Negeri Kampung(an) Halaman: Kajian Semiotik
Kampung
Subagyo Sastrowardoyo
Kalau aku pergi ke luar
negeri, dik
karena hawa di sini sudah pengap oleh
pikiran-pikiran beku.
Hidup di negeri ini seperti di dalam kampung
di mana setiap orang ingin bikin peraturan
mengenai lalu lintas di gang, jaga malam dan
daftar diri di kemantren.
Di mana setiap orang ingin jadi hakim
dan berbincang tentang susila, politik dan agama
seperti soal-soal yang dikuasai.
Di mana setiap tukang jamu disambut dengan hangat
dengan perhatian dan tawanya.
Di mana ocehan di jalan lebih berharga
dari renungan tenang di kamar.
Di mana curiga lebih mendalam dari cinta dan percaya.
Kalau aku pergi ke luar negeri, dik
karena aku ingin merdeka dan menemukan diri.
karena hawa di sini sudah pengap oleh
pikiran-pikiran beku.
Hidup di negeri ini seperti di dalam kampung
di mana setiap orang ingin bikin peraturan
mengenai lalu lintas di gang, jaga malam dan
daftar diri di kemantren.
Di mana setiap orang ingin jadi hakim
dan berbincang tentang susila, politik dan agama
seperti soal-soal yang dikuasai.
Di mana setiap tukang jamu disambut dengan hangat
dengan perhatian dan tawanya.
Di mana ocehan di jalan lebih berharga
dari renungan tenang di kamar.
Di mana curiga lebih mendalam dari cinta dan percaya.
Kalau aku pergi ke luar negeri, dik
karena aku ingin merdeka dan menemukan diri.
Menarik, apabila kita
mencoba mengambil sudut pandang semiotik terhadap karya-karya Subagyo. Semiotik
mencoba mengungkap tanda-tanda, simbol, dan lambang yang digunakan pada sebuah
karya. Lebih jauh lagi apa efek tanda-tanda ini terhadap pemaknaannya. Tahap
untuk mengungkapnya, secara ringkas dapat dibagi menjadi tahap pengungkapan
makna, pengungkapan hubungan makna sistem puisi dengan diluar sistem puisi
(masyarakat atau realita), dan penghargaan terhadap sebuah karya dan
pengarangnya.
Puisi Kampung ini secara umum bermakna keresahan,
kekecewaan dan pemendaman perasaan yang berakibat pilihan untuk pergi dari
kampung halamannya, yang merupakan simbol dari negerinya sendiri. Secara
tersirat, meski tidak menyebutkan kata Indonesia, namun melihat latar belakang
penulis, jelas puisi ini dialamatkan pada Indonesia. Sebuah krtitikan pedas,
yang datang dari kekecewaan sang penyair terhadap kampung halamannya. Lantas,
pada bait-bait yang ia susun, ia memaparkan secara halus apa yang menjadi
kekecewaanya.
Simbol Kampung yang ia gunakan, memiliki arti
tempat yang sangat desa. Bagi masyarakat urban dewasa ini, kampung adalah
tempat mereka dilahirkan, dibesarkan, dan mengenyam asuhan dari orang tua.
Tempat mengambil hikmah-hikmah hidup yang nantinya menjadi sifat-sifat orang
tersebut. Menilik isi pada bagian sajaknya, Kampung sebagai tempat kelahiran
bermakna lebih luas lagi, yaitu Indonesia. Bukan sekedar kampung dalam
pengertian kampung masa kecil.
Diksi Kalau aku pergi ke luar negeri, dik/ karena hawa di sini sudah pengap oleh/pikiran-pikiran
beku menunjukkan keresahan
tentang yang terjadi di kampungnya. Hawa dan pengap, adalah kata-kata yang
digunakan untuk menjelaskan sifat udara. Dengan jelas, penyair menjelaskan
bahwa kejenuhan dan kebekuan pikiran telah memenuhi udara di kampungnya,
memenuhi pola pikir keseluruhan orang Indonesia. Pemerintah Indonesia. Hingga
pengap. Ini yang membuat penyairnya ingin pergi ke luar negeri. Mencari udara
segar, mencari pikiran-pikiran yang bebas, dan tidak mengekangnya.
Diksi dik yang dipakai mengesankan ia sedang bicara
dengan orang yang lebih muda. Mungkin, bicara pada generasi muda. Memberikan
alasan kenapa ia pergi. Yang berarti, ia memberikan semacam tugas secara tak
langsung bagi ”adik” yang tinggal di kampungnya: perbaiki apa yang aku tinggalkan.
Generasi mudalah yang diharapkan memahami keresahan ini, dan memperbaikinya.
Kampung, juga diartikan
sebagai tempat yang tidak maju. Terbelakang. Hidup di negeri ini seperti di
dalam kampung/di mana setiap orang ingin bikin peraturan. Sudah jelas, di tempat asalnya, kepengapan
hawa berasal dari perilaku semena-mena dan ego. Setiap orang membuat peraturan,
yang tak padu. Tidak untuk kepentingan umum. Saling bentur. Di kampung, yang
udik, tak ada yang berkuasa kecuali ego masing-masing pribadi.
mengenai lalu lintas di
gang, jaga malam dan/daftar diri di kemantren. Untuk hal-hal sepele, bahkan hal ini menjadi bahan
peraturan orang-orang dalam sajaknya. Gang, adalah hal yang sangat sepele.
Simbol lalu lintas gang, jaga (ronda) malam, dan registrasi ini juga memiliki
arti betapa rumitnya peraturan di negeri itu. Namun, apabila dikaitkan dengan
larik diatasnya, berarti setiap orang ingin membuat peraturan tentang hal sekecil ini, yang artinya,
semakin rumit saja.
Di mana setiap orang
ingin jadi hakim/dan berbincang tentang susila, politik dan agama/seperti
soal-soal yang dikuasai. Simbol
hakim, memiliki arti orang yang memiliki hak untuk menentukan secara hukum mana
yang benar dan salah. Setiap orang ingin menetukan mana yang benar dan salah,
sesuai keinginannya sendiri.
Perbincangan tentang susila, politik, dan agama, yang ramai
diperbincangkan orang, mengingatkan kita pada simbol perdebatan tiada henti di
televisi. Setiap ada kasus besar muncul terkait tiga hal tadi, teve
berlomba-lomba menghadirkan orang-orang yang dianggap mampu untuk berdebat, adu
pendapat, dan saling tuduh dalam forum dialog dan debat. Tetapi, penyair dengan
baik menangkap kepalsuan mereka: seperti soal-soal yang dikuasai.
Makna sebenarnya, justru penyair menegasikan kemampuan mereka. Bahwa
orang-orang itu tidak menguasai soal-soal yang diperdebatkan dan terjadi. Bahwa
orang-orang itu hanya mengedepankan egoisme pribadi. Di negeri itu, setiap
orang mengedepankan keinginan pribadi.
Ideologi-ideologi baru dengan bebas diwartakan dan dibincangkan
diruang-ruang publik, seolah mereka sudah sangat mengerti tentang persoalan
ini. Agama-agama baru muncul, berawal dari tafsir-tafsir yang mereka anggap
benar. Para politisi, main hakim dan main jotos. Semuanya merasa paling benar
seperti sudah menguasai benar soal-soal semacam ini.
Di mana setiap tukang
jamu disambut dengan hangat/dengan perhatian dan tawanya memiliki makna unik. Tukang Jamu, berasosiasi
dengan tukang obat. Tukang obat yang ia gambarkan disini, berarti orang yang
menawarkan barang-barangnya dengan segudang khasiat dan manfaat. Apa artinya?
Berkaitan dengan kondisi negeri, pihak yang memberikan penawaran adalah pejabat
yang sedang berkampanye. Menawarkan programnya dengan segudang manfaat. Namun,
seringkali jamu-jamunya ini justru membuat penyakit baru.
Masalahnya, entah kenapa setiap calon pembelinya seperti terhipnotis
dan percaya: disambut dengan hangat/dengan perhatian dan tawanya. Itulah
masyarakat. Mereka lebih mudah dibuai janji-janji. Sebuah negeri, dimana juru
kampanye disambut dengan hangat diberi perhatian. Lantas, setelah berhasil
mengelabui masyarakat, mereka tertawa riang, membayangkan
kemenangan-kemenangan. Baik secara perolehan suara, atau barganing position di mata masyarakat.
Kondisi ini, yang dijelaskan luas dalam puisi ini, bisa jadi berkaitan
dengan ideologi negara yang bersangkutan. Tempat dimana orang-orang dalam
sebuah sistem kenegaraan dapat bicara seenaknya dan sebebasnya, adalah liberal.
Setiap orang memiliki kebebasannya sendiri.
Keseluruhan ikon-ikon dalam puisi ini
menggiring pemahaman bahwa: kebebasan bicara itu pengap! Kebebasan
bicara, hanya menjadi udara segar jika setiap orang sudah meninggalkan ego,
tidak lagi bicara semaunya sendiri tentang aturan sepele tapi berpotensi
konflik. Ketika, tak ada lagi tukang jamu. Yang ada adalah obat-obatan yang
betul-betul berkhasiat buat masyarakat.
Sistem politik multi partai, memiliki konsekuensi setiap partai membawa
ideologinya sendiri yang pasti, mereka anggap paling benar. Dan konsekuensi
lanjutannya, setiap partai menganggap ideologi partai lain tidak tepat
diterapkan. Maka jadilah: seperti soal-soal yang dikuasai./ Di mana setiap
tukang jamu disambut dengan hangat/dengan perhatian dan tawanya. Situasi
kalut dan bising, membuat hawa di sini sudah pengap oleh/pikiran-pikiran
beku. Simbol-simbol ini, mau tak mau membuat ita bertanya: apakah puisi ini
anti liberal, atau sebaliknya, mencoba menyempurnakan konsep liberal dan
pancasila?
Kembali ke soal puisi ini. bait-bait selanjutnya, Di mana ocehan di
jalan lebih berharga/dari renungan tenang di kamar. Ini merupakan simbol
negeri dalam puisi ini, yang mengutamakan obrolan sepintas lalu. Di jalan,
adalah tempat orang berinteraksi sekedarnya. Andaipun mereka membicarakan soal politik,
hukum, dan agama serta susila, tidak menggunakan dasar-dasar yang bisa
dipertanggungjawabkan. Malahan biasa membuat pertengkaran kecil. Ujungnya
adalah tawuran masal. Tak ada lagi yang suka merenung-renung, memikirkan nasib
masyarakat. Merenungkan konsep-konsep dan pergerakan. Sudah tak ada harga dari
renungan ini. lebih jauh, konsep-konsep sudah tak berharga, yang ada obrolan
jalanan.
Di mana curiga lebih
mendalam dari cinta dan percaya. Ini adalah simbol dari keadaan negeri dalam puisi, tempat kecurigaan
pasti mengintai siapa saja. orang yang diterkam rasa curiga, pasti tidak
memiliki ketenangan. Sekecil apapun kecurigaan itu. Rasa cinta dan percaya
sudah hilang dari masyarakat negeri itu. Simbol curiga, adalah peristiwa
hilangnya kepercayaan terhadap lainnya. Terhadap orang-orang disekitarnya.
Cinta dan percaya, adalah aspek utama untuk membangun solidaritas dan
persatuan. Ia adalah simbol keterikatan antar anggota masyarakat. Jelasnya, ia menggambarkan betapa rapuhnya
negeri ini, ketika dibangun dengan rasa curiga.
Rangkuman dari segala peristiwa yang ia gambarkan diatas, sebetulnya
adalah negeri yang dibangun dengan rasa curiga, paska reformasi. Tempat setiap
orang membangun gagasannya sendiri.
Tempat cinta dan percaya bukan lagi hal yang penting.
Kalau aku pergi ke luar negeri, dik
karena aku ingin merdeka dan menemukan diri.
karena aku ingin merdeka dan menemukan diri.
Amat halus, penyair menyindir negerinya sendiri, yang tidak menjamin
kemerdekaan pribadi. Justru, ketika setiap orang bebas bicara seenaknya. Ketika
setiap orang bisa memperbincangkan susila, politik, dan agama, kita kehilangan
kebebasan yang sejati.
Di negerinya sendiri, negeri dalam puisi, penyair kehilangan rasa
merdeka. Rasa dihormati dan mendapatkan pengakuan. Penghargaan. Ia kehilangan
eksistensi ditengah masyarakat, yang lebih suka bicara dan merenung.
Liberalisme yang tergambar melalui simbol-simbol kekampungan diatas malahan
merampas kemerdekaan individu. Menjadi tak terarah, dan berujung pada main
hakim sendiri.
Ia ingin menemukan diri, ia ingin dihargai dan menemukan eksistensinya
sebagai anggota masyarakat yang menghargai pola pikir dan gagasan, bukan omong
besar tukang jamu dan dialog televisi. Ia ingin mendapatkan masyarakat yang
teratur.
Agaknya, kaitan puisi ini dengan anti liberalisme yang keras digaungkan
ditengah masyarakat perlu dikaji lebih lanjut. Bahwa kebebasan bicara malah
merampas kemerdekaan individu yang lain. Bahwa kondisi negeri ini, yang setelah
reformasi katanya menjamin kebebasan individu, malah menghasilkan masalah baru.
banyak sekali masalah baru. masalah, yang membuat kita tak betah di negeri
sendiri. Negeri yang menjadi kampung. Dan sekali lagi:
Kalau aku pergi ke luar negeri, dik
karena aku ingin merdeka dan menemukan diri.
karena aku ingin merdeka dan menemukan diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar