Senin, 21 Oktober 2019

Mau Ke Mana Transformasi Gerakan KAMMI?



Hasil Rapimnas baru sempat saya renungkan. Di tengah kejaran analisis berbagai isu yang mesti saya renungkan, dan ingar bingar berita politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain sebagainya:

Ijinkan saya memberikan pandangan tentang hasil rapimnas. Pandangan ini tak mewakili posisi saya di Pusat, tetapi bentuk adu gagasan semata.

Mari dengan tegas katakan: bentuk transformasi gerakan yang ditawarkan Rapimnas, adalah transformasi yang gagal paham pada kondisi lapangan, cacat sejarah, dan tak berdasar analisis yang cermat pada kondisi KAMMI di lapangan.


Transformasi ini mengajak kita menjadi gerakan pengkaryaan; yang tampak betul didasari kekaguman pada gemerlapnya jaman ekonomi digital. Era Startup dan ekonomi digital yang dibuka Presiden Joko Widodo adalah euforia negara berkembang.

Jujurlah pada diri sendiri. Masalah utama pada gerakan kita adalah, tumpulnya analisis dan beloknya orientasi dakwah.

Desain produk dauroh dan MK, sejak DM 1 hingga DM 3, menghasilkan orang-orang yang dapat memberi solusi dan kepemimpinan pada segala bidang, bukan terkhusus pada bidang startup dan ekonomi digital.

Susunan pencerdasan dari materi yang disajikan, harusnya membuat kader paham cara memperbaiki kondisi negara yang rusak parah.


Bukan malah bertransformasi menjadi rumah besar stratup. Ingat! Kita bukan organisasi yang mampu mendatangkan investasi besar. Sedangkan ribuan startup mati karena gagal menghadapi fase bakar duit di empat tahun pertama.

KAMMI yang masih menghadapi sulitnya dana dauroh jangan sombong berpura-pura mampu mencetak pelaku startup, yang desainnya dari investasi.

Kedua. Saya bukan ekonom. Tapi saya bukan orang yang buta berita. Era startup dan ekonomi digital, adalah bentuk lain kapitalisme yang menjerat negeri ini. Sebab, pola ini telah kita temukan di tiga puluh tahun lalu, saat Presiden Soeharto membuka Era Perbankan melalui Pakto 88.

Saat itu, persyaratan membuka sebuah bank dipermudah. Tujuannya: investasi lokal maupun asing akan diserap ribuan bank kecil itu, lalu disalurkan lagi kepada unit usaha yang membutuhkan dengan skema tertentu.


Hasilnya? Investasi asing menjebak kita semua. Hanya 10 tahun setelah Pakto 88 dideklarasikan, terjadi bencana ekonomi:  krisis moneter, dan jatuhnya rupiah, serta bengkaknya utang korporasi yang segera mengoyak ekonomi negara kita.

Ribuan bank itu binasa. Berikut ratusan ribu unit usaha yang mendapat investasi dari bank-bank itu dalam tahun-tahun krismon.

Kalau kita mau jeli; bahaya terselubung era ekonomi digital ini yang harusnya jadi perhatian Bidang Kebijakan Publik dua tahun kedepan.

Ke mana investasi asing dilabuhkan? Mengapa mereka bersemangat memberikan dana besar kepada model bisnis yang sangat spekulatif ini?

Apalagi, ada satu hal yang masih belum jadi perhatian pengguna jasa ekonomi digital. Privasi data. Privasi data ini pernah jadi isu besar saat Xiaomi dan Huawei disinyalir melakukan penyadapan data:

Atas tuduhan Amerika Serikat. Berita ini memang tak sampai ke negeri kita; karena memang media adalah alat opini pasar yang paling baik.

Rangkaian aturan yang diluncurkan pads 2017 berkaitan cara baru berbisnis ini, masih belum diiringi dengan jaminan privasi dan hadirnya keadilan di tengah pasar.

Hadirnua startup di bidang transportasi membuat sektor ini hancur berantakan. Tata aturan transportasi darat kacau balau: akhirnya rakyat main hakim sendiri karena negara tak memberi jalan tengah, tapi melindungi yang modalnya besar.


Ini terjadi pada gojek dan grab. Ketidakadilan negara pada pelaku pasar di jalan raya; malah disikapi secara neolib oleh generasi milenial: Organda telat berubah; dan lain sebagainya.

Padahal ini semua tentang negara yang tak memberi keadilan yang sama. Akses yang sama pada sumber dana, kepada semua pelaku pasar.

Bisnis pendidikan, menjadi masalah saat tata krama dan moral yang diajarkan di sekolah; serta sakralisasi guru melalui UU Guru dan Dosen habis diterjang startup berbasis pendidikan.

Munculnya kasus kekerasan pada guru dan penistaan pada sekolah, jelas merupakan dampak dari desakralisasi pendidikan, sebab orientasi pendidikan kini bukan lagi dakwah:

Tapi bisnis.  "Oh sir, i am hired you, you are'nt my teacher. You are knowledge-seller!" kondisi anomie semacam itukah yang mau diraih KAMMI?

kewaspadaan jangan sampai hilang! Janganlah kekaguman kita pada perhiasan dunia mengakibatkan hilangnya nalar kritis dalam membaca ke mana zaman akan beredar.

Saya ramalkan: akhir pemerintahan Jokowi periode dua akan diwarnai kolapsnya sejumlah raksasa startup dan beralihnya bentuk bisnis, karena perubahan peta ekonomi global yang merusak skema dan mood investasi.


Ketiga. Apakah para perumus transformasi gerakan tidak berasal dari kalangan pengkader yang dari padi di tanam, mau berkotor-kotor di sawah?

Semua orang saat rekrutmen awal, punya satu harapan. Mereka melihat KAMMI dengan satu cara: "ingin belajar islam lebih dalam."

Sebab itu, desain materi MK Khos dibuat memenuhi dasar-dasar keislaman itu. Harga diri dan jati diri seorang muslim dididik, diasuh, dibina pelan-pelan sampai berubah menjadi prinsip hidup yang tak lekang oleh waktu.


Sang kader akan dicobai dengan kerasnya tembakan water cannon, dan derasnya uang dari kejahatan-kejahatan terselubung yang hendak ditutupi.

Setelah itu; pilihan menjadi pelaku startup hanyalah satu di antara banyak pilihan dari mana kita akan berjihad memerangi kebatilan.


Untuk itu, perlu ada sebuah rencana taktis, kuat, dan cerdas untuk menguatkan sistem kaderisasi. Tapi saya tak melihat itu dalam hasil Rapimnas, terkhusus pada proses transformasi gerakan.

Skema transformasi gerakan ini--dalam pembacaan saya--akan mengubah besar-besaran citra dan cara pandang KAMMI kepada dunia.

Ada beberapa resiko yang harus kita tanggung berkaitan dengan perubahan ini.


Satu. Jelas dan tegas; saat ini ada satu generasi muslim yang jiwanya sedang haus pada solusi konkret penindasan pada bangsa ini.

Baik penindasan investasi, penindasan budaya, penindasan politik, dan juga penindasan militer.

Momentum yang ada membuat generasi ini semakin cinta kepada agamanya. Simbol-simbol islam: cadar, jilbab, kaus kaki, bendera tauhid, takbir, dan al-Qur'an sekarang menjadi alat unjuk jatidiri generasi itu.


Dan di gerakan ini, jati diri kader berdasarkan manhaj, sangat menjawab kehausan generasi itu. Kalau KAMMI tak ingin mengambil generasi itu sebagai bagian dari umat yang hendak dibina:

Lalu mereka akan mengambil generasi yang mana? Startup, adalah monopoli sedikit orang. Yang dibesarkan dari kultur kampus para pengusaha, atau keluarga para pialang. Apa mau ambil dana dari alumni?

Jaringan alumni kita masih pragmatis. Belum mikirin kita. Mereka masih senang rebutan hal-hal yang belum jadi bahan rebutan kita.

Silakan periksa puluhan survei mengenai milenial islam yang bertebaran. Fakta yang didapat mudah kita sederhanakan bahwa:

Ada satu generasi, yang jumlahnya besar, sedang sangat tergila-gila pada islamisasi kehidupan, bukan startup-isasi.

Ayo turun ke dauroh. Saksikan generasi itu saat ini berbondong-bondong bergabung bukan karena ingin jadi pengusaha, tapi ingin menjadi orang yang dimaksud dalam kredo gerakan KAMMI. Yang mewah itu.

Marilah jujur kepada diri sendiri:

Yang diperlukan adalah pemulihan unsur-unsur dan alat kaderisasi. Jumlah instruktur kurang. Sementara dauroh digenjot atas nama rekrutmen 100.000 kader.

Selepas dauroh, ada perkara MK, sebagai alat pencerdasan utama kita. Tapi alat pencerdasan ini rusak, maka kita masih hobi nitip kader ke sistem pengaderan di luar KAMMI. Kualitas pemandu masih minim.

Mereka perlu kehadiran orang-orang pusat dan wilayah untuk sekadar transfer ilmu. Transfer cara-cara teknis mengkader.

Kalau alatnya sudah diperbaiki, transformasi gerakan KAMMI tak perlu diarahkan jadi organisasi pencetak startup baru. Semua lini harus kita garap.


Jangan kagum pada fenomena zaman. Di hadapan kita, betul startup juga bagian dari problematika umat. Tapi politik, sosial, ekonomi, budaya, juga masalah umat.


Itu!