"Maka heranlah saya melihat pemerintah menggantungkan bermacam-macam
cita-cita dan maksud yang muluk-muluk untuk dijadikan taruhan (inzet)
dari hidup matinya kabinet ini...." Kata Natsir, dalam pandangan umum
terhadap kinerja pemerintah, 28 Agustus 1953.
"Menyusun,
meregistrir, serta melukiskan sesuatu program kerja di atas kertas,
memang tidak begitu sulit, dan jikalau kita pandai pula membacakannya
dengan pathos dan intonatie yang menarik, pasti kita akan menggembirakan
claqueurs yang gampang dipengaruhi....."
Natsir kala itu adalah
seorang politisi islam yang disegani. Ketegasannya bahkan melebihi apa
yang bisa kita bayangkan sekarang. Perseteruan islam dan komunisme juga
mencapai level tertinggi; kala itu komunisme secara zahir menguasai
Indonesia dan hasilnya terbilang mengenaskan.
Demonstrasi anti
islam menguar di mana-mana. Rupiah anjlok seanjlok-anjloknya. Di bidang
kebudayaan lebih parah lagi; meskipun Bung Karno tidak suka dengan yang
barat-barat, tapi bioskop kelas A terus menayangkan film-film dengan
gaya barat. Seperti biasa, kegagapan mengelola negara dibungkus dengan
kata-kata puitis dan revolutif:
Seperti hari ini. Hari-hari
Revolusi Mental, hari-hari klaim Pahlawan Anti Korupsi, hari-hari klaim
Bapak Pembangunan Jakarta, hari-hari slogan. Jangan lupa bahwa Cina,
negara komunis itu, adalah investor ketiga terbesar di Indonesia, dan
kemudian, ia menjelma menjadi kapitalis yang komunis, paradoks komunis
yang kapitalis: Thomas Lembong, Kepala BPKPM, menegaskan bahwa Cina akan
segera menjadi investor terbesar di Indonesia dalam waktu dekat.
Luka September 1948 di berbagai tempat antara PKI yang memberontak
dengan kekuatan islam, masih membekas sakit di hati rakyat Indonesia.
Luka itu membayang-bayang pada pidato Natsir hari itu.
Masyumi,
dengan gaya Ulama dan Umaro yang bersatu dalam tubuh kader-kadernya,
menyerukan Perang Sabil. Masyumi membentuk laskar bersenjata yang lebih
besar dan kuat ketimbang Laskar Pembela Islam Habib Rizieq Syihab, untuk
menghadang kekejaman komunisme itu. Di mana-mana rakyat angkat senjata
melawan komunisme yang mempersenjatai kadernya.
Di Surakarta,
terjadi pembantaian massal tokoh-tokoh pro-Pemerintah oleh PKI,
utamanya, mereka yang dikenal sebagai muslim taat dan politisi. Tak
kalah garang, Hizbul Wathan sebagai sayap Muhammadiyah, bergerak dengan
kekuatan besar memerangi PKI secara fisik. Berjuang melawan PKI, adalah
masalah hidup atau mati. Mayat di mana-mana. Kawan atau lawan.
Korban jiwa, 1948 itu, dan hingga tahun 1953 ketika pidato Natsir itu
diucapkan, mungkin sudah puluhan ribu jiwa. Pada saat itu, Front Anti
Komunis dibentuk dan meluas, sebagaimana FPI hari ini. Isa Anshary dan
elemen Masyumi Jawa Barat bergerak.
Orang Sunda; adalah etnis
terbaik ketika menjelaskan kekuatan islam anti komunis. Jangan lupa,
bahwa kala itu Darul Islam-Tentara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwiryo
masih berdiri. Sementara, di tanah Sunda, bergerak pembersihan terhadap
elemen komunisme. Di mana-mana razia dan pencerdasan diadakan.
Bukankah hari ini juga begitu; hanya saja, ada sekelompok orang
mengklaim bahwa Sunda hanya sebatas masalah mengarak simbol-simbol
kemusyrikan, atau masalah bicara dengan bahasa-bahasa bersayap agar
tampak nasionalis demi kepentingan endorsmen media?
Maka, "Di
bawah kibaran palu arit," kata Natsir lagi, "Pernah di Ibu Kota ini
gemuruh demonstrasi-demonstrasi untuk memulihkan keamanan dan
memberantas 'gerombolan D. L, TII, dan lain-lainnya' gerombolan MMC,
Bambu Runtjing, Barisan Sakit Hati, rupanya dimasukkan Geruisloos, ke
dalam istilah 'dll' itu sehingga tidak disebut,"
Umat islam sudah mengalami diskredit itu sejak dulu. Bahwa yang dimaksud perusuh, oleh kalangan komunis, pasti kalangan islam.
Maka dengarlah perkataan Wakil Perdana Menteri dari Partai Indonesia
Raya, Mr Wongsonegoro kala kerusuhan itu menguar, yang kata Natsir
menjadi kata bersayap dan komando terakhir, "Apabila bicara dengan mulut
tidak mempan lagi, suruhlah senjata dan bedil berbicara!"
Sejarah terjadi; Komunis mendompleng kalangan nasionalis dan kemudian
menciptakan kerusuhan di mana-mana. Natsir melanjutkan paparannya:
"Saya hendak bertanya kepada pemerintah ini: apakah yang telah
berbicara semenjak tahun 1950 sampai sekarang, selain bedil? Malah lebih
dari bedil, mortir dan bom, sudah kita suruh berbicara! Kenyataan bahwa
toh sampai sekarang belum kunjung juga keamanan terpulihkan adalah
bukti bahwa soal ini bukanlah soal dangkal yang dapat diatasi dengan
semata-mata komando terakhir,"
"Perintah kepada tentara untuk mempergunakan senjata bedil, mortir, dan bom itu!"
Bukankah hari ini polanya sama? Kalangan islam ditangkapi. Demonstrasi
yang digelar KAMMI, HMI, GNPF-MUI, IMM, selalu dihadapi dengan kendaraan
lapis baja. Orang yang menyuarakan kebebasannya di media sosial, di
media massa, akan bersiap menghadapi kurungan laksana binatang di rumah
majikannya. Bahkan lebih parah lagi, orang bisa dipenjara hanya karena
menulis kalimah tauhid di atas bendera!
"Kami berulang-ulang
mengemukakan bahwa soal keamanan ini tidak dapat diselesaikan secara
militer sentris. Dan bukan cukup sekedar mengulang-ulangi saja. Kami
tahu, bahwa perlu kami bantu dalam lapangan lain dari lapangan
bersenjata itu. Kami membantu dalam lapangan yang dapat kami kerjakan!"
Sejarah mencatat, setahun kemudian, muncul fatwa yang cukup tegas dan
jelas dari Masyumi. Pada 3-7 Desember di Surabaya, Majelis Syuro Pusat
Masyumi mengeluarkan fatwa hukum islam tentang komunisme dalam momen
Muktamar ke-7, tahun 1954.
Fatwa tersebut menyatakan, bahwa
komunisme menurut hukum islam adalah kufur, bagi orang yang menganut
komunisme dengan pengertian, kesadaran, dan meyakini kebenaran komunisme
maka hukumnya adalah kafir. Seseorang yang mengikuti komunisme atau
organisasi komunis tanpa disertai pengetahuan, kesadaran, dan keyakinan
pada falsafah, ajaran, tujuan, dan cara-cara perjuangan komunis, maka
hukumnya sesat.
Dan kemudian, kata Natsir, "kami peringatkan akan
tanggung jawab kami yang besar untuk menjaga keselamatan republik
Indonesia ini, sebagai hasil jihad kami umat islam bersama-sama dengan
segenap golongan sebangsa atas dasar kata persamaan!"
Memori
Natsir dan Masyumi itu, entah kenapa beberapa hari ini terus membayang
di ingatan bangsa kita. Ya; sudah 50 tahun lebih pidato itu diucapkan,
namun kini, ternyata perang belum usai. Umat islam, belum aman dan bebas
di negaranya sendiri...
Tanah Sunda Bagian Ujung
Januari 2017