Rabu, 05 September 2012

percakapan aku dengan mu yang sempat kucatat sederhana

1)


Tuhan adalah seminggu yang terbuang
dan aku menuding-nuding seminggu setelahnya akan sama
aku berdarah, dicakar-cakar kala dan mangsa
kehilangan Tuhan dan tujuan dan disiksa
juga sebagai mangsa

2)

dan tetap kusembunyikan Tuhan untukku sendiri
sebab bila kubagi nanti Dia malu-malu pergi lagi
dan perang dan perang dan perang lalu ada yang mati
aku kesepian
jangan lagi Tuhan kamu paksa berdiri dan enggan kembali

3)

Tuhan, ayo kita reuni
kudengar Kamu ingin berlari jika kupanggil dari sini

Tuhan, cepat kesini
aku ingin segera berganti diri bukan yang ada pada sisa hari ini

Tuhan, aku sayang Kamu jadi
cepat lari ke diri

Habibi Bima


00.00
“Hai, Amar! Kamu menginap juga? Heheheh, ayo kita download film, aku punya link bagus. Piranha! Ayo kita lihat bersama, mana yang bawa note book? Ah, Dito juga, sini!”
Baju hijaunya mulai lusuh, namun senyumnya tertata seperti biasa. Matanya kali ini sayu, kelelahan. Menyiapkan acara ospek esok hari.
“iya, pengawasan mewajibkan datang jam setengah lima, dari pada terlambat lebih baik menginap. Ayo kita lihat, kita juga ingin tampil jadi latihan musik malam ini. Mana?”
Angin menggoyang api lilin yang mengusir nyamuk. Malam dingin, namun beberapa mencoba menghangatkannya dengan pembicaraan sederhana, namun dekat sebagai teman.
Bima juga menginap rupanya. Aku mengenalnya sejak ospek angkatan sendiri, meski berbda jurusan, namun kami-entah kenapa-sudah saling kenal. Dekat. Makan bersama. Tertawa bersama.
Saling menyapa dan bersalaman hampir setiap hari.
00.30
Oh, namamu Nasrul ya? Ketua ospek jurusan ini? Aku Bima, panitia jurusan Arab. Bagaimana? Lancar? Saling membantu saja kita esok pagi,”
Nasrul adalah laki-laki keriting dan mancung. Malam itu ia mengenakan pakaian adat madura, seperti blazer namun tanpa kerah. Ia nampak dekat, meski baru mengenal sore tadi dengan jurusan Arab yang juga menginap di teras malam itu. Ia juga temanku yang paling dekat, dan kini Nasrul dan Bima nampak akrab sekali. Maklum, film semi porno.....
“laki-laki, huh...”
02.00
Nasrul tertawa besar ketika piranha menggigit penis tokoh utamanya, sementara yang lain berenang dan mengigit betis wanita telanjang kekasihnya itu di bak mandi.
Grha!
Ternyata hanya mimpi tokoh utama! Satria sampai terjungkal kaget dan membuat tawa semakin besar seperti tersulut minyak tanah.
Kampung! Hahahaha!
Kami saling menghimpitkan badan, karena layar notebook terlalu kecil untuk sembilan orang. Tertawa dan bertukar bau mulut. Memakan jagung panggang renyah, lalu tertawa lagi dan bertukar bau mulut lagi.
Yang lain mencoba-coba suling bambu milik kami, sementara sebagian masih tertawa menonton film semi porno itu dengan mata segar dan cerah.
“Hah.... laki-laki...”
04. 00
“Wah sudah jam empat? Saatnya mandi, jam setengah lima kan kumpul? Tuh ada mahasiswa baru yang sudah kumpul, ayo cepat”
“aku boleh pinjam gayung?”
“ini,”
“Rif, ada sabun mandi?”
“ada...”
“wah, lupa bawa handuk, pinjam juga!”
“ini....”
“yah, odolnya habis, minta ya!”
“ini ni...”
“hm.. lupa bawa sikat gigi juga, pinjam ya!”
“eee...... ya sudah deh....”
Mussab memang selalu begitu, maklumi sajalah.
Sementara, dengan asumsi bahwa belum ada mahasiswa wanita pada jam empat pagi, Dito memilih mandi di kamar mandi wanita dengan alasan antri yang panjang.
“byur....”
“ugg! Dingin!”
Mahasiswa wanita ternyata datang tanpa diduga dan mengetuk pintu, “ada orang di dalam?”
“ada...” jawab dito dengan suara khas laki-laki baru bangun tidur yang bas dan berat.
gadis itupun keluar tanpa ekspresi.
05.00
“Bima! Mau kemana?” tegur kamal, ketua panitia ospek bahasa arab.
“biasa.. kebutuhan cinta”
“aduh... ya hati-hati!”
“iya, demi cintaaaa!”
“jemput di mana?”
“dekat UKI!”
“sip!”, “jangan terlambat!”
06. 30
“Mar, maaf ya, ini untuk data pengawasan. Habibie tidak masuk, dia hari ini kecelakaan di jalan”
“oke saja, silakan saja ditulis di sini . Habibie yang mana ya?”
“yang jadi panitia juga, menginap semalam,”
“hm, baiklah,” kataku menahan kantuk. Lalu tidur lagi di balik meja.
09.00
“Teman, mohon doamu untuk rekan kita, Habibi, yang tadi pagi mengalami kecelakaan. Sekarang dia dirawat di rumah sakit dengan keadaan kritis”
Habibi? Hm, diantara daftar panitia yang aku pegang, aku tak melihat nama habibi, siapa dia?  Memang ada beberapa yang tidak masuk, Akira, Bima, tetapi Habibi tak terdata.
Acara berjalan lancar, namun seperti umumnya acara, membosankan. Beberapa tertidur. Yang lain menguap dan memakan biskuit bekal. Pembicara juga seperti melafalkan doa tidur bagi ratusan peserta.
13.00
“Siapa yang darahnya A?!”
Faishal mendadak membangunkan lamunan panitia di belakang arena. Terengah-engah.
Aku diam. Aku juga sedang sakit.
“Siapa yang darahnya A!!”
Aku ragu, ini untuk apa? Donor darah?
“Amar, apa golongan darahmu?”
“A, kenapa?”
“Habibi, ayo, Habibi butuh, ikut aku!”
“buat apa?”
“dia kritis dan kehabisan darah, PMI juga kehabisan!”
Baik, keraguanku hilang. Entah habibi siapa, tetapi yang jelas, dia panitia dan pasti temanku!
“Tunggu, kita cari lagi satu orang, darahku pasti kurang.”
“Mussab?”
“wah tak tahu mar belum pernah cek!”
“Nasrul?”
“kelelahan!”
“Kak Adhit?”
“sedang sakit juga!”
“Arief?”
“o!”
“sip, ayo ikut!”
“kemana?”
“Habibie!”
“oh, bima, memang tambah kritis?”
“ha? Bima?”
“iya, Habibie Bima,”
“Apa?”
Mendadak darah bercampur airmata.
“kita harus segera...”
13. 30
“Kak, mau sumbang darah?”
“buat bima ya?”
“iya, kak, golongannya apa?”
“A,”
“bagus! Ayo ikut saya!”
“tapi saya takut ah!”
“tak papa, tak sakit!”
“saya belum pernah!”
“kak, dia kritis, butuh banyak darah!”
“...”
Semakin tertunduk. Waktu berdentang tanpa henti. Tak mau berhenti. Takkan pernah mau berhenti.
14.00
“Faishal, tak ada lagi yang bergolongan A!”
“ya sudah ayo, aku juga hanya menemukan satu lagi!”
Macet.
Tengah hari. Menghabiskan keringat.
Belum isi bensin.
Satu jam terbuang. Satu jam. Satu jam!
“Bima!”
15.30
Gerbang rumah sakit tidak terlalu besar. Bau obat menyeruak, kami bersegera. Ruang ICU sudah kami temukan, dan sudah ramai berkumpul. Azan ashar sudah terbangun, tetapi sedikit yang menyadari. Kenapa semuanya tertunduk? Menangis? Kenapa semuanya tidak menjawab?
“ini orangnya, dia A!”
“siapa?”
“ini, teman kampusnya!”
Entah kenapa udara menjadi sesak. Airmata telah memenuhi lantai dan menjadi sisa hujan terik hari. Yang lain menunduk. Ibunya menangis dengan agak keras.
pintu terbuka, dan dengan sederhana dokter bersuara,
“dia sudah tidak ada, biarkan ia tenang menemui-Nya”
15.31
“inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, telah berpulang ke rahmatullah, Habibi Bima, rekan kita hari ini pukul 03. 30. Karena kecelakaan. Mari kita memanjatkan doa baginya, semoga arwahnya tenang dan diterima di sisi-Nya...”
Hanya 15 jam 31 menit, waktu yang dibutuhkan untuk menikmati persahabatan dengan sederhana.