyarakat.

Ghazali kecil menyaksikan itu semua. Di mana-mana, moral hancur karena keraguan menjadi dasar pemikiran mengenai Tuhan dan Ketuhanan.

Ilmu agama, mati. Ia cari jawaban bangkitnya ilmu-ilmu itu ke mana saja ia pergi. Ia menyepi ke berbagai menara masjid, dan ia lihat dari ketinggian menara, bagaimanakah kemanusiaan itu?

Ghazali terdiam. Tampaknya, tak seorangpun akan datang menyelamatkan kehancuran umat itu. Suatu hari, ia memulai menulis kitabnya. Ia akan tulis sebuah rencana, sebuah proposal besar keumatan yang akan menahan gelombang itu.

Maka jadilah kitab itu. Ihya Ulumuddin. "Hidupnya Ilmu-Ilmu Agama"!

*
Semua ulama punya satu hal. Kepekaan dan rasa kasih sayang pada umat islam. Mereka bukan juru debat. Mereka juga bukan orang yang menulis karena depresi atau luapan diksi yang meracuni nalar pikiran.

Semua tulisan hebat itu selalu dimulai dari kesadaran atas penderitaan umat. Ghazali lahir di abad di mana kebodohan dikedepankan hanya lantaran filsafat sedang menjadi tren.

Dengan kepekaan itu, Ghazali tahu obat dari segala penyakit itu adalah kembalinya ilmu-ilmu agama. Lebih dari itu, puluhan kitab-kitab yang menghajar langsung inti pemikiran filsafat, seperti Ihya Ulumuddin, Tahafut Al-Falasifah, Misykatul Anwar, dan Bidayatul Hidayah, ia hadirkan ke tengah-tengah umat.

Ulama tak hanya ahli ilmu. Mereka haruslah orang yang tahu di mana letak sakitnya masyarakat, dan lepas dari kesakitan itu agar bisa memberikan obatnya. Buku-buku dan tulisan itu, adalah obat yang diturunkan Allah untuk zaman itu.

Hari ini kita tahu, kebodohan adalah tren. Kita dibuat kaget karena hal-hal yang tak masuk akal bisa mengalahkan hal yang masuk akal.

Riba menyebar di mana-mana. Al-Baqarah ayat 275 jelas menggambarkan umat dan negeri kita bagai orang limbung kemasukan setan. Hutang-hutang negara ditambah, hanya untuk menutupi hutang sebelumnya.

Masyarakat kecil terjerat riba bank keliling. Di antara mereka, sampai harus memalsukan kematian atau bahkan saling membunuh karenanya. Uang-uang itu kecil, tapi bunganya menjadi berkali-kali lipat.

Perusahaan-perusahaan besar merampas hutan negara dan tanah rakyat, lantaran kebodohan masyarakat yang dibiarkan oleh negara. Kini rakyat itu, para mantan tuan tanah yang merdeka, harus berkerja sebagai pesakitan dengan gaji bulanan yang tak besar.

Sementara bangsa lain, mengancam dengan taringnya yang tajam. Amerika Serikat, dengan mazhab ekonomi Washington Consensus menipu negara-negara kecil yang tak sadar dirinya kaya. Penjajahan Washington Consesnsus dilakukan atas nama investasi, yang kemudian, investasi itu menginjak kedaulatan dan kemerdekaan umat islam.

Sementara negeri Cina melakukan monopoli dan negeri kita tak bisa berbuat apa-apa lantaran besarnya uang yang mereka punya. Bahkan mereka dapat membuat kota baru yang biayanya melebihi biaya penghidupan ibukota kita.

APBD DKI Jakarta hanya sebesar kurang dari 70 triliun. Sementara Meikarta dan Reklamasi Pantai Utara Jakarta, memakan biaya lebih dari 200 triliun. Keadilan, sudah tak ada. Tak perlu bicara masalah moral, karena di negeri ini, moral sudah tak ada.

Di masa-masa semacam inilah, Ghazali lahir. Dan Ghazali sadar betul bahwa ada yang harus ia lakukan. Kebangkitan itu, harus ia yang memulai. Meskipun ia hanya bisa menulis dan berpikir.

Seandainya Ghazali hanya bicara dan mengisi ceramah, barangkali perubahan itu tak akan sehebat ini. Sebab tulisan itu akan mengabadikan gagasan kita, dan melipatgandakan dampaknya.

Ghazali paham apa yang menimpa umatnya dan Allah mengilhamkan padanya untuk menulis obat bagi umat saat itu.

Syahadat kita, membuat hati kita yang mati rasa atas penderitaan umat, harusnya hidup lagi. Kita jadi lebih peka atas apa yang terjadi di zaman ini.

Bacalah Al-Qur'an dengan lambat dan jangan keliru paham: penghafal qur'an zaman kita lebih banyak daripada zaman Ghazali. Ahli tafsir kita lebih banyak daripada zaman Ghazali. Tapi ada satu perbedaan mendasar.

Para penghafal Qur'an itu mampu melakukan perbandingan antara konsep-konsep yang ada dalam hafalannya, dengan realita. Mereka tidak menghafal lantaran untuk menyenang-nyenangkan orang tua. Orang tua kita dibius:

Bahwa sesungguhnya sertifikat hafalan, danain sebagainya yang dimiliki anaknya, ternyata tak bisa jadi solusi buat umat.

Sebab, ternyata syahadat dan al-qur'an itu tak kunjung membuat hati yang beku dan kemalasan orang untuk bergerak itu berubah. Syahadatain sebagai titik tolak perubahan, menanti tulisan dan rencana keumatan kita!

Dan zaman ini telah memanggil kita. Bacalah beragam berita-berita dan serapi penderitaan umat di sana. Bacalah buku-buku dan cari tahu pendapat mereka yang lebih pakar di sana.

Lalu, luruskan pola pikir kita. Buatlah hati menjadi peka, dan bagaimanapun itu, doronglah tangan kita untuk menulis obat bagi umat yang sekarang terombang-ambing ini.

Tulislah apa saja. Tapi jangan mencengeng-cengengkan tulisan kita. Derajat umat tak akan terangkat hanya lantaran mendalil-dalilkan rindu dan membuat kesepian kita cocok dengan sebuah ayat al-Qur'an.

Zaman telah memanggil tulisan kita. Maka menulislah, dan berikan proposal keumatan itu buat kita, sebagaimana Ghazali menulis Ihya Ulumuddin.

Menulislah!