Senin, 05 Agustus 2019
Islam dan Soal-soal Razia Buku
Sebuah buku tak akan berbunyi apa-apa, kalau tak ada yang membacanya, mendiskusikannya, lalu menghasilkan sebuah ide baru dari buku itu.
Dan sebuah ide yang bagus, yang membangun, yang sehat, tak mesti lahir dari buku yang bagus, atau lolos razia.
Di perpustakaan saya, bertengger Das Kapital. Terbitan Moskow, 1959. Ya, buku ini adalah Risalah Pergerakan Ikhwanul Komunis di seluruh dunia. Tetapi, ada dua stempel dalam buku yang ada di rumah saya ini.
Stempel pertama, yang lebih tua, tertanda Brigjend. H. M. Bachrun. Tintanya berwarna hijau pucat. Nama ini, orang hanya mengetahui sebagai nama jalan di banyak tempat. Tapi siapa yang tahu kalau dia adalah Ketua Gerakan Ahmadiyah Indonesia di era Orde Baru?
Mungkin buku ini didapatnya semasa menjadi asisten pribadi Presiden Soekarno. Atau juga dalam lawatannya ke berbagai tempat, sebagai cara untuk memahami gerakan komunisme. Dan buku ini tidak musnah.
Tapi, bukan itu saja. Tampaknya buku ini berpindah tangan lagi. Di bagian bawah halaman pertama buku Das Kapital itu, ada sebuah stempel lain berwarna ungu yang menunjukkan dari zaman lebih baru.
Stempel itu, bertulis Perpustakaan Asrama Pelajar Islam: Prawoto Mangkusasmito. Kalau kita masih ingat, Prawoto, adalah ketua terakhir dari Masyumi. Sebuah partai yang hadir sebagai lawan paling keras dari PKI.
Ya; saya sendiri mulanya terperangah. Di masa Prawoto, perjuangan Masyumi di parlemen maupun di jalan-jalan mencapai puncaknya. Tapi, ia tetap ingin perlawanan itu berdasar.
Ia tidak melarang anak-anak didiknya di asrama pelajar yang ia bina itu, untuk membaca buku ini. Bahkan meletakkannya di perpustakaan. Saya tidak tahu, adakah Brigjend Bachrun menghadiahkannya pada Prawoto ataupun ia mendapatkannya dari toko buku bekas.
Tapi, sebuah buku, betapapun itu, tetaplah layak dibaca. Selain buku ini, saya menemukan pula di tepi toko-toko buku loak, sebuah naskah legendaris: "Masyahid Al-Qiyamah fil Qur'an". Atau, " Hari Akhir Menurut Qur'an". Buku ini adalah karya orang yang sama yang menulis buku-buku keras, semacam 'Petunjuk Jalan'.
Sayyid Quthb. Ketua Harian Ikhwanul Muslimin di masa krisis 1960-an, yang dianggap 'berjasa' memberikan ruang dialektika lahirnya gerakan-gerakan jihad islam di abad modern dengan buku-bukunya.
Dan, penerjemah penyunting buku ini, yang terbit tahun 1986 di Indonesia, adalah Masdar F Mas'udi.
Ya. Tokoh besar Jamaah Islam Liberal, yang hari ini menjadi salah satu petinggi dari PBNU. Dia adalah tokoh yang dianggap membuat wajah islam Indonesia semakin bebas dan liberal. Jauh dari pemikiran Sayyid Quthb.
Dua kasus di atas membuat saya terpaksa menyimpulkan begini: sebuah buku belum tentu bisa mengendalikan pikiran pembacanya. Seorang pembaca, belum tentu juga bisa mengetahui maksud asli bukunya.
Bulan-bulan belakangan, saya banyak ditanya: bahwa sejumlah besar buku tengah dilarang. Kiri dan kanan. Oleh BNPT dan densus, buku-buku bercorak islam kerap disita sebagai barang bukti penangkapan terorisme.
Sementara oleh pasukan yang loreng-loreng itu, buku-buku dengan kata kunci komunis, meskipun itu anti komunis, akan diambil dan dibakar.
Bahkan terakhir saya dengar, buku belajar bahasa Arab yang populer itu, Durusul Lughoh, disita.
Ah. Ada banyak orang tak pernah baca buku, lalu menghadapi buku sebagai barang menakutkan. Islam tak pernah mengajarkan kita untuk menyita buku-buku.
Justru kelindan pemikiran islam berkembang dengan saling berbalas buku: belum lekas dari ingatan, betapa Imam Ghazali mengkritik para Filsuf dengan Tahafut Al-Falasifah.
Lalu, ternyata buku itu tak luput dari kritik dengan munculnya sanggahan dari Ibnu Rusyd: Tahafut min Tahafut Al-Falasifah. Begitu juga yang terjadi sepanjang zaman.
Sebab begitulah cara kita dididik untuk berpikir dan saling menyanggah. Razia buku adalah tindakan orang yang tak pernah membaca buku tapi mengetahui betapa berbahayanya orang yang bergerak karena buku. Persis, sebagaimana dulu Belanda merazia majalah Al-Manar dari Muhammad Rasyid Ridha yang masuk ke Indonesia, dan dengan itu, KH. Ahmad Dahlan terpaksa menyobek-nyobeknya hingga tampak seperti pembungkus pakaian, agar lolos dari razia di pelabuhan.
Belanda tak ingin bangsa kita tahu sedang ada apa di dunia ini. Belanda tak ingin negeri kita punya alasan melawan. Memang, selain majalah Al-Manar itu, dirazia pula buku-buku komunisme.
Saya tak tahu, pihak yang merampas buku itu ingin melarang kita dari berbuat apa atau berpikir seperti apa. Tetapi islam tak mengajarkan kita menjadi manusia nirbaca.
Sebagai muslim, kita dituntut memahami perbandingan segala ideologi yang kita temui dalam perjalanan hidup, dan mampu menjelaskannya dengan baik, lalu membandingkannya dengan islam.
Agar, islam semakin kuat dan semakin punya alasan untuk diyakini penganutnya. Agar ada kedewasaan berpikir dan titik tengah dalam perjuangan bersama orang lain, yang juga kebetulan punya musuh yang sama, tapi ideologi berbeda.
Mari sebagai muslim, kita melindungi pikiran kita dari ancaman razia buku. Mari lindungi buku-buku dari tangan orang yang keras hatinya dan tak pernah membaca buku, dan mudah menghancurkan buku-buku itu.
Marilah melindungi para pembaca buku dari kebekuan ide serta kegagalan pikir dengan menyediakan ruang-ruang diskusi: di taman, di sekolah, di restoran, di sungai, di kantor polisi, di istana Presiden, di Masjid, atau di mana saja.
Sebab islam dibangun atas dasar pemahaman. Agar hal-hal baik dalam buku-buku tetap dapat ruang, tetap punya hak untuk dikembangkan, sementara hal-hal buruk dari sebuah buku dapat didiskusikan dengan aman. Sebagaimana, saat Hasan Al-Banna, di musim semi 1935, menulis saat ditanya mengenai sikapnya terhadap berbagai isme:
"Tidak ada sisi yang baik dalam sebuah isme apapun itu, melainkan ia juga ada pada dakwah kami, dan kamipun menyeru kepadanya..."
Langganan:
Postingan (Atom)