Rabu, 09 Januari 2013
Cerpen: Berita
Berita
Setelah Golek pulang, warga dan tetangga ramai-ramai mengunjunginya. Ia sekarang resmi menjadi Haji, Haji Golek. Demikian pula tetangga-tetangganya memanggil. Haji Golek. Namun ia membuat kegemparan, ia mengaku berhaji ke Arsy!
Haji Golek, mendaftarkan titel hajinya langsung ke Istana Keilahian Alam Semesta: Arsy!
Ini segera menjadi perbincangan. Ketua RT-nya repot sekali menutup-nutupinya dari wartawan, sementara makin banyak saja yang berkunjung pada Haji Golek. Ada yang ingin mencari berkah, wawancara, sampai menganggapnya Tuhan itu sendiri, seperti Avatara.
Atau jangan-jangan, Allah sedang menjadi rupa laki-laki setengah baya yang ada di hadapan kita sekarang, batin seorang nenek tua yang menjadi ahli petapaan (kita biasa menyebutnya dukun).
Arsy, singgasana Tuhan semesta Alam adalam tempat segenap malaikat, ada yang mengatakan tujuh puluh ribuan, datang untuk berdzikir dan bersujud tanpa pernah kembali lagi. Mereka abadi dan memanjangkan doanya dalam kasih sayang Allah.
Arsy itu agung, berdiri tegak diatas lautan air murni yang awal sekali adanya. Terbuat dari mutiara, yaqut, zabardjan, lu‟lu‟, marjan, dan permata. Tetapi pasti lebih agung dari pada itu, sebab Allah Subhanahu Wa Ta‟ala tak tertandingi oleh makhluk apapun.
“Aku melihat Singgasana Semesta, „Arsy. Demikian indahnya!”
“Seperti apa, seperti apa?”
“Seperti senja, seperti senja! Kau pernah melihat laut ketika matahari terbenam, bagaimana batas antara laut dan langit membentuk mosaik jingga? Seperti itulah istana-Nya!”
“Betapa Agung, betapa akbarnya!”
“Lalu seperti apa Tuhan, seperti apa Dia?”
“Ia begitu indah, begitu sembilanpuluhsembilan!”
“begitu duapuluhkah?”
“Begitu duapuluh!”
“Ia benar-benar hadir dengan kesembilanpuluhsembilan-Nya? Beruntungnya kau!”
“Iya! Kau mau melihatnya? Aku bisa menunjukkan kepadamu!”
“Eee! Maksudmu? Kau bisa mengajakku kesana?”
“Iya! Jangan takut biaya. Dia sendiri yang akan menanggungnya!”
“Baik, baik! Aku setuju!” Salah seorang tetangganya yang berkunjung agak bingung juga. namun siapa yang tidak tertarik, menjadi tamu Allah, langsung di Istana-Nya yang utama?
Keesokannya, Kardi, tetangga Haji Golek yang bingung ini, datang kerumah Haji Golek membawa sekoper besar baju dan identitas. Tak lupa, pakaian muslim dan sarung. Kopiah putih bersarang di kepalanya. Haji Golek, yang baru saja menunaikan Shalat Dhuha, menemuinya dengan wajah masih basah dan wangi.
“Kau sudah siap? Ayo ikut aku!” Haji Golek membimbingnya.
Ke ruang keluarga.
Lama setelah itu, Kardi bingung. Pak Haji hanya menyodorkan remot teve.
“Pak Haji?”
“Kok tak berangkat-berangkat?” Sambungnya.
“Oh iya, Ibu, tolong buatkan minum dan kue buat Pak Kardi!”
“Pak Haji, kapan saya berangkat?” Kardi merajuk. Ia menangkap sesuatu yang aneh.
“Sebentar, saya pilihkan saluran yang tepat” sambil memilih-milih saluran televisi, Haji Golek berzikir dengan lembut.
“Nah,Pak Kardi, kita manasik dulu. Lihat berita ini, ada Allah disana. Ar-Rahman”
“Pak Haji?”
“Cobalah”
Kardi, dengan segala kebingungannya terus melihat berita. Seorang penyelamat lingkungan bekerja keras menyelamatkan paus yang terdampar di pantai selatan Indonesia. Puluhan warga membantunya dengan menyiramkan air ke paus, agar tetap dingin. Sementara ia bingung, kata-kata dzikir yang diucapkan pak Haji, Kardi melihat huruf-hurufnya terlihat seperti kaligrafi melayang di udara melalui mulut Pak Haji!
Kardi terbengong-bengong.
Berita selanjutnya, Kardi semakin bingung apa maksud Pak Haji. Wabah ulat bulu. Di Jawa, dua kota terkena wabah ulat bulu. Dimana-mana ulat bulu, sampai seolah-olah dinding menjadi karpet yang sedang dijemur, namun bergerak-gerak karena itu adalah ulat bulu. Sepatu, jemuran baju, halaman, tanaman hias, jendela, semuanya dipenuhi ulat bulu. Bahkan jalan raya jadi seperti ada karnaval, karena ulat yang merah-merah itu memenuhi jalan raya. Entah darimana datangnya ulat itu.
Ratusan liter insektisida kelas D dihujankan dari udara dengan helikopter. Ada yang menyiramkan premium ke jalanan, lalu menyulutnya hingga ulat-ulat itu terbakar secara massal. Namun apa artinya? Ulat itu sangat banyak.
Di sela tontonannya, Kardi bertambah bingung, sebab huruf-huruf ini memenuhi ruangan. Mulanya ia kira mimpi, namun ketika ia menyenggol kaki meja dan kesakitan, barulah ia tahu mentalnya masih sehat. Apa maksudnya huruf-huruf ini?
Selanjutnya, seorang ibu yang membakar anaknya ditangkap dan diamankan ke kantor polisi. Dua psikolog diundang untuk mengajaknya bicara. Ibu itu diam saja menangis. Diduga, ibu ini tak punya uang dan memilih menyelamatkan masa depan anaknya, dari pada membiarkan masa depan anaknya hancur tak menentu. Huruf-huruf tadi masih melayang-layang.
Bersama-sama pak Haji, Kardi juga melihat kasus korupsi besar pembangunan hotel raksasa untuk mengadakan acara olahraga dan konferensi internasional. Uangnya mencapai belasan triliun, dan itu mengalir ke kas pribadi beberapa orang dari beberapa partai selama beberapa hari setelah KPK menemukan beberapa transaksi mencurigakan dari beberapa kali pemeriksaan.
Pelakunya, belum tersentuh dan hanya mondar-mandir menghabiskan cangklong di hotel-hotel dekat pantai di Lombok. Namun betapa terkejutnya Kardi, ketika huruf-huruf yang diucapkan pak Haji ada, muncul di rekaman berita televisi di Senayan!
“Pak Haji?” Kardi masih berkerut-kerut. Bingung.
“Itu proses yang pertama. Mari kita lihat berita lain, ah, ini” sambil memenceti remot kontrol. Ia seperti tak melihat apa-apa dari mata Kardi.
Pak Haji Golek diam saja, lalu dengan tasbihnya, ia melihat televisi dengan khusyuk. Kardi menurut saja, meski hatinya ragu-ragu. Apa huruf-huruf itu? Dan kini huruf-huruf itu berganti-ganti warna, emas, kuning, biru, hijau, dan putih.
Demonstrasi terjadi di gedung DPR-MPR di Senayan. Tuntutannya sederhana, menutup impor beras dan garam. Juga, menjelang pemilihan presiden, menuntut pemilu yang bersih. Ratusan mahasiswa, buruh, kernet, tukang es, dan pemulung memadati lokasi demonstrasi. Entah kenapa, demonstrasi berubah kacau. Apalagi kehadiran huruf-huruf dari mulut pak Haji yang terekam kamera wartawan disana membuat orang-orang agak bingung.
Tiba, tiba, pak Haji bangkit dan bertakbir,“Disana, pak Kardi, tak lihatkah kau ada Allah disana, disana?” Pak Haji menunjuk-nunjuk televisi, ketika demonstrasi makin besar dan terjadi baku tembak. Huruf-huruf itu terlupakan.
Kardi semakin bingung, “Pak Haji, saya tak lihat apa-apa, mana mungkin Allah tersorot kamera wartawan!”
“Itu, itu! Tidakkah kau melihat, Pak Kardi?” seru pak haji. “Itu Gusti Allah datang!”
Kardi takut, Haji Golek terkena sakit jiwa, atau dirinya? Mau tak mau, Kardi mendekatkan diri ke televisi, lalu mengamat-amati gambarnya dengan baik, kerusuhan! Spanduk dan ban bekas terbakar, massa berlarian keluar pagar gedung dan terdesak kearah jalan tol.
“Subhana Allah, ya Allah, ini aku, Golek!”
“Pak Haji, Pak Haji!”
“Kardi, tidakkah kau melihat Allah disana? Mohonlah apa saja, mohonlah ampun!”
Sementara Kardi melihat dengan mata kepalanya sendiri, bahwa ada yang terinjak-injak dan kepalanya berlumur darah. Bom molotov dilemparkan tanpa arah. Yang lain teriak-teriak lantas lari. Api. Darah. Takut. Tetapi huruf-huruf tadi menyelimuti orang yang berdarah-darah tadi dan menerbangkannya ke langit yang tinggi.
“Ya Allah! Ini sekarang saya bawa Kardi, teman dan tetangga saya. Sayangilah dia, Ya Allah!”
“Ya Arhamar-Rahimin! Ya Arhamar-Rahimiin!”
Pelan-pelan, ketika Pak Haji Golek larut dalam tangisnya, Kardi melihat rumah Pak Haji Golek berubah menjadi langit senja, lengkap dengan lautnya. Matahari tenggelam di laut, hingga langit senja. Ini mirip sekali dengan yang diceritakan Pak Haji. Tetapi, benarkah ini Arsy, atau hanya angan-angan Kardi? Huruf-huruf itu? Lalu senja di rumah Pak Haji ini? ah!
“Pak Haji, Pak Haji! Dimana ini? dimana?” Kardi yang baru menyadari beberapa kejap lalu ini adalah rumah Pak Haji yang berubah jadi pantai senja sangat terkejut.
Inikah Arsy? Ia menyusuri pantai, takut? Gembira? Entahlah, yang jelas ia panik, kenapa tiba-tiba sekarang ia di tempat seperti ini? setengah berlari, ia terus menyusuri pantai.
Beberapa perkataan yang terdengar seperti ayat-ayat qur‟an, tergetar di udara dengan laghu bayyati. Lembut dan mengharukan, tetapi misterius. Menggaung-gaung memenuhi senja.
“Allahu la ilaha illa hu wal hayyul qayyum...”
Ia terus memanggil-manggil Pak Haji. Tetapi tak ada yang menjawab, lalu ia memanggil-manggil nama Allah, “Allaah, Allaah! Dimana ini, dimana ini! dimana Pak Haji?!”
Ia terus berlari sambil teriak begitu. Sementara senja tak juga jadi malam, malahan semakin menyala indah. “Allaaaaah!”
Tiba-tiba ia kelelahan, terduduk dan lemas. Dalam kelemahannya seperti itu, ia masih menggumamkan nama Allah. “Allah...”
Ketika Kardi menoleh kearah matahari terbenam, alangkah terkejutnya Kardi ketika ia melihat Pak Haji sedang duduk bersila tenang diatas lautan, tetap menonton televisi yang mengambang-ambang, lalu berkata pelan dan tenang kepada Kardi.
“Kardi, bangunlah”
“Pak Haji...”
“Kita sudah sampai”
“Kita dimana Pak Haji?”
“Waktu adalah fana. Kau tak berada dimana-mana” Pak Haji memandang jauh kedalam televisi. “Kau berada dalam Allah” Berita di televisi masih seputar demonstrasi, sayup-sayup terdengar. Beradu dengan laghu bayyati yang terus terlantun dilangit.
“Musim terus berganti, hari-hari berputar seperti jam dinding dan arloji”
“Pak Haji, tadi kita sedang lihat televisi di rumah”
“Ada Allah di setiap peristiwa yang diingat maupun tidak diingat orang-orang, dan pasti Ada Allah dalam sanubari hati kita”, ucapnya. “Berhajilah kedalam hatimu”
“Pak Haji, saya tak paham ini dimana?”
“Arsy seharusnya melampaui keberadaan alam semesta yang terindera. Melampaui Jerussalem. Melampaui Ka‟bah. Bukalah hatimu, dan temukan Itu di didalamnya”
“Lalu berhajilah sepuasmu”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar