Kamis, 26 Januari 2017

Menyimak Kembali Memori M Natsir: Pernah Negara Ini...

"Maka heranlah saya melihat pemerintah menggantungkan bermacam-macam cita-cita dan maksud yang muluk-muluk untuk dijadikan taruhan (inzet) dari hidup matinya kabinet ini...." Kata Natsir, dalam pandangan umum terhadap kinerja pemerintah, 28 Agustus 1953.

"Menyusun, meregistrir, serta melukiskan sesuatu program kerja di atas kertas, memang tidak begitu sulit, dan jikalau kita pandai pula membacakannya dengan pathos dan intonatie yang menarik, pasti kita akan menggembirakan claqueurs yang gampang dipengaruhi....."

Natsir kala itu adalah seorang politisi islam yang disegani. Ketegasannya bahkan melebihi apa yang bisa kita bayangkan sekarang. Perseteruan islam dan komunisme juga mencapai level tertinggi; kala itu komunisme secara zahir menguasai Indonesia dan hasilnya terbilang mengenaskan.

Demonstrasi anti islam menguar di mana-mana. Rupiah anjlok seanjlok-anjloknya. Di bidang kebudayaan lebih parah lagi; meskipun Bung Karno tidak suka dengan yang barat-barat, tapi bioskop kelas A terus menayangkan film-film dengan gaya barat. Seperti biasa, kegagapan mengelola negara dibungkus dengan kata-kata puitis dan revolutif:

Seperti hari ini. Hari-hari Revolusi Mental, hari-hari klaim Pahlawan Anti Korupsi, hari-hari klaim Bapak Pembangunan Jakarta, hari-hari slogan. Jangan lupa bahwa Cina, negara komunis itu, adalah investor ketiga terbesar di Indonesia, dan kemudian, ia menjelma menjadi kapitalis yang komunis, paradoks komunis yang kapitalis: Thomas Lembong, Kepala BPKPM, menegaskan bahwa Cina akan segera menjadi investor terbesar di Indonesia dalam waktu dekat.

Luka September 1948 di berbagai tempat antara PKI yang memberontak dengan kekuatan islam, masih membekas sakit di hati rakyat Indonesia. Luka itu membayang-bayang pada pidato Natsir hari itu.

Masyumi, dengan gaya Ulama dan Umaro yang bersatu dalam tubuh kader-kadernya, menyerukan Perang Sabil. Masyumi membentuk laskar bersenjata yang lebih besar dan kuat ketimbang Laskar Pembela Islam Habib Rizieq Syihab, untuk menghadang kekejaman komunisme itu. Di mana-mana rakyat angkat senjata melawan komunisme yang mempersenjatai kadernya.

Di Surakarta, terjadi pembantaian massal tokoh-tokoh pro-Pemerintah oleh PKI, utamanya, mereka yang dikenal sebagai muslim taat dan politisi. Tak kalah garang, Hizbul Wathan sebagai sayap Muhammadiyah, bergerak dengan kekuatan besar memerangi PKI secara fisik. Berjuang melawan PKI, adalah masalah hidup atau mati. Mayat di mana-mana. Kawan atau lawan.

Korban jiwa, 1948 itu, dan hingga tahun 1953 ketika pidato Natsir itu diucapkan, mungkin sudah puluhan ribu jiwa. Pada saat itu, Front Anti Komunis dibentuk dan meluas, sebagaimana FPI hari ini. Isa Anshary dan elemen Masyumi Jawa Barat bergerak.

Orang Sunda; adalah etnis terbaik ketika menjelaskan kekuatan islam anti komunis. Jangan lupa, bahwa kala itu Darul Islam-Tentara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwiryo masih berdiri. Sementara, di tanah Sunda, bergerak pembersihan terhadap elemen komunisme. Di mana-mana razia dan pencerdasan diadakan.

Bukankah hari ini juga begitu; hanya saja, ada sekelompok orang mengklaim bahwa Sunda hanya sebatas masalah mengarak simbol-simbol kemusyrikan, atau masalah bicara dengan bahasa-bahasa bersayap agar tampak nasionalis demi kepentingan endorsmen media?

Maka, "Di bawah kibaran palu arit," kata Natsir lagi, "Pernah di Ibu Kota ini gemuruh demonstrasi-demonstrasi untuk memulihkan keamanan dan memberantas 'gerombolan D. L, TII, dan lain-lainnya' gerombolan MMC, Bambu Runtjing, Barisan Sakit Hati, rupanya dimasukkan Geruisloos, ke dalam istilah 'dll' itu sehingga tidak disebut,"

Umat islam sudah mengalami diskredit itu sejak dulu. Bahwa yang dimaksud perusuh, oleh kalangan komunis, pasti kalangan islam.

Maka dengarlah perkataan Wakil Perdana Menteri dari Partai Indonesia Raya, Mr Wongsonegoro kala kerusuhan itu menguar, yang kata Natsir menjadi kata bersayap dan komando terakhir, "Apabila bicara dengan mulut tidak mempan lagi, suruhlah senjata dan bedil berbicara!"

Sejarah terjadi; Komunis mendompleng kalangan nasionalis dan kemudian menciptakan kerusuhan di mana-mana. Natsir melanjutkan paparannya:

"Saya hendak bertanya kepada pemerintah ini: apakah yang telah berbicara semenjak tahun 1950 sampai sekarang, selain bedil? Malah lebih dari bedil, mortir dan bom, sudah kita suruh berbicara! Kenyataan bahwa toh sampai sekarang belum kunjung juga keamanan terpulihkan adalah bukti bahwa soal ini bukanlah soal dangkal yang dapat diatasi dengan semata-mata komando terakhir,"

"Perintah kepada tentara untuk mempergunakan senjata bedil, mortir, dan bom itu!"

Bukankah hari ini polanya sama? Kalangan islam ditangkapi. Demonstrasi yang digelar KAMMI, HMI, GNPF-MUI, IMM, selalu dihadapi dengan kendaraan lapis baja. Orang yang menyuarakan kebebasannya di media sosial, di media massa, akan bersiap menghadapi kurungan laksana binatang di rumah majikannya. Bahkan lebih parah lagi, orang bisa dipenjara hanya karena menulis kalimah tauhid di atas bendera!

"Kami berulang-ulang mengemukakan bahwa soal keamanan ini tidak dapat diselesaikan secara militer sentris. Dan bukan cukup sekedar mengulang-ulangi saja. Kami tahu, bahwa perlu kami bantu dalam lapangan lain dari lapangan bersenjata itu. Kami membantu dalam lapangan yang dapat kami kerjakan!"

Sejarah mencatat, setahun kemudian, muncul fatwa yang cukup tegas dan jelas dari Masyumi. Pada 3-7 Desember di Surabaya, Majelis Syuro Pusat Masyumi mengeluarkan fatwa hukum islam tentang komunisme dalam momen Muktamar ke-7, tahun 1954.

Fatwa tersebut menyatakan, bahwa komunisme menurut hukum islam adalah kufur, bagi orang yang menganut komunisme dengan pengertian, kesadaran, dan meyakini kebenaran komunisme maka hukumnya adalah kafir. Seseorang yang mengikuti komunisme atau organisasi komunis tanpa disertai pengetahuan, kesadaran, dan keyakinan pada falsafah, ajaran, tujuan, dan cara-cara perjuangan komunis, maka hukumnya sesat.

Dan kemudian, kata Natsir, "kami peringatkan akan tanggung jawab kami yang besar untuk menjaga keselamatan republik Indonesia ini, sebagai hasil jihad kami umat islam bersama-sama dengan segenap golongan sebangsa atas dasar kata persamaan!"

Memori Natsir dan Masyumi itu, entah kenapa beberapa hari ini terus membayang di ingatan bangsa kita. Ya; sudah 50 tahun lebih pidato itu diucapkan, namun kini, ternyata perang belum usai. Umat islam, belum aman dan bebas di negaranya sendiri...

Tanah Sunda Bagian Ujung
Januari 2017