Jumat, 14 April 2017

Masjid Jakarta: Dari Kebayoran Sampai Daan Mogot



Amar Ar-Risalah

Suatu hari, di tengah kerasnya perdebatan antara komunisme dan islam tentang dasar-dasar negara ini, Buya Hamka, tergerak untuk membangun sebuah masjid besar di kawasan Kebayoran Baru.

Tahun 1953. Batu pertama diletakkan tepat pada 19 November. Kala itu, tokoh-tokoh Masyumi yang ada sedang bersaing keras di parlemen melawan kekuatan PKI yang pada waktu itu nyata memusuhi tokoh islam. Baik di jalanan, maupun di parlemen.

Setahun sebelum masjid ini dimulai dibangun, terjadi razia Agustus 1951: pembersihan pemerintahan dan bahkan aparat desa dari anasir PKI dan DI TII, oleh kabinet yang diisi orang-orang Masyumi. Razia ini menuai kecaman dan menjadi front miniatur perang sipil.

Yang terjadi kemudian, 1952 hingga 1953, ketika Natsir memberikan pandangan terhadap kinerja pemerintah dalam sebuah sidang di Agustus itu, ia mengatakan dengan jelas bahwa negara di ambang perang dan kekacauan karena komunisme.

Masjid Al-Azhar diresmikan lada 1958, tepat 4 tahun ketika fatwa Masyumi, terkait vonis Kafir bagi penganut ajaran komunisme secara sadar, dijatuhkan. Jenazah mereka tidak boleh  dishalatkan. Kala itu, MUI belum ada  dan Masyumi bisa dikatakan sebagai wadah para ulama.

Tetapi, umat islam, ridho terhadap masjid ini. Para ulama bertahan dengan cemoohan "Neo-Masyumi", " Hamkaisme", dan sejenisnya. Masjid ini menjadi garis pertahanan yang kuat sekali.


Dalam waktu yang relatif bersamaan, 1951, batu pertama pembukaan tanah Masjid Istiqlal diletakkan Presiden Soekarno, di atas reruntuhan benteng Belanda, Wilhelmina.  Di bayang-bayang yang sama, perseteruan kaum Agama, Nasionalis, dam Komunis, masjid ini terus dibangun.

Fx Silaban, arsiteknya, adalah seorang protestan pribumi, dan tidak memiliki tendens apapun. Masjid ini tidak diklaim sebagai karya agungnya. Tidak pula diklaim sebagai bukti toleransi Soekarno, karena dibangun antara Gereja Immanuel dan Gereja Katedral. Tak ada buzzer. Tak ada citra.

Di tengah silang sengkarut politik, bayang-bayang disintegrasi kalangan Kristen dari Indonesia karena Piagam Jakarta: Masjid ini, diridhoi masyarakat. Diridhoi baik NU maupun Muhammadiyah, dengan Masyumi sebagai payung besarnya.

Pembangunan Taman Mini Indonesia Indah, yang dianggap sebagai pemborosan, tak juga mengurangi keridhoan umat terhadap pembangunan Masjid Agung At-Tin yang dimulai pada 1997.

Masjid ini menjadi saksi betapa cintanya Presiden Soeharto pada istrinya. Kontroversi yang ada, bukanlah pada siapa pembangunnya. Tapi, kondisi ekonomi kita yang melorot. Orang tahu masjid ini milik Yayasan pribadi keluarga cendana. Tapi, tak digunakan bagi pencitraan jelang pemilihan.

Tetapi, umat tetap ridho. Tak ada kebencian pada Soeharto akibat masjid ini. Orang leluasa beribadah dan bermalam di sana. Hingga kini.

Hanya sebulan setelah Masjid At-Tin diresmikan, sejarah mencatat salah satu lokalisasi terbesar di Indonesia dengan lebih dari 1600 PSK, ditutup. Kramat Tunggak namanya. Di Jakarta Utara.

Empat tahun kemudian, pada lahan kosong itu, Gubernur Sutiyoso dengan kelapangannya menerima masukan dari para ulama, membangun sebuah islamic center dengan masjid yang sangat megah. Umat, sangat ridho. Bahkan sangat ridho.

Tak pernah ada yang menyebut, ini jasa Sutiyoso. Bagi muslim, ibadah membangun masjid, adalah sesuatu yang suci. tak perlu dibanggakan sebagai karya diri.

Kemudian, lewat 13 tahun kemudian, di sebuah daerah di Jalan Daan Mogot, dibangun masjid yang akan diberi nama Masjid KH Hasyim Asy'ari.

Ya, ulama yang pernah menyerukan Resolusi Jihad mengusir penjajah kafir dari darul islam, berpuluh tahun lalu. Ulama yang tak bisa dibeli dengan apapun. Ulama yang keras penolakannya pada penjajahan bangsa asing.

Hanya masalahnya, umat tidak ridho. Masjid Al-Azhar, Istiqlal, At-Tin, Kramat Tunggak, dan lain-lain tidak dibangun dengan ungkapan-ungkapan bangga diri dan menghina ulama.

Masjid-masjid itu justru menjadi benteng para ulama dari segala anasir yang hendak hancurkan apa yang dibangun umat islam di negeri ini.

Masjid ini, justru digunakan para pendukung pasangan calon pemimpin Jakarta untuk mencibir ulama. Untuk memecah belah persatuan islam.

Maka, jika Umat islam tidak ridho, akan khusyukkah mereka yang shalat di dalamnya? Akan bebaskah kita dari perbuatan keji dan mungkar, ketika kita shalat di tempat yang dibangun, oleh orang yang sama yang memusuhi islam?

Tidak. Umat tidak ridho. "Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan tidak takut apapun kecuali Allah..."

Pojok Jakarta, 15 April 2017

Rabu, 05 April 2017

Menyelami Sejarah Nabi dalam Sebuah Novel: Apresiasi Untuk Sibel Eraslan

Di tangan saya, novel karya pengarang Turki, Sibel Eraslan ini sudah menghabiskan waktu empat jam bersama saya. Sesuai janji saya, ada harga yang harus ditebus untuk membacanya. Sebuah catatan pembacaan. Catatan kecil saja. buat yang meminjamkan buku ini dengan sepenuh hati.

Jangan anggap ini sebuah kritik ilmiah, kritik post modern, atau sebuah tafsir atas kisah nabi. Ini murni adalah sebuah interpretasi dan cara saya menghargai pekerjaan tangan Sibel Eraslan, dan membacanya dengan sepenuh hati.

Buku ini adalah bagian dari serial 4 wanita penghuni surga sebagaimana yang digambarkan dalam sebuah hadits sahih. Maryam, Asiyah, Khadijah, dan Fathimah. Diterjemahkan dengan baik dari bahasa Turki pada 2013, publik Indonesia menyambut dengan baik kehadiran  novel ini.

Khadijah. Ibunda Kaum Muslimin. Ia menempati tempat khusus dalam hati Nabi kita. Darinya, Nabi mendapatkan keturunan dan hingga kini masih lestari nasabnya. Akan tetapi, sebagaimana diakui para sejarawan, literatur maupun tradisi lisan pada masa sebelum hijrah atau kenabian Rasulullah di Makkah, terbilang langka. Kelangkaan ini disebabkan berbagai hal.

Akan tetapi, bukan berarti hal ini tidak mungkin dicari. Upaya-upaya untuk menebak dan mengisi ruang kosong dalam sejarah Nabi inilah yang kemudian merangsang banyak penulis orientalis maupun muslim untuk merekaulang kisah Nabi.

Saya kira, di ruang kosong inilah Sibel Eraslan maupun pengarang lainnya bermain. Menjadi novelis memang seperti detektif. Ketika ada suatu kejadian, misalnya Nabi menikahi Khadijah, maka imajinasi kita berjalan. Siapakah penghulunya? Bagaimana suasana pestanya? Bagaimana sambutan orang-orang Makkah di sana?

Khusus mengenai Ibunda Khadijah, literatur tentang beliau cukup terbatas kecuali yang dituturkan oleh Nabi sendiri dan beberapa orang. Sirah Ibnu Hisyam cukup lengkap mengulas tentang sosok beliau, akan tetapi dirasa masih kurang sebagai data sejarah.

Persoalan mengangkat kisah Rasulullah menjadi sebuah karya fiksi, atau kemudian para sahabat dan sahabiyahnya, merupakan persoalan yang tidak gampang. Salah interpretasi akan berakibat serius pada hal-hal fikih atau motif jihad. Apalagi, jika kita terpancing menulis sesuatu yang tidak jelas kejadiannya terkait dengan diri Rasulullah.

Husain Haikal pernah mendapatkan ulasan cukup keras dari Dr. Akram Dhiya’ Al-Umari. Karyanya, Hayatu Muhammad, dianggap terlalu berusaha menarik garis tengah antara ulasan cendekiawan non muslim terhadap kisah-kisah Rasulullah dengan penjelasan para ulama, utamanya dalam kisah-kisah pernikahan maupun peperangan Rasulullah. Di sinilah, kehati-hatian menjadi penting.

Tapi, lupakan tulisan saya di atas. Saya rasa terlalu panjang jika kita membahas itu sekarang. Terus bagaimana dengan novel Khadijah ini? lagi-lagi, mungkin Khadijah sendiri tak pernah membayangkan dirinya akan menjadi tokoh sebuah novel.

Ketika sosok Sahabiyah dijadikan tokoh sebuah novel, miss interpretation akan sangat mungkin terjadi. Terutama, hal-hal apa yang mendasari motif tindakan beliau, atau mekanisme pertahanan ego yang bagaimana yang terjadi dalam benak beliau sehingga mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang ditulis dalam novel ini.

Nah, interpretasi atas tindakan Khadijah dalam novel ini menarik, dan dari titik inilah kita akan membahasnya. Ya ampun. Sebetulnya saya hendak menulis paragraf di atas tetapi butuh sekian paragraf untuk mencapainya.
*


Tanpa mengecilkan peran Makkah, sebelum membahas tokoh Khadijah dan Rasulullah, saya hendak mengupas apa yang ditulis Sibel  pada halaman 5.

“Mekah, yang pada waktu itu merupakan pusat (esperantos) baik bagi agama Yahudi, Nasrani, penyembah api, pagan, maupun hanafi, seolah merupakan batu  akik di tengah-tengah cincin jalur perdagangan India, Eropa, dan Laut Mediterania...”

Dan sambungan pada halaman 7, “...Namun yang terjadi sepanjang sejarah, Yaman dan Mekah adalah dua negara yang selalu bersaing."

Lalu ungkapan pada halaman yang sama, “Musim panas sudah datang, kapan kita akan mengunjungi rumah peristirahatan yang ada di Yaman?”

Di halaman-halaman awal, dengan mudah kita temukan anakroni. Makkah, memang dijuluki Ibu Segala Kota. Akan tetapi ia tetaplah sebuah kota kecil. Pusat kaum Yahudi dan Nasrani bukan di Makkah, tetapi di Syam. Nasrani Arab berkumpul di Yaman atau Najran di Utara, sedangkan Yahudi Arab yang terdiri dari Banu Nadhir, Quraidhah, Ghatafan, Qainuqa’, dan lain-lain menetap di Yastrib dan Thaif.

Itu sebabnya, dalam kegiatan dakwah periode Makiyah, kita tidak menjumpai interaksi dengan kaum Yahudi ataupun Nasrani dengan intens sebagaimana yang ditemui di Madinah. Justru, itu pula sebabnya kaum Quraiys tidak akrab dengan nabi baru atau ciri-ciri yang menyertainya, berbeda dengan masyarakat Anshar di Makkah yang mendengar itu dari tetangganya, kaum Yahudi.

Makkah bukanlah suatu kota dengan pemerintahan, yang kemudian punya motif tertentu untuk bersaing dengan kekuatan besar di sekitarnya. Sebagai kota dagang, justru kepentingan para saudagar di Makkah adalah membuat kota ini aman dan bersahabat untuk semua kubu. Jelas, kala itu, sebagaimana diabadikan dalam Surat Rum ayat pertama hingga kedua, persaingan Kerajaan Romawi dengan Persia begitu kuat dan Makkah bukanlah sesuatu yang bisa disebut.

Penggambaran Makkah yang kurang hati-hati dari Sibel, mungkin bisa dibandingkan dengan bab-bab awal yang dituliskan Ibnu Hisyam dalam sirohnya, yang cukup menggambarkan struktur sosial serta puisi-puisi yang menjelaskan keadaan Makkah pada waktu itu.

Justru dalam surat Al-Quraiys, dikatakan Allah “mengamankan mereka dari rasa takut.” Ini dimaksudkan, posisi Makkah yang tidak bersaing dengan kota manapun. Justru Yamanpun tidak berpikir menguasai Makkah, karena itu akan menghambat dan memutus mata rantai perdagangan antar negara.

Sebab, Makkah justru hidup dari kebebasannya untuk melintasi wilayah Persia maupun Romawi yang sedang bertikai sebagai agen dari komoditas daerah-daerah yang dilintasinya itu. tak heran, leluhur Rasulullah, para putera Qushay dikisahkan oleh Ibnu Ishaq, memiliki perjanjian langsung dengan Kisra, Kaisar Romawi, Najasyi Habasyah, dan penguasa Yaman sekaligus, padahal daerah itu sedang bertikai.

Dalam surat Al-Quraisy pula kita akan menjumpai istilah Ilaf dan Rihlah. Dr. Akram Dhiya’ Al-Umari dalam Shahih Sirah Nabawiyah menjelaskan, bahwa rihlah atau perjalanan dagang Quraisy ini, jika musim panas datang mereka akan berangkat ke utara, bukan ke selatan. Sebab, utara lebih sejuk. Mereka akan ke selatan jika musim dingin tiba, dan menikmati udara selatan yang lebih hangat.

Mungkin saja keluarga Khadijah dalam cerita ini memiliki rumah peristirahatan di Yaman. Akan tetapi, musim panas bukanlah motif yang tepat untuk menginterpretasikan keinginan mereka pergi ke Yaman. Anakroni mengenai Makkah ini saya rasa sudah kelewat jauh dari gambaran seharusnya.

Secara khusus, kita akan menjumpai gambaran yang lebih aneh lagi mengenai Makkah dan penghuninya. Digambarkan pada halaman-halaman selanjutnya bahwa rumah Khadijah adalah sebuah bangunan dengan pagar dan balkon, dan disinari banyak lampu pada malam hari.

Ini cukup aneh. Sebab tidak seperti gambaran di negara lain, rumah di Makkah pada zaman Rasul tidak memiliki pagar, atau tidak umum berpagar. Apalagi, dalam gambaran ini, seolah-olah Makkah adalah tempat penuh pohon dan taman di mana-mana. Padahal, Makkah sendiri adalah daerah kering dan tidak memiliki kesuburan untuk bisa ditumbuhi tanaman tertentu.

Nanti, pada halaman lain kita akan jumpai keanehan-keanehan yang berlanjut. Misalnya, digambarkan bahwa disajikan “anggur yang baru dipetik” di hadapan Khadijah. Pertanyaannya, di Makkah, adakah kebun anggur? Jika ada, kenapa tidak ada profesi petani dan pekebun di Makkah?

Gambaran yang aneh tentang Makkah ini sebetulnya mungkin hadir untuk melengkapi (memperindah) gubahan-gubahan puitik dalam paragraf novel ini. akan tetapi, demikianlah karya sastra. Ia butuh rasa puitika tetapi juga bergerak dalam batas keanggunan sebuah kenyataan.
*

Setelah sedikit mengulas mengenai gambaran kota Makkah, kita akan mengulas mengenai diri pribadi Khadijah. Mengenai betapa lemahnya Khadijah digambarkan dalam novel ini, saya jadi membayangkan beliau radhiallahu ‘anh adalah sosok akhwat masa kini yang galaunya setengah mati sampai keujung dunia ketiban bulan dan tenggelam di lautan api.

Misalnya, adegan yang cukup mengganggu didapati pada halaman 114. “Pernahkah dirinya menuliskan dalam buku hariannya beberapa hal untuk ia yakinkan sendiri di dalam jiwanya, seperti:...” mana ada buku harian di zaman itu? Makkah, adalah tempat yang nirbaca dan nir aksara. Dan, tentu jelas bahwa kala itu—silakan cari dalam literatur sirah yang ada—kertas bukanlah barang umum di Makkah.

Pada halaman-halaman selanjutnya, asesoris untuk mempersedih diri Khadijah dipenuhi anakroni yang melintasi ruang dan waktu terlalu parah. “Seolah malaikat penjaga hari kiamat telah meniup sangkakalanya...” mereka yang mempelajari ilmu tafsir sekaligus sirah akan memahami, konsep kiamat, dan kemudian penjelasannya sebagai hari kehancuran total dan kebangkitan, tidaklah dikenal dalam lingkungan Makkah Jahiliyah.

Bahkan istilah Shuur sebagai terompet tanduk yang ditiup Israfil bagi kiamat tiba, adalah istilah yang asing sehingga banyak muslim yang bertanya pada Rasulullah. Sekarang, bahkan Khadijah sudah mempertanyakannya sebelum Muhammad diutus menjadi Nabi!

“Keadaan seperti inilah yang menjadikan sekujur tubuhnya menggigil bagai terjangkit malaria....” ini lebih parah. Sebab, bahkan penyakit khas tropis dibayangkan oleh benak Khadijah. Perumpamaan semacam ini tidak akan muncul, jika benak Khadijah turut direkonstruksi dan dekonstruksi secara normal dan dewasa.

Gagal rekonstruksi. Sebut saja begitu. Hal ini kemudian ditambah lagi dalam paragraf puitik yang bagi saya terlalu berbuih-buih, dalam halaman 124. “Bagi Khadijah, kini setiap benda telah menuliskan huruf Mim. Setiap benih bunga mawar yang ia tanam di taman, setiap anak biri-biri yang lahir di peternakannya, burung-burung yang sering hinggap di pekarangannya, ikan-ikan yang ada di kolam taman rumahnya, di sisirnya yang terbuat dari gading, di cincinnya yang terbuat dari permata, di penanya....”

Paragraf di atas menampilkan kecelakaan rekonstruksi benak tokoh, yang bahkan lahir di jazirah Arab yang panas. Gambaran semacam di atas, kemungkinannya sangat kecil untuk dibayangkan di benak seorang puteri Quraisy yang biasa menghadapi gunung pasir dan kekeringan. Bahkan, dari mana gambaran kolam taman rumahnya, atau benih bunga mawar itu hadir? Makkah adalah sebuah kota kering yang bersih dari pohonan.

Rekonstruksi benak dan peristiwa mengenai diri Khadijah lebih jauh lagi kerancuannya dalam bab Hikayat Sebuah Kendi, pada halaman 180 hingga akhir bab. Khadijah digambarkan sebagai perempuan yang begitu larut dalam kerinduannya. Bertentangan dengan kedewasaan yang telah ia pertunjukkan selama ini.

Meski niat pengarang mungkin untuk membuat dekonstruksi, tetapi caranya menggambarkan rindu terlalu kekinian, saya rasa. Apalagi, puisi yang—digambarkan—digubah Khadijah dalam benaknya, pada halaman 184 hingga 186 untuk menggambarkan kerinduan, tidak match dikatakan sebagai puisi rindu seorang perempuan dewasa padang pasir. Kita bicara mengenai kota di tengah lintasan pasir, yang tidak mengenal bunga tulip, buku, bunga serunai, kijang, bunga teratai, bulan April, dan lain-lain.

Tanpa puisi inipun, gambaran Khadijah yang hujan-hujanan di balkon rumahnya sudah sangat aneh dan agak sulit dibayangkan.  Meski begitu, caranya menempatkan puisi mengingatkan saya pada buku-buku karangan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.

Rekonstruksi suatu tokoh sejarah menjadi tokoh fiksi novel, terutama tokoh yang berpengaruh bagi  sebuah agama, bagi saya musti ditempatkan secara adil. Selain rekonstruksi fisik dan rekonstruksi lingkungan, jelas rekonstruksi benak pikir begitu penting diperhatikan. Sebab, inilah yang kelak menjadi motif tindakan si tokoh untuk berbuat dan berbicara. Apa yang dia ingat? Kenapa dia mengingat itu? bagaimana dia mendapatkan ingatan itu?

Penggambaran ini kiranya juga mengancam pribadi Khadijah sebagai tokoh utama dalam novel ini. sebab, Sibel membuktikan bahwa wanita jauh di bawah laki-laki. Ketika wanita diterjang rindu, bahkan mereka melakukan hal-hal aneh dan mungkin terkesan hiperbol.
*

Yang lebih asik dibahas sebetulnya mengenai fakta—tepatnya perkiraan sejarah—mengenai usia Khadijah terhadap Tahun Gajah. Sibel dengan berani menembak angka 15 tahun bagi Khadijah ketika peristiwa ini terjadi. Tentu dengan—harapan saya—pertimbangan dan perhitungan yang matang.

Al-Bidayah wan Nihayah Ibnu Katsir menyebutkan perbedaan yang banyak mengenai kapankah tahun lahir Nabi Muhammad terhadap Tahun Gajah.  Yang jelas, tidak satupun mengarah pada tepat tahun gajah. Apa sebabnya?

Sebelum masa Hijrah yang menjadi pangkal penanggalan islam dan Arab oleh Umar bin Khattab, bangsa Arab Quraisy tidak mengenal tahun. Ini juga yang menjadi kesulitan dalam menetapkan usia berbagai tokoh, termasuk, usia Khadijah sendiri. Mungkin, Sibel berasumsi begini: usia Nabi ketika menikah dengan Khadijah, adalah 25. Usia Khadijah yang masyhur, adalah 40. Maka, ada selisih 15 tahun. Artinya, ketika Tahun Gajah, usia beliau 15 tahun. Praktis bukan?

Tunggu dulu. Para sejarawan tidak sepakat mengenai ketepatan Tahun Gajah terhadap kelahiran Rasul disebabkan tidak akuratnya penanggalan sebelum hijrah. Di tambah lagi, ada perbedaan mengenai usia Khadijah ketika menikah dengan Nabi, yaitu 40, atau 28 dan dua pendapat ini sama kuatnya. Ingat, pendapat yang masyhur atau terkenal belum tentu pendapat yang benar.

Dan spekulasi usia Khadijah adalah 15 tahun saat terjadinya Tahun Gajah, apalagi menempatkan Khadijah sebagai saksi dari peristiwa itu, adalah keberanian yang beresiko. Dalam hal ini, kita tidak bisa berlindung di balik tabir interpretasi sebuah novel yang bisa saja fiksi. Sebab, sampai hari ini tidak ada kepastian kapankah tahun gajah itu terjadi dalam penanggalan hijri maupun Masehi.

Akan tetapi, interpretasi cukup menarik ditemukan pada gambaran bab Kabar Gembira, tepatnya di halaman 170. Pada Makkah Jahiliyah, memiliki anak laki-laki adalah kebanggaan tak terkira bagi sebuah keluarga. Apalagi, jika kemudian nama sang ayah bergelar menjadi “Abal Qasim.” 

Gambaran Sibel cukup menarik, sebab Nabi Muhammad—sebelum menjadi Rasul—mendapatkan kebanggaan dengan kelahiran Qasim, putera pertamanya.

Akan tetapi, kisah ini rupanya tak dibiarkan bertahan lama menjadi keunggulan novel Sibel. Kisah diangkatnya Zaid bin Haritsah ternyata tidak digarap dengan manis. Ia terburu-buru menggambarkan Nabi Muhammad begitu saja mengangkat Zaid sebagai anak kandung dan mengumumkannya di Ka’bah.

Padahal kita tahu, di balik itu ada sebuah kisah panjang, ketika  Zaid, kala itu masih menjadi seorang budak, dicari oleh ayahnya yang ternyata tidak sengaja menemukannya sebagai budak di Makkah. Akan tetapi, karena kebaikan Nabi, Zaid menolak pulang. Dengan peristiwa ini, maka Zaid diangkat sebagai anak dan dikenal sebagai Zaid bin Muhammad.

Dan kemudian memang, sayang sekali kisah keibuan Khadijah terhadap Zaid, Ali, maupun anak-anak kandungnya kurang digarap. Justru Sibel fokus berpepatah petitih dengan kisah cinta yang haru-biru antara Khadijah dengan diri Muhammad muda. Sayangnya Sibel malah tidak bisa mengendalikan sisi puitikanya sehingga Khadijah tampak semakin lemah, dan semakin lemah untuk ukuran perempuan yang bisa menenangkan Rasulullah ketika menerima tugas dakwah.

Dan justru, keunikann penggambaran—sekaligus anakroni paling mengesankan—ada pada bab Yang Datang dan Tak Pergi. Pada halaman 239, dituliskan bahwa seolah rumah Khadijah dan Muhammad adalah sebuah madrasah. “Ketika kehilangan ayahnya di umur yang masih muda, dia dibesarkan oleh Khadijah dan Al-Amin. Zubair pun bersama dengan anak-anak lainnya didaftarkan di madrasah milik Khadijah.”

Saya tidak mengetahui apakah ini salah terjemah, ataupun memang dibuat seolah-olah kita percaya bahwa di rumah Khadijah ada sebuah madrasah, atau minimal kegiatannya seperti yang bisa dibayangkan hari ini: beberapa anak kecil diajar mengaji atau calistung di rumah, setiap habis maghrib.

Sebab, konsekuensinya serius. Berarti, tak hanya di rumah Khadijah, maka di rumah-rumah lain ada sekolah serupa. Meskipun gambaran ini nampaknya berlebihan, ini akan membuat kerancuan dalam rekonstruksi masyarakat pada masa muda Nabi Muhammad. Gambaran mengenai sekolah ini muncul lagi pada halaman 242.

Saya sendiri memang tertarik pada suasana rumah Nabi Muhammad di Makkah. Bagaimana kemudian Zaid, Ali, Fathimah, Ummu Kultsum, Ruqayyah, dan Zainab dibesarkan bersama dan diajari bermacam hal hingga menjadi pribadi yang luar biasa.

Perselisihan gambaran Sibel dengan sejarah muncul lagi terkait dekonstruksinya mengenai kisah tahannuts di Gua Hira. Dari teks sejarah yang ada, kita tahu bahwa Uzlah dan Tahannuts untuk beribadah adalah sisa peninggalan Nabi Ibrahim yang masih ada di Makkah pada zaman jahiliyah. Akan tetapi upaya merekonstruksi kisah pertemuan Muhammad dan Khadijah dengan pelaku tahannuts lain, dan bagaimana interaksi mereka, merupakan gambaran yang juga menarik, sekaligus berbahaya jika tidak dipikirkan masak-masak.

Utamanya, kisah uzlah ini merupakan kisah yang tidak umum di tengah masyarakat. Memang sebagian orang Makkah punya tradisi uzlah akan tetapi mengenai interaksi Khadijah dengan pelaku uzlah lain, tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Kita tetap harus memberikan penilaian adil. Saya menikmati—dan terutama terhanyut—pada kisah bagaimana dramatisnya perubahan rumah tangga Rasulullah pasca menerima kenabian. Jelas, pada usia 40, dengan anak yang sudah dewasa, istri yang sempurna, tanggungjawab sebagai Nabi menuntut revolusi. Anak-anak Nabi Muhammad yang tadinya adalah kembang, mesti dihinakan oleh orang musyrik. Khadijah yang tidak pernah membayangkan cobaan sedemikian kuat datang, mesti bersabar menghadapinya.

Muhammad; yang tadinya seorang yang sangat mulia di Makkah, menjadi orang paling diburu dan diinginkan kematiannya. Sisi ini, sangat baik digambarkan oleh Sibel. Betapa Khadijah dan anak-anak perempuan beliau menghadapi ini semua dengan tabah. Betapa keluarga Muhammad, adalah keluarga yang luar biasa.
*

Saya kira orang akan bilang, “Berlebihan. Nikmati saja novel ini sebagai novel.” Bagi saya, inilah cara yang asyik menikmati novel mengenai orang yang paling kita cintai, sosok Nabi Muhammad. Ketika menulis mengenai sesuatu atau seorang  tokoh yang ada referensnya dalam segitiga makna Saussure di dunia nyata, bersiaplah berhadapan dengan logika dan fakta sejarah.

Sebagai sebuah dekonstruksi, Sibel telah berani menggambarkan yang tersembunyi dari teks-teks mengenai Khadijah dan masa-masa periode Makkah. Akan tetapi, sisi hiperbol sebuah karya, menjebaknya menggambar kisah itu keluar batas logika hingga anakroni menumpuk di dalamnya.

Harus sebagai apa kita menghadapi karya Sibel ini? sebagai novel yang punya elastisitas terhadap penulisan sejarah, atau sebagai teks interpretasi terhadap siroh Nabawiyah yang kaku dan amat ilmiah?

Sebab lagi-lagi ini kembali pada kebenaran kisah dan kemudian aspek fikih setelahnya, yang muncul akibat luhurnya posisi kisah Nabi terhadap agama ini. Sebagaimana diulas oleh Muhammad Rasyid Ridha dalam Wahyul Muhammady, para orientalis barat yang mengadakan penelitian terhadap siroh nabawiyah tenggelam pada interpretasi yang anakroni, seperti menggunakan standar masa kini untuk masa kerasulan Nabi Muhammad, ataupun mengadakan kebohongan bagi menafsirkan hukum islam, dengan tujuan melemahkan kita.

Ini kembali pada etika, baik penulis maupun pembaca, untuk menggambarkan diri pribadi Rasulullah dan sahabat-sahabatnya. Kiranya, etika semacam ini juga absurd. Kita hanya bisa mengira-ngira motif dan jalan pikiran tokoh-tokoh sejarah tanpa suatu pembenaran yang pasti. Kita saksikan bagaimana Husain Haikal mengabadikan perdebatan mengenai kisah Gharaniq yang menyertai turunnya surat An-Najm, atau seputar baiat Khilafah Abu Bakr As-Shiddiq. Bagi pembaca Sibel, berhati-hatilah, sekaligus nikmatilah novel ini.

Sepertinya di awal saya bicara soal mekanisme pertahanan ego, yang sampai detik ini belum terbahas. Tapi biar saja. ini bukan skripsi. Ini sebuah apresiasi. Mengenai pertahanan ego, saya rasa penggambaran Khadijah memang kurang konsisten dan sisi perempuan yang dimiliki Khadijah, sangat meledak-ledak. Sangat mudah rindu, dan penggambaran patriarkis lain.

Sibel adalah pengarang Turki. Maka caranya menulis, dirasa lain dari karya Tasaro GK, dalam serial Muhammad 1-3, atau karya-karya serupa. Perumpamaan yang ada di dalamnya memang segar. Khadijah menjadi sudut pandang orang kedua pelaku utama yang menyaksikan secara close-up masa awal Kenabian. Menakjubkan sekali, pengalaman batin wanita ini.

Cara Sibel bercerita memang akhwat banget, tapi saya rasa aspek sejarah bagi mereka yang berekspektasi lebih, harus diperhatikan. Dalam novel setebal 388 halaman ini, sesungguhnya kita bisa menulis ringkasan ceritanya hanya dalam 15 halaman. Sisanya adalah luapan hiperbolik yang kurang perlu, atau justru, itulah isi novel ini. apa salahnya, bukan.

Kehadiran sosok Berenis, Dujayah, dan lain-lain merupakan keberanian, dan keindahan tersendiri dari Sibel, yang meskipun terkesan lepas dari cerita utama, namun memperkaya khazanah novel ini. penokohan mereka kurang tergarap, memang, karena bayang-bayang penggambaran ego dan id Khadijah dalam novel ini—mungkin—menghantui dan membebani Sibel.

Untuk ukuran sosok sekaliber Nabi Muhammad, teks sejarah yang ada terbilang kurang bisa dinikmati kalangan luas. Sejauh ini, selain upaya dari Husain Haikal dalam Hayatu Muhammad dan KH. Moenawar Chalil dengan Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, belum ada upaya penulisan sejarah. Yang ada, penulisan bahan sejarah yang belum dirangkai sebagai bacaan yang mengasyikkan.

Maka, upaya Sibel ini, termasuk juga Tasaro GK, patut diapresiasi. Di tengah bacaan tentang siroh yang cenderung berat dan parsial, hadir novel ini. Kita mungkin hanya kaget dengan keberanian Sibel menginterpretasi kepribadian Khadijah dari berbagai sisi, namun di sinilah justru terbuka peluang bahwa: ternyata sejarah Nabi kita sendiri mungkin belum banyak dibaca. Belum banyak didekonstruksi sebagai kisah yang luarbiasa. Kita masih menghadapinya sebagai bacaan berat yang tak layak didiskusikan di ruang santai.

Ratusan kitab siroh sudah ditulis para ulama, dari yang tidak kronologis sampai yang berupa kitab fikih. Tapi, belum banyak yang ditulis sebagai sebuah saga, atau sebuah catatan penuh hikmah, agar bahasa-bahasa itu sampai ke lubuk hati umat islam dengan lebih kuat. agar anak-anak mencintai nabinya. Agar para ayah dan suami menirunya, tak hanya di dalam masjid.

Bagaimana jika, dituliskan Nabi sebagai seorang suami, Nabi sebagai seorang yatim, dan seterusnya: kemudian novel ini, Khadijah sebagai sosok istri dari laki-laki luar biasa, apa yang ia rasakan, begitulah interpretasi bermain di ruang sastra.

Lagipula, ini soal selera saja. shalawat, mari kita panjatkan untuk Nabi Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya, shallu ‘alaih!



Daftar Bacaan:
Sibel Eraslan, Khadijah, Kaysa Media, Depok, 2014
Al-Bidayah wan Nihayah Ibnu Katsir
Sirah Ibnu Hisyam (The Life of Muhammad), terj. Alfred Guillaume, Oxford University Press, Karachi, 1998.
Silsilah Hadits Sahih, Nashiruddin Al-Albany, Jilid 1-3
Sejarah Hidup Muhammad, Muhammad Husain Haikal
Shahih Sirah Nabawiyah, Dr. Akram Dhiya’ Al-Umari, 2010, Jakarta, Pustaka As-Sunnah


Jumat, 10 Februari 2017

SAJAK 112


Bagaimana bisa lisan yang digunakan mencela ulama
Masih bertakbir dan berzikir
Masih merengek dan meminta
Pada Tuhan yang Maha Esa
Bagaimana bisa kau memperdengarkan kalimat-kalimat hina pada-Nya
Bersamaan dengan kau memuji dan berdoa
Kau punya seragam anti peluru
Kau punya kendaraan lapis baja
Kau punya pasukan-pasukan anjing setia
Adakah kau punya seragam penolak kematian dan siksa
Adakah kau punya perisai kebal dari doa-doa orang miskin dan papa
Pada hari ketika pembelaan atasan tidak berguna
Kau akan jawab apa
Ketika mulut dikunci
Kau akan jawab apa

Kau akan diteror rasa bersalah yang menggigil
Setiap kali takbiratul ihram dikumandangkan sang Imam
Kau akan diburu rasa takut; pada selain Allah
Kau akan dikejar-kejar perasaan itu setiap mendengar takbir dan azan
Jutaan orang di negeri ini akan minta tolong pada Allah dengan shalatnya
Dari kejahatan shalatmu. Tak ada
Tak ada gunanya bintang-bintang di bahumu
Tak ada gunanya miliaran harta yang menghujani rumahmu
Rezim ini akan diingat sebagaimana umat mengenang 'Aad, Tsamud,
Kaum Nabi Saleh, Kaum Luth
Rezim ini akan segera hancur seperti garam di air
Rezim ini akan tenggelam di laut
Yang terbelah karena kemarahan para ulama
Maukah kau kembali?
Pada dunia nyata yang dibangun dari mimpi-mimpi indah
Tentang kemerdekaan, tentang janji-janji akhir zaman
Bahwa negeri ini disusun dari tahlil dan tahmid
Bahwa pepadian dan palawija ditanam berkat kesetiaan
Pada anak keturunan Nabi yang saban hari bershalawat
Maukah kau kembali?
Pada hari-hari sebelum rezim komunis ini
Maukah kau kembali?


Hari ini, ya Allah, di negeri kami
Takbir adalah kalimat subversi
Shalawat "shallu 'alannaby" adalah ancaman
Aparat mencari sesiapa
yang menulis dan bicara tentang nama-Mu sepanjang hari
Atau mereka yang berdiri di belakang kekasih-Mu membela agama ini
Apakah tempat yang pantas bagi mereka
Kecuali dasar sumur Badr atau di bawah kaki-kaki kuda perang
Ijinkan kami melaungkan kembali doa kekasih-Mu, Nuh sang Nabi
"Wahai Rabbi, ampuni kami
Ampuni kedua orang tua kami
Ampuni sesiapa yang masuk ke dalam rumah kami
Dan bagi mu'minin dan mu'minah
Dan jangan tambahkan pada orang zalim itu selain kehancuran!"

Kamis, 26 Januari 2017

Menyimak Kembali Memori M Natsir: Pernah Negara Ini...

"Maka heranlah saya melihat pemerintah menggantungkan bermacam-macam cita-cita dan maksud yang muluk-muluk untuk dijadikan taruhan (inzet) dari hidup matinya kabinet ini...." Kata Natsir, dalam pandangan umum terhadap kinerja pemerintah, 28 Agustus 1953.

"Menyusun, meregistrir, serta melukiskan sesuatu program kerja di atas kertas, memang tidak begitu sulit, dan jikalau kita pandai pula membacakannya dengan pathos dan intonatie yang menarik, pasti kita akan menggembirakan claqueurs yang gampang dipengaruhi....."

Natsir kala itu adalah seorang politisi islam yang disegani. Ketegasannya bahkan melebihi apa yang bisa kita bayangkan sekarang. Perseteruan islam dan komunisme juga mencapai level tertinggi; kala itu komunisme secara zahir menguasai Indonesia dan hasilnya terbilang mengenaskan.

Demonstrasi anti islam menguar di mana-mana. Rupiah anjlok seanjlok-anjloknya. Di bidang kebudayaan lebih parah lagi; meskipun Bung Karno tidak suka dengan yang barat-barat, tapi bioskop kelas A terus menayangkan film-film dengan gaya barat. Seperti biasa, kegagapan mengelola negara dibungkus dengan kata-kata puitis dan revolutif:

Seperti hari ini. Hari-hari Revolusi Mental, hari-hari klaim Pahlawan Anti Korupsi, hari-hari klaim Bapak Pembangunan Jakarta, hari-hari slogan. Jangan lupa bahwa Cina, negara komunis itu, adalah investor ketiga terbesar di Indonesia, dan kemudian, ia menjelma menjadi kapitalis yang komunis, paradoks komunis yang kapitalis: Thomas Lembong, Kepala BPKPM, menegaskan bahwa Cina akan segera menjadi investor terbesar di Indonesia dalam waktu dekat.

Luka September 1948 di berbagai tempat antara PKI yang memberontak dengan kekuatan islam, masih membekas sakit di hati rakyat Indonesia. Luka itu membayang-bayang pada pidato Natsir hari itu.

Masyumi, dengan gaya Ulama dan Umaro yang bersatu dalam tubuh kader-kadernya, menyerukan Perang Sabil. Masyumi membentuk laskar bersenjata yang lebih besar dan kuat ketimbang Laskar Pembela Islam Habib Rizieq Syihab, untuk menghadang kekejaman komunisme itu. Di mana-mana rakyat angkat senjata melawan komunisme yang mempersenjatai kadernya.

Di Surakarta, terjadi pembantaian massal tokoh-tokoh pro-Pemerintah oleh PKI, utamanya, mereka yang dikenal sebagai muslim taat dan politisi. Tak kalah garang, Hizbul Wathan sebagai sayap Muhammadiyah, bergerak dengan kekuatan besar memerangi PKI secara fisik. Berjuang melawan PKI, adalah masalah hidup atau mati. Mayat di mana-mana. Kawan atau lawan.

Korban jiwa, 1948 itu, dan hingga tahun 1953 ketika pidato Natsir itu diucapkan, mungkin sudah puluhan ribu jiwa. Pada saat itu, Front Anti Komunis dibentuk dan meluas, sebagaimana FPI hari ini. Isa Anshary dan elemen Masyumi Jawa Barat bergerak.

Orang Sunda; adalah etnis terbaik ketika menjelaskan kekuatan islam anti komunis. Jangan lupa, bahwa kala itu Darul Islam-Tentara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwiryo masih berdiri. Sementara, di tanah Sunda, bergerak pembersihan terhadap elemen komunisme. Di mana-mana razia dan pencerdasan diadakan.

Bukankah hari ini juga begitu; hanya saja, ada sekelompok orang mengklaim bahwa Sunda hanya sebatas masalah mengarak simbol-simbol kemusyrikan, atau masalah bicara dengan bahasa-bahasa bersayap agar tampak nasionalis demi kepentingan endorsmen media?

Maka, "Di bawah kibaran palu arit," kata Natsir lagi, "Pernah di Ibu Kota ini gemuruh demonstrasi-demonstrasi untuk memulihkan keamanan dan memberantas 'gerombolan D. L, TII, dan lain-lainnya' gerombolan MMC, Bambu Runtjing, Barisan Sakit Hati, rupanya dimasukkan Geruisloos, ke dalam istilah 'dll' itu sehingga tidak disebut,"

Umat islam sudah mengalami diskredit itu sejak dulu. Bahwa yang dimaksud perusuh, oleh kalangan komunis, pasti kalangan islam.

Maka dengarlah perkataan Wakil Perdana Menteri dari Partai Indonesia Raya, Mr Wongsonegoro kala kerusuhan itu menguar, yang kata Natsir menjadi kata bersayap dan komando terakhir, "Apabila bicara dengan mulut tidak mempan lagi, suruhlah senjata dan bedil berbicara!"

Sejarah terjadi; Komunis mendompleng kalangan nasionalis dan kemudian menciptakan kerusuhan di mana-mana. Natsir melanjutkan paparannya:

"Saya hendak bertanya kepada pemerintah ini: apakah yang telah berbicara semenjak tahun 1950 sampai sekarang, selain bedil? Malah lebih dari bedil, mortir dan bom, sudah kita suruh berbicara! Kenyataan bahwa toh sampai sekarang belum kunjung juga keamanan terpulihkan adalah bukti bahwa soal ini bukanlah soal dangkal yang dapat diatasi dengan semata-mata komando terakhir,"

"Perintah kepada tentara untuk mempergunakan senjata bedil, mortir, dan bom itu!"

Bukankah hari ini polanya sama? Kalangan islam ditangkapi. Demonstrasi yang digelar KAMMI, HMI, GNPF-MUI, IMM, selalu dihadapi dengan kendaraan lapis baja. Orang yang menyuarakan kebebasannya di media sosial, di media massa, akan bersiap menghadapi kurungan laksana binatang di rumah majikannya. Bahkan lebih parah lagi, orang bisa dipenjara hanya karena menulis kalimah tauhid di atas bendera!

"Kami berulang-ulang mengemukakan bahwa soal keamanan ini tidak dapat diselesaikan secara militer sentris. Dan bukan cukup sekedar mengulang-ulangi saja. Kami tahu, bahwa perlu kami bantu dalam lapangan lain dari lapangan bersenjata itu. Kami membantu dalam lapangan yang dapat kami kerjakan!"

Sejarah mencatat, setahun kemudian, muncul fatwa yang cukup tegas dan jelas dari Masyumi. Pada 3-7 Desember di Surabaya, Majelis Syuro Pusat Masyumi mengeluarkan fatwa hukum islam tentang komunisme dalam momen Muktamar ke-7, tahun 1954.

Fatwa tersebut menyatakan, bahwa komunisme menurut hukum islam adalah kufur, bagi orang yang menganut komunisme dengan pengertian, kesadaran, dan meyakini kebenaran komunisme maka hukumnya adalah kafir. Seseorang yang mengikuti komunisme atau organisasi komunis tanpa disertai pengetahuan, kesadaran, dan keyakinan pada falsafah, ajaran, tujuan, dan cara-cara perjuangan komunis, maka hukumnya sesat.

Dan kemudian, kata Natsir, "kami peringatkan akan tanggung jawab kami yang besar untuk menjaga keselamatan republik Indonesia ini, sebagai hasil jihad kami umat islam bersama-sama dengan segenap golongan sebangsa atas dasar kata persamaan!"

Memori Natsir dan Masyumi itu, entah kenapa beberapa hari ini terus membayang di ingatan bangsa kita. Ya; sudah 50 tahun lebih pidato itu diucapkan, namun kini, ternyata perang belum usai. Umat islam, belum aman dan bebas di negaranya sendiri...

Tanah Sunda Bagian Ujung
Januari 2017

Selasa, 17 Januari 2017

Tentang Seorang Nabi Yang Melakukan Politik Budaya dan Bahasa

Siang ini, saya hanya membiarkan tangan saya menulis sekenanya tentang apa yang bisa dikenang dari perjalanan hidup nabi saya. Muhammad Rasulullah. Tentang bagaimana budaya lama dihancurkan, budaya baru diarahkan.

Di tengah suasana politik yang pekat dan bau lembaran uang busuk, ada saja yang masih memperkosa teks-teks sejarah Nabi, dan kemudian masih belum terbuka hatinya untuk mengenakan Jilbab. Setelah beberapa waktu lalu, Prof. Hamka Haq berbicara seperti orang yang menjadi korban TV tentang siroh nabawiyah, kini ada lagi, rupanya.

Apakah menjadi Islam harus menjadi Arab? Pertanyaan semacam ini sebetulnya harus kita cermati baik-baik sebagai pertanyaan budaya. Yang jelas, menjadi islam harus pakai jilbab. Akan tetapi, mari kita coba mendedah siroh nabawiyah dan khulafaur rasyidin dalam konteks ciri budaya, penyebaran budaya, dan kemudian, aspek-aspek budaya pop yang ada.

Apa budaya pop yang ada di masa Rasulullah? Adakah tanda-tanda budaya yang ada, berasal dari kearifan local arab, atau didapat melalui sebuah rekayasa social yang dilakukan oleh Rasulullah, atas nama dakwah Islam? Atau benarkah yang hari ini dipercaya sebagai sebatas mengarab-arabkan Islam, ternyata betul-betul ciptaan dakwah untuk berkehidupan secara islam, bukan secara Arab?

Dalam hal ini, mari kita luruskan dulu bahwa sumber-sumber siroh nabawiyah mestilah sumber otentik. Terjemahan dari Thabaqat Ibnu Sa’ad, Maghazi Al-Waqidi, atau juga Sirah Ibnu Hisyam yang dilakukan oleh orientalis seperti Garaudy, Noldeke, dan Guillaume tidak sepenuhnya akurat karena didasari rasisme terhadap Arab.

Bahwa, ruh pengetahuan mereka adalah nafsu menduduki bangsa lain, sebagai dampak perang dunia yang meluas dan juga kolonialisme. Bahwa, ada orang yang mempelajari islam hanya untuk menghancurkannya.
Apa saja yang dianggap mengarab-arabkan umat islam hari ini? Jika kita bicara mengenai trend berbusana atau fashion, sesungguhnya, dalam siroh nabawiyah politik identitas Rasulullah sangat kental terasa. Semangatnya, satu. Meninggikan islam, membedakan kita dengan umat yang lain. Mari kita simak contohnya satu demi satu.

Beberapa hadits yang diriwayatkan oleh para imam—itupun jika kita masih percaya—Rasulullah memberikan tuntunan dan arahan budaya yang jelas mengenai adab berbusana dan penampilan. Di antaranya, hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad, mengenai larangan menguncung rambut bocah, perintah untuk mengenakan sandal secara sepasang, tidak sebelah saja; dan kemudian ditambah lagi dengan bagaimana memakai dan melepaskannya; perintah untuk menyingsingkan kain sarung sampai pertengahan betis; dan lain-lain.

Yang lebih jelas lagi, adalah perintah untuk berbeda dari pemeluk agama lain sebagai identitas. Misalnya, perintah untuk mencukur kumis, dan memanjangkan jenggot, agar berbeda dari orang Majusi. Hadis ini diriwayatkan dari Ibnu Umar. Ada pula perintah untuk mewarnai uban agar berbeda dengan orang lain.
Tapi lagi-lagi, itupun jika kita masih percaya. Siang ini, saya hanya membiarkan tangan saya menulis sekenanya mengenai apa yang saya kenang dari kehidupan nabi saya.

Perkara budaya pada zaman Rasulullah memang perkara yang agak pelik dipahami oleh mereka yang rasis dan anti semit. Lagi-lagi, seperti dikatakan Koentjaraningrat, seorang ahli budaya, jangan-jangan kita hari ini mengalami tuna harga dini.

Seolah-olah kita harus berislam dengan cara barat, dengan pola pikir ala barat. Belum selesai pikiran kita soal siapa yang berhak menafsirkan al-Qur’an, kini muncul lagi gelombang liberalisasi yang mengherankan kita. Kita tidak mau menghargai diri sendiri, tidak mau menghargai milik diri sendiri, tetapi sangat menghargai diri orang lain, orang asing.

Tapi, apakah tidak saya mengulang perdebatan lama antara seniman-seniman Gelanggang dengan orang-orang masy’amah?

Apakah tidak saya mengulang perdebatan orde lama St Takdir dengan rupa-rupa tokoh budaya?
Di luar persoalan budaya berpakaian dan berperilaku, kita harus berusaha kritis. Untuk masalah jilbab misalnya, adakah jilbab merupakan sebuah budaya arab? Ayat tentang jilbab diturunkan setelah Rasulullah hijrah ke Madinah. Dan dalam hal ini, tidak kita jumpai satu bukti sejarah pun yang menunjukkan bahwa jilbab sudah menjadi budaya arab, atau budaya pop kala itu.

Jilbab, adalah suatu budaya asing. Budaya yang tidak pernah dikenal sebelumnya untuk kalangan wanita arab sebagai pakaian sehari-hari. Untuk itulah, teks yang ada justru menunjukkan terjadi perubahan budaya besar-besaran setelah ayat hijab turun; semua wanita mencari apa saja, ya, apa saja yang bisa digunakan untuk menutupi kepala mereka.

Dan hari ini, para wanita, bahkan mantan presiden kita, mencari apa saja, alasan apa saja untuk tidak mengenakan jilbab…..

Dan, mengenai ayatnya, saya rasa, teman-teman lebih mengetahui ayat berapa dan surat apa, karena hari ini orang yang bukan islam rupanya merasa memahami islam lebih dari muslim.

Selanjutnya, bagaimana mengenai perilaku berbahasa? Berbeda dengan nabi yang lain, rupanya Rasulullah memiliki suatu perencanaan bahasa yang jitu. Ia bahkan lebih canggih daripada kepala badan bahasa hari ini yang terus-terusan memaksakan tetikus sebagai ganti mouse dan swafoto sebagai pengganti selfie.

Perencanaan bahasa adalah suatu kebijakan yang ditujukan untuk merekayasa dan mengubah penggunaan suatu bahasa. Di antara yang mencolok, adalah perubahan idiom dan pepatah tertentu, serta—yang tak kalah penting—sikap bahasa penuturnya.

Lagi pula, teori perencanaan bahasa ini bukan dikeluarkan orang Arab. Teori ini dikemukakan oleh Haugen, dalam bukunya, Dialect, Language, and Motion, pada 1972.

Karena Al-Qur’an turun dalam bahasa Arab, mau tak mau orang akan bersikap memuliakan bahasa Arab. Terlepas dari, adakah orang non islam yang menuturkan juga bahasa Arab sebagai bahasa ibu. Sejak awal turunnya, kitab itu sudah menjadi patron dan batu pembanding, dan dalam tingkat selanjutnya, alat perencanaan bahasa yang efektif.

Dalam perkembangannya, hal-hal seperti salam dan lain-lain, ternyata berubah setelah islam datang. Adakah itu merupakan budaya Arab atau bukan? Kenyataannya berlangsung adegan semacam ini:

Suatu hari, seorang laki-laki dari Bani Amir meminta izin masuk kepada Nabi, lalu ia berkata, “Apakah aku boleh masuk?”

Lalu Nabi berkata pada pembantunya, “temuliah ia dan katakan, bahwa ia tidak meminta izin dengan adab yang baik. Katakanlah padanya untuk mengucapkan, assalamu alaikum, apakah aku boleh masuk?”

Dalam perjanjian Hudaibiyah berlangsung percakapan antara Nabi, Suhail, dan Ali bin Abi Thalib sebagai penulis naskah perjanjian. Ali menulis, bismillahirrahmanirrahim. Akan tetapi, Suhail menolak, ia mengatakan, “Kami tidak mengenal Rahman dan Rahim, kami hanya mengenal Allah, tulislah Bismillah saja!”

Dalam sebuah kisah yang lebih jelas—lagi-lagi jika percaya—seorang laki-laki mencari nabi, namun ia tidak juga menemukannya. Maka ia duduk sejenak, tiba-tiba datanglah sekelompok orang dan beliay termasuk salah seorang di antara mereka, namun aku tidak mengetahui yang mana nabi. Kelihatannya, Nabi sedang menyelesaikan perkara di antara mereka. Setelah itu, beberapa orang masih tinggal di sisi beliau dan mereka berkata, “Wahai Rasulullah!”

Ketika aku mendengarnya, maka aku berseru, “Alayka salam, ya Rasulullah!” Beliau berkata, sesungguhnya Alaika salam adalah perkataan untuk orang yang sudah mati,” lalu beliau menghampiriku lalu berkata, “Jika seorang laki-laki bertemu dengan saudaranya sesame muslim, hendaklah ia mengucapkan, Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

kemudian Nabi menjawab salamku tadi, lalu berkata “Wa alaika wa rahmatullahi…”

Dan mari saksikan, betapa sejarah mencatat setelah islam, terjadi perubahan budaya pop besar-besaran. Dulu, membudaya bahwa salam itu begini dan begitu, tetapi kemudian berubah; menjadi yang sekarang kita kenal. Dulu berbusana itu begini begitu, kini ada batasannya.

Saya tidak bermaksud mengatakan Al-Qur’an adalah produk budaya. Tetapi, betapa islam mengubah kebudayaan Arab, dan bukannya Arab yang mengubah islam.

Menjadi islam, tidak harus menjadi Arab. Justru budaya Arab lama, diperangi habis-habisan oleh islam dan kemudian, direkayasa ulang.

Dalam Al-Qur’an, dibatasi penggunaan bahasa pula. Sebagai contoh, Al-Baqarah ayat 104 yang tegas mengatakan, jangan mengatakan ra’ina tetapi katakanlah, unzhurna. Permasalahan yang ada bukan pada makna, tetapi, kemudian kata-kata ra’ina menjadi hinaan. Bahkan, Ibnu Katsir dalam tafsirnya jelas melarang kita serupa dengan orang kafir.

Di sinilah, politik budaya dan bahasa, jelas dibuat dan direncanakan dengan baik dan jelas oleh islam. Bukan masalah kearab-araban. Sebagaimana hari ini jika kita berpolitik, juga tidak peru kecina-cinaan.

Saya kira, di situlah kita harus berpikir lebih jernih. Jangan karena situasi politik, maka kita memperkosa ajaran islam. Jangan karena kita tidak berjilbab, maka kita katakan yang berjilbab itu kearab-araban. Jangan karena kita kelu mengucap takbir, maka kita katakan yang bertakbir itu kearab-araban.

Atau, wahai saudaraku, jika lidah kita kelu dan lama sudah tidak membaca al-Qur’an, jangan kita katakan lisan mereka yang basah karena ayat-ayat itu, kearab-araban.

Politik budaya dan politik bahasa dalam islam jelas merupakan suatu instrument dakwah. Kita yang terbiasa mengucapkan hamdalah, takbir, tahmid, dan tahlil, adalah agen-agen budaya dan bahasa itu.

Dan siang ini, di tengah bermacam hiruk pikuk, saya hanya membiarkan tangan saya menulis sekenanya, dan berpikir apa adanya. Tanpa muatan modal asing, atau misi penggembosan agama tertentu…

Senin, 16 Januari 2017

Sejarah Kejahatan Negara Pada Para Ulama

Tidak hanya rezim hari ini yang gemar melakukan kejahatan-kejahatan pada ulama. Sejak dulu, gen ulama memang sepertinya tidak cocok dengan pemerintah. Dan sejak dulu, sepertinya gen pemerintah dan penguasa selalu tidak cocok dengan para ulama. 
 
Hati para ulama, memang seperti seekor burung merpati yang bebas. Pikiran para ulama, seperti anak panah yang pernah dilesatkan para sahabat nabi pada jantung-jantung mereka yang batil. Bahkan kehadiran fisik mereka saja, sudah mampu menyakiti mata dan hati musuh-musuhnya.
 
Tidak hanya Habib Riziek dan KH Bachtiar Nasir. Tidak hanya Tengku Zulkifli dan KH Arifin Ilham. Tetapi, sejak dulu para ulama sebagai warasatul Anbiya menjalankan tugas-tugas dakwah ini untuk menegur para penguasa dan tidak membenarkan dosa-dosa atas nama fatwa dan jabatan, sedikitpun.
 
Jika Rasulullah membenarkan kejahatan para penguasa, tentu hari ini yang ada, bukan Islam yang terang dan tegas, tapi agama musyrik Makkah yang muncul dalam bentuk baru; yang pura-pura islami. Tapi ternyata tidak. Rasulullah tidak pernah seharipun membenarkan ajaran-ajaran jahiliyah itu.
 
Adalah Imam Nawawi Al-Banteni, sebagai titik awal pembahasan kita. Memang kejahatan Negara muncul lebih awal daripada era Imam Nawawi, dan begitu juga semangat pelurusan ulama kepada kesalahan pemerintah. Akan tetapi, imam Nawawi dalam hal ini, bisa menjadi contoh yang masih lekat dalam ingatan bangsa ini. 
 
Ia adalah seorang ulama Indonesia yang menjadi sasaran kebencian Negara—kala itu Hindia Belanda—atas tuduhan menggerakkan pemberontakan petani Banten. Ia sendiri kemudian menyepi dan menghindar ke Makkah Al-Mukarramah. Ia wafat beberapa tahun sebelum pergantian abad 19 ke 20, yaitu 1897.
 
Kemudian, pada masanya, lahirlah ulama besar HOS Tjokroaminoto. Ia dianggap sebagai Raja Jawa Tanpa Mahkota karena kekuasaannya untuk menggerakkan masa saat itu, nyaris serupa dengan Habib Riziek Syihab; mampu mengalahkan dominasi Negara. Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat, itulah syiarnya yang kemudian menggaung bersama rakyat.
 
Ia demikian kuat; sampai kehadirannya saja mampu menyebabkan perlawanan di mana-mana. Ia mendirikan Sarekat Dagang Islam, yang kemudian menjelma sebagai kekuatan politik besar. Pada 1920, ia dipenjara atas tuduhan pembunuhan. Padahal sesisi negeri sudah tahu; itu hanya kekhawatiran Belanda karena sosoknya yang begitu mampu membangkitkan perlawanan. 
 
Dan tentu kita masih ingat, pada tahun 1918, ketika itu orang-orang komunis dan nasionalis begitu gemar menghina Islam, ulama, dan Rasulullah. Ia membentuk Tentara Kandjeng Nabi Muhammad, yang berjumlah sekitar 30.000 orang, kerumunan massa terbesar di Indonesia kala itu.
 
Tak lama setelah Tjokroaminoto, muncul sosok ulama yang menjadi Presiden Liga Muslim Dunia dan Ketua Dewan Masjid se-Dunia, Muhammad Natsir. Tokoh kelahiran 1908 ini begitu kharismatik. Pada masa Soekarno, ia menjadi punggawa besar Masyumi dan aktif menyuarakan syariat islam sebagai solusi kebangsaan. Dan jelas, ia adalah sosok anti komunis. 
 
Namun, lagi-lagi, selamanya Ulama tidak bisa bersatu dengan umara. Ia dipenjara karena tuduhan menggerakkan PRRI Permesta. Berbagai tuduhan keji kala itu dilancarkan PKI melalui berbagai sayap medianya. Persis seperti hari ini, komunis sangat getol menggunakan media untuk membuat rupa-rupa fitnah. Ia, dipenjara dari tahun 1962 dan kemudian dibebaskan pada 1966 oleh Orde Baru.
 
Akan tetapi, ia kemudian melihat pemerintah Orde Baru kurang cakap dalam hal tafsir-menafsir dasar Negara. Ia menandatangani petisi 50, suatu petisi yang kala itu dibuat sebagai bentuk protes atas kekacauan tafsir terhadap pancasila pada 1980; dan membuat ia menjadi musuh pemerintah. Dia sendiri, dilarang pergi ke luar negeri hingga akhir hayatnya.
 
Pada tahun 1984, menyeruak kabar dan peraturan mengenai asas tunggal Pancasila. Berbagai kalangan islam ramai-ramai berdemonstrasi dan kemudian ditanggapi secara berlebihan oleh penguasa. Adalah Amir Biki, yang kemudian syahid dalam peristiwa besar untuk memperjuangkan tafsir pancasila yang lurus dan benar sesuai islam.
 
12 September itu, ribuan massa dari Tanjung Priok berkumpul dan menuntut pembebasan 4 warga yang ditangkap aparat. Untuk menyambut mereka, datanglah kendaraan lapis baja dan truk militer yang kemudian, dalam satu malam, menghabisi nyawa 400 umat islam, termasuk Ust. Amir Biki, seorang ulama lokal Jakarta.
 
Ia tewas dengan luka tembak bersama ratusan umat muslim lain yang dilindas kendaraan lapis baja. hari itu, “tak ada sebuahpun rumah muslim di Tanjung Priok yang tidak kehilangan anggota keluarganya”
 
Buya Hamka, seorang ulama-sastrawan besar di Indonesia, juga tak luput dari pemenjaraan itu. Pada masa perjuangan fisik untuk memerdekakan Indonesia, ia menjadi salah satu lascar di Sumatera untuk melawan belanda dengan senjata. Kala itu, belanda adalah sinonim dari kebatilan dalam lisan para ulama. 
 
Pada masa Orde Lama, ia kemudian menjadi anggota Konstituante dan pemimpin Muhammadiyah sekaligus Masyumi. Setelah tidak lagi terjun ke dunia politik, ia membuat majalah Panji Masyarakat, yang keras dan tegas menentang komunis. Lalu, majalah itu dibredel oleh Orde Lama.
 
Jelas, Lekra dan PKI pada masa akhir Orde Lama begitu gemar menghina Buya Hamka. Hinaan-hinaan itu, berujung pada fitnah percobaan pembunuhan yang kemudian mengantarkannya pada penjara. Pada tahun 1964, di dalam penjara, ia bisa menyelesaikan Tafsir Al-Azhar. 
 
Pada masa Orde Baru, ia masih juga bersikap lurus. Ia memang seiring pada kebijakan Anti Komunis, namun, sebagai seorang agamawan, kebenaran harus tetap tegak meskipun langit runtuh. 
 
Ia mengeluarkan fatwa haram merayakan natal bersama, setelah sebelumnya kebijakan Natal Bersama diresmikan Soeharto. Daripada mencabut fatwanya, ia memilih mundur dari jabatan Ketua Umum MUI pada 1980.
 
Dan jika hari ini, ada kejahatan Negara pada Habib Riziek dan beserta keturunan Rasulullah yang lain, maka jangan heran. Berarti Habib Riziek sudah menjalankan tugas keulamaannya dengan baik dan benar. Ia sudah menjadi penegak keadilan, musuh kebatilan.
 
Kita baru bicara mengenai sosok-sosok hebat besar. Kita belum lagi bicara mengenai orang-orang tanpa nama dan local yang bersikap keras pada kejumudan dan kebatilan negeri ini. 
 
Kejahatan Negara pada para ulama, sekurangnya terjadi karena dua hal. Pertama, ketika tatanan Negara kemudian menjadi alat kejahatan demi memenuhi kebuasan nafsu para pelaksananya. Lagi-lagi, para ulama adalah mereka yang bergerak atas dasar Al-Qur’an dan Sunnah.
 
Sudah tentu, dengan dua hal itu, para ulama mendapatkan kehalusan hati. Dengan kehalusan hati itulah, kejahatan Negara dan kebatilannya Nampak jelas di mata para ulama. Inilah yang dinamakan bashirah, Orang yang dikaruniai bashirah, akan menyingkir dari kejahatan yang ada dan jujur mengatakan apa adanya.
 
Kedua, adalah titik tolak pemikiran yang berbeda antara ulama dan Negara. Ulama, jelas akan menggunakan wahyu dan sunnah Rasulullah sebagai batu pengukur. Sedangkan Negara seringkali hanya menggunakan kebenaran objektif, misalnya, kemajuan Negara lain atau standar buku-buku ideologi gagal,seperti demokrasi, komunisme, sosialisme, dan lain-lain.
 
Perbedaan standar ini kemudian mengakibatkan perbedaan pula pada cara ulama memandang keberhasilan dan kegagalan Negara dengan kebanyakan orang, terutama aparatur pemerintahan. 
 
Hal yang menurut pemerintah benar, menurut ulama bisa jadi salah dan sebaliknya. Maka, ulama kemudian bergerak dan menyampaikan nasihat pada penguasa dengan berbagai cara. Namun begitulah, penguasa yang sudah bebal, alergi dengan nasihat.
 
Surat Al-Qamar tegas menjelaskan pola-pola kehancuran suatu negeri: ketika datang seorang Rasul, bangsa itu mendustakan. Ketika datang kebenaran dari agama, bangsa itu mendustakan. Kaum Quraisy, kaum Nuh, Aad, Tsamud, kaum Saleh, kaum Luth, dan Fir’aun. Lalu diakhiri, dengan azab-azab yang mengerikan.
 
Dan kehancuran suatu rezim, biasanya dimulai ketika nasihat yang ada dianggap sebagai hal yang mengancam pemerintahan. Ketika itulah, ulama mengalami perlakuan jahat. Akan tetapi, taka da siapapun yang bisa menghentikan para ulama, kecuali Allah sendiri.
 
Sebagaimana, Allah pulalah yang mengirimkan mereka, untuk menegur, atau bahkan mengganti generasi lama yang kepalang hancur dan lupa pada dirinya sendiri.
 
Amar Ar-Risalah
Januari Hujan 2017.

Senin, 02 Januari 2017

Rasulullah dan Hujan yang Meneguhkan Kaki-Kaki


Rasulullah, muslim, dan hujan. Dalam sejarah, adegan antara ketiga makhluk itu cukup menarik. Bagaimana ketiganya berhubungan, dan terutama, bagaimana hujan menjadi sesuatu yang dirindukan.

Tentu, oleh sesiapa yang beriman, kemudian mampu mendengar rinainya sebagai zikir alami jagad raya.

Ia turun menjawab doa-doa Nabi-Nya. Ia turun meneguhkan kaki-kaki kecil orang yang beriman. Ia turun membersihkan jalan-jalan dan permukaan bumi.

/1/
Malam 17 Ramadhan. 319 Pasukan Muslim bermuka-muka dengan pasukan Quraisy di Baddar. Perang pertama, yang menentukan nasib agama ini.

"Ya Allah, jika Engkau binasakan pasukan ini, pasti Engkau tidak akan disembah lagi selamanya!"

Kala itu, Madinah adalah satu-satunya tempat di Bumi yang ada muslimnya.

Dan, pada malam itu, 17 Ramadhan itu, tak seorangpun yang terjaga kecuali Rasul. Padahal, esok perang menjelang.

Hujan turun. Pasukan kecil itu terbangun, berlindung di bawah perisai masing-masing. Lalu, fajar menyingsing. Aroma pasir basah dan jejak-jejak pasukan memadat.

"...dan Allah menurunkan kepadamu Hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu, dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan...."

Lalu pada pagi hari menjelang siang, pecah pertempuran. Kaki-kaki mereka sama sekali tidak tergelincir di atas pasir. Mereka adalah pasukan infantri tanpa kuda dan unta, dan sangat sulit menapak di medan pasir. Namun begitulah, "...dan memperteguh dengannya telapak kakimu....."

Ayat itu, adalah ayat 11 dari surat Al-Anfal. Betapa malam 17 Ramadhan, hujan, dan Badr memiliki kaitan yang unik. Dan bahwa, keesokan harinya, terjadi kemenangan monumental umat islam!

/2/
Bulan-bulan itu, kekeringan melanda Madinah. "Kuda-kuda binasa, kambing-kambing binasa, ternak binasa, dan jalan-jalan terputus," kata seorang laki-laki.

"Berdoalah kepada Allah untuk kami agar Dia menurunkan hujan," katanya kepada Rasulullah.

Maka, Rasulullah berdoa. Hari itu bertepatan dengan Jumat. Hari itu, "Sungguh, langit seperti kaca," kata Anas bin Malik. "Kami tidak melihat segumpal awanpun di langit..."

Kemudian, sebelum Nabi turun dari tempatnya berdoa, awan-awan muncul seperti perisai. Lalu awan itu mengembng dengan cepat, kemudian turun hujan dengan lebat. Jalan-jalan penuh dengan air, "Sehingga kami keluar sambil mencebur-cebur ke air hingga sampai ke rumah," kata Anas lagi.

Hujan turun di kota sederhana itu, hari itu, esoknya, esok lusa, dan hari-hari berikutnya hingga Jumat selanjutnya. Jalan-jalan Madinah dipenuhi air. "Demi Allah, kami tidak melihat matahari selama enam hari,"

"Wahai Rasulullah," kata laki-laki pertama tadi. "Bangunan-bangunan runtuh, jalan-jalan terputus, dan binatang-binatang ternak binasa, para musafir tertahan dan jalan terhalang,"

"Berdoalah kepada Allah agar menahan hujan itu untuk kami!"

Nabi kita, hanya tersenyum. Ia mengangkat kedua tangan, lalu berdoa, "ya Allah, hujanilah sekeliling kami, jangan di atas kami...."

"Turunkanlah hujan di puncak-puncak gunung dan dataran tinggi, di perut-perut lembah, dan di tempat tumbuhnya tanam-tanaman...."

Maka, awan di langit kemudian terbelah seperti lubang bulat yang besar sekali. Awan-awan itu menyingkir ke kanan dan kiri kota Madinah, seperti sekumpulan domba.

Bulan itu, tidak seorangpun datang dari daerah lain, kecuali membawa cerita hujan lebat yang mendadak terjadi di daerahnya.

/3/
Musim panas yang membakar. Nabi dan 30.000 pasang kaki berangkat ke utara, menuju Tabuk. Mereka hendak menyambut tantangan kerajaan terkuat di Bumi waktu itu, Romawi Timur. Kita tidak bicara musim panas tropis yang masih maklum dengan kelemahan.

Kita bicara, tentang musim panas padang gurun Rub Al-Khali, yang mampu membunuh sesiapa yang lengah.
Pasukan itu berhenti di sebuah tempat. Hijr namanya. Malamnya, angin topan yang keras melemparkan pasir-pasir menutup mata air, hingga pasukan itu tidak lagi memiliki tempat mengambil air.

Mereka bertahan di sana beberapa hari, hingga menyembelih unta dan mengambil air dari punuknya. Bahkan beberapa di antaranya hingga memerah kotoran unta. Kesulitan itu, menjadi salah satu alasan pasukan itu dinamai Jasyiatul Usrah.

Maka, Abubakar datang kepada Rasulullah. "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah telah membiasakanmu dari doa kepada Allah suatu kebaikan, sudikah engkau berdoa untuk kami, karena kita sudah kehabisan air?"

"Apakah kau menyukainya?" Tanya Rasulullah, "Ya, tentu," kata Abubakar.

Maka turunlah hujan, dan mereka kemudian mengisi tempat-tempat air. Pasukan itu kemudian mengulangi adegan di Badr; bermandi hujan, dan hujan itu meneguhkan kaki mereka, sekali lagi.

Pada hujan di Badr, jumlah mereka 319. Maka di sini, di hujan yang lain, jumlah mereka adalah 30.000!

Dari hujan ke hujan. Adakah yang pernah menghitung usia sejarah, dengan hujan yang menyertainya? Bagi umat muslim, hujan adalah rahmat. Yang dengannya, diisi tempat-tempat air, ditumbuhkan tanaman, dan diteguhkannya di atas pasir kaki-kaki kita...