Minggu, 30 Agustus 2015

Rosario

" Tahun ini, ibu, aku mengenal banyak sekali wajah dan nama. Tetapi aku ingin mengenal kembali engkau, dan selengkap-lengkap namamu.
Aku mengingat banyak sekali alamat dan jaringan kerja. Aku terlalu sering mengenang peristiwa hari libur, tetapi kali ini:
Aku ingin mendengar kembali sajakmu yang dibacakan, tepat di ruang pertunjukan kecil yang kau bangun di sini. Di dalam aku kecil ini.
Aku ingin mendengar kembali dialog-dialog tanpa naskah yang kerap kau perankan, dan sedikit soliloqui: bahwa kau dan aku begitu jauh
Sekaligus teramat dekat, karena kudengar suaramu di lain pulau, sementara kaudengar doaku tepat di bawah bantalmu. Aku ingin pulang,
Tetapi sedikit terlambat. kita hanya sempat bertukar pandang, kita sama-sama mengerti bahwa waktu adalah rahasia yang sangat santun bertamu.
Pada pertunjukan singkat ini, ibu, kudengar kembali engkau bernyanyi
Dan untuk pertama kalinya, setelah tak kudengar lagi: aku bisa menikmati ketuk jarimu yang terus mengetik, dan matamu yang memastikan;
Jangan sampai detak jarum detik keburu berhenti dan mundur kembali sementara kita belum menyelesaikan sepiring besar lembar kerja....."

Sabtu, 04 April 2015

Catatan Kecil Saat Terakhirku Dengan Ibu

Ibu, hari ini hujan turun deras sekali. Di rumah. samar-samar kulihat di jendela: angin berembus kuat. biasa, aku akan bilang, "Bu, di luar hujan", dan seperti percakapan yang tak perlu kau jawab, "Ya, di jalan pun demikian". 

ini adalah hari pertama aku bisa melamun setelah engkau pergi. Hari-hari yang sibuk, aku bahkan tak sempat menemuimu. Duabelas jam sebelum kau pergi, aku cuma mencium tanganmu, menyeka wajahmu, lalu tak pernah kembali.

sampai kini, aku masih mendengar suara-suara yang mirip engkau. aku kadang lupa kau sudah tak ada. aku masih mengira engkaulah yang menyalakan lampu. engkaulah yang menelepon aku. engkaulah yang merapikan meja. aku masih mengira bapak kembali denganmu sepulang kerja.
*

23.00, 18 Maret

"Ibu, sudah sembuh?" 

"Belum," katamu. Sekantong darah segar dialirkan. sekujurmu penuh dengan kabel.

"Tidurlah," Kataku. "Kujaga infus, darah, dan oksigen ini"

"Tidak, Ibu tak bisa tidur" Jawabmu.

"Jam berapa ini?"

"Sebelas," Jawabku.

"Aku haus. Air?"

"Ini,"

kami terdiam sebentar. Ibu seperti menghitung-hitung waktu. Matamu membayangkan sesuatu. Seperti, menunggu sahabat lama yang tak jua datang.

"Jam berapa ini?" Tanyamu lagi.

"Setengah duabelas," Jawabku"
*

00.00, 19 Mei.

"Bagaimana kata suster?"

"Entah," Jawabmu, "Ibu tak bisa tidur"

"Baiklah. Aku menjagamu"

aku berdiri berjam-jam. memastikan darah tak habis. memastikan Ibu tidur, tapi Ibu tak juga tidur.

kamar pasien menjadi sesak. mengimpit-impit aku. aroma obat, aroma penyakit, aroma troli, aroma darah, aroma parfum, teraduk menjadi satu. mataku kosong. kutatap kembali ibu.

"Sudah pukul dua," Kataku.

"Kira-kira, minggu ini sembuh?"

Kau hanya menggeleng, yang kukira sebagai jawaban tak tahu.

Lama aku terdiam kembali. Terus berdiri.

sebait sajak mengalir,

rasa sakit itu kita namakan kangen. 
kapan terakhir kali kita melingkar,
bicara hal-hal remeh rumah tangga
dan minum dari gelas yang sama?

suatu hari, ibu, engkau seperti mengetahui bahwa belum saatnya aku mengenal ungkapan kehilangan
yang mesti dihalus-haluskan dengan di ambil, pulang, atau istilah-istilah lain
yang akrab dengan kangen yang menyayat
ibu, aku juga kangen pada Allah. Bapak pun juga. adikku juga.
jadi malam ini, aku pulang lebih cepat. aku nikmati angin malam dalam rumah.
karena saat-saat ini indah sekali. kita berlima semeja makan kembali. kita berlima
mengenang kembang yang pernah ditanam
tapi dijadikan teras oleh bapak
atau aku dan adik yang tak pernah beres menanak nasi
kami memang tak pernah tuntas mengenang-ngenang diri
suatu hari, ibu, aku berkenalan lagi denganmu
aku mengingat kembali siapa namaku, dan bagaimana aku ketika belum tahu
bahwa tidak semua cahaya adalah cahaya
tidak segenap lindap, mesti jadi gelap
aku mengeja namamu dengan gagap
percakapan kita pagi tadi, aku masih tidak mengerti
berpuluh tahun ini tetap saja bahasamu paling puisi
kata paling makna dan suara paling sulit dilambangkan aksara
*

03.00, 19 Maret

"Jam berapa ini?" tanyamu lagi, apakah yang sedang kau tunggu?"

"Aku nanti siang ke kampus. Jadwalku padat sekali," Kataku. "Subuh nanti, bergantian dengan Bapak yang jaga"

"Iya," Katamu singkat.

Aku terus menunggu. Azan subuh sesaat lagi tiba. ruangan menjadi dingin. seperti pisau-pisau es mencabik-cabik, seperti balok-balok es menghantam tubuhku. dingin sekali.

"Jam berapa ini?"

"Setengah empat,"

tak lama setelahnya, azan subuh terdengar. aku bersiap pulang, digantikan ayah. aku menyeka keringatmu yang menetes--pada suhu sedingin ini, pada subuh sepagi ini--aku juga menyeka seluruh wajahmu. 

kunikmati azan subuh itu, seperti tak pernah lagi kudengar azan yang sama nanti. kulekati wajahmu. matamu menatap dalam padaku. O Allah, mata apakah yang lebih indah, selain mata telaga seorang ibu, yang menatap dalam mata anaknya?

kurapikan tanganmu. "Aku pulang," kataku.

Kucium tanganmu. Kulihat erat-erat kukumu yang kuning, dan keriput tanganmu yang putih namun menua.

Masjid, subuh itu, hening sekali. lamat lamat sang Imam membaca surat al-Alaq, "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah..."

sepanjang hari itu, gema surat Al-Alaq terus terdengar di dada. ada apakah ini? sampai ketika senja hari, kuulangi pembacaan surah itu dalam shalat. aku resapi betul-betul. 

menjelang isya, aku pergi ke masjid lain. kutemui guruku di sana. aku belajar ilmu tauhid. malam itu, aku lelah, tetapi lantunan surat al-alaq terus terdengar sampai saat itu di dadaku. sejak sore telepon genggamku mati. 

pukul sepuluh. Aku pulang. satu jam, aku menuju rumah sakit. sore tadi kukontak bapak, katanya engkau semakin sehat. kuparkir motorku agak jauh ke dalam.

lamat-lamat aku menuju lantai dua. Ruang mawar. 

aku tercenung, kenapa kamarmu kosong?

"Mbak," tanyaku pada resepsionis, "Ruang itu, pasien di ruang itu, ke mana?"

"Mas? mas siapanya?"

"Saya anaknya"

"Oh....
pasien itu sudah meninggal, mas"
*

insya Allah. segala sesuatu telah tunai. kami meninggalkan ratapan jahiliyah, kami tidak meninggikan makammu, kami tidak berbincang kecuali rencana kedepan.
telah mandikan jenazahmu. telah kushalatkan engkau. telah kupikul engkau padanya, kupapah engkau pada-Nya.
haruskah aku berdukacita, ketika Allah adalah tempat kita kembali, nanti?

Jumat, 03 April 2015

Ulang Tahun Tokoh Partai

Malam tadi—malam Sabtu—kami diundang menonton wayang di balai budaya
Tokoh partai terkemuka berulang tahun, menanggap dalang: Jumenengan Parikesit
Menanggap wayang tentu tidak murah, itu sebabnya berulang-ulang nama seorang jenderal disebut diulang-ulang
“Para hadirin dimohon berdiri,” Ulang  tahun ke-71. Sudah tua
Dan bijaksana.
Menyanyikan lagu bersama-sama:
Selamat ulang tahun kami ucapkan
Selamat sejahtera kita kan doakan...
Si Tokoh, dengan terkekeh menyampaikan sambutan, katanya
“Semoa di ulang tahun saya ini, negeri kita semakin bernurani...”
Tepat setelah sambutan, tumpeng digelar
Potong tumpengnya, potong tumpengnya,
potong tumpengnya sekarang juga
Sekarang juga, sekarang juga
Kami melihat banyak sekali kakek-kakek menyanyi berjingkrak bertepuk tangan
Kembali muda. Menikmati ulang tahun dengan lilin di matanya.
Setelah Ki Dalang menerima wayang, segera
Layar menjadi sebuah kota, lengkap dengan matahari dan janur di gerbangnya
Ada naga melayang di angkasa
Sepasukan tentara kera
Dinosaurus, Megantropus erectus (Lha, mana Parikesitnya?)
Ki Dalang mendengus-dengus pada penjaga istana:
“Negara kita di ambang perang. Sang Raja yang tidak pintar-pintar amat ini,
Kusarankan pergi berkelana
Menyerap segenap asta brata di jagat raya...”

Dan dihari ulang tahunnya, ke-71 tahunnya yang berharga itu,
Seekor dinosaurus mengobrakabrik kota. Melemparkan gunung-gunung
Salto. Hanuman yang hadir Cuma berbisik pada Ki Dalang,
“Lihatlah, si kakek tua tokoh kita itu mengenang-ngenang dinosaurus
Yang tak sempat dia ajak bermain 70 tahun yang lalu”

Kamipun pulang lebih awal, menyadari
Ada yang kurang beres dengan Ki Dalang, sebab ia terus mengulang-ulang:
Nama partai, nama dinosaurus dan nama tokoh utama dalam satu kalimat sepanjang pementasan.
Tokoh kita, yang 71 tahun umurnya, Cuma terkekeh

“Aku Cuma mau balas jasa pada diriku yang bekerja keras 71 tahun ini.”

2014

Kau jangan pernah tercengang; sejak kita saling mengenal
Memang lebih banyak yang berselera memburu
Kita terlalu jujur. Terlalu memihak
pada detak-detak jantung yang melamban
Korban-korban musim yang terlambat
Di ruang-ruang utama, di kantor-kantor pusat
Tempat bermacam bendera partai ditukar-tukar
Bermacam-macam foto dipajang, dan kita Cuma diajari caranya meraungkan:
“Indonesia tanah airku, Tanah

Tumpah darahku...”

Danau

Ikan-ikan itu akhirnya mengerti. Apa yang terlihat di permukaan
Kadang kail genit yang dipermainkan pemancing
Atau sekedar ranting dan seekor capung yang mampir di sana

Si pemancing akhirnya mengerti. Tak selamanya yang terkait di kail adalah ikan. Dapat saja plastik, sandal, atau pokok tanaman air yang tangkas

Serta ikan yang gemar melepaskan umpan dari pancingan.

Selamat Hujan, Tuan Putri

Kalau hujan tengah malam datang, kau bangun dan bilang: apa kau sudah tertidur?

Diam-diam malam itu akulah yang terpercik di jendela. Yang menembus celah genting. Yang menetes di lantai. Yang kau tadah dengan baskom lalu kau bangga-banggakan sebagai kemenangan melawan hujan. Yang masih kau lihat basahnya di bunga-bungaan halaman pagi hari. Yang nanti jadi alasan lumpur di jalan.


Yang menetes di pipimu.

Obat

-Amas Farmas

Jangan-jangan, obat paling jitu adalah berjalan keluar, lalu mendengarkan lesung dan alu menyanyi: “Sapu nyere pegat simpai, urang sosonoan geulis...”
Lalu ziarah. Mendatangi jalan-jalan yang pernah kita lekati, dengan berdoa:“Aku pulang, sebab lama jalanan mengubah kita menjadi baju zirah tahan derita lengkap dengan topengnya”


Pasar Bebas

Di balik sepi. Di situlah kau kusimpan baik-baik, dan kupandangi seperti cermin
Matamu harapan yang tak pernah henti bernyanyi
Dan kita tinggal di hati yang permai. Tempat segala doa disenandungkan
Kita ada di kota yang tak pernah ramai. Ia dibangun dengan industri kesunyian
Agar kita senantiasa membeli keriangan


Bangunlah, Sayang!

Sayang, sudah bangunkah kau dari tipuan-tipuan
Segenap ilusi yang diadakan malam sebagai festival

Kau harus memilih. Dunia ini disusun dari daratan kepercayaan dan lautan ketidakpercayaan
Kemanakah menyegarkan napas, mendapatkan penghiburan dari kekecewaan?

Sayang, sudah bangunkah kau dari tipuan-tipuan?

(Seusai nonton TV yang ada Jokowinya, hehe)

Tamu

Malam itu, ada yang terus mengetuk pintu. Di luar gerimis dingin sekali.
“Siapa?” tegurku.
Aku tak melihat siapa-siapa di jendela.
“Siapa ya?” kataku lagi.
Aku menutup tirai, dan teleponku berdering. Sebuah pesan singkat:
“Aku pulang lagi. Kau terlalu kesepian sekarang. Kuhubungi nanti,” kata masa kecilku yang lama tak berkunjung.
Aku jadi termenung sendiri, jangan-jangan “Kalau kau dewasa, kau kena kewajiban cari artinya bahagia” kata ibu dulu
Artinya aku harus bukakan pintu
Setiap suara masa kecil yang gaib
Datang berkunjung, lalu bercanda lagi dengannya.
Tapi masalahnya, cuma jadi ada dua anak kecil—satu gaib, satunya agak gaib—ngobrol di ruang tamu.
Ah, tidak.

Di ruang hati ini.

Percakapan Dua Sahabat Yang Lama Tak Berjumpa

Tak ada yang mengucapkan salam sedemikian santun, mengetuk pintu, dan tersenyum manis
Selain maut. “Lama tak main-main kesini,” sapaku. 

Aku terdiam. Mengamati dadanya yang kering, mulutnya yang kering, matanya yang kering—seperti memindai benda berbahaya di tubuhnya

“Ya, aku menunggu kabar baik darimu,” dia duduk. 

“Hei, tak sukakah kau kukunjungi sebentar?”


“Senang sekali,” jawabku. “tapi tak sukakah kau menunggu?”

Rabu, 01 April 2015

Jalan Malam

Di lampu-lampu jalan tumbuh mawar, cukup buat menerangi pengendara yang buru-buru
Gerimis yang memburu

Hidup Cuma soal limit speedometer
Lalu menikmati malam di jalan raya dengan cara yang baru:
Memperhatikan bulan
Pada pantulan genangan sambil sesekali
Bicara kemacetan yang tiada henti terjadi
Perbaikan pedestrian, pembersihan selokan

Di lampu-lampu jalan harum mawar

Di sinarnya bayang kau.

Memoar

Ish, dulu kupikir aku butuh ruang kosong. Tempat kita bertimbang dan berkehendak merdeka. Tapi aku dijebak kebencian sendiri pada tatakala;

Aku terlanjur kangen rasanya tertawa. Aku ingin makan lagi kapsul gurauan-gurauan, lalu tergelak sepuasnya (ternyata aku terlalu serius bahkan jika bercanda).

Ish, ini adalah sore yang lama tidak kita nikmati. Matahari menguning, langit menguning, kota kita juga menguning. Lantas matamu yang bening memaguti Rawamangun kita ini
Di sini. Di kampus kita yang riuh, sebab segala senja berkumpul, mengajari kita bercengkerama. Bagaimana caranya menuliskan kau menjadi kau. (sudah lama aku membaca terjemahan atas manis-manismu luka-lukamu yang bukanmu)


Kadangkala kita membayangkan: di luar hujan. Kita sedang melintas. Kita mencari-cari teduhan yang sepadan; sebab busana yang basah dan kerap jadi tembus pandang, lalu ada masjid, dan kita berteduh di dalamnya. Kita di panggil-panggil oleh sinaran hangat, lalu suara azan merembesi dinding: Kita saling memuja. Ada Dia padamu. Ada kau pada-Nya (setelah sadar; sudah bertahun-tahun sejak aku terakhir membaca kembang matamu: kau semakin jadi puisi...)

Mimpi Tentang Bapak dan Kampung

Pada suatu malam aku mimpi jadi anak-anak lagi
Di depan, belakang, dan di mana-mananya rumah masih
Ada tanaman-tanaman palawija. Sayur dan labu-labuan
“Pak, itu siapa yang menanam?” tanyaku. Aku jadi hilang ingatan, seperti datang dari masa depan “Tak asing lagi, dia sangat mengenal daerah ini.” jawab Bapak. “Masak kau lupa hal sesederhana itu?”

Kami lalu berjalan, dan memang: di dekat rumah kami dulu rawa-rawa. Desaku kembali bau rawa. Bau lumpur yang ditumbuhi pegagan. Dan aku mimpi, itu rawa menjadi sawah; pepadian yang indah. Dan seperti datang dari masa lalu, “Kapan padi-padi ini ditanam?” Tanya Bapak.
“Masak Bapak lupa hal sesederhana itu?”


Sajak Semarang

Semarang yang riang: hujan turun lamat-lamat. Dingin bertandang; ada kata yang tak sempat disampaikan bahwa
Kotaku teramat sepi. Aku melihat orang-orang berjalan tapi tak pernah kembali.
Aku melihat anak-anak bermain tapi tak pernah kembali—apa yang terjadi?

Ah; anak-anak manja. Kau harusnya bisa memperhitungkan bagaimana anak-anak Semarang bercakap-cakap dengan kotanya: Pagi,
saudara, sudahkah kau menyeka wajah, menyambut jalan raya yang ramai, dan kekasihmu yang tangkas itu memanggilmu
kau tentu paham sebenar-benarnya: kotaku, ah, kota kita
terlalu sepi. Tak ada yang mengganggu jika aku memelukmu,  mengecupmu, atau mempermainkan kedua tanganmu pada kedua tanganku
kau tak pernah tahu, kan,

kalau aku mencintaimu?

Buat Sobat Yang Tak Sengaja Kudengar Cakapnya

Belum lama ada yang bilang padaku: Khilafah harus berdiri.
Lalu hujan turun. Aku berteduh di bawah teratak: tempat daun-daun jatuh  dan bisa terlihat kota kita—indah sekali—ada mayat-mayat yang banyak
Ada kembang-kembang desa yang dimuseumkan

Ah; buat apa. Aku Cuma lagi menulis puisi. Maaf. 

Kenapa Penyair Dicari

Kalau ada yang cari penyair, itu mestinya:
Sajaknya mencium bibir seorang gadis yang jernih, dan memagut-magut hati

Atau dia kelewat banyak bicara. Telah lama kudengar: sajak lebih berarti dari berita pagi

Sajak Buat Kamu

Sungguhpun begitu, tahukah kamu
Ruang sepi ini terlalu bingar buatku. Ada banyak peristiwa
Terlintas di kepala dan mengajak bicara
Tapi sejak lama, bahwa kita bukan orang yang biasa dipaksa
Rasanya boleh saja kalau aku masih menuntut:
Menyisakan ruang bagimu di sini

Di ruang sepi ini

Tepi Ciliwung

“Ayah, kenapa hujan mendatangi rumah kita?” seorang anak bertanya.
“Tidak: kitalah yang datang padanya”

Jadi sore itu, mereka menunggu di beranda, dan bergurau:
“Dulu kalau hujan datang, kau suka bercipak-cipak di jalanan dan
kau bayangkan itu laut yang dalam
Sungai yang permai
Atau air susu ibumu yang berderai
Senja datang, kita mesti pulang. Dengan masih juga ada pertanyaan
Yang hangat dan kental pada bibirmu yang manja...”


Kedatangan Hujan

“Kami menunggumu, Hujan. Kami menunggumu
Kau telah meriap di tanah dan telah terdengar desingmu
Orang-orang berlarian menyambutmu; akan mengarakmu sepenuh hati
Dan mengantarkanmu pada gubernur kami....”


Festival Februari

Maka bulan-bulan ini anak-anak berenang di jalanan.
“Air!” serunya. “Ini musim libur kita dan betapa lengang jalan raya!”
Kampungnya segera berubah menjadi festival, orang-orang
merayakan waktu yang tenggelam, orang-orang menceburkan diri dan tak pernah muncul-muncul lagi.
“Jangan mau relokasi! Sebab tak ada lagi festival seindah ini...”


Tender

Ia beringsut, menatap sesuatu di tubuhnya
Setelah ditelanjangi cermin, dihapus segala rias
Dia termangu, ternyata dia bukan pemenang atau sekedar menguasai permainan
Hanya lihai sembunyi, dan membual tentang hari-hari
Tak ada sisa yang bisa dia banggakan
Kulitnya sudah kusam, gincu dan rambutnya kusut
Di depan cermin, nampak dirinya menjadi barang taruhan
Dia lebih tercenung: ternyata hidup seperti main kartu. Tubuhnya
Dipenuhi tanda-tanda kartu
Ada Raja dan Ratu di dadanya, ada jack, ada As hingga sembilan di wajah, kemaluan, dan kedua hastanya
Dia kalah taruhan! Cermin menyingkap setiap benang yang melekat, dan seperti badut: menertawakan tubuh telanjangnya

Ah, bagai Drupadi saja, dia ditinggalkan keberaniannya sendiri sebagai hadiah perjudian!

Selasa, 31 Maret 2015

Jakarta

Seperti airmata yang beninglah, kau datang, dan
persapaan selanjutnya
Berlangsung dengan amat singkat: hujan datang,
Sayang. Ia mengetuk-ngetuk jendela
“Kau harus berkemas,” Katanya.
Ada kesan-kesan berat tentang bandang tahunan yang tiba setelahnya.

“Ajaklah orang-orang menyelam ke dalamnya”

Siaran Bencana-Puisi Mengenang Merapi

“Tidak, kita masih terjaga, dan itu bukan mimpi”, tetapi kau merajuk.
Kau berkata: “Tetapi semalam indah sekali, dan itu pasti dalam mimpi!”

“Sayang,” kataku, “Kita masih terjaga. Memang benar semalam itu, salah satu di antara kita meninggal dunia...”

Anak, Ayah, dan Azan

“Azan terbuat dari apa ya, Ayah? Tanya seorang anak kecil, “Dia lembut dan manis sekali”

“Sayang,” Kata Ayahnya. “Dia terbuat dari orang-orang mukmin yang kering, lalu terbasuh dengan suara cinta yang begitu bersih dari atas sana...”

Beberapa Percakapan Akhir Tahun II

“Bertahanlah, Sayang. Sesungguhnya
kita tak akan berlibur di kefanaan ini.
Pantai mana lagi, kesunyian
apa lagi yang kita temui—sejak
waktu yang kosong, ruang
yang kosong—menemui kita
Karena ada yang lebih berarti:
ternyata hidup terlalu indah
untuk diakhiri dan kita
masih ingin bersendagurau di sana
Tetapi waktu kita begitu senggang,
dari apa yang dibutuhkan

untuk musim libur nanti...”

Beberapa Percakapan di Akhir Tahun

Sudut kampus yang tenang. Sehabis hujan. Daun-daun akhir tahun gugur memenuhi jalan.
“Mengapakah kita masih disini, sedangkan ada yang berharga untuk dituliskan”

“Ini hujan terakhir tahun ini,” tatapmu. Kita menantang malam. Tak hendak juga dikalahkan.
“Azan sudah menyergap” lantas kita harus tiarap? “Ini bukan pertempuran,”
Cuma insiden kecil kehidupan yang tak mesti serius maknanya”


Aku terlalu serius, ya? “Tidak. Kau Cuma tak pernah henti bercanda, bahwa sisa waktu kita masih ada”

Tahun Baru 2014

“Apa artinya tahun baru kita? Cuma gerimis yang tenang berjalan di sela gang-gang kecil kampung kita. Melihat bekas-bekas pesta. Pinggir Jakarta, Jakarta
Seperti ada taman bunga dan bunyi-bunyian kedatangan Raja
“Pesta yang luar biasa,” gumamnya. “Aku harus segera mereda”

Gerimis yang tenang, terus berjalan. Ia tak pernah peduli siapa yang datang.

Pola Pikir

“Ananda,” sapa Sang Guru. “Harta
adalah milik Allah. Jangan cintai dia.
Allah akan mengambilnya kembali.”
Ananda pulang. Ia baru mendapat harta
hasil buruannya di sebuah gua.

“Serahkan hartamu!” hadang para perampok
di tengah perjalanan. Rimba, rimba, rimba
yang penuh manusia.

“Subhanallah, silakan, ambillah,”
Para perampok keheranan. Ananda ini
menyerahkan hartanya, seperti sedekah saja.
“karena kau adalah Allah”