Minggu, 18 Maret 2018
KAMMI dan Proposal Identitas Keindonesiaan Kita
Malam itu, sepulang dari perjalanan yang entah, menjelang tengah malam, saya mampir di sebuah mushala. Diskusi mengenai Sayyid Quthb dan Ali Alija tengah dilangsungkan.
Barangkali nama Sayyid Quthb sudah familiar. Tetapi, Ali Alija, adalah nama Presiden Bosnia yang mengarang sebuah buku, Mencari Jalan Tengah. Diskusi kami malam itu fokus pada tawaran apa yang diberikan Quthb kepada dunia.
Tetapi bukan itu. diskusi kami meriap pada suatu rumusan: terlepas dari putusnya sanad Sayyid Quthb secara keilmuan agama dan sejarah, di manakah posisi kitab Ma’alim fi Thariq, dan pada gilirannya, bagaimana posisi Ikhwanul Muslimin di tengah percaturan dunia, dan Indonesia?
Ma’alim fi Thariq, sebuah kitab yang ditulis pada awal tahun 60-an. Kitab itu dipelajari di internal Ikhwanul Muslimin dan kemudian ada sekelompok orang menyempal, lalu menciptakan jamaah jihad. Hari ini, dua negara atas pemikiran Quthb telah berdiri: Imarah Islam Afghanistan, dan, Daulah Islam Irak-Suriah.
Ada lagi sekelompok orang yang menamai diri mereka salafiyah, dan membawa kitab itu ke balik pegunungan Afghanistan. Orang itu, adalah Dr. Aiman Zawahiri. Jadilah pada awal abad 21, organisasi terbesar yang melampaui negara: Al-Qaeda.
Tak cukup sampai di situ, Ayatollah Khomeini, menyelundupkan kitab itu ke balik tebalnya kabut di Iran, pada akhir tahun 1970. Ia menciptakan Garda Revolusi Iran dari blue print Ikhwanul Muslimin, dan menambahkan warna Quthbisme ke sana. Akhirnya; terjadilah revolusi itu. Republik Islam Iran.
Lalu, mengapa kitab Ma’alim fi Thariq, dan pada gilirannya, kitab Fi Zhilalil Qur’an, begitu mampu menciptakan alasan orang bergerak?
Kitab itu, sebagaimana kitab-kitab lain dari orang-orang sebelum Quthb, adalah sebuah proposal. Proposal bagi kemanusiaan. Proposal yang diajukan oleh seorang pemikir, bagi menyelesaikan krisis identitas yang terjadi.
Sebab, kondisi dunia pada masa itu ada pada kebingungan global: perang dunia yang sudah selesai satu generasi lalu melahirkan generasi Bunga. Mereka yang anti perang. Mereka yang anti penindasan. Tetapi mereka melihat:
Generasi di atas mereka hidup dengan sistem yang diciptakan sebagai hasil dari perang dunia: mereka menyaksikan sebuah negara dipecah-pecah sebagai tropi pemenang perang. Mereka melihat negara-negara Asia dan Afrika yang hancur lebur.
Mereka dibuai dengan “keberhasilan” PBB, dan dua negara besar: Amerika dan Sovyet. Kapitalis, dan Komunis. Mereka ada pada kebingungan identitas. Sebab untuk “ada” dan “eksis” di dunia, mereka harus memilih dua identitas politik: Barat, atau Komunis.
Di tengah kebingungan itu, Quthb, muncul dengan proposal identitasnya: betapa buku Ma’aim fi Thariq, menjadi jawaban orang-orang, setidaknya, jawaban orang-orang islam yang kala itu menolak tunduk pada dua identitas dunia.
Ma’alim fi Thariq, sebagaimana maknanya, dipilih menjadi “jalan lurus”, dipilih sebagai “jalan identitas” orang-orang muslim yang membutuhkan proposal untuk mereka jalankan.
Betapa, ide-ide mengenai “islam lintas negara” dan “union muslim”, diterjemahkan menjadi dua hal: “Negara-Islam baru”, dan “kekhalifahan post-modern”, dari sintesa pemikiran dan proposal seorang Sayyid Quthb.
*
Hari ini. Di masa ketika negeri kita meributkan identitasnya: mereka yang mengenal dunia ini melalui konstruksi berpikir barat yang agung itu, memahami semuanya sebagai objek berpikir yang harus diragukan, tetapi pemikiran mereka masih belum lepas dari budaya Asia yang penuh dengan magisme, mitos dan logical fallacy.
Pada suatu kali, mereka akan menggunakan standar barat dan PBB untuk menetapkan bagaimana negara dan bangsa ini harus berjalan, dan ke mana arahnya. Sebagai proposal ekonomi, mereka menggunakan Washington Consensus dengan 10 pasalnya.
Sebagai tawaran kebudayaan, mereka dengan keras memperjuangkan seni untuk seni, dan seni yang independen. Seni yang di luar peradaban dunia. Yang adanya di museum-museum.
Ada pula sebagian dari mereka yang menerima proposal dari sisa-sisa pemikiran Marx dan Lenin. Tak perlu kita ceritakan mengenai gagalnya Sovyet dan Yugoslavia, sebab pemikiran ini punya warnanya sendiri yang baru.
Sebab golongan kedua ini mencari jawaban dari kapitalisme Washington Consensus golongan pertama, yang terbukti sangat berhasil untuk “menyelamatkan sebuah negara dari kemiskinan,” dengan “menjualnya pada pemilik modal”.
Akan tetapi, ada pihak ketiga. Mereka yang berpikir kritis. Mereka yang jemu dengan tindak represif negara pada diri mereka. Mereka yang mulai mempertanyakan kebutuhan mereka atas negara kita.
Ya; diskusi kami malam itu, berkembang menjadi: saat ini, apakah kita bisa mendeskripsikan identitas keindonesiaan kita? Atau jangan-jangan, nama Indonesia sebagai sebuah negara sendiri, mulai kita ragukan?
Butuhkah kita pada negara yang memberikan identitas “tertentu” kepada kita? Sebab keindonesiaan ternyata ditafsirkan secara semberono oleh dua golongan di atas, yang sedang bertarung menjadikan Indonesia sebagai dirinya.
Kira-kira, kalau kita tanyakan pada diri kita sendiri, dan kepada masyarakat, masihkah mereka butuh negara? Dan ujung pertanyaan ini, kemudian menjadi, apakah mereka butuh identitas baru yang post-Indonesia?
Sebab ternyata tafsir identitas dari dua golongan di atas melulu kita dapati sebagai: turunnya harga rupiah. Naiknya harga beras. Naiknya harga bahan bakar. Hilangnya muru’ah para petani. Penguasaan tanah dalam jumlah besar oleh pemilik lahan.
Impor bawang putih hingga 96 persen. Impor beras saat swasembada. Impor garam saat laut begitu luas. Dikuasainya mayoritas lahan sawit oleh asing. Dikeruknya cadangan emas oleh Freeport. Hancurnya tata keagamaan bangsa.
Diserangnya simbol-simbol keislaman. Dihinanya jilbab dan jenggot. Dibuangnya Al-Qur’an. Dilarangnya atribut-atribut ibadah. Dibatasinya kemerdekaan berpikir orang-orang islam. Dibelinya beberapa ormas besar islam oleh pemilik modal. Dipesannya fatwa-fatwa. Ceramah-ceramah yang bertentangan satu sama lain.
*
Di masa-masa seperti ini, sebagai yang saya jelaskan di atas, saat inilah bangsa kita membutuhkan suatu proposal baru. suatu proposal yang belum pernah ada dalam sejarah negerinya. Suatu proposal yang mampu menjawab segala permasalahan.
Sebab tanda-tanda di bangsa kita ini sama persis dengan bulan-bulan mematikan yang terjadi di negara-negara besar yang kemudian runtuh di tangan orang-orang dengan tawaran identitas baru: Iran Lama, Kerajaan Saudi lama, Turki Utsmani, Uni Sovyet, pseudo-negara Hindia Belanda, dan bahkan di Mesir, sesaat sebelum Gamal berkuasa.
Maka kemudian wajar, para teolog dan ideolog dunia, baik yang mewujudkan dirinya menjadi suatu organisasi lintas negara, maupun yang berupa sebuah negara besar dengan ideologi tertentu, berlomba mendatangi bangsa kita.
Sebab, mereka tahu pasti melebihi tahunya kita, bahwa bangsa kita ini sudah tidak mencintai lagi dirinya sebagai identitas yang sudah ada. Setelah tahun-tahun konflik, kita membutuhkan identitas baru.
Lalu apa hubungannya dengan KAMMI? KAMMI terus menggembar-gemborkan “Jayakan Indonesia 2045”. Proposal yang kita punya, adalah manhaj pengaderan, AD ART, dan platform gerakan. Dari titik ini, apakah proposal ini cukup kuat?
Atau apakah tiga paket proposal KAMMI kepada bangsa Indonesia itu cukup mampu menjadi jawaban identitas masa depan bangsa Indonesia?
Kiranya kita tidak perlu takut dikatakan radikal. Sebab pihak-pihak yang menggelari sebuah pergerakan dengan radikal, adalah sekelompok orang jahat yang terlanjur hidup dari tafsiran batil atas sebuah ideologi negara
Kini kita sedang melawan sebuah identitas Indonesia lama yang terbukti gagal menjawab kebutuhan kebangsaan. Telah 70 tahun kita merdeka, tapi cita-cita kemerdekaan itu terkubur di bawah kolam kodok di depan Istana Negara.
Dan, semua orang, dalam hatinya, cepat atau lambat akan sadar bahwa mereka perlu sebuah proposal untuk menghancurkan identitas lama itu, mereka sedang mencari proposal identitas baru yang berbeda secara mendasar, bahkan mungkin dengan terma Indonesia.
Hancurnya identitas lama itu tak perlu kita bayangkan caranya, yang paling lunak bisa jadi sebatas reformasi. Yang lebih kuat, bisa jadi sebuah referendum dan revolusi untuk mengeliminasi simbol-simbol identitas lama yang gagal dan busuk itu.
Dan di titik ini, formulasi manhaj dan AD ART KAMMI, saya pandang mampu menjawab itu. Manhaj Pengaderan KAMMI yang memasukkan unsur Ma’alim fi Thariq dan bahkan blue print Ikhwanul Muslimin dalam Majmu’atu Rasail, saya anggap akan mampu menjadi tawaran besar bagi bangsa ini.
Akan tetapi saya juga memperingatkan kepada kita semua. Manhaj pengaderan dan AD ART hanyalah sebuah luncuran liur dari orang yang ketiduran, ketika sekelompok kader KAMMI sendiri tidak menggunakannya sebagai tawaran identitas.
Pada hakikatnya, manhaj, adalah tawaran itu. kemudian jika kini kader KAMMI repot-repot mendekat kepada seorang tokoh yang kurang terkenal dan ikut meneriakkan arah baru Indonesia, atau kemudian susah payah menembus pintu usang partai yang kehilangan identitasnya:
Saat itu juga KAMMI akan ikut hilang bersama ditemukannya proposal baru yang lebih mapan, lebih tegar, dan mampu menjawab krisis identitas bangsa kita.
Sebab jika begitu, berarti kita sendiri masih gamang dengan identitas itu. yang kita cari bukanlah tokoh yang menjanjikan ini itu. berhentilah bersalawat pada Erdogan atau Sohibul Iman. Sebab yang kita cari adalah identitas baru yang ajeg dan kuat.
Identitas bukan ditemukan dengan ikut pada tokoh berduit atau orang nyentrik yang cuma terkenal di kalangan kecil saja. Identitas didapat dari proposal besar perjuangan dan kehidupan.
Ya. Saya ingin katakan dua hal kepada pembaca tulisan ini. Pertama, bahwa manhaj pengaderan KAMMI memang harus radikal, destruktif, dan cepat menghabisi identitas kebangsaan kita yang gagal dan berbahaya ini.
Kedua, laksanakanlah manhaj pengaderan itu sebagai sebuah proposal identitas kebangsaan. Memang dibutuhkan semacam buku tafsir atau keutuhan konstruk, tetapi biarkan bangsa kita melihat bahwa KAMMI memang yang akan memenangkan pertarungan identitas baru ini!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
"Berhenti bersalawat..." haha mantap bang
BalasHapusMasya Allah. MUSLIM NEGARAWAN
BalasHapus