Rabu, 21 Maret 2018

Belajar Menulis Pada Dua Ulama


Sepanjang peradaban manusia, sebetulnya, para ulama besar menulis sebuah proposal. Mereka—rahimahullah—menyaksikan umat ini di ambang keruntuhan: 

Jauh, setelah Rasulullah meninggal; mereka lebih dari sekadar meninggalkan Al-Qur’an. Para ulama, terbagi dua golongan. Pertama, adalah mereka yang menjual dirinya kepada para penguasa. 

Mereka mencari makan dengan cara menjual fatwa-fatwa yang disesuaikan dengan keinginan penguasa. Pengaruh mereka masih besar di masyarakat, dan para penguasa tahu itu. mereka ingin masyarakat berpihak pada penguasa; dengan cara, para ulama membuat fatwa yang mendukung pemerintahan. 

Di saat-saat seperti itu, para ulama juga menghadapi fakta bahwa pemerintahan tak lagi bekerja untuk memakmurkan rakyat dan membina umat sebagaimana seharusnya. Mereka ternyata menjilat bangsa lain yang lebih besar. 

Sehingga bangsa-bangsa itu datang dan menyerbu kekuasaan islam. Dan saat itulah kita akan mengenang peristiwa ini dengan satu kalimat kecil: “Runtuhnya dinasti islam…”

Golongan ulama jenis kedua, adalah mereka yang dengan segala ilmunya yang luas, menjadi sesat. Mereka terpapar pemikiran filsafat sesat. Di antara mereka ada yang menjadi pengikut Aristoteles. Sebagian menjadi pemikir yang terlalu jauh memikirkan Tuhan.

Akhirnya, mereka hanya memenuhi negara dengan pikiran-pikiran yang tidak perlu. Mereka kehilangan gairah kerja karena beranggapan, Tuhan mencukupkan rezeki hambanya, maka jika kita bekerja untuk mendapat rezeki, sama saja menghina Tuhan. 

Orang dengan pemikiran semacam itu, tidak mau menjawab panggilan jihad para pasukan dan juga tidak mau mendukung pemerintahan untuk memperbaiki dirinya. 

Pada waktu begitulah, bangkit para ulama bersenjatakan pena. Mereka menulis suatu blue print, suatu karya besar, yang bisa digunakan untuk membangkitkan kembali umat. Merekalah golongan ulama ketiga:

Yang senantiasa akan dibangkitkan Allah untuk kembali meluruskan agama islam. Golongan ulama ketiga ini kemudian paham betul makna dakwah para Nabi, bahwa nabi-nabi itu dibekali kitab suci yang berupa tulisan, sebagai sebuah tawaran proposal pada umat manusia. 

Dan ulama-ulama itu tinggal mengambil sisi dari proposal itu untuk dipecah kembali menjadi proposal-proposal baru yang sesuai dengan kondisi zamannya. Begitulah, setiap waktu para ulama terus menulis.
*

Awal pergantian milenium pertama sejarah manusia. Kerajaan besar dalam sejarah islam, Dinasti Abbasiyah, dilemahkan oleh kelompok Syiah Al-Buwaihi yang mengambil alih pemerintahan dari tangan Ahlu Sunnah wal Jamaah. 

Sementara, di luar tembok istana, para penduduk kehilangan pegangan. Aliran-aliran sesat masuk dan mengacaukan kehidupan keagamaan di sana: pemikiran filsafat ekstrim, syiah batiniyah, muktazilah, dan lain sebagainya membuat umat kehilangan daya pembangunan. 

Di sisi lain, muncul kelompok sufi sesat yang punya keyakinan bahwa umat islam tidak perlu mengurus politik. Fokus saja pada pencarian ketuhanan yang sebetulnya telah jelas di dalam Al-Quran. 

Segala  puji bagi Allah, yang pada tahun-tahun itu, dibangkitkan-Nya seorang ulama besar. ulama ini dengan mata kepalanya menyaksikan bahwa negara besar Abbasiyah yang menguasai seperempat dunia, hancur di tangan syiah. 

Kondisi sosial politik begitu mencekam. Entah siapa, asalkan kuat, bisa saja menginjak-injak takhta. Pelacuran marak di kota terbesar islam itu. bahkan diberitakan, ada kasus kanibalisme yang terjadi.. 

Ulama ini bukanlah ulama ahli perang. Ia hanya bisa menasihati orang lain. Akan tetapi, ia melihat satu masalah utama. Umat harus diberikan tawaran baru dari apa yang ia tulis. Sebab umat telah kehilangan identitasnya. Umat tak punya lagi rencana untuk menjalankan peradaban islam. 

Sejarah mencatat, ia akan menulis ribuan kitab yang menyelamatkan garis perjalanan umat ini. Nama ulama ini, adalah Imam Al-Ghazali. Ulama besar Ahlu Sunnah wal Jamaah. 

Kelak ia akan menulis sebuah kitab untuk membangkitkan kembali ilmu agama yang sudah mati ketika itu. Ihya Ulumuddin. Bangkitnya ilmu-ilmu agama, itulah nama kitabnya. 

Kelak, ia juga akan menulis sebuah kitab yang khusus dia hadiahkan kepada penguasa Bani Seljuk untuk memperbaiki kondisi umat dan mengkritik penguasa. 

Kita akan melihat bahwa Imam Ghazali akhirnya menulis ratusan kitab yang mengkritik penguasa syiah waktu itu, dan pada gilirannya menjadi buku petunjuk bagi umat islam. 

Buku Ghazali, terutama Ihya Ulumuddin, adalah sebuah proposal kebangsaan, untuk membangkitkan kembali daya hidup dan kebesaran umat islam lagi!

Dan hari ini kita akan mengenal Al-Ghazali sebagai peletak dasar filsafat islam. Kita juga akan mengenal Ghazali sebagai seorang pembaru, ulama besar sepanjang zaman, dan pada gilirannya menginspirasi jutaan umat di seluruh dunia.
*

Lewat 100 tahun setelah Ghazali. Kaki-kaki kuda mongol yang buas, bergemuruh di ufuk. Kota Baghdad yang megah, yang indah, yang tiada duanya, diambang kehancuran. Ratusan ribu pasukan Mongol itu merobek-robek langit dengan suara teriakannya.

Beberapa ulama besar di kota itu mengira, mereka adalah Ya’juj wa Ma’juj yang diturunkan Allah untuk menghabisi umat manusia sebab mereka membakar dan menjarah apapun yang bernyawa. Para penguasa islam ditangkap dan dipenggal, tak bisa melindungi umat islam, rakyatnya. 

Seorang anak, 6 tahun usianya, tergopoh-gopoh dilarikan keluarganya ke Suriah, menghindari serbuan pasukan itu. kehancuran kampung halamannya begitu membekas di hati anak ini. Ia bersumpah membalas kembali kehancuran kotanya. 

Di Suriah, anak ini tumbuh menjadi anak ajaib. Ia mampu menghafal ribuan hadis. Tentu saja ia sudah hafiz Qur’an. Tetapi bukan itu. kenangan masa kecilnya mengenai hancurnya Kota Baghdad yang megah begitu membekas.

Ia marah; tapi tak tahu pada siapa. Sebab ia tahu alasan utama hancurnya Baghdad adalah karena, para pemimpin dan ulama di sana menjual diri kepada bangsa Mongol, bukan karena pasukan militer islam yang lemah. 

Sepanjang usianya, kelak kita mengetahui, ia akan memimpin sebuah pasukan besar berkuda untuk mengusir Mongol yang mendekati Suriah, dan ia menang. 

Kemudian, ia juga akan memimpin pasukan besar yang memagari Jerussalem dari luapan militer Mongol ke sana. Dan, lagi-lagi ia menang. Tapi ia belum merasa puas membalaskan dendam masa kecilnya. 

Ulama-penulis ini sadar bahwa tulisan-tulisannya itu harus ditanda-tangani dengan darahnya sendiri. Diksi-diksi yang ia tulis harus tahu rasanya himpitan medan perang atas nama: "mempertahankan kehormatan umat islam."

Untuk menyelamatkan bangsanya, ia menilai bahwa islam sudah  jauh dari nilainya yang asli. Islam sudah tidak lagi diketahui dan dipelajari dari sumbernya yang pasti. Sebab ia paham, pangkal runtuhnya umat ditangan Mongol kala itu, adalah karena Al-Qur’an sudah dilupakan orang.

Maka ia menulis ratusan kitab:

Ratusan kitab itu, ia titipkan pada generasi selanjutnya. Ia hendak serang sendi-sendi kebobrokan umat dan ia tawarkan proposal baru bagi jalannya umat islam di dunia ini.

Saksikanlah, bahwa ulama ini bernama Ibnu Taimiyah. Orang besar, yang satu dari dua orang di dalam sejarah yang digelari Syaikhul Islam karena luas ilmunya. 

Orang-orang tidak menyukainya karena sikap kerasnya pada bid’ah dan kemusyrikan.  Ke mana saja ia beranjak, orang akan memenjarakannya karena kritiknya yang keras. Sebab, baginya, kebenaran harus disuarakan tanpa dirahasiakan sedikitpun.

Kritik itu, ditulisnya menjadi pedang yang tajam terhunus kepada musuh-musuh islam. Dengan tulisannya itu, ia berhasil membangkitkan kembali semangat umat, hingga mampu mengusir Mongol kembali. 

Bahwa, dekat dengan masa hidupnya, kemudian Sultan Saifuddin Qathiz bangkit dan menang untuk pertama kalinya dalam sejarah dunia, melawan Mongol di Pertempuran Ain Jalut, sebab Saifuddin Qathiz melibatkan ulama di sana. 

“Kalau aku dibunuh,” kata Ibnu Taimiyah, itu adalah kesyahidan bagiku. Bila aku diusir, itu  adalah hijrah bagiku. Kalau aku dibuang ke Siprus, lalu aku menyeru penduduknya kepada Allah, mereka akan menyambut seruanku.

Kalau mereka memenjarakan diriku, maka itu adalah tempat ibadah bagiku, aku ini bagaikan domba yang bagaimana pun berguling, ia akan berguling di bulunya yang tebal!”

Kitabnya yang berjudul Al-Furqan sangat menusuk jantung orang-orang sufi yang sesat yang menganggap diri mereka adalah kekasih Allah yang benar.

Kitab Siyasah Syar’iyah adalah tawaran proposal politiknya kepada umat islam, sebab umat pada waktu itu berada di dalam ketidak pastian pemerintahan. 

Selain dua kitab itu, ada ratusan kitab lain yang semuanya merupakan proposal kebangkitan umat kala itu. ia ingin membangun kembali islam di atas reruntuhan kampung halamannya!

Dan kini kita tahu bahwa Ibnu Taimiyah, adalah salah satu ulama paling berpengaruh sepanjang sejarah islam. Kitab-kitabnya begitu mengubah wajah dunia dan bagaimana muslim memandang bid’ah.

*
Menulis dan dakwah, sesungguhnya adalah dua sisi mata uang. Tulisan adalah alat dari dakwah, dan memang hanya salah satu alat. Akan tetapi, dengan buku-buku itu, nama para ulama itu menjadi abadi. 

Sesungguhnya, latar belakang mengapa mereka menulis selalu sama. Sebab mereka memandang, pada suatu waktu, umat islam telah kehilangan identitasnya. Maka para ulama penulis itu bangkit dengan caranya sendiri.

Mereka menulis ribuan kitab untuk membangkitkan semangat juang orang-orang islam. Mereka gugah kembali kesadaran umat, dan pada gilirannya, kitab-kitab itu menjadi tenaga kebangkitan umat islam. 

Dan untuk itu, para ulama menempuh jalan yang tidak sepele. Mereka menulis di bawah ancaman pemenjaraan, pembunuhan, dan pengasingan. Tetapi semua itu mereka hadapi sebagai tebusan kebangkitan umat.

Dan tak ada yang lebih baik mengartikulasikan arti dari tulisan itu, daripada seorang tokoh besar umat islam yang terkenal pada tahun 60-an, sebelum ia dihukum mati akibat “menulis buku”:

Para penulis sebenarnya bisä berbuat banyak. Tetapi ada satu syaratnya: mereka mati agar fikirannya dapat hidup. Fikiran mereka itu harus diberi makan dengan daging dan darah mereka sendiri. 

Mereka harus mengatakan apa yang mereka percayai benar, dan mereka mau menyerahkan darah mereka sebagai tebusan dan kebenaran itu. 

Pemikiran dan kata-kata kita tetap akan merupakan mayat yang kaku, sampai kita mahu mati untuk kepentingannya dan kita sirami ia dengan darah kita. 

Lalu ia tumbuh menjadi hidup, dan hidup di antara orang-orang yang hidup. 

Maka kepada orang-orang yang duduk di meja tulis mereka, yang bekerja keras untuk bakat mereka, memilih kata-kata yang indah, mengukir kalimat-kalimat yang berbunyi keras, menciptakan kata-kata yang penuh khayal yang gemilang, kepada orang-orang seperti ini, saya ingin memberikan nasihat: 

“Janganlah bersusah payah seperti itu, kerana kilatan jiwa, cahaya hati, yang didapat dengan hati yang suci, api keimanan kepada gagasan, inilah satu—satunya yang menimbulkan kehidupan, kehidupan kata-kata dan kehidupan kalimat-kalimat!”

Dari perbandingan dua sosok ulama di atas, kita akan dapati beberapa pola yang sama, sehingga nalar kritis tulisan ulama dan dampaknya bisa muncul ke tengah-tengah peradaban manusia. 

Pertama, di tengah kondisi bangsa dan umatnya yang berantakan, ulama-ulama itu dibukakan hatinya oleh Allah bahwa ada sesuatu yang harus mereka lawan dan perjuangkan. Sehingga, cara dasar menulis, bukan dengan membagus-baguskan diksi. 

Tetapi menemukan alasan melawan dan berjuang. Semua ulama yang menulis, diawali dari menemukan fakta bahwa di tengah umat ada kesalahan besar yang harus mereka lawan. Kesalahan itu bisa berupa sosok, bisa berupa konsep dan pemikiran.

Kedua, dalam sejarah islam, buku yang ditulis para ulama harus kita sikapi sebagai sebuah proposal dan rencana kerja, yang dapat digunakan untuk memperbaiki kondisi umat dan membangunnya kembali dari tatanan lama yang telah bergeser jauh dari Al-Quran.

Maka menulislah; dan jangan takut diburu, jangan takut diasingkan. Sebab kita hanya akan diburu oleh orang yang terlanjur hidup dari kejahatannya, yang mana kejahatannya itu telah menjadi sistem hidup dan identitas kemanusiaannya. 

Maka menulislah, karena dengan itu, rencana peradaban kita tengah dipersiapkan. Hanya orang-orang bernyali besar dan mengetahui akar permasalahan umat saja yang berani menuliskan proposal itu untuk umat.
Ya! Saya te
gaskan bahwa di dalam islam, segala tulisan adalah sebuah ide, rencana, yang harus digunakan untuk menafsirkan Al-Qur’an menjadi sebuah rencana kerja dalam hidup manusia!

Menulislah, dan lawanlah sesuatu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar