Senin, 31 Desember 2018

2019, Titik Balik Gerakan Mahasiswa Muslim (1)




Amar Ar-Risalah

Akhir tahun, Pemerintahan Jokowi-JK mengesahkan aturan bahwa Ekstra Kampus kembali akan masuk kedalam kampus, sebagai salah satu tempat pengaderan politik.


Banyak orang berbeda pendapat. Sebagian menganggap bahwa gerakan ekstra akan dikontrol rektor. Sebagian beranggapan, ini menjadi peluang pengaderan.


Tapi ini akan jadi titik balik bagi KAMMI. Apakah akan mati, atau akan jadi besar menuju masa kejayaan 20 tahunnya.

Kenapa? Hari ini gerakan KAMMI menghadapi generasi baru yang belum pernah dijumpai sejak Indonesia merdeka. Generasi itu punya ciri-ciri lain dari generasi sebelumnya dalam konteks keislaman.

Generasi ini punya kesadaran simbol islam yang tinggi. Mereka adalah pengikut gaib dari Ust Abdul Somad, Ust Adi Hidayat, dan 12 Ustadz Sunnah rekomendasi Radio Rodja. Mayoritas dari mereka adalah generasi seabad Muhammadiyah, dan generasi kedua tarbiyah.

Mereka punya pandangan politik yang terpisah dengan partai islam. Ini dibuktikan dengan mayoritas mereka yang menjadi peserta 212, pada saat justru sebagian partai dan ormas islam melarang masyarakat terlibat.


Bahkan, sebagian partai dan ormas islam itu memihak orang yang secara langsung dianggap penyebab aksi terjadi. Yaitu, Basuki T Purnama.


Secara keseharian, mereka berjilbab lebar--bahkan bercadar--dan timbul kesadaran untuk menutup aurat dengan kaus kaki. Mereka ingin menjalani proses pernikahan dengan perkenalan singkat tanpa berpacaran.

Di samping itu, mereka sadar isu ukhuwah dunia islam. Terhadap Palestina, Aleppo, Xinjiang, atau Kashmir, mereka sangat peduli. Asyiknya lagi, generasi ini mulai menyadari bahwa dalam memeluk sebuah agama, pemisahan dari segala hal yang menjadi lawan konsekuensi dari agama tersebut menjadi penting.

Al-Wala wal Bara'. Proses ini tidak instan. Kerjasama pada satu pihak antara semua elemen ulama, sangat berpengaruh pada hal ini. Mengenai ucapan selamat natal, perayaan tahun baru, atau bahkan pandangan politik: telah lahir generasi muslim baru di Indonesia.


Apa yang membedakan mereka dari generasi muslim tahun 60-an yang berharap dan berkumpul pada Masyumi?

Pada zaman Masyumi, umat punya musuh yang tampak.  Yaitu, penjajah Jepang, Belanda, Inggris, dan pada gilirannya, PKI. Sekarang musuh itu tak ada pada sosok tapi pada pemikiran saudara mereka.


Jenis generasi ini harus diterka dengan baik apa kebutuhannya. Hari ini, dari segenap ekstra Kampus, yang dianggap memiliki tawaran yang mirip seperti harapan generasi baru ini, adalah KAMMI.


PMII dan HMI mulai kehilangan warna islam secara simbolik--meski bisa jadi secara manhaji masih bertujuan dakwah--tapi ciri kader dan cara identifikasi isunya berbeda dengan cakrawala generasi yang sedang kita bicarakan ini.

Sementara, sebagai yang paling baru lahir, di sinilah KAMMI menjadi tawaran. Sekarang, KAMMI punya sejumlah pilihan.


Pilihan pertama, terjebak pada romantisme gerakan mahasiswa dan pura-pura jadi pejabat pemerintahan: bersikap pragmatis, main banyak kaki, dan menomor sekiankan ideologi gerakan dan simbolnya, dan juga ke sana ke mari merapat ke tokoh-tokoh politik lalu umbar janji.

Pilihan ini akan membuat KAMMI kehilangan warnanya sebagai gerakan islam yang cocok buat generasi yang tadi kita bahas. Sebab, generasi ini pun terbukti tidak pragmatis. Mereka mengutuk pejabat yang bejat dan kotor, tanpa harus berkumpul dan belajar di organisasi ekstra manapun.


Pilihan kedua, kembali dengan lantang menyuarakan tawaran manhaj pengaderan KAMMI dan filosofi gerakan KAMMI. Pemisahan yang tegas, dalam konteks al-wala wal bara', dan sikap jelas berpihak kepada islam yang "itu". Islam yang ada "sekarang" dan "dianut" generasi ini.

Itu sudah cukup!


Tak perlu kita pura-pura toleran untuk memikat anak-anak muda yang baru hijrah. Mereka punya selera dan standar yang lebih mulia daripada sekadar ucapan selamat natal, selamat tahun baru, atau pembenaran pada tradisi bid'ah.

Generasi ini ternyata bisa mengidentifikasi sendiri kemenangan islam dan kebatilan tanpa bantuan pengurus KAMMI pura-pura jadi pemain politik, dan pura-pura bisa giring opini masyarakat.


Saatnya kembali kepada khittah dakwah, dalam tradisi apa KAMMI didirikan, dan dalam tindak-tanduk apa kader KAMMI berbuat.

Saat pengaderan awal, tegaskan sikap kita sebagaimana sikap Hasan Al-Banna dalam Kepada Apa Kami Menyeru Manusia. Perjelas pemisahan dan pengiringan kita pada berbagai isu umat, yang mana, umat tanpa bantuan kita sudah tahu mana yang batil mana yang haq.

Pada saat pembinaan mingguan, tahapan pemahaman makrifatullah, makrifatur-rasul, ghazwul fikr, dan seterusnya harus tersampaikan dengan baik.

Umat sudah tahu bahwa dakwah tak bakal berimplikasi pada kaya atau tidaknya dai. Tapi pada adilnya cara pandang orang pada dunia, dan halusnya tindak tanduk orang.

Aksi demonstrasi bukan jawaban. Generasi ini juga muak dengan itu. Mereka membutuhkan satu gerakan yang, kalaupun mengancam pemerintah, caranya adalah langsung memberi solusi ke tengah umat. Aneka gerakan sosial, atau juga pencerdasan.

Kecuali umat dan dakwah dianggap komoditas dagang: insya Allah, Kemenangan islam jiwa perjuangan KAMMI, kebatilan adalah musuh abadi KAMMI!

Minggu, 02 Desember 2018

KAMMI dan 212: Menanti Bangkitnya Fajar Pembebasan

Amar Ar-Risalah


Momen 212 ini menunjukkan sesuatu. Pertama, sebab awal kenapa orang berkumpul, adalah merebaknya kezaliman dan terutama dihinanya simbol yang bagi umat muslim adalah kehidupan mereka. Bagi mereka, Qur'an, ulama, jilbab, apalagi kalimat tauhid, adalah perlambang keadilan dan keselamatan.

Islam, bagi kita, adalah keselamatan dan keadilan mutlak. Jauh dalam hati kita. Dan, sekelompok ulama, baik dari FPI, HTI, maupun PKS secara simultan berdakwah, yang, muara dakwahnya, mengingatkan bahwa pangkal segala kezaliman adalah ditinggalkannya agama dalam pemerintahan.

Lalu, dihinanya simbol keadilan dan keselamatan ini, diperbesar dengan kezaliman-kezaliman yang terjadi berturut-turut. Naiknya harga-harga. Bodohnya pejabat-pejabat. Runtuhnya keadilan hukum. Itu semua entah mengapa sangat sesuai dengan tujuan kepemimpinan, dalam An-Nisa ayat 58.

Di satu sisi, ada sekelompok muslim yang memilih tak terpengaruh dan tenang di tempatnya. Mereka diwakili oleh fanatik NU dan fanatik Salafiyah-Wahhabiyah. Ironisnya, dua kelompok ini saling menyesat-nyesatkan lantaran fikih kesehariannya jauh berbeda.

Tapi, kembali pada dua penyebab 212 menjadi gerakan besar: baik golongan pertama, yaitu mereka yang mendakwahkan pentingnya agama dalam politik, maupun golongan kedua, yang bersikap tenang dan diam, maupun yang ketiga: yang memilih mendukung rezim dan memperbaiki apa adanya (insyaa Allah menjadi Rajul Mukmin dalam surat Ghafir), ketiganya punya beberapa kesamaan.

Pertama, di tengah-tengah mereka, ada pengikut-pengikut yang mulai sadar dan mencari jalan tengah. Mereka tidak lagi fanatik bendera dan organisasi, akan tetapi berpikir bijak, dengan pertanyaan kunci: apa yang menyebabkan saya bisa mendapatkan jawaban dari organisasi ini?

Akumulasinya, ada di 212. Mereka yang fanatik organisasinya, mampu datang tanpa membawa simbol apapun. Sekalipun itu gerakan mahasiswa seperti HMI, KAMMI, dan Gema Pembebasan.

Di antara golongan ini, barangkali ada yang pernah menganut paham fikih praktis khas kerajaan diktator yang tidak mau diskusi: demo haram, apalagi membicarakan kebijakan penguasa. Lebih dari haram.

Begitu juga mereka yang tidak menjadi anggota organisasi manapun, bergabung dalam reuni ini. Bisa jadi di antara mereka ada yang telah berazzam untuk golput. Bisa jadi pula pemilih paslon yang dianggap anti islam dalam pilpres.

Kedua, mereka akhirnya tanpa sadar memilah sendiri dalam benak: mana yang merupakan jawaban bagi keadilan dan kedamaian di negeri saya? Perbedaan fikih? Perbedaan manhaj? Perbedaan guru dan sanad? Perbedaan zikir dan pakaian?

Apa hakikat dari haramnya demo atau halalnya menyerukan kebenaran? Apa intisari dari mengaji kitab dan menghafal qur'an?

Mereka yang ikut 212 akhirnya menyadari sesuatu. Kesadaran itu adalah: itu semua tidak menjadi jawaban. Betul, penting mencari dalil dan contoh. Tapi sebagaimana muasalnya, islam harus dikembalikan sebagai cara pandang, bukan cuma prosedur ritual.

Mereka menemukan satu persamaan dari semua ustadz, ulama, dan organisasi: sama-sama mencari cara memperoleh keadilan dan jaminan keselamatan.

Akhirnya, muncul jenis massa, definisi umat, atau sederhanakan menjadi: generasi baru muslim di Indonesia. Titik tolak baru cara pandang Islam dan negara.

Yang masa bodoh dengan di mana tempat mengaji. Masa bodoh dengan perbedaan fikih. Masa bodoh juga dengan tinggi-tinggian sanad. Yang menemukan jawaban dari ketidakadilan, penindasan, kegagalan berpikir, dan bahkan dari ketidakpantasan dan kebiadaban orang.

Mereka tetap mengaji ke ustadz atau organisasi asal dan favoritnya. Tapi, hati kecil mereka sebagai muslim tak bisa dibohongi. Apapun organisasinya, mereka merasa diwakili oleh 212 ini.

Nah, di luar itu, saya mau bicara soal, bagaimana mujaddid atau Pembaru Zaman, muncul di tengah-tengah kita. Dalam bahasa Hasan Al-Banna, adalah Fajar Kebebasan. Sang Fajar Kebebasan ini bukanlah pejabat administratif. Bukan pula syaikh besar yang agung. Bukan pula sang Revolusioner.

Dia hanya perlu menyatukan dan membuat garis tengah dari semua kelompok umat yang dibedakan oleh organisasi mereka. Hal yang bisa menyatukan itu sudah ada. Yaitu, kesadaran agama dan politik (dalam hal ini, Hasan Al-Banna menyebutnya Syumuliatul Islam), dan pengalaman yang sama terhadap kezaliman. Sederhananya, kerinduan pada keadilan, dan mereka paham agama islamlah obatnya. Ia beyond fikih. Fikih, diserahkan pada pribadi-pribadi. Tapi, soal keadilan dan tujuan besar, harus dipimpin.

Siapakah mujaddid ini? Siapakah fajar kemenangan ini? Sudah dewasakah ia? Masih mudakah ia? Bersembunyikah ia di suatu tempat? Butuh serangkaian momentum yang ekstrim lagi untuk memunculkannya.

Apakah pembaru itu kini disembunyikan dalam istana Firaun oleh Allah, sebagaimana Firman-Nya dalam surat Al-Qasas, ayat 8:

Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir'aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir'aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah.

Atau adakah ia kini dari kejauhan, mengamati arah angin dengan luasan kulitnya, merasakan perubahan tekanan udara dengan sarafnya, dan sedang belajar memimpin umat ketika saatnya tiba?

Semua organisasi islam, semua gerakan harus bersiap. Sistem pengaderan harus diperbaiki. Sebab sang Pembaru, sang Fajar Kemenangan itu tidak datang dengan perbedaan hasil fikih atau datang dari hafalan hukum yang menumpuk di kepalanya. Ia akan datang, sebagaimana Umar bin Abdul Aziz, Imam Syafi'i, Imam Bukhari, dan seterusnya;

Dengan cara pandang baru kepada dunia, berdasarkan agama Islam.
*

Bagaimana dengan KAMMI? Apa yang bisa kita lakukan?

Jangan pernah sekadar jadi peserta aksi dan reuni. Kita harus tampil sebagai penyambut, pendamping, penyiap Mujaddid itu. Bahkan bilamana perlu, merekrut dan mendidik calon mujaddid itu untuk mempercepat datangnya.

Kini organisasi mahasiswa yang dianggap masih paling depan menyuarakan islam sebagai tawaran politik, adalah KAMMI. Begitu juga melihat kebatilan penyelenggaraan negara dari sudut pandang islam, tinggal KAMMI.

Lalu bagaimana cara KAMMI mempersiapkan mujaddid, sang Fajar Kemenangan dalam istilah Hasan Al-Banna itu?


Hasan Al-Banna menjelaskan istilah Fajar Kemenangan, atau tepatnya Fajar Pembebasan, Fajrul Hurriyat itu, saat menawarkan ulang surat Al-Qashash 1-5. Bahwa Rasulullah Musa diutus Allah sebagai jawaban atas kesewenang-wenangan dan pecah belahnya penduduk bumi.


Dauroh Marhalah 1 hingga 3 harus menjalankan tugasnya dengan baik. Komposisi materi dan cara penyampaiannya harus disusun ulang sebagai cara untuk menyadarkan orang bahwa kesewenang-wenangan dan penindasan sedang terjadi.

Begitu juga, rangkaian metode berpikir yang diberikan dalam Madrasah KAMMI. MK harus disikapi ulang sebagai alat membentuk kesamaan pola pikir kepada butuhnya orang pada islam, dan penyebab segala penindasan ini, adalah keadaan tanpa agama.

Bukan cuma kegiatan seminar dan pertemuan rutin dengan pembicara mentereng yang diikuti sambil main game online di gadget, dan pesertanya pun berduyun-duyun datang terlambat. Alih-alih mencerdaskan, MK malah membosankan dan paling banter jadi Ice Cream Party.

Bahwa Syahadatain sebagai titik tolak perubahan, kelak menuntun kader KAMMI pada suatu konsep Ummah, dan pada gilirannya, mampu membimbing umat islam ini kepada Tamkin, atau Kejayaan.


Manhaj harus didesain sebagai cara untuk membangkitkan orang paling bodoh dan tertindas sekalipun menjadi calon pembaru itu. Setidak-tidaknya, sebagian besar kita akan jadi pendukung sang Mujaddid, dan satu akan dipilih sebagai sang Mujaddid itu.


Sekarang, jangan lagi menyikapi materi dauroh sebagai alat pemuasan pemikiran para pengisi dauroh. Habis baca satu dua buku, bertemu satu dua tokoh, lalu menyampaikannya pada peserta dengan kebanggaan tiada tara.


Materi dauroh tidak boleh disampaikan sebagai hal yang membuat kita terjangkit virus pesimisme dan akhirnya turut campur dalam mafia politik dengan segala uang yang bisa didapatkan. Materi dauroh itu harus bisa memberikan gambaran tahapan kisah bangkitnya umat dalam Risalah Pegerakan Ikhwanul Muslimin:

Kelemahan umat, akan dijawab dengab datangnya seorang pemimpin, penuntun, yang digambarkan Hasan dengan "maka iapun pergi membawa diri dan kebebasannya, di mana kelak Allah menumbuhkannya sebagai pembawa Risalah-Nya, menjadikannya sebagai tumpuan harapan pembebasan bangsanya."

Lalu, terjadilah pertarungan dua gagasan itu. Yang, diperkuat dengan iman. Iman di sini barangkali adalah hasil dari pertarungan kebenaran dengan tirani dan kebatilan itu. Maka, akhirnya, akan terjadi kemenangan itu.



Materi DM 1 adalah persiapan. Materi DM 2, adalah panduan teknis, dan materi DM 3 adalah baiat untuk para calon pembaru itu. Maka bilamana ada alumni pengaderan KAMMI yang malah jadi bagian kebatilan itu, itu adalah residu yang tidak kita harapkan, tapi niscaya muncul. Abaikan saja mereka, fokuslah pada tujuan kita.


Akhirnya, tak perlu menanyakan apa peran KAMMI dalam 212. Tapi, apa yang dilakukan KAMMI setelah jelas kemana arah angin ini. Bersiap-siaplah!

Kamis, 29 November 2018

Mengapa Kita Harus Mengajak Orang Gabung KAMMI?



*Amar Ar-Risalah*

Saya tulis risalah ini, saat ombak-ombak yang santun dari pantai paling barat Jawa menyentuh kaki. Ini adalah tempat dauroh paling indah yang pernah saya temui.


Seseorang, tadi malam bertanya. Ia mengambil tempat, tepat di depan saya. "Saya ada pertanyaan yang bikin saya penasaran" katanya.

"Mau apa KAMMI ini sebetulnya, kenapa kita harus bergabung kedalamnya, bertahan di sana?"


Saya diam sejenak. Saya tahu dia tidak sedang menguji. Dia sedang mencari hakikat dakwah ini. Angin laut menjadi detail. Saya coba menjelaskan.


Kira-kira, saat para sabiqunal awwalun masuk islam, apa sudah ada perangkat hukum-hukum islam yang detail, atau baru seruan sederhana, tiada Tuhan selain Allah?

Barangkali saat itu, kita bisa bayangkan seperti ini: Abu Bakar, sang pebisnis besar yang lembut hati, mengumpulkan para pebisnis lain: Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Suhaib Ar-Rumi, dan lain sebagainya.


Barangkali Abu Bakar akan mengatakan seperti ini: "mitra dagangku yang baik hati. Kita adalah orang-orang yang paham, bagaimana kebatilan yang ditimbulkan para pebisnis hitam di kota kita."


Betul. Mereka barangkali bukan cuma paham, akan tetapi hadir pada saat kongsi-kongsi dagang itu merumuskan pakta yang merampas hak orang lain.

Mereka sebelumnya memang sudah ditemui secara pribadi. Abu Bakar hanya memilih orang yang dikenal bersih dan lurus dari kehidupan kotor jahiliyah.



"Mengapa?" tantang Abu Bakar, "mengapa semua orang bebas menetapkan aturan? Mengapa tak ada beda antara hukum dengan kezaliman?"


Mereka mengangguk. Pebisnis Utsman telah melihat bagaimana kongsi dagang keluarganya, Bani Abdu Syams dengan Bani Sahm menyebabkan kondisi bebas nilai di mana-mana. Kongsi dagang itu berbalut kongsi politik Hilful Ahlaf.

Ia lahir dari generasi yang lain. Generasi saat ramalan-ramalan mengenai nabi terakhir, mengenai akan datangnya penengah, memuncak. Ia juga lahir dari generasi yang muak pada tatanan masyarakat kotanya.


Para pebisnis itu, tak punya waktu lama. Abu Bakar segera menuntaskan tawarannya. "Ya, sahabat-sahabatku. Nabi itu, sang penunjuk kebenaran yang kita tunggu bagi membalikkan keadilan, bagi memulihkan hak-hak orang, telah diutus."


"Rekan kita, mitra dagang kita, sang Jujur dan sang Terpercaya. Muhammad!"


Percakapan imajiner di atas bisa terjadi bisa juga tidak. Tapi yang saya pahami dari mengapa saya menyetujui gerakan ini, adalah tawarannya untuk mengatasi ketidakadilan dan perbaikan di masa depan.


Semua orang yang sedang merunduk-runduk saat ikut pengaderan pertama, sesungguhnya mencoba membandingkan tawaran kita, dengan kondisi yang menimpa dirinya. Ia sedang bertanya pada jamaah ini:


Apa, apa yang sedang kalian tawarkan bagi menjawab permasalahan generasi dan zaman saya? Apa yang kalian lakukan sehingga saya harus melakukan itu bersama kalian, sebab saya percaya itu sebuah perbaikan?

Saat Hasan Al-Banna diam-diam membentuk jamaah Katibah sebagai inti pengaderan Ikhwan, orang menemukan jawaban atas hancurnya tatanan moral dan politik Mesir. Beliau piawai menerjemahkan Al-Qur'an menjadi rencana buat zamannya.


Muhammad Natsir, di negeri kita, agaknya juga mampu memandang negeri ini sebagai objek Al-Qur'an. Maka orang berhimpun kesekelilingnya tanpa perlu diundang.


Orang semacam tadi bisa saja dibohongi dengan ilusi festival rekrutmen satu juta satu kader. Orang tadi, juga barangkali seperti Utsman, Zubair, Abdurrahman, dan Suhaib:


Tak punya banyak waktu untuk memikirkan hal-hal kecil, pesta pesti, atau hiruk pikuknya kepemimpinan jamaah. Orang tadi hanya bertanya hal mendasar: apa yang bakal kita lakukan. Dan apa bedanya dengan orang lain.

Ombak laut barat Jawa, dan asap Krakatau yang terlihat di kejauhan menyentak. Terdengar dentuman bagai bedug panggilan azan. Krakatau sedang meletus.

Dr. Ali Ash-Shallabi, tegas menjelaskan dalam kitabnya, Fikih Tamkin. Bahwa, seruan dakwah sejatinya adalah sebuah tawaran, yang mesti diserukan sampai ujung kota, ke segala lapisan masyarakat.

Seruan itu haruslah jelas, bisa jadi sloganistik, tapi tegas dan tidak samar. Musa, saat menyampaikan seruan laa ilaha illallah, tidak samar dan menutup-nutupinya lantaran saat itu, menuhankan Firaun dan mempertahakan Negara Mesir dari rongrongan teroris sedang tren.


Dua utusan di negeri yang disebut dalam surat Yaasin, tidaklah mengubah hakikat seruannya. Ia tegas menjelaskan kebatilan apa yang terjadi, dan bagaimana obatnya.


Lalu Allah menguatkannya dengan yang ketiga, yang tidak mengubah isi seruannya. Dari sini, kita coba tarik sebuah ide:


Jangan-jangan seruan dasar KAMMI dalam filosofi gerakan kita telah jauh menjadi samar, lantaran bid'ah-bid'ah pengaderan yang terjadi, dan dibiarkan entah kenapa.


Barangkali iming-iming alumni hebat, dana tak terbatas, koneksi bisnis, dan bahkan kemudahan menjadi tenaga ahli di pemerintahan menjadi janji-janji para dai di tubuh KAMMI.


Padahal, di tepi laut ini, bersama angin pesisir dan hamparan pasir, saya tahu apa isi percakapan Abu Bakar kepada forum para pebisnis tadi:


"Sahabat-sahabat tentu tahu. Bahwa bilamana kita ambil seruan nabi baru itu, bilamana kita coba ganggu ideologi yang membuat ketidakadilan di kota ini, tentu bani-bani kaya dan kuat tak akan membiarkan kita, dan malah memutus jaringan bisnis dengan kita!"



Tapi dengan mantap dan tegas, para pebisnis itu bersyahadat. Sebab Abu Bakar tak menyamarkan apa isi seruannya. Sekarang, kita diterkam simulakra milenial:

Bahwa generasi sekarang harus diantar dengan halus dan samar. Mereka memang susah fokus. Mereka lebih senang bicara startup daripada prinsip dasar keadilan dagang.

Bahwa generasi sekarang tak bakal nyambung bicara ideologi. Orang-orang milenial cuma peduli caption di Instagram atau quotes di Canva. Dan memang begitulah cara pikir orang tua yang cepat lapuk dimakan proyek!

 Selesai berpetualang di KAMMI, mereka akan norak dan berpetualang lagi di partai, mengekor di belakang pantat pengusaha, atau ikut ngantar para pelaku kezaliman itu ke puncak kekuasaan.


Mari pertegas saja, kepada apa KAMMI menyeru manusia? Pertegas lagi, prinsip, paradigma, dan kredo semacam apa yang kita sorakkan pada dunia ini?

Kemenangan islam.Kebatilan. Persaudaraan. Kepemimpinan. Solusi islam. Biarkan frasa-frasa itu menghiasi benak kita dan menjadi alasan kita bergerak. Dan jadikan itu ancaman bagu kejahatan-kejahatan gelap dan terang yang terjadi di negara kita.

Kepada apa KAMMI menyeru manusia? Jawablah dengan tegas dan jelas, yaitu
 pembebasan manusia dari berbagai bentuk penghambaan terhadap materi, nalar, sesama manusia dan lainnya, serta mengembalikan pada tempat yang sesungguhnya: Allah saja!

Dan biarkan orang menilai sendiri, apakah filosofi gerakan KAMMI ini masih menjadi proposal besar agenda pemenangan islam. Atau jangan-jangan, kita sendiri menganggap itu sudah tidak penting.


Sebab, monetisasi adalah segalanya! Hidup festival rekrutmen KAMMI! Hidup maba-maba lucu yang gabung KAMMI!

Rabu, 28 November 2018

Dari Masjidlah Revolusi Akan Bergulir



Amar Ar-Risalah

Kalau sekarang masjid diwaspadai, berarti ada yang sudah paham bahwa masjid adalah tempat terbaik memulai revolusi.

Sebab, di masjid, orang membersihkan dirinya, membersihkan motif hidupnya, dan kembali meluruskan cara pandangnya kepada segala sesuatu. Termasuk, kepada negara. Senetral-netralnya. Sebebas-bebasnya sebagai hamba Tuhan.

Dulu, Salahuddin Al-Ayyubi melihat bahwa kerajaan sesat syiah Dinasti Fathimiyah adalah penghambat terbesar saat akan membebaskan Palestina.

Mengapa? Dinasti Fathimiyah mengaku islam. Tapi kebijakan negaranya justru mengganggu kebijakan Kekhalifahan Abbasiyah yang Ahlu Sunnah.

Saat Abbasiyah ingin menolong Palestina, rupanya pasukan Salib membayar negara Fathimiyah dengan deal-deal politik. Dengan ilusi jalur dagang, dengan fatamorgana persekutuan militer!

Maka, Salahuddin atas perintah Nuruddin Zanki melakukan penyusupan kedalam istana, dan berhasil mendapatkan jabatan Perdana Menteri.

Rupanya, dari jabatannya yang tinggi itu, Salahuddin melihat kebawah. Kebijakan kerajaan tak pernah menyentuh rakyat kecil. Ideologi negara, tak pernah diterima masyarakat luas.

Dari mana Salahuddin tahu? Ia amati masjid! Dari ribuan masjid yang ada di Afrika Utara dalam wilayah Fathimiyah, ia tahu bahwa rakyat tidak satu ideologi dan tidak satu cara pandang dengan Sultan terhadap negara.

Rupanya di masjid, mayoritas orang masih mengikut Ahlu Sunnah. Hanya negara dan para pejabat pusat saja yang syiah. Hati umat, tak bisa dibohongi. Mereka merindukan tatanan sosial yang sesuai dengan hati mereka.

Sebab, bagi mereka, cara pandang agama, juga merupakan cara pandang kepada keadilan. Dan Negara Fathimiyah itu gagal memberikan keadilan bagi rakyatnya dengan cara pandang syiah.

Perebutan demi perebutan kekuasaan terjadi tanpa pernah melibatkan rakyat kecuali sebatas besaran suara pendukung pada saat melakukan deal politik.

Di satu sisi, Sultan Al-Adil, adalah sultan lemah. Ia baru berusia belasan tahun dan jelas gampang disetir oleh pejabat busuk disekitarnya!

Satu hal: para Khatib dan imam Ahlu Sunnah itu jelas dianggap radikal dan mengancam eksistensi negara. Mereka adalah bahaya laten dan penyebar paham radikal, bagi pemerintahan Fathimiyah yang sesat itu!

Tapi ada harapan. Senantiasa ada harapan bagi orang-orang yang menitipkan nasibnya pada Allah, di rumah-rumah Allah! Betapapun kas negara habis untuk penyuluhan anti radikalisme, Allah menitipkan Salahuddin di jantung istana!

Maka dimulailah revolusi itu: suatu saat, tersiar kabar Sultan sakit hingga tak sadarkan diri. Salahuddin memerintahkan sebuah masjid besar untuk menyelenggarakan salat Jum'at dengan cara Ahlu Sunnah.

Rencana yang berbahaya. Jika gagal, sang khatib beserta ratusan jamaah jadi taruhan. Mereka bisa mati sia-sia. Tapi, tibalah Jumat itu.

Ternyata, masyarakat berbondong-bondong datang. Mereka senang. Perkiraan Salahuddin benar. Bahwa, selama ini hati rakyat tetaplah pada Ahlu Sunnah wal Jamaah!

Pekan depannya, banyak masjid di kawasan Fathimiyah berubah menjadi ahlu sunnah. Rupanya, mayoritas penduduk di Fathimiyah tak bisa diambil hatinya dengan kebijakan-kebijakan palsu syi'ah selama ini.

Hanya beberapa kejap kemudian, kerajaan Fathimiyah yang secara wilayah, keuangan, dan dari segi apapun lebih besar dari Indonesia itu runtuh, dan berhasil ditaklukkan Salahuddin tanpa senjata. Hanya dari masjid!

Segenap mahasiswa muslim Indonesia, para pemuda Islam di Indonesia. Orang boleh bilang masjid berbahaya. Maka dari itu, datanglah ke masjid dan jagalah tempat kelahiran kita itu dari bahaya apapun yang mengancamnya.

Sebab dari masjidlah, roda gigi revolusi ini akan bergulir!


Bacaan:
Ali Ash-Shallabi, Shalahuddin Al-Ayyubi
Bernard Lewis, Assasin: Pembunuh dari Lembah Alamut

Minggu, 25 November 2018

Ghazali dan Literasi Zaman Kita


Amar Ar-Risalah

Kita tak pernah bisa membayangkan, apa yang dipikirkan oleh Imam Al-Ghazali saat menyaksikan kemunduran umat islam pada zamannya. 700 tahun lalu.

Kelak kita hanya akan tahu bahwa beliau adalah salah satu penulis paling produktif, kuat, dan hebat pada zamannya. Ia hadang gelombang pemurtadan berkedok filsafat di dalamnya, sekaligus ia islamkan pula perangkat teori filsafat itu.

Imam Ghazali mencari harapan-harapan itu melalui segenap masjid di kota-kota. Ia pergi berkelana. Tapi nihil. Ia tak dapati apapun. Kekuasaan Abbasiyah telah jauh melemah, sementara moralitas tak ada lagi.

Di masanya, kaum teolog, yang mengembalikan semuanya pada teks hadis, bertarung dengan kelompok mutakallimin yang gemar merenung dalam kekosongan.

Di antara mereka, kelompok syiah bathiniyah mengancam masyarakat. Sementara, pertarungan dua kelompok pertama tidak berarti apa-apa bagi masyarakat.

Ghazali kecil menyaksikan itu semua. Di mana-mana, moral hancur karena keraguan menjadi dasar pemikiran mengenai Tuhan dan Ketuhanan.

Ilmu agama, mati. Ia cari jawaban bangkitnya ilmu-ilmu itu ke mana saja ia pergi. Ia menyepi ke berbagai menara masjid, dan ia lihat dari ketinggian menara, bagaimanakah kemanusiaan itu?

Ghazali terdiam. Tampaknya, tak seorangpun akan datang menyelamatkan kehancuran umat itu. Suatu hari, ia memulai menulis kitabnya. Ia akan tulis sebuah rencana, sebuah proposal besar keumatan yang akan menahan gelombang itu.

Maka jadilah kitab itu. Ihya Ulumuddin. "Hidupnya Ilmu-Ilmu Agama"!

*
Semua ulama punya satu hal. Kepekaan dan rasa kasih sayang pada umat islam. Mereka bukan juru debat. Mereka juga bukan orang yang menulis karena depresi atau luapan diksi yang meracuni nalar pikiran.

Semua tulisan hebat itu selalu dimulai dari kesadaran atas penderitaan umat. Ghazali lahir di abad di mana kebodohan dikedepankan hanya lantaran filsafat sedang menjadi tren.

Dengan kepekaan itu, Ghazali tahu obat dari segala penyakit itu adalah kembalinya ilmu-ilmu agama. Lebih dari itu, puluhan kitab-kitab yang menghajar langsung inti pemikiran filsafat, seperti Ihya Ulumuddin, Tahafut Al-Falasifah, Misykatul Anwar, dan Bidayatul Hidayah, ia hadirkan ke tengah-tengah umat.

Ulama tak hanya ahli ilmu. Mereka haruslah orang yang tahu di mana letak sakitnya masyarakat, dan lepas dari kesakitan itu agar bisa memberikan obatnya. Buku-buku dan tulisan itu, adalah obat yang diturunkan Allah untuk zaman itu.

Hari ini kita tahu, kebodohan adalah tren. Kita dibuat kaget karena hal-hal yang tak masuk akal bisa mengalahkan hal yang masuk akal.

Riba menyebar di mana-mana. Al-Baqarah ayat 275 jelas menggambarkan umat dan negeri kita bagai orang limbung kemasukan setan. Hutang-hutang negara ditambah, hanya untuk menutupi hutang sebelumnya.

Masyarakat kecil terjerat riba bank keliling. Di antara mereka, sampai harus memalsukan kematian atau bahkan saling membunuh karenanya. Uang-uang itu kecil, tapi bunganya menjadi berkali-kali lipat.

Perusahaan-perusahaan besar merampas hutan negara dan tanah rakyat, lantaran kebodohan masyarakat yang dibiarkan oleh negara. Kini rakyat itu, para mantan tuan tanah yang merdeka, harus berkerja sebagai pesakitan dengan gaji bulanan yang tak besar.

Sementara bangsa lain, mengancam dengan taringnya yang tajam. Amerika Serikat, dengan mazhab ekonomi Washington Consensus menipu negara-negara kecil yang tak sadar dirinya kaya. Penjajahan Washington Consesnsus dilakukan atas nama investasi, yang kemudian, investasi itu menginjak kedaulatan dan kemerdekaan umat islam.

Sementara negeri Cina melakukan monopoli dan negeri kita tak bisa berbuat apa-apa lantaran besarnya uang yang mereka punya. Bahkan mereka dapat membuat kota baru yang biayanya melebihi biaya penghidupan ibukota kita.

APBD DKI Jakarta hanya sebesar kurang dari 70 triliun. Sementara Meikarta dan Reklamasi Pantai Utara Jakarta, memakan biaya lebih dari 200 triliun. Keadilan, sudah tak ada. Tak perlu bicara masalah moral, karena di negeri ini, moral sudah tak ada.

Di masa-masa semacam inilah, Ghazali lahir. Dan Ghazali sadar betul bahwa ada yang harus ia lakukan. Kebangkitan itu, harus ia yang memulai. Meskipun ia hanya bisa menulis dan berpikir.

Seandainya Ghazali hanya bicara dan mengisi ceramah, barangkali perubahan itu tak akan sehebat ini. Sebab tulisan itu akan mengabadikan gagasan kita, dan melipatgandakan dampaknya.

Ghazali paham apa yang menimpa umatnya dan Allah mengilhamkan padanya untuk menulis obat bagi umat saat itu.

Syahadat kita, membuat hati kita yang mati rasa atas penderitaan umat, harusnya hidup lagi. Kita jadi lebih peka atas apa yang terjadi di zaman ini.

Bacalah Al-Qur'an dengan lambat dan jangan keliru paham: penghafal qur'an zaman kita lebih banyak daripada zaman Ghazali. Ahli tafsir kita lebih banyak daripada zaman Ghazali. Tapi ada satu perbedaan mendasar.

Para penghafal Qur'an itu mampu melakukan perbandingan antara konsep-konsep yang ada dalam hafalannya, dengan realita. Mereka tidak menghafal lantaran untuk menyenang-nyenangkan orang tua. Orang tua kita dibius:

Bahwa sesungguhnya sertifikat hafalan, danain sebagainya yang dimiliki anaknya, ternyata tak bisa jadi solusi buat umat.

Sebab, ternyata syahadat dan al-qur'an itu tak kunjung membuat hati yang beku dan kemalasan orang untuk bergerak itu berubah. Syahadatain sebagai titik tolak perubahan, menanti tulisan dan rencana keumatan kita!

Dan zaman ini telah memanggil kita. Bacalah beragam berita-berita dan serapi penderitaan umat di sana. Bacalah buku-buku dan cari tahu pendapat mereka yang lebih pakar di sana.

Lalu, luruskan pola pikir kita. Buatlah hati menjadi peka, dan bagaimanapun itu, doronglah tangan kita untuk menulis obat bagi umat yang sekarang terombang-ambing ini.

Tulislah apa saja. Tapi jangan mencengeng-cengengkan tulisan kita. Derajat umat tak akan terangkat hanya lantaran mendalil-dalilkan rindu dan membuat kesepian kita cocok dengan sebuah ayat al-Qur'an.

Zaman telah memanggil tulisan kita. Maka menulislah, dan berikan proposal keumatan itu buat kita, sebagaimana Ghazali menulis Ihya Ulumuddin.

Menulislah!

Minggu, 11 November 2018

Alasan Untuk Menulis dan Seruan Keadilan



Amar Ar-Risalah

Semua tulisan yang abadi, selalu lahir karena satu hal. Tulisan itu memberikan tawaran jalan keluar dari segala penindasan yang terjadi pada pembacanya.

Dan dengan tulisannya itu, orang diajak memahami, bahwa kebebasan yang dia alami adalah semu. Bahwa ada kekuatan manusia lain yang menindasnya, yang merampas haknya, dan islamlah, yang dapat menegakkan hak-haknya kembali.

Hasan Al-Banna. Mesir. 1930-an. Kekhalifahan Islam baru saja runtuh. Inggris menguasai militer, pelabuhan, dan media di Mesir.

Mesir memang negara merdeka di atas kertas. Tapi kebijakan Raja Faruq, tak pernah bisa membohongi rakyatnya. Bahwa ia lebih menguntungkan Inggris dengan apa yang dikenal hari ini sebagai 'investasi', 'kenyamanan bagi pelaku pasar', dan sejenisnya.

Hasan Al-Banna yang seorang penghafal Qur'an jelas menangkap hal ini. Dengan ketajaman hatinya, ia tangkap kerinduan orang pada keadilan. Maka sambil ia menyusun lapis demi lapis gerakan Ikhwanul Muslimin, ia menulis.

Tulisannya tajam, bernas, dan apa adanya. Saat ia menuliskan kata keadilan, maka ia sangat paham apa maksudnya. Ia tawarkan keadilan islam bagi bangsanya. Tulisannya itu dimuat secara berkala di Majalah Al-Ikhwanul Muslimun hingga menjelang akhir hayatnya.

Sebab, keadilan harus ada buat semua orang. Bukan cuma yang bisa menanam investasi di sebuah negara, tapi juga pada pedagang-pedagang kecil, yang saban musim pemilihan berharap diwakili pejabat yang bijak dan kritis.

Tapi pemilihan itu sendiripun sebuah pembohongan publik. Hasan Al-Banna melihat dari pemilihan semacam itulah, Negeri Mesir jatuh ke lubang hitam ketidakadilan.

Ke manakah islam? Ke manakah persaudaraan muslim?

Saat ia melihat penyebab muslim melemah dan secara pribadi begitu lembek, ia tuliskan 10 baiat Muslim yang membuat kita menjadi pribadi yang unggul.

Dari 10 baiat itu, ada 20 hal pokok yang harus dipahami seorang muslim. Ushul Isyrin namanya. Tulisannya, di masa-masa perang itu, menjawab kerinduan orang tentang cara-cara menegakkan kembali keadilan yang hilang.

Maka bersamanya, orang bergabung kedalam gerakan Ikhwanul Muslimin dan bergerak di mana-mana bagai gelombang. Saat tersiar kabar pecahnya perang dan penjajahan di Palestina, Hasan mengirim 10.000 orang dengan kemampuan militer ke sana.

Pencapaian yang luar biasa! Hasan Al-Banna dan tulisannya seolah-olah mampu menjawab kerinduan masyarakat tentang konsep keadilan itu. Sampai akhirnya, pemerintah Mesir merasa ia adalah ancaman.


Di sudut ini patutlah kita merasa: ketidakadilan yang sama terjadi di negeri kita. Negeri kita mengimpor segala sesuatu, yang mana, rakyat masih mampu mengusahakannya. Perbedaan hak si kaya dan si miskin makin tajam.


Kebijakan pemerintah juga makin menguntungkan pengusaha, atas nama data-data pembangunan. Sementara, kesakita. Rakyat tak ada tempatnya. Untuk alasan itulah, KAMMI harus senantiasa ada.

Gerakan KAMMI, ada di mana-mana dan merasakan kelaparan yang sama dengan rakyat. Tinggal kita menuliskan gagasan-gagasan keadilan itu, sebagaimana Hasan Al-Banna dalam mingguan Ikhwanul Muslimun.

Tak ada tulisan yang lebih berbahaya selain menyadarkan orang tentang ketidakadilan yang terjadi di sekitar mereka. Dan terutama, ketidakadilan Inggris kepada Mesir, dan Mesir kepada rakyatnya.

Kita sudah tahu bahwa Hasan Al-Banna akan dibunuh. Yang kata Qardhawi, ia dibunuh tiga kali. Ditembak, lalu dokter dilarang merawatnya, dan tak ada seorangpun boleh melihat pemakamannya.

Tapi siapa bisa membohongi orang, bahwa ketidakadilan masih terjadi? Untuk alasan itulah, barangkali Allah menyampaikan tulisan Al-Banna kepada kita. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, atau Majmuatu Rasail, yang menjadi bacaan wajib gerakan kita.

Sebab di negeri kita ketidakadilan telah detail. Telah jelas dan bahkan bisa dirasakan anak kecil sekalipun.

Kita adalah lapis tengah masyarakat Indonesia. Yang melihat megahnya gaya hidup lapis atas kita, atas harta yang dikumpulkan dari pajak-pajak rakyat di lapisan di bawah kita.

Sementara kita juga melihat, betapa tergantungnya negara kita dengan negara lain. Bahwa kemiskinan, sesungguhnya adalah saat ada makanan, tapi kau tak bisa memakannya karena telah diatur-atur oleh orang lain!

Suatu saat rakyat akan sadar bahwa mereka telah dibohongi. Mereka telah ditindas. Suatu saat rakyat akan sadar bahwa hidupnya negara telah diatur tidak dengan benar sehingga terus mencetak ketidakadilan baru secara massal.

Dan, kepada para pemuda, saatnya kita menulis. Saatnya kita berdiri dan tak jadi orang yang sekadar duduk-duduk dan mencibir apa saja yang melintas di hadapan mereka.


Tulislah ketidakadilan itu! Tulislah kejahatan-kejahatan negeri ini, dan bawalah ke bawah sinar matahari yang terang, agar orang tahu bahwa kita telah dibodohi dan ditipu habis-habisan.

Biarkan tulisan kita beredar bersama kelaparan masyarakat dan perjuangan yang menyertainya. Biarkan tulisan kita membidik bersama mata marah para ulama, dan mengalir bersama sungai-sungai yang dikeringkan untuk para pengusaha.

Edarkan tulisan kita ini, pada simpul-simpul kebodohan rakyat, dan bawa mereka dari kegelapan pekat menuju cahaya yang membuat mereka memandang dunia ini dengan kesempurnaan islam.

Zaman mengamanahkan pada kita untuk menulis. Untuk mengabarkan pada rakyat bagaimana cara mengambil kembali kedaulatan mereka. Maka menulislah, dan jangan takut apapun.

Sebab ketakutanmu itu sendiri, adalah sebuah ketidakadilan!


Kita adalah orang-orang yang berpikir dan bertindak merdeka!

Rabu, 21 Maret 2018

Puisi-Puisi Amar Ar-Risalah

Nyanyian Musim


Kau tentu tahu; jika bunga-bunga randu itu beterbangan
Menutupi jalan; pada waktu menjelang Ashar
Yang ingin bunga itu katakan berbeda
saat kau dengan sengaja-diam-diam atau terbuka-mengetamnya
Menjadikannya kasur bagi tidurmu yang sejahtera

Kau tentu pernah mendengar bahwa
daun-daun jati itu pergi tanpa mengetuk pintumu
Saat tangan-tangan yang tak bakal dimakan rayap datang menebang
Dan daun-daun itu menjelma sayap; yang kaugunakan
terbang ke masa kenangan

Kau bisa jadi ingat pernah bercakap pada rebung bambu
Betapa ia tak tahu nasib memberinya berapa waktu
Barangtentu kau tak tahu bagaimana
ingatan permainan anak-anak kita
Disimpan di rongga-rongga bambu
Dan bagaimana rongga-rongga itu
akan menceritakan muasalnya padamu:
"Aku tercipta dari punggung dan jemari ibu..."



Nyanyian Semesta
 
 "Menjelang matahari terlelap;
aku mendengar nyanyian
Yang gaib. Dari dasar
alam semesta
Dari akar-akar penciptaan
Partikel Tuhan.
Dzarrah yang pekat.
Dawai yang bergetar
Nada yang gelepar
Tenaga yang pencar
Wujud dan tak wujud.
Wurd dan sujud.
Kekosongan dan materi.
Kehampaan dan gravitasi.
Cahaya adalah
yang nampak--dan--menampakkan. Kita
adalah cahaya
Nyanyian Ghazali.
Kantung-kantung cahaya.
Nyanyian taman
para pencari
Hidup-hidupkan hari
Yang telah mati
Kita di dalam peti
Yang dikunci berpuluh juta hari
Kita adalah anak-anak pewaris Sohrawardi
Kita adalah pencari
Amanat tekateki Rumi....."





Safar Hujan 


 

Suatu hari
Hujan, dengan jubahnya yang lapang
Bermurah hati
Menjenguk ladang-ladang
Di desa-desa
Menziarahi orang-orang tua
Yang paham sejarah
Bagaimana sebuah kota
Kelewat jatuh cinta
Pada dirinya sendiri

Hujanpun terus melangkah
Disingkapnya daun-daun pisang
Yang usil; ditepisnya
bunga-bunga ilalang
Dari lahan yang ditinggalkan
"Betapa lamanya," ia mendesah,
"Betapa lama desa-desa di sini
Tak dijenguk rajanya sendiri."
Dengan senyum yang lebat
Hujan membasuh pipi-pipi perawan
Yang bersitahan di celah-celah zaman
Dengan kasihnya yang deras
Ia pastikan tak ada yang sanggup melawan....




 Ode

Ijinkan aku membawakan padamu
Airmata para Nabi
Yang kerap dijatuhkan di malam-malam bisu
Kita terpaksa memanggil burung-burung bagi bernyanyi
Menutupi isak yang rahasia; yang tak seorangpun
Boleh mengetahui. Kita terpaksa
Meragukan mustajab doa-doa

Dengarkan aku: suara langkah kita
Telah berapa lama barangkali tak didengar sesiapa
Yang menjenguk taman surga. Suara bercanda kita
Yang sederhana; barangkali telah diliputi
prasangka-prasangka
pantun teka teki jenaka
Rupanya pertanyaan hidup
Telah kau jawab dengan lugas dan wibawa:
Tak ada kehidupan, jika tak ada kematian 
untuk membedakan

Belajar Menulis Pada Dua Ulama


Sepanjang peradaban manusia, sebetulnya, para ulama besar menulis sebuah proposal. Mereka—rahimahullah—menyaksikan umat ini di ambang keruntuhan: 

Jauh, setelah Rasulullah meninggal; mereka lebih dari sekadar meninggalkan Al-Qur’an. Para ulama, terbagi dua golongan. Pertama, adalah mereka yang menjual dirinya kepada para penguasa. 

Mereka mencari makan dengan cara menjual fatwa-fatwa yang disesuaikan dengan keinginan penguasa. Pengaruh mereka masih besar di masyarakat, dan para penguasa tahu itu. mereka ingin masyarakat berpihak pada penguasa; dengan cara, para ulama membuat fatwa yang mendukung pemerintahan. 

Di saat-saat seperti itu, para ulama juga menghadapi fakta bahwa pemerintahan tak lagi bekerja untuk memakmurkan rakyat dan membina umat sebagaimana seharusnya. Mereka ternyata menjilat bangsa lain yang lebih besar. 

Sehingga bangsa-bangsa itu datang dan menyerbu kekuasaan islam. Dan saat itulah kita akan mengenang peristiwa ini dengan satu kalimat kecil: “Runtuhnya dinasti islam…”

Golongan ulama jenis kedua, adalah mereka yang dengan segala ilmunya yang luas, menjadi sesat. Mereka terpapar pemikiran filsafat sesat. Di antara mereka ada yang menjadi pengikut Aristoteles. Sebagian menjadi pemikir yang terlalu jauh memikirkan Tuhan.

Akhirnya, mereka hanya memenuhi negara dengan pikiran-pikiran yang tidak perlu. Mereka kehilangan gairah kerja karena beranggapan, Tuhan mencukupkan rezeki hambanya, maka jika kita bekerja untuk mendapat rezeki, sama saja menghina Tuhan. 

Orang dengan pemikiran semacam itu, tidak mau menjawab panggilan jihad para pasukan dan juga tidak mau mendukung pemerintahan untuk memperbaiki dirinya. 

Pada waktu begitulah, bangkit para ulama bersenjatakan pena. Mereka menulis suatu blue print, suatu karya besar, yang bisa digunakan untuk membangkitkan kembali umat. Merekalah golongan ulama ketiga:

Yang senantiasa akan dibangkitkan Allah untuk kembali meluruskan agama islam. Golongan ulama ketiga ini kemudian paham betul makna dakwah para Nabi, bahwa nabi-nabi itu dibekali kitab suci yang berupa tulisan, sebagai sebuah tawaran proposal pada umat manusia. 

Dan ulama-ulama itu tinggal mengambil sisi dari proposal itu untuk dipecah kembali menjadi proposal-proposal baru yang sesuai dengan kondisi zamannya. Begitulah, setiap waktu para ulama terus menulis.
*

Awal pergantian milenium pertama sejarah manusia. Kerajaan besar dalam sejarah islam, Dinasti Abbasiyah, dilemahkan oleh kelompok Syiah Al-Buwaihi yang mengambil alih pemerintahan dari tangan Ahlu Sunnah wal Jamaah. 

Sementara, di luar tembok istana, para penduduk kehilangan pegangan. Aliran-aliran sesat masuk dan mengacaukan kehidupan keagamaan di sana: pemikiran filsafat ekstrim, syiah batiniyah, muktazilah, dan lain sebagainya membuat umat kehilangan daya pembangunan. 

Di sisi lain, muncul kelompok sufi sesat yang punya keyakinan bahwa umat islam tidak perlu mengurus politik. Fokus saja pada pencarian ketuhanan yang sebetulnya telah jelas di dalam Al-Quran. 

Segala  puji bagi Allah, yang pada tahun-tahun itu, dibangkitkan-Nya seorang ulama besar. ulama ini dengan mata kepalanya menyaksikan bahwa negara besar Abbasiyah yang menguasai seperempat dunia, hancur di tangan syiah. 

Kondisi sosial politik begitu mencekam. Entah siapa, asalkan kuat, bisa saja menginjak-injak takhta. Pelacuran marak di kota terbesar islam itu. bahkan diberitakan, ada kasus kanibalisme yang terjadi.. 

Ulama ini bukanlah ulama ahli perang. Ia hanya bisa menasihati orang lain. Akan tetapi, ia melihat satu masalah utama. Umat harus diberikan tawaran baru dari apa yang ia tulis. Sebab umat telah kehilangan identitasnya. Umat tak punya lagi rencana untuk menjalankan peradaban islam. 

Sejarah mencatat, ia akan menulis ribuan kitab yang menyelamatkan garis perjalanan umat ini. Nama ulama ini, adalah Imam Al-Ghazali. Ulama besar Ahlu Sunnah wal Jamaah. 

Kelak ia akan menulis sebuah kitab untuk membangkitkan kembali ilmu agama yang sudah mati ketika itu. Ihya Ulumuddin. Bangkitnya ilmu-ilmu agama, itulah nama kitabnya. 

Kelak, ia juga akan menulis sebuah kitab yang khusus dia hadiahkan kepada penguasa Bani Seljuk untuk memperbaiki kondisi umat dan mengkritik penguasa. 

Kita akan melihat bahwa Imam Ghazali akhirnya menulis ratusan kitab yang mengkritik penguasa syiah waktu itu, dan pada gilirannya menjadi buku petunjuk bagi umat islam. 

Buku Ghazali, terutama Ihya Ulumuddin, adalah sebuah proposal kebangsaan, untuk membangkitkan kembali daya hidup dan kebesaran umat islam lagi!

Dan hari ini kita akan mengenal Al-Ghazali sebagai peletak dasar filsafat islam. Kita juga akan mengenal Ghazali sebagai seorang pembaru, ulama besar sepanjang zaman, dan pada gilirannya menginspirasi jutaan umat di seluruh dunia.
*

Lewat 100 tahun setelah Ghazali. Kaki-kaki kuda mongol yang buas, bergemuruh di ufuk. Kota Baghdad yang megah, yang indah, yang tiada duanya, diambang kehancuran. Ratusan ribu pasukan Mongol itu merobek-robek langit dengan suara teriakannya.

Beberapa ulama besar di kota itu mengira, mereka adalah Ya’juj wa Ma’juj yang diturunkan Allah untuk menghabisi umat manusia sebab mereka membakar dan menjarah apapun yang bernyawa. Para penguasa islam ditangkap dan dipenggal, tak bisa melindungi umat islam, rakyatnya. 

Seorang anak, 6 tahun usianya, tergopoh-gopoh dilarikan keluarganya ke Suriah, menghindari serbuan pasukan itu. kehancuran kampung halamannya begitu membekas di hati anak ini. Ia bersumpah membalas kembali kehancuran kotanya. 

Di Suriah, anak ini tumbuh menjadi anak ajaib. Ia mampu menghafal ribuan hadis. Tentu saja ia sudah hafiz Qur’an. Tetapi bukan itu. kenangan masa kecilnya mengenai hancurnya Kota Baghdad yang megah begitu membekas.

Ia marah; tapi tak tahu pada siapa. Sebab ia tahu alasan utama hancurnya Baghdad adalah karena, para pemimpin dan ulama di sana menjual diri kepada bangsa Mongol, bukan karena pasukan militer islam yang lemah. 

Sepanjang usianya, kelak kita mengetahui, ia akan memimpin sebuah pasukan besar berkuda untuk mengusir Mongol yang mendekati Suriah, dan ia menang. 

Kemudian, ia juga akan memimpin pasukan besar yang memagari Jerussalem dari luapan militer Mongol ke sana. Dan, lagi-lagi ia menang. Tapi ia belum merasa puas membalaskan dendam masa kecilnya. 

Ulama-penulis ini sadar bahwa tulisan-tulisannya itu harus ditanda-tangani dengan darahnya sendiri. Diksi-diksi yang ia tulis harus tahu rasanya himpitan medan perang atas nama: "mempertahankan kehormatan umat islam."

Untuk menyelamatkan bangsanya, ia menilai bahwa islam sudah  jauh dari nilainya yang asli. Islam sudah tidak lagi diketahui dan dipelajari dari sumbernya yang pasti. Sebab ia paham, pangkal runtuhnya umat ditangan Mongol kala itu, adalah karena Al-Qur’an sudah dilupakan orang.

Maka ia menulis ratusan kitab:

Ratusan kitab itu, ia titipkan pada generasi selanjutnya. Ia hendak serang sendi-sendi kebobrokan umat dan ia tawarkan proposal baru bagi jalannya umat islam di dunia ini.

Saksikanlah, bahwa ulama ini bernama Ibnu Taimiyah. Orang besar, yang satu dari dua orang di dalam sejarah yang digelari Syaikhul Islam karena luas ilmunya. 

Orang-orang tidak menyukainya karena sikap kerasnya pada bid’ah dan kemusyrikan.  Ke mana saja ia beranjak, orang akan memenjarakannya karena kritiknya yang keras. Sebab, baginya, kebenaran harus disuarakan tanpa dirahasiakan sedikitpun.

Kritik itu, ditulisnya menjadi pedang yang tajam terhunus kepada musuh-musuh islam. Dengan tulisannya itu, ia berhasil membangkitkan kembali semangat umat, hingga mampu mengusir Mongol kembali. 

Bahwa, dekat dengan masa hidupnya, kemudian Sultan Saifuddin Qathiz bangkit dan menang untuk pertama kalinya dalam sejarah dunia, melawan Mongol di Pertempuran Ain Jalut, sebab Saifuddin Qathiz melibatkan ulama di sana. 

“Kalau aku dibunuh,” kata Ibnu Taimiyah, itu adalah kesyahidan bagiku. Bila aku diusir, itu  adalah hijrah bagiku. Kalau aku dibuang ke Siprus, lalu aku menyeru penduduknya kepada Allah, mereka akan menyambut seruanku.

Kalau mereka memenjarakan diriku, maka itu adalah tempat ibadah bagiku, aku ini bagaikan domba yang bagaimana pun berguling, ia akan berguling di bulunya yang tebal!”

Kitabnya yang berjudul Al-Furqan sangat menusuk jantung orang-orang sufi yang sesat yang menganggap diri mereka adalah kekasih Allah yang benar.

Kitab Siyasah Syar’iyah adalah tawaran proposal politiknya kepada umat islam, sebab umat pada waktu itu berada di dalam ketidak pastian pemerintahan. 

Selain dua kitab itu, ada ratusan kitab lain yang semuanya merupakan proposal kebangkitan umat kala itu. ia ingin membangun kembali islam di atas reruntuhan kampung halamannya!

Dan kini kita tahu bahwa Ibnu Taimiyah, adalah salah satu ulama paling berpengaruh sepanjang sejarah islam. Kitab-kitabnya begitu mengubah wajah dunia dan bagaimana muslim memandang bid’ah.

*
Menulis dan dakwah, sesungguhnya adalah dua sisi mata uang. Tulisan adalah alat dari dakwah, dan memang hanya salah satu alat. Akan tetapi, dengan buku-buku itu, nama para ulama itu menjadi abadi. 

Sesungguhnya, latar belakang mengapa mereka menulis selalu sama. Sebab mereka memandang, pada suatu waktu, umat islam telah kehilangan identitasnya. Maka para ulama penulis itu bangkit dengan caranya sendiri.

Mereka menulis ribuan kitab untuk membangkitkan semangat juang orang-orang islam. Mereka gugah kembali kesadaran umat, dan pada gilirannya, kitab-kitab itu menjadi tenaga kebangkitan umat islam. 

Dan untuk itu, para ulama menempuh jalan yang tidak sepele. Mereka menulis di bawah ancaman pemenjaraan, pembunuhan, dan pengasingan. Tetapi semua itu mereka hadapi sebagai tebusan kebangkitan umat.

Dan tak ada yang lebih baik mengartikulasikan arti dari tulisan itu, daripada seorang tokoh besar umat islam yang terkenal pada tahun 60-an, sebelum ia dihukum mati akibat “menulis buku”:

Para penulis sebenarnya bisä berbuat banyak. Tetapi ada satu syaratnya: mereka mati agar fikirannya dapat hidup. Fikiran mereka itu harus diberi makan dengan daging dan darah mereka sendiri. 

Mereka harus mengatakan apa yang mereka percayai benar, dan mereka mau menyerahkan darah mereka sebagai tebusan dan kebenaran itu. 

Pemikiran dan kata-kata kita tetap akan merupakan mayat yang kaku, sampai kita mahu mati untuk kepentingannya dan kita sirami ia dengan darah kita. 

Lalu ia tumbuh menjadi hidup, dan hidup di antara orang-orang yang hidup. 

Maka kepada orang-orang yang duduk di meja tulis mereka, yang bekerja keras untuk bakat mereka, memilih kata-kata yang indah, mengukir kalimat-kalimat yang berbunyi keras, menciptakan kata-kata yang penuh khayal yang gemilang, kepada orang-orang seperti ini, saya ingin memberikan nasihat: 

“Janganlah bersusah payah seperti itu, kerana kilatan jiwa, cahaya hati, yang didapat dengan hati yang suci, api keimanan kepada gagasan, inilah satu—satunya yang menimbulkan kehidupan, kehidupan kata-kata dan kehidupan kalimat-kalimat!”

Dari perbandingan dua sosok ulama di atas, kita akan dapati beberapa pola yang sama, sehingga nalar kritis tulisan ulama dan dampaknya bisa muncul ke tengah-tengah peradaban manusia. 

Pertama, di tengah kondisi bangsa dan umatnya yang berantakan, ulama-ulama itu dibukakan hatinya oleh Allah bahwa ada sesuatu yang harus mereka lawan dan perjuangkan. Sehingga, cara dasar menulis, bukan dengan membagus-baguskan diksi. 

Tetapi menemukan alasan melawan dan berjuang. Semua ulama yang menulis, diawali dari menemukan fakta bahwa di tengah umat ada kesalahan besar yang harus mereka lawan. Kesalahan itu bisa berupa sosok, bisa berupa konsep dan pemikiran.

Kedua, dalam sejarah islam, buku yang ditulis para ulama harus kita sikapi sebagai sebuah proposal dan rencana kerja, yang dapat digunakan untuk memperbaiki kondisi umat dan membangunnya kembali dari tatanan lama yang telah bergeser jauh dari Al-Quran.

Maka menulislah; dan jangan takut diburu, jangan takut diasingkan. Sebab kita hanya akan diburu oleh orang yang terlanjur hidup dari kejahatannya, yang mana kejahatannya itu telah menjadi sistem hidup dan identitas kemanusiaannya. 

Maka menulislah, karena dengan itu, rencana peradaban kita tengah dipersiapkan. Hanya orang-orang bernyali besar dan mengetahui akar permasalahan umat saja yang berani menuliskan proposal itu untuk umat.
Ya! Saya te
gaskan bahwa di dalam islam, segala tulisan adalah sebuah ide, rencana, yang harus digunakan untuk menafsirkan Al-Qur’an menjadi sebuah rencana kerja dalam hidup manusia!

Menulislah, dan lawanlah sesuatu!

Minggu, 18 Maret 2018

KAMMI dan Proposal Identitas Keindonesiaan Kita



Malam itu, sepulang dari perjalanan yang entah, menjelang tengah malam, saya mampir di sebuah mushala. Diskusi mengenai Sayyid Quthb dan Ali Alija tengah dilangsungkan.

Barangkali nama Sayyid Quthb sudah familiar. Tetapi, Ali Alija, adalah nama Presiden Bosnia yang mengarang sebuah buku, Mencari Jalan Tengah. Diskusi kami malam itu fokus pada tawaran apa yang diberikan Quthb kepada dunia.

Tetapi bukan itu. diskusi kami meriap pada suatu rumusan: terlepas dari putusnya sanad Sayyid Quthb secara keilmuan agama dan sejarah, di manakah posisi kitab Ma’alim fi Thariq, dan pada gilirannya, bagaimana posisi Ikhwanul Muslimin di tengah percaturan dunia, dan Indonesia?

Ma’alim fi Thariq, sebuah kitab yang ditulis pada awal tahun 60-an. Kitab itu dipelajari di internal Ikhwanul Muslimin dan kemudian ada sekelompok orang menyempal, lalu menciptakan jamaah jihad. Hari ini, dua negara atas pemikiran Quthb telah berdiri: Imarah Islam Afghanistan, dan, Daulah Islam Irak-Suriah.

Ada lagi sekelompok orang yang menamai diri mereka salafiyah, dan membawa kitab itu ke balik pegunungan Afghanistan. Orang itu, adalah Dr. Aiman Zawahiri. Jadilah pada awal abad 21, organisasi   terbesar yang melampaui negara: Al-Qaeda.

Tak cukup sampai di situ, Ayatollah Khomeini, menyelundupkan kitab itu ke balik tebalnya kabut di Iran, pada akhir tahun 1970. Ia menciptakan Garda Revolusi Iran dari blue print Ikhwanul Muslimin, dan menambahkan warna Quthbisme ke sana. Akhirnya; terjadilah revolusi itu. Republik Islam Iran.

Lalu, mengapa kitab Ma’alim fi Thariq, dan pada gilirannya, kitab Fi Zhilalil Qur’an, begitu mampu menciptakan alasan orang bergerak?

Kitab itu, sebagaimana kitab-kitab lain dari orang-orang sebelum Quthb, adalah sebuah proposal. Proposal bagi kemanusiaan. Proposal yang diajukan oleh seorang pemikir, bagi menyelesaikan krisis identitas yang terjadi.

Sebab, kondisi dunia pada masa itu ada pada kebingungan global: perang dunia yang sudah selesai satu generasi lalu melahirkan generasi Bunga. Mereka yang anti perang. Mereka yang anti penindasan. Tetapi mereka melihat:

Generasi di atas mereka hidup dengan sistem yang diciptakan sebagai hasil dari perang dunia: mereka menyaksikan sebuah negara dipecah-pecah sebagai tropi pemenang perang. Mereka melihat negara-negara Asia dan Afrika yang hancur lebur.

Mereka dibuai dengan “keberhasilan” PBB, dan dua negara besar: Amerika dan Sovyet. Kapitalis, dan Komunis. Mereka ada pada kebingungan identitas. Sebab untuk “ada” dan “eksis” di dunia, mereka harus memilih dua identitas politik: Barat, atau Komunis.

Di tengah kebingungan itu, Quthb, muncul dengan proposal identitasnya: betapa buku Ma’aim fi Thariq, menjadi jawaban orang-orang, setidaknya, jawaban orang-orang islam yang kala itu menolak tunduk pada dua identitas dunia.

Ma’alim fi Thariq, sebagaimana maknanya, dipilih menjadi “jalan lurus”, dipilih sebagai “jalan identitas” orang-orang muslim yang membutuhkan proposal untuk mereka jalankan.

Betapa, ide-ide mengenai “islam lintas negara” dan “union muslim”, diterjemahkan menjadi dua hal: “Negara-Islam baru”, dan “kekhalifahan post-modern”, dari sintesa pemikiran dan proposal seorang Sayyid Quthb.
*

Hari ini. Di masa ketika negeri kita meributkan identitasnya: mereka yang mengenal dunia ini melalui konstruksi berpikir barat yang agung itu, memahami semuanya sebagai objek berpikir yang harus diragukan, tetapi pemikiran mereka masih belum lepas dari budaya Asia yang penuh dengan magisme, mitos dan logical fallacy.

Pada suatu kali, mereka akan menggunakan standar barat dan PBB untuk menetapkan bagaimana negara dan bangsa ini harus berjalan, dan ke mana arahnya. Sebagai proposal ekonomi, mereka menggunakan Washington Consensus dengan 10 pasalnya.

Sebagai tawaran kebudayaan, mereka dengan keras memperjuangkan seni untuk seni, dan seni yang independen. Seni yang di luar peradaban dunia. Yang adanya di museum-museum.

Ada pula sebagian dari mereka yang menerima proposal dari sisa-sisa pemikiran Marx dan Lenin. Tak perlu kita ceritakan mengenai gagalnya Sovyet dan Yugoslavia, sebab pemikiran ini punya warnanya sendiri yang baru.

Sebab golongan kedua ini mencari jawaban dari kapitalisme Washington Consensus golongan pertama, yang terbukti sangat berhasil untuk “menyelamatkan sebuah negara dari kemiskinan,” dengan “menjualnya pada pemilik modal”.

Akan tetapi, ada pihak ketiga. Mereka yang berpikir kritis. Mereka yang jemu dengan tindak represif negara pada diri mereka. Mereka yang mulai mempertanyakan kebutuhan mereka atas negara kita.

Ya; diskusi kami malam itu, berkembang menjadi: saat ini, apakah kita bisa mendeskripsikan identitas keindonesiaan kita? Atau jangan-jangan, nama Indonesia sebagai sebuah negara sendiri, mulai kita ragukan?

Butuhkah kita pada negara yang memberikan identitas “tertentu” kepada kita? Sebab keindonesiaan ternyata ditafsirkan secara semberono oleh dua golongan di atas, yang sedang bertarung menjadikan Indonesia sebagai dirinya.

Kira-kira, kalau kita tanyakan pada diri kita sendiri, dan kepada masyarakat, masihkah mereka butuh negara? Dan ujung pertanyaan ini, kemudian menjadi, apakah mereka butuh identitas baru yang post-Indonesia?

Sebab ternyata tafsir identitas dari dua golongan di atas melulu kita dapati sebagai: turunnya harga rupiah. Naiknya harga beras. Naiknya harga bahan bakar. Hilangnya muru’ah para petani. Penguasaan tanah dalam jumlah besar oleh pemilik lahan.

Impor bawang putih hingga 96 persen. Impor beras saat swasembada. Impor garam saat laut begitu luas. Dikuasainya mayoritas lahan sawit oleh asing. Dikeruknya cadangan emas oleh Freeport. Hancurnya tata keagamaan bangsa.

Diserangnya simbol-simbol keislaman. Dihinanya jilbab dan jenggot. Dibuangnya Al-Qur’an. Dilarangnya atribut-atribut ibadah. Dibatasinya kemerdekaan berpikir orang-orang islam. Dibelinya beberapa ormas besar islam oleh pemilik modal. Dipesannya fatwa-fatwa. Ceramah-ceramah yang bertentangan satu sama lain.

*

Di masa-masa seperti ini, sebagai yang saya jelaskan di atas, saat inilah bangsa kita membutuhkan suatu proposal baru. suatu proposal yang belum pernah ada dalam sejarah negerinya. Suatu proposal yang mampu menjawab segala permasalahan.


Sebab tanda-tanda di bangsa kita ini sama persis dengan bulan-bulan mematikan yang terjadi di negara-negara besar yang kemudian runtuh di tangan orang-orang dengan tawaran identitas baru: Iran Lama, Kerajaan Saudi lama, Turki Utsmani, Uni Sovyet, pseudo-negara Hindia Belanda, dan bahkan di Mesir, sesaat sebelum Gamal berkuasa.

Maka kemudian wajar, para teolog dan ideolog dunia, baik yang mewujudkan dirinya menjadi suatu organisasi lintas negara, maupun yang berupa sebuah negara besar dengan ideologi tertentu, berlomba mendatangi bangsa kita.

Sebab, mereka tahu pasti melebihi tahunya kita, bahwa bangsa kita ini sudah tidak mencintai lagi dirinya sebagai identitas yang sudah ada. Setelah tahun-tahun konflik, kita membutuhkan identitas baru.

Lalu apa hubungannya dengan KAMMI? KAMMI terus menggembar-gemborkan “Jayakan Indonesia 2045”. Proposal yang kita punya, adalah manhaj pengaderan, AD ART, dan platform gerakan. Dari titik ini, apakah proposal ini cukup kuat?

Atau apakah tiga  paket proposal KAMMI kepada bangsa Indonesia itu cukup mampu menjadi jawaban identitas masa depan bangsa Indonesia?

Kiranya kita tidak perlu takut dikatakan radikal. Sebab pihak-pihak yang menggelari sebuah pergerakan dengan radikal, adalah sekelompok orang jahat yang terlanjur hidup dari tafsiran batil atas sebuah ideologi negara

Kini kita sedang melawan sebuah identitas Indonesia lama yang terbukti gagal menjawab kebutuhan kebangsaan. Telah 70 tahun kita merdeka, tapi cita-cita kemerdekaan itu terkubur di bawah kolam kodok di depan Istana Negara.

Dan, semua orang, dalam hatinya, cepat atau lambat akan sadar bahwa mereka perlu sebuah proposal untuk menghancurkan identitas lama itu, mereka sedang mencari proposal identitas baru yang berbeda secara mendasar, bahkan mungkin dengan terma Indonesia.

Hancurnya identitas lama itu tak perlu kita bayangkan caranya, yang paling lunak bisa jadi sebatas reformasi. Yang lebih kuat, bisa jadi sebuah referendum dan revolusi untuk mengeliminasi simbol-simbol identitas lama yang gagal dan busuk itu.

Dan di titik ini, formulasi manhaj dan AD ART KAMMI, saya pandang mampu menjawab itu. Manhaj Pengaderan KAMMI yang memasukkan unsur Ma’alim fi Thariq dan bahkan blue print Ikhwanul Muslimin dalam Majmu’atu Rasail, saya anggap akan mampu menjadi tawaran besar bagi bangsa ini.

Akan tetapi saya juga memperingatkan kepada kita semua. Manhaj pengaderan dan AD ART hanyalah sebuah luncuran liur dari orang yang ketiduran, ketika sekelompok kader KAMMI sendiri tidak menggunakannya sebagai tawaran identitas.

Pada hakikatnya, manhaj, adalah tawaran itu. kemudian jika kini kader KAMMI repot-repot mendekat kepada seorang tokoh yang kurang terkenal dan ikut meneriakkan arah baru Indonesia, atau kemudian susah payah menembus pintu usang partai yang kehilangan identitasnya:

Saat itu juga KAMMI akan ikut hilang bersama ditemukannya proposal baru yang lebih mapan, lebih tegar, dan mampu menjawab krisis identitas bangsa kita.

Sebab jika begitu, berarti kita sendiri masih gamang dengan identitas itu. yang kita cari bukanlah tokoh yang menjanjikan ini itu. berhentilah bersalawat pada Erdogan atau Sohibul Iman. Sebab yang kita cari adalah identitas baru yang ajeg dan kuat.

Identitas bukan ditemukan dengan ikut pada tokoh berduit atau orang nyentrik yang cuma terkenal di kalangan kecil saja. Identitas didapat dari proposal besar perjuangan dan kehidupan.

Ya. Saya ingin katakan dua hal kepada pembaca tulisan ini. Pertama, bahwa manhaj pengaderan KAMMI memang harus radikal, destruktif, dan cepat menghabisi identitas kebangsaan kita yang gagal dan berbahaya ini.

Kedua, laksanakanlah manhaj pengaderan itu sebagai sebuah proposal identitas kebangsaan. Memang dibutuhkan semacam buku tafsir atau keutuhan konstruk, tetapi biarkan bangsa kita melihat bahwa KAMMI memang yang akan memenangkan pertarungan identitas baru ini!

Senin, 19 Februari 2018

Hari-Hari Akhir Ekstra Kampus



Mesir. Perang Dunia I meninggalkan banyak ketidakstabilan di mana-mana. Sementara, Perang Dunia II sekejap mata lagi terjadi. Ekskalasi kekuatan di seluruh dunia bergeser besar-besaran dengan bangkitnya Jerman, Jepang, Italia, dan Uni Sovyet.

Gerakan Ikhwanul Muslimin kala itu cukup besar untuk bisa mempengaruhi opini publik. Kader-kadernya terdiri dari para mahasiswa yang justru mencari mati. Orang-orang muda yang tegap, tangkas, dan  kuat.

Di samping Gerakan Ikhwan, ada banyak partai politik. Partai-partai itu, ada yang sekular dan ada pula yang sosialis. Akan tetapi, di parlemen, berhadapan dengan Raja Farouk yang licik:

Partai-partai itu tak lebih dari sekadar atlet catur yang sedang latihan. Bidak-bidaknya adalah, terutama, rakyat.

Hasan Al-Banna dihadapkan pada satu  masalah: partai-partai itu mengkader sebagaimana Ikhwan mengkader. Partai-partai itu menyasar anak muda, sebagaimana Ikhwan mencari anak muda untuk dibina.

Perebutan kader menjadi hal biasa. Tidak ada data yang sampai pada kita di negeri ini, mengenai berapa dominasi anggota parlemen atau menteri yang berusia muda, relatif di bawah 40 atau 30 tahun.

Hanya saja kala itu, Gerakan Ikhwan dan Hasan Al-Banna dihadapkan pada sebuah tantangan: mengapa para pemuda harus memilih Ikhwan? Mengapa tidak langsung memilih partai politik yang menyediakan lapangan besar permainan politik?

Mengapa para mahasiswa dan pelajar yang cerdas, kuat, dan tangkas, harus memilih Ikhwan ketika partai politik lebih menjanjikan jabatan, uang-uang besar yang syubhat, dan keterkenalan yang cepat?

Dari tahun-tahun 30-an itu, kita beranjak ke Indonesia. Hari ini. Masa-masa ketika para pemuda dihadapkan pada pilihan yang sama. Mereka bisa memilih KAMMI, HMI, IMM, atau PMII.


Tetapi di hadapan mereka, juga ada partai-partai yang menyediakan kursi-kursi seksi. Ada PSI yang jelas berplatform partai anak muda. Ada Perindo yang menjanjikan hal serupa. Bahkan belum lama kader-kader KAMMI kalangkabut, iri, dengki, hasud, dan mungkin bangga-bangga malu dengan PKS Muda yang mencalonkan kader berusia 18 tahun sebagai calon anggota legislatif!

Lalu mengapa para pemuda dan pemudi harus memilih KAMMI? Apa alasannya kita harus bersesak-sesakan di Musda, Muswil, dan Muktamar berebut jabatan, padahal partai politik sudah menyediakan ruang seluas-luasnya untuk berpolitik?

Organisasi ekstra kampus yang memiliki basis kajian politik sudah jelas tanpa perlu mengutip pendapat siapapun, bertujuan mempersiapkan kadernya, mempersiapkan satu generasi untuk menempati posisi strategis kepemimpinan umat.

Hanya saja, tantangan besarnya adalah, ternyata partai politik melakukan pengaderan serupa. Sehingga, agaknya, di era milenial hari ini, organisasi seperti KAMMI harus menghadapi ancaman tidak lakunya gerakan yang menawarkan an sich kajian dan pengalaman politik laboratorium, di tengah promosi partai praktis semacam PSI dan PKS Muda.

Lalu bagaiman cara KAMMI bertahan? Apa yang membuat kader KAMMI harus tetap dan harus menawarkan KAMMI kepada pemuda lainnya?

Kiranya, dalam hal ini, ada sebuah pameo yang bilang bahwa ideologi sudah tidak laku. Bahwa ideologi adalah mainan kuno tahun-tahun ketika dasar negara sudah tidak ada.

Padahal itulah, yang dulu pernah memikat banyak orang, bergabung kedalam Ikhwanul Muslimin. Kekuatan kajian. Kekuatan iman. Kekuatan ketulusan. Dan kemerdekaan bertauhid. Bebas dari segala anasir politik buruk.

*
Jakarta. Memasuki dasawarsa kedua abad 21. Basuki Tjahaja Purnama, orang yang pernah dikaji di internal KAMMI sebagai pseudo-Dajjal, pernah mengeluarkan satu statemen yang kelihatannya receh, tapi lebih populer  daripada usaha keras Anis Matta mempopulerkan quotenya.


Deparpolisasi. Orang ini cerdas. Sebab ia paham betul bahwa masyarakat sudah muak 20 tahun memilih anggota dewan yang tidak mewakili siapa-siapa dan apa-apa. masyarakat tidak bisa lagi dibohongi dengan visi misi hasil rapat semalam dua malam untuk dijual di poster.

Ahok, dan Hasan Al-Banna, punya ide yang sama. Bahwa sebuah negara demokrasi yang mengandalkan banyaknya partai politik untuk hidup, justru tengah memelihara sel kanker yang menyedot gizi dari makanannya.

Masyarakat, baik pengikut Ahok maupun pengikut Hasan Al-Banna, punya satu pemikiran yang bisa jadi sama. Bahwa uang negara habis untuk membiayai penyelenggaraan negara, bukan mencapai cita-cita kebangsaan dan keumatan.

Ahok, kemudian lebih dari mampu mengumpulkan pemuda yang ideologis dan siap mati membelanya: organisasi Teman Ahok bahkan dalam waktu singkat mengalahkan kepopuleran KAMMI.

Bahkan Ahok dan Teman Ahok mampu menciptakan satu kubu tersendiri dalam lapisan sosial masyarakat ibukota; bahwa ia jelas dengan bahasa politik ingin berkata: tak ada gunanya berorganisasi ekstra!

Saya yakin KAMMI tak akan pernah mampu mengumpulkan sejuta KTP untuk calon gubernur muslim yang mereka usung atau sekadar menjadikan ketua mereka menjadi menteri.

Lalu mengapa ini terjadi?  Mengapa partai politik akhirnya menghemat waktu dan tenaga untuk menunggu ekstra kampus mengkader dan membina, lalu binaan mereka masuk ke partai? Mengapa partai akhirnya mencalonkan anak kecil, bahkan menjadikannya ketua partai?

Sementara di sisi mereka, anak-anak muda “ideologis”, “tangguh”, “intelek”, dan  “berbakat”, tengah belajar membunuh di dalam organisasi mereka. Mereka belajar makan uang-uang residu politik yang jatuh bagai daun berguguran.

ideologi? Orang-orang kabinet dan kepolisian lebih mengetahui daripada orang ekstra kampus. Cukup ajak mereka bertemu sekali dua kali atau berikan uang, habis perkara.


Sementara partai membuka peluang sebesar-besarnya untuk anak muda belajar jabat menjabat, ekstra kampus masih bergumul dengan urusan jegal-jegalan saat muktamar, tipu menipu saat musyawarah.

Dan kita hari ini masih dengan senang hati memakan tipuan-tipuan itu: berkeras-keras orasi di jalan mengenai anggota dewan yang lalai saat sidang, alpa saat paripurna. Tetapi muktamar kita:

Para Yang Terhormat sibuk ngopi dan tawar menawar di kedai duren; yang musyawarah adalah mereka yang tulus, suci, polos, dan terlalu saleh sampai-sampai ikhlas lillahi ta’ala ditipu begitu.

Ideologi? Uruslah ideologi setelah kenyang, perut ada kemajuan, bisa nempel anggota dewan, dan bisa masuk ke kantor-kantor pemerintahan pusat tanpa nitip KTP di penjaga gerbang depan!

Baik Ahok maupun Hasan Al-Banna sadar itu semua. Mereka mengambil garis tengah dan garis terdepan untuk melawan itu semua. Ahok dan Al-Banna, sama-sama dimusuhi partai-partai karena menyerukan pupusnya sistem kepartaian.

Sementara para pemuda berkumpul di sekeliling mereka; karena satu hal. Organisasi dan partai yang ada, tidak menawarkan air bagi dahaga ideologi dan dahaga kebenaran mereka. Sementara, keduanya menawarakan itu:

Meski Hasan Al-Banna adalah ulama, sedang Ahok adalah, bisa jadi memang Pseudo-Dajjal.

*
Tak ada jawaban yang lebih logis daripada, hari ini daya tawar ekstra kampus  tinggal pada penyadaran ideologi. Memang betul kata BNPT.

Radikal, adalah mereka yang kajian diam-diam, dan meyakinkan kita bahwa kita tidak sedang bahagia, bahwa ada yang salah di negeri ini. Dan memang itulah alasan kita, barangkali, bergabung dalam gerakan ini.

Ketika kemudian sebuah gerakan malah menjadi bagian dari masalah dan kesalahan suatu negeri; apalagi alasannya mengajak orang bergabung kedalam gerakan ini?

Maka, tahun-tahun kedepan, kita akan menghadapi kiamat gerakan ekstra kampus. Kiamat baru dan belum pernah terjadi; sebab saat ini, menjelang 100 tahun pertama tanpa adanya kekhalifahan islam.

Alasan utama munculnya pergerakan mahasiswa islam, adalah tak adanya pemerintahan dan organisasi ideal berasaskan islam yang betul-betul menjalankan kemauan bersama dan tafsir ideologi yang baik.

Ketika bergabung kedalam organisasi ekstra kampus sudah dianggap tidak praktis; dan menawarkan hal yang kira-kira sama dengan parpol tetapi dalam versi tidak konkret, insyaa Allah ekstra kampus akan ditinggal.

Bisa jadi orang akan langsung main calon-calonan ke partai politik. Atau karena gerakan ekstra tidak lagi menawarkan perbaikan konkret itu; maka orang akan beralih ke organisasi jenis ketiga:

Yang ikatannya, ikatan hobi. Yang isunya, isu khusus, tajam, mendalam, dan spesial. Jangan heran organisasi pecinta vespa lebih besar daripada KAMMI.

Jangan heran organisasi para Hooligan atau pecinta marmut, kodok, iguana, cupang, dan cebong bakal lebih laku daripada gerakan kampus!