Sabtu, 28 April 2012

Istilah dalam Mustholatul Hadits Oleh Jack Satrio di Fiqih Sunnah ·

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh....

بِسۡمِ ٱللهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ
Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, keluarga, para sahabat dan pengikut setia mereka sampai hari kiamat,

Aku memuji-Nya atas besarnya anugerah dan kebaikan-Nya. Aku bersaksi bahwa tidak ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya tidak ada sekutu bagi-Nya, sebagai bentuk pengagungan terhadap-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, sang juru dakwah kepada keridhaan-Nya, shalat Allah atasnya dan atas keluarga dan para shahabatnya serta siapapun yang mengikuti mereka dengan baik.
Segala puji yang disertai pengagungan seagung-agungnya hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan perendahan diri kita yang serendah-rendahnyanya hanya kita berikan kepadaNya Robbul ‘Alamin. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam. Amma ba’d : Dalam Kajian kita kali ini saya akan coba sampaikan apa yang semestinya di lakukan dalam belajar Ilmu Fiqh ..
Melanjutkan dari kajian beberapa waktu lalu mengenai Hadits , di sini saya coba sampaikan sedikit apa yang saya ketahui ..Adapun bila ada kekurangannya saya mohon maaf serta minta ampun kepada Allah 'Azza wa Jalla . Kali ini kita bahas Mas'alah Definisi penting dalam Ilmu Mustholatul Hadits . Saudaraku yang di rahmati Allah Ta'ala sekalian sebelum kita menyampaikan sesuatu yg berkaitan dengan Ma'alah Fiqh maka paling tidak kita fahamkan bagaimana mempelajari Hadits agar kita faham akan kedudukan Hadits . Ilmu musthalah hadits : Ilmu tentang pokok-pokok dan kaidah-kaidah yang digunakan untuk mengetahui kondisi sanad dan matan hadits, dari sisi diterima atau ditolak.
Objek pembahasan ilmu musthalah: yang menjadi objek pembahasannya adalah sanad dan matan, dari sisi diterima atau ditolak. Manfaat ilmu musthalah: Bisa membedakan hadits yang shahih dari hadits yang lemah. Hadits:
• Menurut bahasa: Al-Jadid (baru), bentuk jamaknya adalah ahaadits, bertentangan dengan qiyas. • Menurut istilah: Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (diamnya) maupun sifatnya.
Khabar
• Menurut bahasa: an-naba (berita), bentuk jamaknya adalah akhbaar.
• Menurut istilah: terdapat tiga pendapat, yaitu,
1. Sinonim dari hadits, dengan kata lain memiliki satu arti.
2. Berbeda dengan hadits. Hadits itu berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan khabar adalah selain dari beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. 3. Lebih umum dari hadits. Hadits itu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan khabar berasal dari beliau maupun bukan dari beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Atsar:
Menurut bahasa: Sisa dari sesuatu (jejak).
Menurut istilah terdapat dua pendapat,
• Sinonim dari hadits, dengan kata lain memiliki satu arti. • Berbeda dengan hadits, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in, baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Isnad
Memiliki dua arti:
• Mengembalikan hadits kepada yang mengatakannya sebagai sandaran • Urutan para perawi hadits yang kemudian berlanjut pada matan (teks hadits). Dengan makna seperti ini, berarti sinonim dari sanad.
Sanad
• Menurut bahasa: al-mu’tamad (tempat bersandar). Disebut seperti itu karena hadits disandarkan atau menyandarkan kepadanya. • Menurut istilah, urutan para perawi hadits yang kemudian berlanjut pada matan.
Matan
• Menurut bahasa, tanah yang keras dan naik ke atas • Menurut istilah, perkataan terakhir dari sanad.
Musnad
• Menurut bahasa: merupakan isim maf’ul dari asnada yang berarti menyandarkan atau menasabkan kepadanya.
• Menurut istilah, memiliki tiga macam arti:
1. Setiap kitab yang di dalamnya mengandung kumpulan apa yang diriwayatkan oleh para sahabat, menurut ketentuan tertentu.
2. Hadits marfu’ yang sanadnya bersambung.
3. Jika yang dimaksudkannya adalah sanad, berarti itu adalah mashdar mim.
Musnid adalah orang yang meriwayatkan hadits dengan sanadnya, baik orang itu mengerti ataupun tidak mengerti dan hanya menyampaikan riwayat saja.
Muhaddits adalah orang yang bergelut dalam ilmu hadits, baik dari sisi riwayat maupun dirayah, mengetahui banyak riwayat dan kondisi para perawinya. Hafidh
• Menurut pakar hadits artinya sama dengan muhaddits • Ada yang berpendapat bahwa al-Hafidh itu martabatnya lebih tinggi dari al-muhaddits karena ia lebih banyak mengetahui setiap tingkatan (thabaqat) para perawi hadits dibandingkan ketidaktahuannya. Hakim adalah orang yang pengetahuannya mencakup seluruh hadits-hadits sehingga tidak ada perkara yang tidak diketahuinya melainkan amat sedikit. Hal itu menurut sebagian ahli ilmu hadits.
Sifat-sifat hadits yang diterima:
1. Sanadnya harus muttasil (bersambung), artinya tiap-tiap perawi betul-betul mendengar dari gurunya. Guru benar-benar mendengar dari gurunya, dan gurunya benar-benar mendengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
2. Perawi harus adil. Artinya, perawi tersebut tidak menjalankan kefasikan, dosa-dosa, perbuatan dan perkataan yang hina.
3. Betul-betul hafal.
4. Tidak bertentangan dengan perawi yang lebih baik dan lebih dapat dipercaya.
5. Tidak berillat, yakni tidak memiliki sifat yang membuat haditsnya tidak diterima.

Hadits Mutawatir : Hadits yang diriwayatkan oleh perawi banyak dari perawi banyak.
Hadits Hasan : Hadits yang sanadnya bersambung perawi adil, yang hafalannya kurang sedikit disbanding dengan perawi-perawi hadits shahih. Tidak bertentangan dengan perawi-perawi yang lebih dapat dipercaya, dan tidak memiliki cacat yang membuat hadits tersebut tidak diterima. Hukum hadits hasan: seperti hadits shahih, dapat dibuat pedoman dan dijalankan, namun bila diantara hadits shahih dan hadits hasan bertentangan, maka didahulukan adalah hadits shahih. Hadits Dhoif: Hadits yang tidak memiliki sifat-sifat hadits-hadits shahih dan sifat-sifat hadits hasan. Hukum hadits dhoif: Tidak boleh dijadikan pedoman dalam masalah akidah dan hukum-hukum agama. Boleh dijalankan dalam masalah-masalah yang dianggap baik, anjuran, peringatan dengan syarat-syarat tertentu.
Hadits Marfu’ : Perkataan, perbuatan, pemutusan, atau pengakuan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, baik sanadnya bersambung atau tidak.
Contoh hadits marfu’: hadits muttasil, musnad, mursal, dll.
Hukum hadits marfu’ : kadang-kadang shahih, hasan, dan dhaif. Hadits Muttasil (mausul) : Hadits yang sanadnya bersambung dari perawi mendengar dari perawi sampai pada Nabi atau hanya sahabat-sahabat saja. Hadits mauquf dan munqathi’ kadang-kadang termasul hadits muttasil. Hadits Mauquf : Perkataan atau perbuatan sahabat, sanadnya bersambung atau tidak.
Contoh: hadits munqathi’. Hadits marfu dan mursal tidak termasuk hadits mauquf. Hadits Munqathi’ : Hadits yang salah satu dari perawi tidak disebut, dengan syarat perawi yang tidak disebut itu bukan sahabat.
Contoh: hadits marfu’, mursal, dan mauquf. Hadits munqathi’ termasuk hadits dhoif. Hadits Mursal : Apabila ada tabi’in berkata, “Nabi bersabda…….tanpa menyebutkan perawi dari sahabat, maka hadits tersebut termsuk mursal.
Contoh: hadits munqathi’ dan hadits mu’dlal. Hukumnya sama seperti hadits dhoif. Hadits Muallaq (hadits-hadits yang dita’liq) : Hadits yang permulaan sanadnya tidak tersebut.
Contoh: setiap hadits yang sanadnya tidak bersambung. Hadits Gharib : Hadits yang diriwayatkan oleh satu perawi dan perawi lain tidak meriwayatkan hadits tersebut.
Hukumnya kadang-kadang shahih, hasan namun kebanyakan hukumnya dhoif. Hadits Masyhur : Hadits yang diriwayatkan oleh tiga perawi keatas, walaupun dalam satu tingkat perawi (perawinya sama-sama sahabat). Hukumya shahih, hasan atau dhoif.   Hadits Mubham : Hadits yang dalam sanadnya atau matannya ada orang yang tidak disebut. Hukumnya, jika perawinya yang tidak diketahui, hukumnya dhoif. Hadits Syadz : Hadits yang diriwayatkan oleh orang yang dapat dipercaya, matan atau sanadnya bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih dipercaya. Lawan syadz adalah mahfud (yang terjaga). Hukumnya dhoif dan ditolak.
Mudraj : Idraj (sisipan) ada dua :
1. Lafadh hadits yang disisipi, 2. Sanad hadits yang disisipi.

Lafadh hadits yang disisipi: sebagian perawi menambah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tanpa diberi tahu atau diberi tanda. Hukumnya shahih, atau dhoif. Hadits Maqlub: Mengganti sesuatu dengan yang lain dalam hadits, ada kalanya kalimat hadits dibalik, dan lain-lain. Hukumnya harus dikembalikan pada asalnya. Hadits Mudhtarib: Hadits yang diriwayatkan oleh perawi, kemudian ditempat lain dia meriwayatkan hadits tersebut dengan arti yang berbeda. Hukumnya dhoif.
Hadits Ma’lul: Hadits kalau dilihat dhohirnya baik, namun setelah diteliti oleh ahli hadits, ternyata ada hal yang membuat hadits tersebut tidak bisa dikatakan shahih. Hukumnya dhoif.
Hadits Matruk: Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang sudah disepakati oleh para ulama bahwa dia dhoif. Adakalanya dia bohong, keliru, atau fasik. Hukumnya tidak dianggap, juga tidak boleh dibuat pedoman atau dibuat syahid. Hadits Maudhu’: Hadits buatan perawi, lalu disandarkan kepada rasul, sahabat, atau tabi’in. Hukumnya tidak boleh diriwayatkan atau diajarkan kecuali ada tujuan agar orang yang mendengar atau yang membacanya berhati-hati. Hadits Munkar: Seperti hadits syadz, hadits munkar tidak boleh diterima, apabila perawinya bertentangan dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Hadits Syahid: Arti hadits yang cocok dengan arti hadits lain, hanya saja sahabat yang meriwayatkannya berlainan.

  • Istilah dari perkataan para perawi Hadits :


La ba’sa bihi: Perawi tidak memiliki cacat. Ibnu Mu’in berkata, “perawi tersebut dapat dipercaya.”
Shaduuq : Ibnu Abi Hatim berkata, “Ia dapat dipercaya.”

  • Sistem Penyusun Hadits Dalam Menyebutkan Nama Rawi

jalur sanad :
1. Shahabat : Orang yang bertemu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan beriman kepadanya sampai mati.
2. Tabi’in : Orang yang bertemu dengan sahabat dan mati dalam keadaan muslim.


1. As Sab'ah berarti diriwayatkan oleh tujuh perawi, yaitu :
1. Ahmad
2. Bukhari
3. Muslim
4. Nasa'i
5. Turmudzi
6. Abu Dawud
7. Ibnu Majah
2.  As Sittah berarti diriwayatkan oleh enam perawi yaitu : Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'ah) selain Ahmad

3.  Al Khomsah berarti diriwayatkan oleh lima perawi yaitu : Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'ah) selain Bukhari dan Muslim
4.  Al Arba'ah berarti diriwayatkan oleh empat perawi yaitu : Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'a) selain Ahmad, Bukhari dan Muslim.
5.  Ats Tsalasah berarti diriwayatkan oleh tiga perawi yaitu : Semua nama yang tersebut diatas (As Sab'ah) selain Ahmad, Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah.
6.  Asy Syaikhon berarti diriwayatkan oleh dua orang perawi yaitu : Bukhari dan Muslim ( Muttafaq ‘alaih )

7.  Al Jama'ah berarti diriwayatkan oleh para perawi yang banyak sekali jumlahnya (lebih dari tujuh perawi / As Sab'ah).
Insya Allah kita lanjutkan..... Demikian yang bisa saya sampaikan Insya Allah , semoga bisa bermanfaat bagi kita semua khususnya saya pribadi dan juga bagi sahabat serta teman dan saudara muslim lainnya pada Umumnya , serta menjauhkan kita dari kesesatan yang nyata . Bilamana ada kalimat atau lafadz yang salah mohon maaf .Akhirnya Segala perkara yang benar datangnya hanya dari Allah Ta'ala semata , sedang yang salah dan keliru datangnya dari saya sendiri dan Syaitan yang selalu menghembus hembuskan kedzaliman serta kesesatan , bila ada kekurangannya mohon maaf .

Andy Ikhwan As-Salafy MEMBANGUN RUMAH DI SURGA

Dari Ummu Habibah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى اثْنَتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِىَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa mengerjakan shalat sunnah dalam sehari-semalam sebanyak 12 raka’at, maka karena sebab amalan tersebut, ia akan dibangun sebuah rumah di surga.”

Coba kita lihat, bagaimana keadaan para periwayat hadits ini ketika mendengar hadits tersebut. Di antara periwayat hadits di atas adalah An Nu’man bin Salim, ‘Amr bin Aws, ‘Ambasah bin Abi Sufyan dan Ummu Habibah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mendengar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung.

Ummu Habibah mengatakan, Aku tidak pernah meninggalkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari sejak aku mendengar hadits tersebut langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

‘Ambasah mengatakan,“Aku tidak pernah meninggalkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari sejak aku mendengar hadits tersebut dari Ummu Habibah.”

‘Amr bin Aws mengatakan,“Aku tidak pernah meninggalkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari sejak aku mendengar hadits tersebut dari ‘Ambasah.”

An Nu’man bin Salim mengatakan,“Aku tidak pernah meninggalkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari sejak aku mendengar hadits tersebut dari ‘Amr bin Aws.”[1]

Yang dimaksudkan dengan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari dijelaskan dalam riwayat AtTirmidzi, dari ‘Aisyah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ ثَابَرَ عَلَى ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً مِنَ السُّنَّةِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ

“Barangsiapa merutinkan shalat sunnah dua belas raka’at dalam sehari, maka Allah akan membangunkan bagi dia sebuah rumah di surga. Dua belas raka’at tersebut adalah empat raka’at sebelum zhuhur, dua raka’at sesudah zhuhur, dua raka’at sesudah maghrib, dua raka’at sesudah ‘Isya, dan dua raka’at sebelum shubuh.”[2]

Hadits di atas menunjukkan dianjurkannya merutinkan shalat sunnah rawatib sebanyak 12 raka’at setiap harinya.[3]
Dua belas raka’at rawatib yang dianjurkan untuk dijaga adalah: [1] empat raka’at[4] sebelum Zhuhur, [2] dua raka’at sesudah Zhuhur, [3] dua raka’at sesudah Maghrib, [4] dua raka’at sesudah ‘Isya’, [5] dua raka’at sebelum Shubuh.

Semoga kita semua bisa dan mampu melaksanakan 12 raka'at tersebut agar dibangunkan rumah oleh Allah subhanahu wa ta'ala di Surga kelak, insya Allahu Ta'ala. Aamiin...

Wallahua'lam...

Footnote :
[1] HR. Muslim no. 728.
[2] HR. Tirmidz no. 414, dari ‘Aisyah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[3] Lihat Bughyatul Mutathowwi’fiiSholati At Tathowwu’.
[4] Dikerjakan dua raka’at salam dan dua raka’at salam.

Sumber : www.rumaysho.com

Rabu, 25 April 2012

Jagalah Makanan Anda Dari Keharaman!

assalamu'alaikum wr wb.
mau tanya perihal makanan yg diharamkan salah satunya BANGKAI. Apakah semua bangkai itu haram. kalau iya bagaimana dg bangkai IKAN? mohon pencerahannya.
· · · 6 jam yang lalu melalui seluler

    • Gene Netto Wa alaikum salam.
      Untuk ikan dari laut, dan sungai, maka statusnya adalah halal, termasuk bangkainya. Jadi ikan automatis halal, dan tidak perlu dipotong lehernya untuk menjadi halal. Bangkainya sudah halal.
      Bangkai yang diharamkan adalah bangkai dari binatang yang berdarah, dan bisa dipotong saluran darah di lehernya sehingga menjadi halal. Jadi ayam, kambing, sapi, kelinci, rusa, dll harus disembelih untuk menjadi halal. Kalau ditemukan dalam keadaan sudah wafat (bangkai) karena mati kemarin maka sudah menjadi haram. Bisa jadi kematian karena penyakit, atau alasan yang lain. Tetapi kalau tidak bisa dipotong lehernya untuk mengeluarkan darah (karena minum darah diharamkan), maka bangkai itu sudah haram untuk dimakan.
      Beda dengan belalang. Kalau belalang memang tidak bisa disembelih. Jadi kalau ditangkap dengan niat mau dimakan, maka bangkainya sudah halal (karena tidak bisa dipotong lehernya). Tetapi belalang juga bisa menjadi haram kalau menjijikkan. Jadi apa saja yang menjijikkan (secara pribadi, perorangan) maka itu juga haram. Tapi kalau merasa tidak jijik, maka boleh dimakan dan tidak haram.
    • Agus Budi brarti ada penjelasan lanjutan mengenai BANGKAI di dalam alQuran. sebab ada slh satu ayat yg hanya menjelaskan spt ini intinya ALLAH MENGHARAMKAN BANGKAI, DARAH, DAGING BABI DAN APA YG DISEMBELIH TANPA MENYEBUT ASMANYA. mohon penjelasan ayat tsb.
      5 jam yang lalu melalui seluler ·
    • Gene Netto Iya, bangkai yang diharamkan adalah yang saya jelaskan di atas. Bangkai dari binatang yang punya nadi leher yang wajib dipotong untuk menjadi halal. Jadi bangkai ikan tidak termasuk istilah "bangkai" itu.
      Tafsir terhadap ayat Al Quran dan hadiths tidak boleh dilakukan dengan cara membaca teks sendiri, lalu merasa sudah paham. Harus dipelajari secara dalam, dan dicek hubungannya antara ayat yang satu dengan ayat dan hadiths yang lain, ajaran islam, prinsip2 dalam hukum fiqih dan tafsir, dsb.
      Jadi tidak cukup "membaca" lalu sudah pasti paham. "Membunuh orang kafir" bisa dicopot dari konteks dan menjadi "izin membunuh". Tetapi kalau mengerti agama, maka tidak boleh melakukan itu, karena ada konteks yang spesifik, dan bukan izin universal untuk membunuh semua orang non-Muslim.
      Jadi baca satu katapun, bisa terjadi ada beberapa pengertian dan penjelasan yang berbeda. Tidak cukup membaca terjemahan saja lalu merasa sudah pasti paham dengan benar.
    • Denisatriani Theowner Ofcyberkoi Bang Gene Netto - kira2 bagaimanakah hukum penyembelihan hewan, misalkan ayam yg secara masal di sembelih dng menggunakan mesin potong secara bersamaan..? syukron
    • Gene Netto Ada perbedaan pendapat. Yang lebih konservatif merasa setiap binatang harus disembelih secara sendirian dan terpisah, dengan membaca doa setiap kali. Jadi kalau di dalam pabrik besar, harus membaca doa ratusan ribu kali dalam sehari untuk potong ratusan ribu ayam. Landasannya adalah di zaman Nabi, setiap binatang dibacakan doa dan dipotong secara terpisah, jadi tidak ada contoh satu kali berdoa untuk jumlah binatang yang banyak, jadi dianggap tidak halal (tidak dipotong secara benar) kalau dilakukan secara bersamaan, dan harus terpisah.
      Tapi dalam pendapat yang lebih moderat, boleh dibaca satu kali doa untuk semua binatang lalu dipotong oleh mesin. Jadi cukup satu kali berdoa pada saat mesin dinyalakan. Dan itu dilandasi dengan prinsip bahwa Allah tidak menghendaki Islam menjadi sulit bagi kita. Dan juga karena konteks dari zaman Nabi sudah berubah. Sekarang, pabrik besar bisa memotong ratusan ribu ekor ayam dalam satu hari, dan tidak mungkin dilakukan secara terpisah (oleh orang) karena biaya untuk gaji mereka akan menjadikan ayam sangat mahal, jadi tidak mungkin secara ekonomi.
      Prof. Dr. Ali Mustafa Yaqub (Imam Besar Masjid Istiqlal) dalam tesis PhD-nya setuju dengan pendapat kedua, yang diterbitkan dalam bukunya “Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat Dan Kosmetika Dalam Perspektif Al Qur`An Dan Hadis”.
      Saat membahas isi tesis (yang menjadi buku), para guru Dr. Ali Mustafa Yaqub juga pecah pendapatnya, dengan ada pendapat yang mendukung hukum boleh baca satu doa dan disembelih oleh mesin secara massal, dan ada guru lain yang berprotes dan mengatakan haram kalau dilakukan begitu, karena tidak dicontohkan oleh Nabi dan harus dibacakan doa masing2 dan dipotong oleh manusia satu per satu, berapapun jumlahnya.
    • Denisatriani Theowner Ofcyberkoi Ane tambah lg dikit ya Bang Gene Netto, bila salah mohon koreksinya... hehehehehe..... BERBUAT BAIK DALAM SEGALA URUSAN

      عن أبي يعلى شداد بن أوس رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : " إن الله كتب الإحسان على كل شيء , فإذا قتلتم فأحسنوا القتلة , وإذا ذبحتم فأحسنوا الذبحة وليحد أحدكم شفرته وليرح ذبيحته " رواه مسلم

      Dari Abu Ya'la, Syaddad bin Aus radhiyallahu 'anhu, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam beliau telah bersabda : “ Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku baik pada segala hal, maka jika kamu membunuh (hewan) hendaklah membunuh dengan cara yang baik dan jika kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik dan hendaklah menajamkan pisau dan menyenangkan hewan yang disembelihnya”. [Muslim no. 1955]

      Hadits ini termasuk salah satu Hadits yang mengandung berbagai macam prinsip atau kaidah. Membunuh (hewan) dengan cara yang baik itu ialah membunuh tanpa sedikit pun unsur penganiayaan atau penyiksaan. Menyembelih dengan cara yang baik yaitu menyembelih hewan dengan lemah lembut, tidak merebahkannya ketanah dengan keras dan juga tidak menyeretnya, menghadapkannya ke kiblat, membaca basmalah dan hamdalah, memotong urat nadi lehernya dan membiarkannya sampai mati baru dikuliti, mengakui nikmat dan mensyukuri pemberian Allah, karena Allah telah menundukkannya kepada kita, padahal Dia berkuasa untuk menjadikannya sebagai musuh kita dan telah menghalalkan dagingnya untuk kita, padahal Dia berkuasa untuk mengharamkannya.
    • Agus Budi hehe naa iya baru ingat. ketika idul Qurban hewannya kan diseret-seret tuh trus direbahkannya juga dg paksaan trus kadang tukang jagalnya memperlihatkan senjatanya. nih bagaimana pak gene?
      2 jam yang lalu melalui seluler ·
    • Mari Belajar Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

      أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ، فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوْتُ وَالْجَرَادُ، وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ.

      ‘Telah dihalalkan bagi kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah, adapun kedua jenis bangkai itu adalah bangkai ikan dan belalang, sedangkan kedua jenis darah itu adalah hati dan limpa.’” [2]
      [2]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 210)], [Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1118)].
    • Mari Belajar KITAB MAKANAN


      Oleh
      Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


      Al-Ath’imah ( اْلأَطْعِمَةُ ) adalah bentuk jamak dari tha’aam ( طَعَامٌ ) (makanan), yaitu segala sesuatu yang dimakan dan disantap oleh manusia baik berupa makanan pokok atau selainnya.

      Hukum asal makanan adalah halal, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

      يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا

      “Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi...” [Al-Baqarah: 168]

      Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:

      وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ

      “... Makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. Katakanlah, ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rizki yang baik...’” [Al-A’raaf: 31-32]

      Tidak boleh mengharamkan sesuatu dari makanan kecuali makanan yang telah Allah haramkan dalam Kitab-Nya atau yang diharamkan melalui lisan Rasul-Nya. Mengharamkan apa yang tidak diharamkan Allah termasuk mengada-ada kedustaan terhadap Allah.

      Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

      قُلْ أَرَأَيْتُم مَّا أَنزَلَ اللَّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ ۖ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ وَمَا ظَنُّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

      “Katakanlah, ‘Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.’ Katakanlah, ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-ada saja terhadap Allah? Apakah dugaan orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah pada hari Kiamat...” [Yunus: 59-60]

      Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:

      وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَٰذَا حَلَالٌ وَهَٰذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ مَتَاعٌ قَلِيلٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

      “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, ‘Ini halal dan ini haram,’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit, dan bagi mereka adzab yang pedih.” [An-Nahl: 116-117]
    • Mari Belajar Macam-Macam Makanan Yang Diharamkan
      Allah berfirman:

      وَمَا لَكُمْ أَلَّا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ

      “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut Nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang di-haramkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu mema-kannya...” [Al-An’aam: 119]

      Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyebutkan secara terperinci apa-apa yang diharamkan bagi kita, dengan perincian yang jelas serta menjelaskannya secara gamblang.

      Allah Ta’ala berfirman:

      حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ۚ ذَٰلِكُمْ فِسْقٌ

      “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan.” [Al-Maa-idah: 3]

      Allah Ta’ala berfirman:

      وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ

      “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut Nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan…” [Al-An’aam: 121]

      Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

      قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

      “Katakanlah, ‘Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -karena sesungguhnya semua itu kotor- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah...” [Al-An’aam: 145]
    • Mari Belajar Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

      وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا

      “...Dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram...” [Al-Maa-idah: 96]

      Hal-Hal Yang Hukumnya Disamakan Dengan Bangkai
      Sesuatu dari anggota tubuh yang dipotong dari hewan dalam keadaan hidup, hukumnya disamakan dengan bangkai. Berdasarkan hadits Abu Waqid al-Laitsi, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

      مَا قُطِعَ مِنَ الْبَهِيْمَةِ وَهِيَ حَيَّةٌ فَهُوَ مَيْتَةٌ.

      ‘Apa yang dipotong dari hewan yang masih hidup adalah bangkai.’” [1]

      Bangkai Dan Darah Yang Dikecualikan
      Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

      أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ، فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوْتُ وَالْجَرَادُ، وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ.

      ‘Telah dihalalkan bagi kita dua jenis bangkai dan dua jenis darah, adapun kedua jenis bangkai itu adalah bangkai ikan dan belalang, sedangkan kedua jenis darah itu adalah hati dan limpa.’” [2]
    • Mari Belajar Pengharaman Keledai Piaraan
      Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu ia menerangkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah didatangi oleh seseorang seraya berkata, “Keledai piaraan telah dimakan.” Kemudian beliau didatangi lagi oleh seseorang dan berkata, “Keledai piaraan telah dimakan.” Kemudian beliau didatangi lagi oleh seseorang dan berkata, “Keledai piaraan telah punah.” Akhirnya beliau memerintahkan seseorang untuk mengumumkan pada manusia (orang itu berkata), ‘Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian memakan daging keledai piaraan, sesungguhnya daging keledai piaraan itu najis.’ Aku pun menumpahkan panci yang berisi daging keledai yang sedang mendidih.” [3]

      Haramnya Memakan Setiap Binatang Yang Memiliki Taring Dari Binatang Buas Dan Setiap Binatang Yang Memiliki Cakar Dari Jenis Burung
      Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu a'nhuma, ia berkata:

      نَهَىٰ رَسُولُ اللهِ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ، وَعَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ.

      “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kita memakan setiap binatang yang memiliki taring dari binatang buas dan setiap binatang yang memiliki cakar dari jenis burung.” [4]

      Pengharaman Jallalah (Hewan Yang Memakan Kotoran)
      Jallalah adalah hewan yang sebagian besar dari makanannya adalah hal-hal yang najis (kotoran-pent).
    • Mari Belajar Diharamkan memakannya, meminum susunya, dan menungganginya.
      Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu a'nhuma, ia berkata:

      نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلى اللَّه عليه وسلم عَنْ أَكْلِ الْجَلاَّلَةِ وَأَلْبَانِهَا.

      “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kita memakan jallalah dan meminum susunya.” [5]

      Dan darinya juga Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:

      نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صلى اللَّه عليه وسل عَنِ الْجَلاَّلَةِ فِي اْلإِبِلِ أَنْ يُرْكَبَ عَلَيْهَا، أَوْ يُشْرَبَ مِنْ أَلْبَانِهَا.

      “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kita menunggangi unta jallalah atau meminum susunya.” [6]

      Kapan Jallalah Bisa Menjadi Halal?
      Apabila hewan tersebut dikurung selama tiga hari dan diberi makan dengan makanan yang suci, maka boleh menyembelih dan memakannya.

      Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma, ia menerangkan bahwasanya ia mengurung ayam jallalah selama tiga hari.[7]

      Dibolehkannya Sesuatu Yang Haram ketika Darurat
      Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

      فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

      “…Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Al-Baqarah: 173]
    • Mari Belajar Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:

      ۚ فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

      “…. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Al-Maa-idah: 3]

      Ibnu Katsir rahimahullah berkata (II/14), “Barangsiapa yang membutuhkan untuk memakan makanan haram yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala ini karena keadaan darurat, maka ia boleh memakannya dan Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang terhadapnya. Sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala mengetahui kebutuhan hamba-Nya yang berada dalam kesulitan dan sangat membutuhkan makanan tersebut, maka Allah pun membolehkan (memakan)nya dan mengampuninya. Disebutkan dalam Musnad Imam Ahmad dan Shahiih Ibni Hibban dari Ibnu ‘Umar secara marfu’, ia berkata, ‘Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

      ...إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتِيَ رُخْصَتُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتِيَ مَعْصِيَتُهُ.

      ‘Sesungguhnya Allah menyenangi apabila keringanan-Nya diambil sebagaimana Dia membenci dilakukannya kemaksiatan terhadap-Nya.’’”[8]

      Oleh karena itu, para ulama ahli fiqih mengatakan bahwa memakan bangkai dalam keadaan tertentu (bisa menjadi) wajib, apabila ia takut akan (kebinasaan) dirinya dan tidak menjumpai sesuatu pun (yang halal untuk dimakan). Terkadang hukumnya menjadi sunnah dan terkadang hukumnya boleh sesuai dengan keadaan.

      Sedangkan mereka berselisih pendapat apakah memakan bangkai itu hanya sekedarnya saja untuk menopang sisa hidupnya atau ia boleh memakannya sampai kenyang atau bahkan boleh menyimpannya untuk bekal? Perselisihan mereka menjadi beberapa pendapat sebagaimana yang tertera dalam kitab-kitab Fiqih.
    • Mari Belajar Mereka juga berpendapat bahwa tidak mendapatkan makanan selama tiga hari, tidak menjadi syarat untuk dibolehkannya memakan bangkai. Sebagaimana yang disangka oleh kebanyakan orang awam dan selain mereka, namun yang benar kapan saja ia terpaksa memakannya, ia boleh memakannya.

      [Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
      _______
      Footnote
      [1]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 2606)], Sunan Ibni Majah (II/1072, no. 3216), Sunan Abi Dawud (VIII/60, no. 2841).
      [2]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 210)], [Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1118)].
      [3]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/653, no. 5528), Shahiih Muslim (III/ 1540, no. 1940 (35)).
      [4]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 1332)], Shahiih Muslim (III/1534, no. 1934), Sunan Abi Dawud (X/258, no. 3767) Sunan at-Tirmidzi (III/175, no. 1884)
      [5]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 2582)], Sunan Ibni Majah (II/1064, no. 3189), Sunan Abi Dawud (X/258, no. 3767), Sunan at-Tirmidzi (III/175, no. 1884).
      [6]. Hasan shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 3217)], Sunan Abi Dawud (X/260, no. 3769).
      [7]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 2504)] dan Ibnu Abi Syaibah (VIII/147, no. 4660).
      [8]. Shahih: [Shahiih al-Jaami-ish Shaghiir (no. 1886)], Ahmad (Fat-hur Rabbaani (II/108)). Lihat Irwaa-ul Ghaliil (III/9, no. 564).

Selasa, 24 April 2012

Hukum Mencerca

Syaikh Rabi bin hadi Al-Madkhali hafizhahullah ditanya:

"apakah boleh seseorang dijarah (dicerca) dengan sebab yang diperselisihkan bahwa itu cercaan, ataukah seseorang tidak dicerca kecuali dengan sesuatu yang disepakati saja?"

beliau menjawab:

أسباب الجرح معروفة كالكذب أو التهمة بالكذب أو فحش الغلط ...إلى آخر أسباب الجرح وهي عشرة أسباب ذكرها الحافظ ابن حجر في نزهة النظر .

كذلك المفسقات مثل الزنا وشرب الخمر وتعاطي الربا وأكل مال اليتيم ,والكبائر التي تتجاوز السبعين كما يقول ابن عباس بل هي إلى السبعمائة أقرب ,فهذه من الأسباب المتفق على أنها تجرح وتسقط العدالة ويحكم على من ارتكب كبيرة منها بالفسق فلا تقبل روايته ولا شهادته .

والأسباب المختلف فيها : قد يكون هذا الخلاف لا قيمة له ,قد يعارض شخص في جارح ويقول :هذا غير جارح ويكون لا قيمة لكلامه ,وقد يكون لكلامه وزن ,والجارح ينظر ويجتهد في هذا هل هو جارح أو لا ويظهر له من خلال الدراسة أن هذا جارح فيجرح به وهناك أمور ينبغي أن لا نسمّيها مختلفا فيها بل نقول :متفقٌ على أنها ليست مما يجرح كقول الجارح في الراوي :رأيته يركب على برذون ,أو قوله :سمعت كذا من بيته ...الخ فهذا لا يقال :إنه جرح مختلف فيه بل متفق على عدم اعتباره وقد شذّ من يراه جارحاً .

الشاهد أنه لا يُجرح الشخص إلا بجارح معتبرٍ عند الأئمة ,والأمور التي قد يختلف فيها بعض الناس يرجح هذا العالم ما يراه راجحا .

منقول من موقع الشيخ ربيع بن هادى المدخلى (فتوى رقم 111)

Sebab cercaan adalah hal yang telah diketahui seperti dusta, atau dituduh berdusta atau kesalahan yang fatal, dan seterusnya dari macam - macam sebab cercaan yang berjumlah sepuluh sebab sebagaimana yang disebutkan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam nuzhatun nazhar.

demikian pula halnya penyebab kefasikan seperti zina, minum khamr, memperoleh harta dengan cara riba , makan harta anak yatim, dan dosa- dosa besar lainnya yang jumlahnya melebihi 70 sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abbas Radhiallahu anhuma dan bahkan mendekati 700. maka ini merupakan sebab- sebab yang disepakati bahwa hal itu menyebabkan dicercanya seseorang dan menghilangkan sifat adilnya dan dihukumi orang yang melakukan dosa besar dengan kefasikan serta tidak diterima persaksiannya. adapun sebab- sebab yang diperselisihkan , boleh jadi perselisihan tersebut tidak bernilai sama sekali, boleh jadi ada seseorang yang mengeritik orang yang mencercanya dan berkata: ini bukan sesuatu yang menyebabkan seseorang dicerca, sehingga cercaan itu tidak berarti sama sekali, dan boleh jadi pula cercaan tersebut bernilai. maka orang yang mencerca hendaknya memperhatikan dan berijtihad apakah ini termasuk sebab dicercanya seseorang atau setelah mempelajarinya lalu tidak tampak baginya bahwa hal itu termasuk sebab cercaan, sehingga diapun mencercanya. Adapula hal- hal yang tidak sepantasnya kita sebut sebagai perkara yang diperselisihkan ,namun kita katakan: bahwa hal tersebut disepakati bahwa itu bukan sebab dicercanya seseorang, seperti ucapan seorang yang mencerca perawi: aku melihat si fulan naik birdzaun ( sejenis keledai), atau ucapannya: aku mendengar sesuatu dari rumahnya.... , dan seterusnya, maka ini tidak dikatakan bahwa hal itu merupakan cercaan yang diperselisihkan , namun hal itu telah disepakati bahwa cercaan tersebut tidak teranggap sama sekali, dan telah ganjil pendapat yang menganggapnya sebagai cercaan. Yang jelas, tidak dicerca seseorang kecuali dengan cercaan yang bernilai menurut para imam, Adapun .hal- hal yang terkadang diperselisihkan oleh sebagian orang , maka seorang alim melihat apa yang menurutnya lebih kuat.

(dinukil dari situs Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhali ,fatwa no: 111)

http://sahab.net/forums/showthread.php?t=379806.

Senin, 23 April 2012

SYUBHAT-SYUBHAT SEKITAR MASALAH DEMOKRASI DAN PEMUNGGUTAN SUARA Oleh Ustadz Abu Ihsan al-Maidani al-Atsari

Oleh Ustadz Abu Ihsan al-Maidani al-Atsari
Majalah As-Sunnah http://almanhaj.or.id/
ﺑﺴﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ
Pemungutan suara atau voting sering
digunakan oleh lembaga-lembaga atau
organisasi-organisasi baik skala besar
seperti sebuah negara maupun kecil seperti
sebuah perkumpulan, di dalam mengambil
sebuah sikap atau di dalam memilih pimpinan
dan lain-lain. Sepertinya hal ini sudah lumrah
dilangsungkan. Hingga dalam menentukan
pimpinan umat harus dilakukan melalui
pemungutan suara, dan tentu saja
masyarakat umumpun dilibatkan di dalamnya.
Padahal banyak di antara mereka yang tidak
tahu menahu apa dan bagaimana kriteria
seorang pemimpin menurut Islam.
Dengan cara dan praktek seperti ini bisa jadi
seorang yang tidak layak menjadi pemimpin
keluar sebagai pemenangnya. Adapun yang
layak dan berhak tersingkir atau tidak
dipandang sama sekali ! Tentu saja metoda
pemungutan suara seperti ini tidak sesuai
menurut konsep Islam, 'yang menekankan
konsep syura (musyawarah) antara para
ulama dan orang-orang shalih. Allah telah
berfirman dalam Kitab-Nya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan menyuruh kamu
menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkannya dengan adil.[An-
Nisaa : 58]
Kepemimpinan adalah sebuah amanat yang
amat agung, yang menyangkut aspek-aspek
kehidupan manusia yang amat sensitif. Oleh
sebab itu amanat ini harus diserahkan kepada
yang berhak menurut kaca mata syariat.
Proses pemungutan suara bukanlah cara/
wasilah yang syar'i untuk penyerahan amanat
tersebut. Sebab tidak menjamin penyerahan
amanat kepada yang berhak. Bahkan di atas
kertas dan di lapangan terbukti bahwa orang-
orang yang tidak berhaklah yang memegang
(diserahi) amanat itu. Di samping bahwa
metoda pemungutan suara ini adalah metoda
bid'ah yang tidak dikenal oleh Islam.
Sebagaimana diketahui bahwa tidak ada
satupun dari Khulafaur Rasyidin yaitu: Abu
Bakar, Umar, Ustman dan Ali radhiyallahu
'anhum maupun yang sesudah mereka, yang
dipilih atau diangkat menjadi khalifah, melalui
cara pemungutan suara yang melibatkan
seluruh umat.
Lantas dari mana sistem pemungutan suara
ini berasal ?! Jawabnya: tidak lain dan tidak
bukan ia adalah produk demokrasi ciptaan
Barat (baca kafir).
Ada anggapan bahwa pemungutan suara
adalah bagian dari musyawarah. Tentu saja
amat jauh perbedaannya antara musyawarah
mufakat menurut Islam dengan pemungutan
suara ala demokrasi di antaranya:
[1] Dalam musyawarah mufakat, keputusan
ditentukan oleh dalil-dalil syar'i yang
menempati al-haq walaupun suaranya
minoritas.
[2] Anggota musyawarah adalah ahli ilmu
(ulama) dan orang-orang shalih, adapun di
dalam pemungutan suara anggotanya bebas
siapa saja.
[3] Musyawarah hanya perlu dilakukan jika
tidak ada dalil yang jelas dari al-Kitab dan as-
Sunnah. Adapun dalam pemungutan suara,
walaupun sudah ada dalil yang jelas seterang
matahari, tetap saja dilakukan karena yang
berkuasa adalah suara terbanyak, bukan al-
Qur'an dan as-Sunnah.
MAKNA PEMUNGUTAN SUARA Pemungutan
suara maksudnya adalah: pemilihan hakim
atau pemimpin dengan cara mencatat nama
yang terpilih atau sejenisnya atau dengan
voting. Pemungutan suara ini, walaupun
bermakna: pemberian hak pilih, tidak perlu
digunakan di dalam syariat untuk pemilihan
hakim/pemimpin. Sebab ia berbenturan
dengan istilah syar'i yaitu syura
(musyawarah). Apalagi dalam istilah
pemungutan suara itu terdapat konotasi haq
dan batil. Maka penggunaan istilah
pemungutan suara ini jelas berseberangan
jauh dengan istilah syura. Sehingga tidak
perlu menggunakan istilah tersebut, sebab
hal itu merupakan sikap latah kepada
mereka.
MAFSADAT PEMUNGUTAN SUARA Amat
banyak kerusakan-kerusakan yang
ditimbulkan dari cara pemungutan suara ini di
antaranya:
[1]. Termasuk perbuatan syirik kepada Allah.
[2]. Menekankan suara terbanyak. [3].
Anggapan dan tuduhan bahwa dinul Islam
kurang lengkap. [4]. Pengabaian wala' dan
bara'. [5]. Tunduk kepada Undang-Undang
sekuler. [6]. Mengecoh (memperdayai)
orang banyak khususnya kaum Muslimin. [7].
Memberikan kepada demokrasi baju syariat.
[8]. Termasuk membantu dan mendukung
musuh musuh Islam yaitu Yahudi dan
Nashrani. [9]. Menyelisihi Rasulullah dalam
metoda menghadapi musuh. [10]. Termasuk
wasilah yang diharamkan. [11]. Memecah
belah kesatuan umat. [12]. Menghancurkan
persaudaraan sesama Muslim. [13].
Menumbuhkan sikap fanatisme golongan
atau partai yang terkutuk. [14] Menumbuhkan
pembelaan membabi buta (jahiliyah)
terhadap partai-partai di golongan mereka.
[15]. Rekomendasi yang diberikan hanya
untuk kemaslahatan golongan. [16]. Janji
janji tanpa realisasi dari para calon hanya
untuk menyenangkan para pemilih. [17].
Pemalsuan-pemalsuan dan penipuan-
penipuan serta kebohongan-kebohongan
hanya untuk meraup simpati massa. [18].
Menyia-nyiakan waktu hanya untuk
berkampanye bahkan terkadang
meninggalkan kewajiban (shalat dan lain-
lain). [19]. Membelanjakan harta tidak pada
tempat yang disyariatkan. [20]. Money
politic, si calon menyebarkan uang untuk
mempengaruhi dan membujuk para pemilih.
[21]. Terperdaya dengan kuantitas tanpa
kualitas. [22]. Ambisi merebut kursi tanpa
perduli rusaknya aqidah. [23]. Memilih
seorang calon tanpa memandang kelurusan
aqidahnya. [24]. Memilih calon tanpa perduli
dengan syarat syarat syar'i seorang
pemimpin. [25]. Pemakaian dalil-dalil syar'i
tidak pada tempatnya, di antaranya adalah
ayat-ayat syura yaitu Asy-Syura': 46. [26]
.Tidak diperhatikannya syarat-syarat syar'i di
dalam persaksian, sebab pemberian amanat
adalah persaksian. [27]. Penyamarataan yang
tidak syar'i, di mana disamaratakan antara
wanita dan pria, antara seorang alim dengan
si jahil, antara orang-orang shalih dan orang-
orang fasiq, antara Muslim dan kafir. [28].
Fitnah wanita yang terdapat dalam proses
pemungutan suara, di mana mereka boleh
dijadikan sebagai salah satu calon! Padahal
Rasulullah telah bersabda: "Tidak beruntung
suatu kaum yang menyerahkan urusan
mereka kepada kaum wanita". [Hadits
Riwayat Bukhari dari Abu Bakrah] [29].
Mengajak manusia untuk mendatangi
tempat-tempat pemalsuan. [30]. Termasuk
bertolong-tolongan dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. [31]. Melibatkan diri dalam
perkara yang sia-sia dan tidak bermanfaat.
[32]. Janji-janji palsu dan semu yang disebar.
[33]. Memberi label pada perkara-perkara
yang tidak ada labelnya seperti label partai
dengan partai Islam, pemilu Islami,
kampanye Islami dan lain-lain. [34].
Berkoalisi atau beraliansi dengan partai-
partai menyimpang dan sesat hanya untuk
merebut suara terbanyak. [35]. Sogok-
menyogok dan praktek-praktek curang
lainnya yang digunakan untuk memenangkan
pemungutan suara. [36]. Pertumpahan darah
yang kerap kali terjadi sebelum atau sesudah
pemungutan suara karena memanasnya
suasana pasca pemungutan suara atau
karena tidak puas karena kalah atau merasa
dicurangi.
Sebenarnya masih banyak lagi kerusakan-
kerusakan yang ditimbulkan akibat dari
proses pemungutan suara ini. Kebanyakan
dari kerusakan-kerusakan yang disebutkan
tadi adalah suatu yang sering nampak atau
terdengar melalui media massa atau lainnya !
Lalu apakah pantas seorang Muslim -apalagi
seorang salafi- ikut-ikutan latah seperti
orang-orang jahil tersebut ?!
Sungguh sangat tidak pantas bagi seorang
Muslim salafi yang bertakwa kepada Rabb-
Nya melakukan hal itu, padahal ia mendengar
firman Rabb-Nya:
Maka apakah patut bagi Kami menjadikan
orang-orang Islam itu sama dengan orang-
orang yang berdosa (kafir). Mengapa kamu
berbuat demikian ? Bagaimanakah kamu
membuat keputusan ? [Al-Qalam: 35-36]
Pada saat bangsa ini sedang menghadapi
bencana, yang seharusnya mereka
memperbaiki kekeliruannya adalah dengan
kembali kepada dien yang murni
sebagaimana firman Allah
Telah nampak kerusakan di daratan dan di
lautan disebabkan buah tangan perbuatan
manusia agar mereka merasakan sebagian
perbuatan mereka dan agar mereka kembali.
[Ar-Ruum: 41]
Yaitu, agar mereka kembali kepada dien ini
sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu
'alaihi wasallam:
Jika kalian telah berjual beli dengan sistem
'inah dan kalian telah mengikuti ekor-ekor
sapi, telah puas dengan bercocok tanam dan
telah kalian tinggalkan jihad, maka Allah akan
menimpakan atas kalian kehinaan; tidak akan
kembali (kehinaan) dan kalian hingga kalian
kembali ke dien kalian.
Kembali kepada dien yang murni itulah
solusinya, kembali kepada nilai-nilai tauhid
yang murni, mempelajari dan melaksanakan-
melaksanakan konsekuensi-konsekuensinya,
menyemarakkan as-Sunnah dan mengikis
bid'ah dan mentarbiyah ummat di atas nilai
tauhid. Da'wah kepada jalan Allah itulah jalan
keluarnya, dan bukan melalui kotak suara
atau kampanye-kampanye semu! Tetapi
realita apa yang terjadi??
Para Du'at (da'i) sudah berubah profesi, kini ia
menyandang predikat baru, yaitu juru
kampanye (jurkam), menyeru kepada
partainya dan bukan lagi menyeru kepada
jalan Allah. Menebar janji-janji; bukan lagi
menebar nilai-nilai tauhid. Sibuk
berkampanye baik secara terang-terangan
maupun terselubung. Bukan lagi berdakwah,
tetapi sibuk mengurusi urusan politik â
€“padahal bukan bidangnya dan ahlinya- serta
tidak lagi menuntut ilmu.
Mereka berdalih: "Masalah tauhid memang
penting akan tetapi kita tidak boleh
melupakan waqi' (realita)."
Waqi' (realita) apa yang mereka maksud ?
Apakah realita yang termuat di koran-koran,
majalah-majalah, surat kabar-surat kabar ? -
karena itulah referensi mereka- atau realita
umat yang masih jauh dari aqidah yang
benar, praktek syirik yang masih banyak
dilakukan, atau amalan bid'ah yang masih
bertebaran. Ironinya hal ini justru ada pada
partai-partai yang mengatas namakan Islam !
Wallahul Musta'an
Mereka ngotot untuk tetap ikut pemungutan
suara, agar dapat duduk di kursi parlemen.
Dan untuk mengelabuhi umat merekapun
melontarkan beberapa syubhat!
SYUBHAT-SYUBHAT DAN BANTAHANNYA [1].
Mereka mengatakan: Bahwa sistem
demokrasi sesuai dengan Islam secara
keseluruhan. Lalu mereka namakan dengan
syura (musyawarah) berdalil dengan firman
Allah
" Artinya :Dan urusan mereka
dimusyawarahkan di antara mereka".[Asy-
Syuura : 38]
Lalu mereka bagi demokrasi menjadi dua
bagian yang bertentangan dengan syariat dan
yang tidak bertentangan dengan syariat.
Bantahan: Tidak samar lagi batilnya ucapan
yang menyamakan antara syura menurut
Islam dengan demokrasi ala Barat. Dan sudah
kita cantumkan sebelumnya tiga perbedaan
antara syura dan demokrasi !
Adapun yang membagi demokrasi ke dalam
shahih (benar) dan tidak shahih adalah
pembagian tanpa dasar, sebab istilahnya
sendiri tidak dikenal dalam Islam.
"Artinya : Yang demikian itu tentulah suatu
pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain
hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-
bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak
menurunkan suatu keteranganpun untuk,
(menyembah)-nya. Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti persangkaan dan apa
yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan
sesungguhnya telah datang petunjuk kepada
mereka dari Tuhan mereka" [An-Najm :
22-23]
[2]. Mereka mengatakan: Bahwa pemungutan
suara sudah ada pada awal-awal Islam,
ketika Abu Bakar, Umar, Ustman radhiyallahu
'anhum telah dipilih dan dibaiat. [Lihat kitab
syari'atul intikhabat hal.15]
Bantahan: Ucapan mereka itu tidak benar
karena beberapa sebab:
[a] Telah jelas bagi kita semua kerusakan
yang ditimbulkan oleh pemungutan suara
seperti kebohongan, penipuan, kedustaan,
pemalsuan dan pelanggaran syariat lainnya.
Maka amat tidak mungkin sebaik-baik kurun
melakukan praktek-praktek seperti itu. [b]
Para sahabat (sebagaimana yang dimaklumi
dan diketahui di dalam sejarah) telah
bermufakat dan bermusyawarah tentang
khalifah umat ini sepeninggal Rasul.
Dan setelah dialog yang panjang di antaranya
ucapan Abu Bakar as-Sidiq yang
membawakan sebuah hadits yang berbunyi:
"Para imam itu adalah dari bangsa Quraisy."
Lalu mereka bersepakat membaiat Abu Bakar
sebagai khalifah. Tidak diikutsertakan
seorang wanitapun di dalam musyawarah
tersebut.
Kemudian Abu Bakar mewasiatkan Umar
sebagai khalifah setelah beliau, tanpa ada
musyawarah.
Kemudian Umar menunjuk 6 orang sebagai
anggota musyawarah untuk menetapkan
salah seorang di antara mereka untuk
menjadi khalifah. Keenam orang itu
termasuk 10 orang sahabat Rasulullah yang
dijamin masuk surga. Adapun sangkaan
sebagian orang bahwa Abdurrahman bin Auf
menyertakan wanita dalam musyawarah
adalah tidak benar.
Di dalam riwayat Bukhari tidak disebutkan di
dalamnya penyebutan musyawarah
Abdurrahman bin Auf bersama wanita dan
tidak juga bersama para tentara. Bahkan yang
tersebut di dalam riwayat Bukhari tersebut,
Abdurrahman bin Auf mengumpulkan 5 orang
yang telah ditunjuk Umar yaitu Ustman, Ali,
Zubair, Thalhah, Saad dan beliau sendiri (lihat
Fathul Bari juz 7 hal. 61,69), Tarikhul Islam
karya Az-Zahabi (hal. 303), Ibnu Ashir dalam
thariknya (3/36), Ibnu Jarir at-Thabari dalam
Tarikhkul Umam (4/431). Adapun yang
disebutkan oleh Imam Ibnu Isuji di dalam
Kitabnya al-Munthadam riwayatnya dhaif.
Dan yang disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam
al-Bidayah wa Nihayah (4/151) adalah riwayat
tanpa sanad, tidak dapat dijadikan sandaran.
Kesimpulannya: [a] Berdasarkan riwayat yang
shahih Abdurrahman bin Auf hanya
bermusyawarah dengan 5 orang yang
ditunjuk Umar. [b] Dalam riwayat yang shahih
disebutkan bahwa Abdurrahman bin Auf juga
mengajak bertukar pendapat dengan sahabat
lainnya. [c] Adapun penyertaan wanita di
dalam musyawarah adalah tidak benar sebab
riwayatnya tidak ada asalnya.
[3] Mereka mengatakan: Ini adalah masalah
ijtihadiyah'
Bantahan: Apa yang dimaksud dengan
masalah ijtihadiyah ? Jika mereka katakan:
yaitu masalah baru yang tidak dikenal di
massa wahyu dan khulafaur rasyidin.
Maka jawabannya: [a] Ucapan mereka ini
menyelisihi atau bertentangan dengan
ucapan sebelumnya yaitu sudah ada pada
awal Islam. [b] Memang benar pemungutan
suara ini tidak ada pada zaman wahyu, tetapi
bukan berarti seluruh perkara yang tidak ada
pada zaman wahyu ditetapkan hukumnya
dengan ijtihad. Dalam masalah ini ulama
menetapkan hukum setiap masalah
berdasarkan kaedah-kaedah usul dan kaedah-
kaedah umum. Dan untuk masalah
pemungutan suara ini telah diketahui
kerusakan-kerusakannya.
Jika dikatakan: yang kami maksud masalah
ijtihadiyah adalah masalah yang belum ada
dalil al-Kitab dan as-Sunnah. Maka
jawabannya sama seperti jawaban kami
yang telah lalu.
Jika dikatakan masalah ijtihadiyah artinya:
kami mengetahui keharamannya, tetapi kami
memandang ikut serta di dalamnya untuk
mewujudkan maslahat. Maka jawabannya:
kalau ucapan itu benar, maka pasti sudah ada
buktinya semenjak munculnya pemikiran
seperti ini. Di negara-negara Islam tidak
pernah terwujud maslahat tersebut, bahkan
hanya kembali dua sepatu usang (gagal).
Sedang Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam
bersabda:
"Artinya : Seorang Mukmin tidaklah disengat
2 kali dari satu lubang" [Mutafaqun alaih]
Jika dikatakan masalah ijtihadiyah adalah
masalah yang diperdebatkan dan
diperselisihkan di kalangan ulama serta
bukan masalah ijma'.
Maka jawabannya: [a] Coba tunjukkan
perselisihan di kalangan ulama yang mu'tabar
(dipercaya) yang dida'wakan itu. Tentu saja
mereka tidak akan mendapatkannya. [b] Yang
dikenal di kalangan ulama, bahwa yang
dimaksud khilafiyah atau masalah yang
diperdebatkan, yaitu : jika kedua pihak
memiliki alasan atau dalil yang jelas dan
dapat diterima sesuai kaedah. Sebab kalau
hanya mencari masalah khilafiyah, maka
tidak ada satu permasalahanpun melainkan di
sana ada khilaf atau perbedaan pendapat.
Akan tetapi banyak di antara pendapat-
pendapat itu yang tidak mu'tabar.
[4]. Mereka mengatakan: Bahwa pemungutan
suara tersebut termasuk maslahat mursalah.
Bantahannya: [a] Maslahat mursalah bukanlah
sumber asli hukum syar'i, tapi hanyalah
sumber taba'i (mengikut) yang tidak dapat
berdiri sendiri. Maslahat mursalah hanyalah
wasilah yang jika terpenuhi syaratsyaratnya,
baru bisa diamalkan. [b] Menurut defisinya
maslahat mursalah itu adalah: apa-apa yang
tidak ada nash tertentu padanya dan masuk
ke dalam kaedah umum. Menurut definisi lain
adalah: sebuah sifat (maslahat) yang belum
ditetapkan oleh syariat.
Jadi maslahat mursalah itu adalah salahsatu
proses ijtihad untuk mencapai sebuah
kemaslahatan bagi umat, yang belum
disebutkan syariat, dengan memperhatikan
syarat-syaratnya.
Kembali kepada masalah pemungutan yang
dikatakan sebagai maslahat mursalah
tersebut apakah sesuai dengan tujuan
maslahat mursalah itu sendiri atau justru
bertentangan. Tentu saja amat bertentangan;
dilihat dari kerusakan kerusakan pemungutan
suara yang cukup menjadi bukti bahwa antara
keduanya amat jauh berbeda.
[5]. Mereka mengatakan: Pemungutan suara
ini hanya wasilah, bukan tujuan dan maksud
kami adalah baik.
Bantahannya adalah: Tidak dikenal kamus
tujuan menghalalkan segala cara, sebab itu
adalah kaidah Yahudiah. Sebab berdasarkan
kaidah Usuliyah: hukum sebuah wasilah
ditentukan hasil yang terjadi (didapat); jika
yang terjadi adalah perkara haram (hasilnya
haram) maka wasilahnya juga haram.
Adapun ucapan mereka bahwa yang mereka
inginkan adalah kebaikan.
Maka jawabannya bahwa niat yang baik lagi
ikhlas serta keinginan yang baik lagi tulus
belumlah menjamin kelurusan amal. Sebab
betapa banyak orang yang menginginkan
kebaikan tetapi tidak mendapatkannya.
Sebab sebuah amal dapat dikatakan shahih
dan makbul jika memenuhi 2 syarat: [a] Niat
ikhlas dan [b] Menetapi as-Sunnah. Jadi bukan
hanya bermodal keinginan [i'tikad baik saja]
[6]. Mereka mengatakan: Kami mengikuti
pemungutan suara dengan tujuan
menegakkan daulah Islam.
Bantahannya: Ada sebuah pertanyaan yang
ditujukan kepada mereka, bagaimana cara
menegakkan daulah Islam ?
Sedangkan di awal perjuangan, mereka
sudah tunduk pada undang-undang sekuler
yang diimpor dari Eropa. Mengapa mereka
tidak memulai menegakkan hukum Islam itu
pada diri mereka sendiri, atau memang
ucapan mereka "Kami akan menegakkan
daulah Islam" hanyalah slogan kosong
belaka. Terbukti mereka tidak mampu untuk
menegakkannya pada diri mereka sendiri.
Kalau ingin buktinya maka silahkan melihat
mereka-mereka yang meneriakkan slogan
tersebut.
[7]. Mereka mengatakan : Kami tidak mau
berpangku tangan dengan membiarkan
musuh-musuh bergerak leluasa tanpa
hambatan.
Bantahannya: Apakah masuk akal jika untuk
menghadapi musuh-musuhnya, mereka
bergandengan tangan dengan musuh-
musuhnya dalam kursi parlemen,
berkompromi dengan musuh dalam membuat
undang-undang? Bukankah ini tipu daya ala
Yahudi yang telah Allah nyatakan dalam al-
Qur'an:
"Artinya : Segolongan lain dari ahli Kitab
berkata kepada sesamanya: Perlihatkanlah
seolah-olah kamu beriman kepada apa yang
diturunkan kepada orang-orang yang beriman
(sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan
siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya
mereka (orang-orang Mukmin) kembali
(kepada kekafiran)". [Ali-Imran: 72]
Dan ucapan mereka bahwa masuknya
mereka ke kancah demokrasi itu adalah
refleksi perjuangan mereka, tidak dapat
dipercaya. Bukankah Allah telah mengatakan:
"Artinya : Orang-orang Yahudi dan Nashrani
tidak akan senang kepada kamu, hingga
kamu mengikuti agama mereka" [Al-
Baqarah: 120]
Lalu mengapa mereka saling bahu membahu
dengan orang-orang Yahudi dan Nashrani?
Apakah mereka menerapkan kaedah: saling
bertolong-tolongan pada perkara-perkara
yang disepakati dan saling toleransi pada
perkara- perkara yang diperselisihkan.
Tidakkah mereka takut pada firman Allah
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang
kafir menjadi wali dengan meninggalkan
orang-orang mu'min. Inginkah kamu
mengadakan alasan yang nyata bagi Allah
(untuk menyiksamu ?)". [An-Nisaa: 144]
[8]. Mereka mengatakan: Kami terjun dalam
kancah demokrasi karena alasan darurat.
Bantahannya: Darurat menurut Ushul yaitu:
keadaan yang menimpa seorang insan
berupa kesulitan bahaya dan kepayahan/
kesempitan, yang dikhawatirkan terjadinya
kemudharatan atau gangguan pada diri (jiwa)
, harta, akal, kehormatan dan agamanya.
Maka dibolehkan baginya perkara yang haram
(meninggalkan perkara yang wajib) atau
menunda pelaksanaannya untuk menolak
kemudharatan darinya, menurut batas-batas
yang dibolehkan syariat.
Lalu timbul pertanyaan kepada mereka: yang
dimaksud alasan itu, karena keadaan darurat
atau karena maslahat?.
Sebab maslahat tentu saja lebih luas dan
lebih umum ketimbang darurat. Jika dahulu
mereka katakan bahwa demokrasi itu atau
pemungutan suara itu hanyalah wasilah maka
berarti yang mereka lakukan tersebut
bukanlah karena darurat akan tetapi lebih
tepat dikatakan untuk mencari maslahat,
Maka terungkaplah bahwa ikut sertanya
mereka dalam kancah demokrasi tersebut
bukanlah karena darurat tapi hanya karena
sekedar mencari setitik maslahat.
[9]. Mereka mengatakan: Kami terpaksa
melakukannya, sebab jika tidak maka musuh
akan menyeret kami dan melarang kami
menegakkan hukum Islam dan melarang
kami shalat di masjid-masjid dan melarang
kami berbicara (berkhutbah).
Bantahannya: Mereka hanya dihantui
bayangan saja; atau mereka menyangka
kelangsungan da'wah kepada jalan Allah
hanya tergantung di tangan mereka saja.
Dengan itu mereka menyimpang dari manhaj
an-nabawi dalam berda'wah kepada Allah dan
dalam al-islah (perbaikan). Lalu mereka
menuduh orang-orang yang tetap berpegang
teguh pada as- Sunnah sebagai orang-orang
pengecut (orang-orang yang acuh tak acuh
terhadap nasib umat). Apakah itu yang
menyebabkan mereka membabi buta dan
gelap mata? Hendaknya mereka mengambil
pelajaran dari seorang sahabat yang mulia
yaitu Abu Dzar al-Giffari ketika Rasulullah
shalallahu 'alaihi wasallam berpesan
kepadanya:
"Artinya : Tetaplah kau di tempat engkau
jangan pergi kemana-mana sampai aku
mendatangimu. Kemudian. Rasulullah pergi di
kegelapan hingga lenyap dari pandangan, lalu
aku mendengar suara gemuruh. Maka aku
khawatir jika seseorang telah menghadang
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam, hingga
aku ingin mendatangi beliau. Tapi aku ingat
pesan beliau: tetaplah engkau di tempat
jangan kemana-mana, maka akupun tetap di
tempat tidak ke mana-mana. Hingga beliau
mendatangiku. Lalu aku berkata bahwa aku
telah mendengar suara gemuruh, sehingga
aku khawatir terhadap beliau, lalu aku
ceritakan kisahku. Lalu beliau berkata apakah
engkau mendengarnya?. Ya, kataku. Beliau
berkata itu adalah Jibril, yang telah berkata
kepadaku: barang siapa di antara umatmu
(umat Rasulullah) yang wafat dengan tidak
menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun,
akan masuk ke dalam surga. Aku bertanya,
walaupun dia berzina dan mencuri? Beliau
berkata, walaupun dia berzina dan mencuri".
[Mutafaqun alaih]
Lihatlah bagaimana keteguhan Abu Dzar al-
Ghifari terhadap pesan Rasulullah untuk tidak
bergeming dari tempat, walaupun dalam
sangkaan beliau, Rasulullah berada dalam
mara bahaya ! Bukankah hal tersebut gawat
dan genting. Suara gemuruh yang
mencemaskan beliau atas nasib Rasulullah
shalallahu 'alaihi wasallam. Namun apa
gerangan yang menahan Abu Dzar al-Ghifari
untuk menemui Rasulullah. Apakah beliau
takut, atau beliau pengecut, atau beliau acuh
tak uh akan nasib Rasulullah ? Tidak ! Sekali-
kali tidak! Tidak ada yang menahan beliau
melainkan pesan Rasulullah : tetaplah engkau
di tempat, jangan pergi ke mana-mana
hingga aku datang!.
Keteguhan beliau di atas garis as-Sunnah
telah mengalahkan (menundukkan)
pertimbangan akal dan perasaan! Beliau tidak
memilih melanggar pesan Rasulullah dengan
alasan ingin menyelamatkan beliau
shalallahu 'alaihi wasallam.
Kemudian kita lihat hasil keteguhan beliau
atas pesan Rasulullah shalallahu 'alaihi
wasallam berupa ilmu tentang tauhid yang
dibawa malaikat Jibril kepada Rasulullah
shalallahu 'alaihi wasallam. Kabar gembira
bagi para muwahhid (ahli tauhid) yaitu surga.
Seandainya beliau melanggar pesan
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam maka
belum tentu beliau mendapatkan ilmu
tersebut pada saat itu !!
Demikian pula dikatakan kepada mereka:
Kami tidak hendak melanggar as-Sunnah
dengan dalih menyelamatkan umat ! (Karena
keteguhan di atas as-Sunnah itulah yang akan
menyelamatkan ummat -red).
Berbahagialah ahlu sunnah (salafiyin) berkat
keteguhan mereka di atas as-Sunnah.
[10]. Mereka mengatakan: Bahwa mereka
mengikuti kancah pemunggutan suara untuk
memilih kemudharatan yang paling ringan.
Mereka juga berkata bahwa mereka
mengetahui hal itu adalah jelek, tapi ingin
mencari mudharat yang paling ringan demi
mewujudkan maslahat yang lebih besar.
Bantahannya: Apakah mereka menganggap
kekufuran dan syirik sebagai sesuatu yang
ringan kemudharatannya? Timbangan apa
yang mereka pakai untuk mengukur berat
ringannya suatu perkara? Apakah timbangan
akal dan hawa nafsu? Tidakkah mereka
mengetahui bahwa demokrasi itu adalah
sebuah kekufuran dan syirik produk Barat?
Lalu apakah ada yang lebih berat dosanya
selain kekufuran dan syirik.
Kemudian apakah mereka mengetahui
syarat-syarat dan batasan-batasan kaedah
"memilih kemudharatan yang paling ringan."
Jika jawaban mereka tidak mengetahui;
maka hal itu adalah musibah.
Jika jawabannya mereka mengetahui, maka
dikatakan kepada mereka: coba perhatikan
kembali syarat-syaratnya! Di antaranya:
[a]. Maslahat yang ingin diraih adalah nyata
(realistis) bukan sekedar perkiraan
(anggapan belaka). Kegagalan demi
kegagalan yang dialami oleh mereka yang
melibatkan di dalam kancah demokrasi itu
cukuplah sebagai bukti bahwa maslahat yang
mereka janjikan itu hanyalah khayalan dan
isapan jempol belaka.
[b]. Maslahat yang ingin dicapai harus lebih
besar dari mafsadah (kerusakan) yang
dilakukan, berdasarkan paham ahli ilmu. Jika
realita adalah kebalikannya yaitu maslahat
yang hendak dicapai lebih kecil ketimbang
mafsadah yang terjadi, maka kaedahnya
berganti menjadi:
Menolak mafsadah (kerusakan) lebih
didahulukan ketimbang mencari (mengambil)
mashlahat.
[c]. Tidak ada cara (jalan) lain untuk
mencapai maslahat tersebut melainkan
dengan melaksanakan mafsadah (kerusakan)
tersebut.
Syarat yang ketiga ini sungguh amat berat
untuk dipenuhi oleh mereka sebab
konsekuensinya adalah: tidak ada jalan lain
untuk menegakkan hukum Islam, kecuali
dengan jalan demokrasi tersebut. Sungguh
hal itu adalah kebathilan yang amat nyata!
Apakah mungkin manhaj Rasulullah shalallahu
'alaihi wasallam dalam ishlah (perbaikan)
divonis tidak layak dipakai untuk
menegakkan hukum Islam? Tidaklah kita
mengenal Islam, kecuali melalui beliau
shalallahu 'alaihi wasallam?
[11] Mereka mengatakan: Bahwa beberapa
Ulama ahlu sunnah telah berfatwa tentang
disyariatkannya pemungutan suara (pemilu)
ini seperti: Syeikh al-Albani, Bin Baz, Bin
Utsaimin. Lalu apakah kita menuduh mereka
(para ulama) hizbi ?
Jawabannya tentu saja tidakl Amat jauh para
ulama itu dari sangkaan mereka, karena
beberapa alasan:
[a]. Mereka adalah ulama dan pemimpin kita,
serta pemimpin da'wah yang penuh berkah
ini (da'wah salafiyah) dan pelindung Islam.
Kita tidak meneguk ilmu kecuali dari mereka.
Kita berlindung kepada Allah semoga
mereka tidak demikian (tidak hizbi)! Bahkan
sebaliknya, merekalah yang telah
memperingatkan umat dari bahaya hizbiyah.
Tidaklah umat selamat dari hizbiyah kecuali,
melalui nasihat-nasihat mereka setelah
taufiq dari Allah tentunya. Kitab-kitab dan
kaset-kaset mereka penuh dengan
peringatan tentang hizbiyah.
[b]. Para ulama berfatwa (memberi fatwa)
sesuai dengan kadar soal yang ditanyakan.
Bisa saja seorang datang kepada ulama dan
bertanya:
Ya Syeikh!, kami ingin menegakkan syariat
Allah dan kami tidak mampu kecuali melalui
pemungutan suara dengan tujuan untuk
mengenyahkan orang-orang sosialis dan
sekuler dari posisi mereka! Apakah boleh
kami memilih seorang yang shalih untuk
melaksanakan kepentingan ini? Demikianlah
soalnya!
Lain halnya seandainya bunyi soal : Ya Syeikh,
pemungutan suara itu menimbulkan
mafsadah (kerusakan) begini dan begini,
dengan menyebutkan sisi negatif yang
ditimbulkannya, maka niscaya jawabannya
akan lain. Mereka-mereka itu (yaitu hizbiyun
dan orang-orang yang terfitnah oleh hizbiyun)
mencari-cari talbis (tipu daya) terhadap para
ulama! Adapun dalil bahwa seorang alim
berfatwa berdasarkan apa yang ia dengar.
Dan sebuah fatwa ada kalanya keliru, adalah
dari sebuah hadits dari Ummu Salamah:
"Artinya : Sesungguhnya kalian akan
mengadukan pertengkaran di antara kalian
padaku, barang kali sebagian kalian lebih
pandai berdalih ketimbang lainnya. Barang
siapa yang telah aku putuskan baginya
dengan merebut hak saudaranya, maka yang
dia ambil itu hanyalah potongan dari api
neraka; hendaknya dia ambil atau dia
tinggalkan" [Mutafaqun alaih]
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam juga
telah memerintahkan kepada para qadi untuk
mendengarkan kedua belah pihak yang
bersengketa. Dalam sebuah hadits riwayat
Ahmad, Rasulullah berkata kepada Ali bin Abu
Thalib:
"Artinya : Wahai Ali jika menghadap kepada
engkau dua orang yang bersengketa,
janganlah engkau putuskan antara mereka
berdua, hingga engkau mendengar dari salah
satu pihak sebagaimana engkau
mendengarnya dari pihak lain. Sebab jika
engkau melakukan demikian, akan jelas bagi
engkau, putusan yang akan diambil". [Hadits
Riwayat Ahmad]
Oleh sebab itu kejahatan yang paling besar
yang dilakukan oleh seorang Muslim adalah
diharamkannya perkara-perkara yang
sebelumnya halal, disebabkan
pertanyaannya. Dalam sebuah hadits riwayat
Saad bin Abi Waqas radhiyallahu 'anhu,
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam
bersabda:
"Artinya : Sesungguhnya kejahatan seorang
Muslim yang paling besar adalah bertanya
tentang sebuah perkara yang belum
diharamkan. Lalu diharamkan disebabkan
pertanyaannya". [Mutafaqun Alaih]
Ibnu Thin berkata bahwa kejahatan yang
dimaksud adalah menyebabkan
kemudharatan atas kaum Muslimin
disebabkan pertanyaannya. Yaitu
menghalangi mereka dari perkara-perkara
halal sebelum pertanyaannya.
Hendaknya orang-orang yang melakukan
tindakan berbahaya seperti ini bertaubat
kepada Allah. Dan para tokoh kaum Muslimin
agar berhati-hati terhadap orang-orang
semacam itu.
[c]. Lalu bagaimana sikap mereka (para
Hizbiyin) tatkala telah jelas bahwa bagi para
Ulama, demokrasi dan pemilihan suara ini
adalah haram disebabkan mafsadah yang
ditimbulkannya. Apakah mereka akan
mengundurkan diri dari kancah demokrasi
dan pemilu itu? atau mereka tetap nekat.
Realita menunjukkan bahwa mereka hanya
memancing di air keruh. Mereka hanya
mencari keuntungan untuk golongannya saja
dari fatwa para ulama. Terbukti jika fatwa
ulama tidak menguntungkan golongan
mereka, maka merekapun menghujatnya
dengan berbagai macam pelecehan. Wallahu
a'lam.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Th.
III/1420-1999. Disadur dari kitab Tanwiir adz-
Dzulumat tulisan Abu Nashr Muhammad bin
Abdillah al-Imam dan kitab Madarik an-Nazhar
Fi Siasah tulisan Abdul Malik Ramadhani]