Sepanjang peradaban
manusia, sebetulnya, para ulama besar menulis sebuah proposal.
Mereka—rahimahullah—menyaksikan umat ini di ambang keruntuhan:
Jauh, setelah
Rasulullah meninggal; mereka lebih dari sekadar meninggalkan Al-Qur’an. Para
ulama, terbagi dua golongan. Pertama, adalah mereka yang menjual dirinya kepada
para penguasa.
Mereka mencari makan
dengan cara menjual fatwa-fatwa yang disesuaikan dengan keinginan penguasa.
Pengaruh mereka masih besar di masyarakat, dan para penguasa tahu itu. mereka
ingin masyarakat berpihak pada penguasa; dengan cara, para ulama membuat fatwa
yang mendukung pemerintahan.
Di saat-saat seperti
itu, para ulama juga menghadapi fakta bahwa pemerintahan tak lagi bekerja untuk
memakmurkan rakyat dan membina umat sebagaimana seharusnya. Mereka ternyata
menjilat bangsa lain yang lebih besar.
Sehingga bangsa-bangsa
itu datang dan menyerbu kekuasaan islam. Dan saat itulah kita akan mengenang
peristiwa ini dengan satu kalimat kecil: “Runtuhnya dinasti islam…”
Golongan ulama jenis
kedua, adalah mereka yang dengan segala ilmunya yang luas, menjadi sesat.
Mereka terpapar pemikiran filsafat sesat. Di antara mereka ada yang menjadi
pengikut Aristoteles. Sebagian menjadi pemikir yang terlalu jauh memikirkan
Tuhan.
Akhirnya, mereka hanya
memenuhi negara dengan pikiran-pikiran yang tidak perlu. Mereka kehilangan
gairah kerja karena beranggapan, Tuhan mencukupkan rezeki hambanya, maka jika
kita bekerja untuk mendapat rezeki, sama saja menghina Tuhan.
Orang dengan pemikiran
semacam itu, tidak mau menjawab panggilan jihad para pasukan dan juga tidak mau
mendukung pemerintahan untuk memperbaiki dirinya.
Pada waktu begitulah,
bangkit para ulama bersenjatakan pena. Mereka menulis suatu blue print, suatu
karya besar, yang bisa digunakan untuk membangkitkan kembali umat. Merekalah
golongan ulama ketiga:
Yang senantiasa akan
dibangkitkan Allah untuk kembali meluruskan agama islam. Golongan ulama ketiga
ini kemudian paham betul makna dakwah para Nabi, bahwa nabi-nabi itu dibekali
kitab suci yang berupa tulisan, sebagai sebuah tawaran proposal pada umat
manusia.
Dan ulama-ulama itu
tinggal mengambil sisi dari proposal itu untuk dipecah kembali menjadi
proposal-proposal baru yang sesuai dengan kondisi zamannya. Begitulah, setiap
waktu para ulama terus menulis.
*
Awal pergantian
milenium pertama sejarah manusia. Kerajaan besar dalam sejarah islam, Dinasti
Abbasiyah, dilemahkan oleh kelompok Syiah Al-Buwaihi yang mengambil alih
pemerintahan dari tangan Ahlu Sunnah wal Jamaah.
Sementara, di luar
tembok istana, para penduduk kehilangan pegangan. Aliran-aliran sesat masuk dan
mengacaukan kehidupan keagamaan di sana: pemikiran filsafat ekstrim, syiah
batiniyah, muktazilah, dan lain sebagainya membuat umat kehilangan daya
pembangunan.
Di sisi lain, muncul
kelompok sufi sesat yang punya keyakinan bahwa umat islam tidak perlu mengurus
politik. Fokus saja pada pencarian ketuhanan yang sebetulnya telah jelas di
dalam Al-Quran.
Segala puji bagi Allah, yang pada tahun-tahun itu,
dibangkitkan-Nya seorang ulama besar. ulama ini dengan mata kepalanya
menyaksikan bahwa negara besar Abbasiyah yang menguasai seperempat dunia,
hancur di tangan syiah.
Kondisi sosial politik begitu mencekam. Entah siapa, asalkan kuat, bisa saja menginjak-injak takhta. Pelacuran marak di kota terbesar islam itu. bahkan diberitakan,
ada kasus kanibalisme yang terjadi..
Ulama ini bukanlah
ulama ahli perang. Ia hanya bisa menasihati orang lain. Akan tetapi, ia melihat
satu masalah utama. Umat harus diberikan tawaran baru dari apa yang ia tulis.
Sebab umat telah kehilangan identitasnya. Umat tak punya lagi rencana untuk
menjalankan peradaban islam.
Sejarah mencatat, ia
akan menulis ribuan kitab yang menyelamatkan garis perjalanan umat ini. Nama
ulama ini, adalah Imam Al-Ghazali. Ulama besar Ahlu Sunnah wal Jamaah.
Kelak ia akan menulis
sebuah kitab untuk membangkitkan kembali ilmu agama yang sudah mati ketika itu.
Ihya Ulumuddin. Bangkitnya ilmu-ilmu agama, itulah nama kitabnya.
Kelak, ia juga akan
menulis sebuah kitab yang khusus dia hadiahkan kepada penguasa Bani Seljuk
untuk memperbaiki kondisi umat dan mengkritik penguasa.
Kita akan melihat
bahwa Imam Ghazali akhirnya menulis ratusan kitab yang mengkritik penguasa
syiah waktu itu, dan pada gilirannya menjadi buku petunjuk bagi umat islam.
Buku Ghazali, terutama
Ihya Ulumuddin, adalah sebuah proposal kebangsaan, untuk membangkitkan kembali
daya hidup dan kebesaran umat islam lagi!
Dan hari ini kita akan
mengenal Al-Ghazali sebagai peletak dasar filsafat islam. Kita juga akan
mengenal Ghazali sebagai seorang pembaru, ulama besar sepanjang zaman, dan pada
gilirannya menginspirasi jutaan umat di seluruh dunia.
*
Lewat 100 tahun
setelah Ghazali. Kaki-kaki kuda mongol yang buas, bergemuruh di ufuk. Kota
Baghdad yang megah, yang indah, yang tiada duanya, diambang kehancuran. Ratusan
ribu pasukan Mongol itu merobek-robek langit dengan suara teriakannya.
Beberapa ulama besar
di kota itu mengira, mereka adalah Ya’juj wa Ma’juj yang diturunkan Allah untuk
menghabisi umat manusia sebab mereka membakar dan menjarah apapun yang
bernyawa. Para penguasa islam ditangkap dan dipenggal, tak bisa melindungi umat
islam, rakyatnya.
Seorang anak, 6 tahun
usianya, tergopoh-gopoh dilarikan keluarganya ke Suriah, menghindari serbuan
pasukan itu. kehancuran kampung halamannya begitu membekas di hati anak ini. Ia
bersumpah membalas kembali kehancuran kotanya.
Di Suriah, anak ini
tumbuh menjadi anak ajaib. Ia mampu menghafal ribuan hadis. Tentu saja ia sudah
hafiz Qur’an. Tetapi bukan itu. kenangan masa kecilnya mengenai hancurnya Kota
Baghdad yang megah begitu membekas.
Ia marah; tapi tak
tahu pada siapa. Sebab ia tahu alasan utama hancurnya Baghdad adalah karena,
para pemimpin dan ulama di sana menjual diri kepada bangsa Mongol, bukan karena
pasukan militer islam yang lemah.
Sepanjang usianya,
kelak kita mengetahui, ia akan memimpin sebuah pasukan besar berkuda untuk
mengusir Mongol yang mendekati Suriah, dan ia menang.
Kemudian, ia juga akan
memimpin pasukan besar yang memagari Jerussalem dari luapan militer Mongol ke
sana. Dan, lagi-lagi ia menang. Tapi ia belum merasa puas membalaskan dendam
masa kecilnya.
Ulama-penulis ini sadar bahwa tulisan-tulisannya itu harus ditanda-tangani dengan darahnya sendiri. Diksi-diksi yang ia tulis harus tahu rasanya himpitan medan perang atas nama: "mempertahankan kehormatan umat islam."
Untuk menyelamatkan
bangsanya, ia menilai bahwa islam sudah
jauh dari nilainya yang asli. Islam sudah tidak lagi diketahui dan
dipelajari dari sumbernya yang pasti. Sebab ia paham, pangkal runtuhnya umat
ditangan Mongol kala itu, adalah karena Al-Qur’an sudah dilupakan orang.
Maka ia menulis
ratusan kitab:
Ratusan kitab itu, ia
titipkan pada generasi selanjutnya. Ia hendak serang sendi-sendi kebobrokan
umat dan ia tawarkan proposal baru bagi jalannya umat islam di dunia ini.
Saksikanlah, bahwa
ulama ini bernama Ibnu Taimiyah. Orang besar, yang satu dari dua orang di dalam
sejarah yang digelari Syaikhul Islam karena luas ilmunya.
Orang-orang tidak
menyukainya karena sikap kerasnya pada bid’ah dan kemusyrikan. Ke mana saja ia beranjak, orang akan
memenjarakannya karena kritiknya yang keras. Sebab, baginya, kebenaran harus
disuarakan tanpa dirahasiakan sedikitpun.
Kritik itu, ditulisnya
menjadi pedang yang tajam terhunus kepada musuh-musuh islam. Dengan tulisannya
itu, ia berhasil membangkitkan kembali semangat umat, hingga mampu mengusir
Mongol kembali.
Bahwa, dekat dengan
masa hidupnya, kemudian Sultan Saifuddin Qathiz bangkit dan menang untuk
pertama kalinya dalam sejarah dunia, melawan Mongol di Pertempuran Ain Jalut,
sebab Saifuddin Qathiz melibatkan ulama di sana.
“Kalau aku dibunuh,” kata Ibnu Taimiyah, “itu adalah kesyahidan
bagiku. Bila aku diusir, itu adalah hijrah bagiku. Kalau aku dibuang ke
Siprus, lalu aku menyeru penduduknya kepada Allah, mereka akan menyambut
seruanku.”
“Kalau
mereka memenjarakan diriku, maka itu adalah tempat ibadah bagiku, aku ini
bagaikan domba yang bagaimana pun berguling, ia akan berguling di bulunya yang
tebal!”
Kitabnya yang berjudul
Al-Furqan sangat menusuk jantung orang-orang sufi yang sesat yang menganggap
diri mereka adalah kekasih Allah yang benar.
Kitab Siyasah
Syar’iyah adalah tawaran proposal politiknya kepada umat islam, sebab umat pada
waktu itu berada di dalam ketidak pastian pemerintahan.
Selain dua kitab itu,
ada ratusan kitab lain yang semuanya merupakan proposal kebangkitan umat kala
itu. ia ingin membangun kembali islam di atas reruntuhan kampung halamannya!
Dan kini kita tahu
bahwa Ibnu Taimiyah, adalah salah satu ulama paling berpengaruh sepanjang
sejarah islam. Kitab-kitabnya begitu mengubah wajah dunia dan bagaimana muslim
memandang bid’ah.
*
Menulis dan dakwah,
sesungguhnya adalah dua sisi mata uang. Tulisan adalah alat dari dakwah, dan
memang hanya salah satu alat. Akan tetapi, dengan buku-buku itu, nama para
ulama itu menjadi abadi.
Sesungguhnya, latar
belakang mengapa mereka menulis selalu sama. Sebab mereka memandang, pada suatu
waktu, umat islam telah kehilangan identitasnya. Maka para ulama penulis itu
bangkit dengan caranya sendiri.
Mereka menulis ribuan
kitab untuk membangkitkan semangat juang orang-orang islam. Mereka gugah
kembali kesadaran umat, dan pada gilirannya, kitab-kitab itu menjadi tenaga
kebangkitan umat islam.
Dan untuk itu, para
ulama menempuh jalan yang tidak sepele. Mereka menulis di bawah ancaman
pemenjaraan, pembunuhan, dan pengasingan. Tetapi semua itu mereka hadapi sebagai
tebusan kebangkitan umat.
Dan tak ada yang lebih
baik mengartikulasikan arti dari tulisan itu, daripada seorang tokoh besar umat
islam yang terkenal pada tahun 60-an, sebelum ia dihukum mati akibat “menulis
buku”:
Para penulis
sebenarnya bisä berbuat banyak. Tetapi ada satu syaratnya: mereka mati agar
fikirannya dapat hidup. Fikiran mereka itu harus diberi makan dengan daging dan
darah mereka sendiri.
Mereka harus mengatakan
apa yang mereka percayai benar, dan mereka mau menyerahkan darah mereka sebagai
tebusan dan kebenaran itu.
Pemikiran dan
kata-kata kita tetap akan merupakan mayat yang kaku, sampai kita mahu mati
untuk kepentingannya dan kita sirami ia dengan darah kita.
Lalu ia tumbuh
menjadi hidup, dan hidup di antara orang-orang yang hidup.
Maka kepada
orang-orang yang duduk di meja tulis mereka, yang bekerja keras untuk bakat
mereka, memilih kata-kata yang indah, mengukir kalimat-kalimat yang berbunyi keras,
menciptakan kata-kata yang penuh khayal yang gemilang, kepada orang-orang
seperti ini, saya ingin memberikan nasihat:
“Janganlah bersusah
payah seperti itu, kerana kilatan jiwa, cahaya hati, yang didapat dengan hati
yang suci, api keimanan kepada gagasan, inilah satu—satunya yang menimbulkan
kehidupan, kehidupan kata-kata dan kehidupan kalimat-kalimat!”
Dari perbandingan dua
sosok ulama di atas, kita akan dapati beberapa pola yang sama, sehingga nalar
kritis tulisan ulama dan dampaknya bisa muncul ke tengah-tengah peradaban
manusia.
Pertama, di tengah
kondisi bangsa dan umatnya yang berantakan, ulama-ulama itu dibukakan hatinya
oleh Allah bahwa ada sesuatu yang harus mereka lawan dan perjuangkan. Sehingga,
cara dasar menulis, bukan dengan membagus-baguskan diksi.
Tetapi menemukan
alasan melawan dan berjuang. Semua ulama yang menulis, diawali dari menemukan
fakta bahwa di tengah umat ada kesalahan besar yang harus mereka lawan.
Kesalahan itu bisa berupa sosok, bisa berupa konsep dan pemikiran.
Kedua, dalam sejarah
islam, buku yang ditulis para ulama harus kita sikapi sebagai sebuah proposal
dan rencana kerja, yang dapat digunakan untuk memperbaiki kondisi umat dan
membangunnya kembali dari tatanan lama yang telah bergeser jauh dari Al-Quran.
Maka menulislah; dan
jangan takut diburu, jangan takut diasingkan. Sebab kita hanya akan diburu oleh
orang yang terlanjur hidup dari kejahatannya, yang mana kejahatannya itu telah
menjadi sistem hidup dan identitas kemanusiaannya.
Maka menulislah,
karena dengan itu, rencana peradaban kita tengah dipersiapkan. Hanya
orang-orang bernyali besar dan mengetahui akar permasalahan umat saja yang
berani menuliskan proposal itu untuk umat.
Ya! Saya te
gaskan
bahwa di dalam islam, segala tulisan adalah sebuah ide, rencana, yang harus
digunakan untuk menafsirkan Al-Qur’an menjadi sebuah rencana kerja dalam hidup
manusia!
Menulislah, dan
lawanlah sesuatu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar