Selasa, 23 Oktober 2012

Berjalan di Belakang Jenazah: Analisa Strukturalis



 BERJALAN DI BELAKANG JENAZAH

berjalan di belakang jenazah angin pun reda
jam mengerdip
tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia

di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
di atas: matahari kita, matahari itu juga
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya

sajak ini (selanjutnya disebut BDBJ) ditulis Sapardi Djoko Damono, yang secara umum menceritakan situasi ketika ia mengantarkan jenazah. Situasi menyedihkan menyeruak dimana-mana. Tema ini adalah tema perenungan. Yang menjadi pesan utama, bukan situasi ketika mengantarkan jenazah, tetapi jam mengambang diantaranya/tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya.

Temanya adalah perenungan, begitu hampanya hidup kita, sedangkan kematian begitu mudah terjadi, dan sekarang sedang ada di hadapan kita.

Berkaitan dengan tema, jelas, amanat puisi ini bukan hanya penggambaran duka cita semata, tetapi lebih jauh lagi, betapa kosongnya kita menghirup udara yang kita gunakan untuk hidup, dan betapa hampanya, sedangkan waktu tak kenal ampun akan membuat siapapun wafat.

Berkaitan dengan ini, sapardi hendak menegaskan pada kita. Bukan masalah duka cita, tangis, atau harunya mengantar jenazah. Tetapi, pelajaran apa, kesadaran apa yang muncul setelah kita mengantar jenazah? Kesiasiaan hidup? Kehampaan? Atau tetap akan melalui jam demi jam seperti biasanya?

Secara diksional, puisi ini memiliki makna estetik yang unik. Berjalan dibelakang jenazah, angin pun reda. Berjalan di belakang jenazah, adalah lambang bahwa ia sedang mengantar jenazah, dan situasi dimana ia bisa memperhatikan, melamunkan, dan membayangkan masa hidup si jenazah itu dengan seksama. Angin pun reda, apakah ini angin secara fisik yang reda? Bisa jadi. Tetapi terlalu dangkal bila hanya seperti itu.

Angin yang reda, melambangkan kesibukan yang berhenti. Perhatian penyair teralih dari angin yang bertiup, hanya kepada jenazah saja. Maka, seolah angin reda dan sirna, karena tak mendapat perhatian penyair lagi.
Jam mengerdip  maksudnya, jam terus berjalan, dan pergerakan jarum detik seolah seperti berkerdip mata, karena cepatnya dan patah-patah. Tak terduga betapa lekas/siang menepi, melapangkan jalan dunia. Tak terduga, berarti sama sekali tak disangka-sangka sebelumnya.

Akhir konsonan /p/ mengesankan terhenti, terhambat. Jam mengerdip. Ini membuat kesan bahwa beberapa saat, narasi sang penyair sempat terhenti, ia termangu, entah kenapa. Jam mengerdip. Seketika ia melihat jam dan termangu. Lalu menghasilkan kesimpulan: betapa tak terduganya siang menjadi senja.

Siang menepi, tepi siang adalah sore. Dan sore, biasa melambangkan akhir usia seseorang . jika disatukan dengan makna kalimat setelahnya, menjadi “ketika usia sudah menepi/berakhir, maka jalan duniawi yang selama ini kita tempuh, yang terasa begitu menghimpit, menjadi lapang.

Melapangkan jalan dunia berarti jalan keduniaan semasa hidup, dan bukankah hidup adalah perjuangan dan penuh dengan ketidaklapangan? Maka ketika kita wafat, sang penyair yakin, bahwa jalan dunia menjadi lapang, dan mengarahkan kita pada kelapangan yang abadi.

Disamping:pohon demi pohon menundukkan kepala disini muncul gaya personifikasi yang memunculkan kesan duka. Menundukkan kepala, biasa terjadi ketika manusia melihat iringan jenazah, berdoa, atau sedang sedih. Pohon yang besar, terkadang terlihat juga sedang menunduk. Ini menggambarkan betapa suasana hati sang penyair, sehingga di kanan-kiri jalan, pohon turut berduka bersamanya.

di atas: matahari kita, matahari itu juga. menariknya, disini muncul kata “itu juga”, seolah: matahari yang sama yang dilalui jenazah ini sepanjang hari. Ini matahari kita, hari-hari kita, yang kita lalui, adalah matahari yang sama yang menjadi hari-hari ketika jenazah ini masih hidup. Ia hendak menyadarkan kita, bahwa bukankah kita memiliki peluang yang sama dengan sang jenazah?

Matahari, melambangkan siang. Pada siang hari, orang biasa bekerja, mengasuh anak, dan belajar. Ini mengartikan bahwa matahari melambangkan kegiatan manusia yang berlangsung. Bukankah ini menjadi “siang kita, adalah siang yang sama dan kesempatan mati yang sama dengan jenazah di depan kita”?

jam mengambang di antaranya/tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya. Jam, adalah waktu. Ia menunjukkan takaran waktu tertentu. Ia menggunakan imaji visual, diantara hari-hari, jam mengambang. Ini mengartikan, bahwa kita juga sedang diburu waktu, dibayang-bayangi dentang jam dinding setiap hari, dan lagi-lagi: memiliki kemungkinan untuk mati.

Tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya. Bukankah seringkali, hanya ketika kita melihat jenazah, dan mengantarkannya, kita baru tersadar: “tak terduga, hidup kita sangat sia-sia dan sebentar”. Kosong adalah hampa. Sia-sia. Diksi menghirupnya, adalah perlambang nafas kita. Nafas, adalah kehidupan. Tak terduga betapa sia-sia ketika kita hidup.

Perimaan yang timbul pada bait kedua menarik untuk ditinjau, berpola a-a-a-a. Ini membuat kesan aliran harmoni dalam tuturan kata-katanya. Semua simbol yang digunakan, imaji,  diksi, disatukan dengan rima ini, untuk menimbulkan satu kesan perasaan: bukan dukacita tetapi perenungan hidup.

Meski pada bait pertama rima kurang terasa, tetapi betapa kayanya dengan harmoni, menggunakan rima yang “disembunyikan” mengelabui kita:

berjalan di belakang jenazah angin pun reda
jam mengerdip
tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia

betapa kayanya sajak ini dengan rima, dan memang cirikhas sapardi, menggunakan kesatuan rima dengan gaya yang sangat harmonis dan halus. Rim, bukan masalah perulangan bunyi saja, tetapi penggunaan perulangan bunyi tersebut untuk menghasilkan harmoni yang indah.

di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
di atas: matahari kita, matahari itu juga
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya

pada bait kedua, perimaan yang lebih menarik terjadi. Ada pengulangan kata-kata, yang menghasilkan bukan sekedar pengulangan bunyi, tetapi penguatan makna hingga sampai pada hati pembacanya.

Perlambang-perlambang yang disusun sapardi, menghasikan makna yang unik, berbeda, namun padu dan benar. Jam mengambang diantaranya (diantara matahari), tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya (menghirup waktu) menggunakan simbol-simbol predikat yang unik. Dengan halus, menghirup, yang biasa digunakan untuk nafas kepada udara, ditempelkan antara kita dan waktu, membuat kata-katanya menjadi ringkas untuk menggambarkan hidup secara biologis dan secara mental dalam waktu bersamaan: bernafas dan bekerja.

Citraan visual kuat digunakan pada sajak ini, yang bertujuan memudahkan pembacanya menghadirkan apa yang dialami penyair, di depan matanya, dan tanpa mengganggu logika pembaca tentang suasana, dengan halus penyair membagi-bagikan amanatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar