berjalan di belakang jenazah
angin pun reda
jam mengerdip
tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan
dunia
di samping: pohon demi pohon
menundukkan kepala
di atas: matahari kita, matahari
itu juga
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya
sajak ini (selanjutnya disebut BDBJ) ditulis Sapardi
Djoko Damono, yang secara umum menceritakan situasi ketika ia mengantarkan
jenazah. Situasi menyedihkan menyeruak dimana-mana. Tema ini adalah tema
perenungan. Yang menjadi pesan utama, bukan situasi ketika mengantarkan
jenazah, tetapi jam mengambang
diantaranya/tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya.
Temanya adalah perenungan, begitu hampanya hidup
kita, sedangkan kematian begitu mudah terjadi, dan sekarang sedang ada di
hadapan kita.
Berkaitan dengan tema, jelas, amanat puisi ini bukan
hanya penggambaran duka cita semata, tetapi lebih jauh lagi, betapa kosongnya
kita menghirup udara yang kita gunakan untuk hidup, dan betapa hampanya,
sedangkan waktu tak kenal ampun akan membuat siapapun wafat.
Berkaitan dengan ini, sapardi hendak menegaskan pada
kita. Bukan masalah duka cita, tangis, atau harunya mengantar jenazah. Tetapi,
pelajaran apa, kesadaran apa yang muncul setelah kita mengantar jenazah?
Kesiasiaan hidup? Kehampaan? Atau tetap akan melalui jam demi jam seperti
biasanya?
Secara diksional, puisi ini memiliki makna estetik
yang unik. Berjalan dibelakang jenazah,
angin pun reda. Berjalan di belakang jenazah, adalah lambang bahwa ia
sedang mengantar jenazah, dan situasi dimana ia bisa memperhatikan, melamunkan,
dan membayangkan masa hidup si jenazah itu dengan seksama. Angin pun reda,
apakah ini angin secara fisik yang reda? Bisa jadi. Tetapi terlalu dangkal bila
hanya seperti itu.
Angin yang reda, melambangkan kesibukan yang
berhenti. Perhatian penyair teralih dari angin yang bertiup, hanya kepada
jenazah saja. Maka, seolah angin reda dan sirna, karena tak mendapat perhatian
penyair lagi.
Jam
mengerdip maksudnya,
jam terus berjalan, dan pergerakan jarum detik seolah seperti berkerdip mata,
karena cepatnya dan patah-patah. Tak
terduga betapa lekas/siang menepi, melapangkan jalan dunia. Tak terduga,
berarti sama sekali tak disangka-sangka sebelumnya.
Akhir konsonan /p/ mengesankan terhenti, terhambat.
Jam mengerdip. Ini membuat kesan bahwa beberapa saat, narasi sang penyair
sempat terhenti, ia termangu, entah kenapa. Jam mengerdip. Seketika ia melihat
jam dan termangu. Lalu menghasilkan kesimpulan: betapa tak terduganya siang
menjadi senja.
Siang menepi, tepi siang adalah sore. Dan sore,
biasa melambangkan akhir usia seseorang . jika disatukan dengan makna kalimat
setelahnya, menjadi “ketika usia sudah menepi/berakhir, maka jalan duniawi yang
selama ini kita tempuh, yang terasa begitu menghimpit, menjadi lapang.
Melapangkan
jalan dunia berarti jalan keduniaan semasa hidup,
dan bukankah hidup adalah perjuangan dan penuh dengan ketidaklapangan? Maka
ketika kita wafat, sang penyair yakin, bahwa jalan dunia menjadi lapang, dan
mengarahkan kita pada kelapangan yang abadi.
Disamping:pohon
demi pohon menundukkan kepala disini muncul gaya
personifikasi yang memunculkan kesan duka. Menundukkan kepala, biasa terjadi
ketika manusia melihat iringan jenazah, berdoa, atau sedang sedih. Pohon yang
besar, terkadang terlihat juga sedang menunduk. Ini menggambarkan betapa
suasana hati sang penyair, sehingga di kanan-kiri jalan, pohon turut berduka
bersamanya.
di
atas: matahari kita, matahari itu juga. menariknya, disini
muncul kata “itu juga”, seolah: matahari yang sama yang dilalui jenazah ini
sepanjang hari. Ini matahari kita, hari-hari kita, yang kita lalui, adalah
matahari yang sama yang menjadi hari-hari ketika jenazah ini masih hidup. Ia
hendak menyadarkan kita, bahwa bukankah kita memiliki peluang yang sama dengan
sang jenazah?
Matahari, melambangkan siang. Pada siang hari, orang
biasa bekerja, mengasuh anak, dan belajar. Ini mengartikan bahwa matahari
melambangkan kegiatan manusia yang berlangsung. Bukankah ini menjadi “siang
kita, adalah siang yang sama dan kesempatan mati yang sama dengan jenazah di
depan kita”?
jam
mengambang di antaranya/tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya.
Jam, adalah waktu. Ia menunjukkan takaran waktu tertentu. Ia menggunakan imaji
visual, diantara hari-hari, jam mengambang. Ini mengartikan, bahwa kita juga
sedang diburu waktu, dibayang-bayangi dentang jam dinding setiap hari, dan
lagi-lagi: memiliki kemungkinan untuk mati.
Tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya.
Bukankah seringkali, hanya ketika kita melihat jenazah, dan mengantarkannya,
kita baru tersadar: “tak terduga, hidup kita sangat sia-sia dan sebentar”.
Kosong adalah hampa. Sia-sia. Diksi menghirupnya, adalah perlambang nafas kita.
Nafas, adalah kehidupan. Tak terduga betapa sia-sia ketika kita hidup.
Perimaan yang timbul pada bait kedua menarik untuk
ditinjau, berpola a-a-a-a. Ini membuat kesan aliran harmoni dalam tuturan
kata-katanya. Semua simbol yang digunakan, imaji, diksi, disatukan dengan rima ini, untuk
menimbulkan satu kesan perasaan: bukan dukacita tetapi perenungan hidup.
Meski pada bait pertama rima kurang terasa, tetapi
betapa kayanya dengan harmoni, menggunakan rima yang “disembunyikan” mengelabui
kita:
berjalan di belakang jenazah angin pun reda
jam mengerdip
tak terduga betapa
lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia
betapa kayanya sajak ini dengan
rima, dan memang cirikhas sapardi, menggunakan kesatuan rima dengan gaya yang
sangat harmonis dan halus. Rim, bukan masalah perulangan bunyi saja, tetapi
penggunaan perulangan bunyi tersebut untuk menghasilkan harmoni yang indah.
di samping: pohon demi pohon
menundukkan kepala
di atas: matahari kita, matahari
itu juga
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya
pada bait kedua, perimaan yang lebih menarik
terjadi. Ada pengulangan kata-kata, yang menghasilkan bukan sekedar pengulangan
bunyi, tetapi penguatan makna hingga sampai pada hati pembacanya.
Perlambang-perlambang yang disusun sapardi,
menghasikan makna yang unik, berbeda, namun padu dan benar. Jam mengambang diantaranya (diantara
matahari), tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya (menghirup waktu) menggunakan
simbol-simbol predikat yang unik. Dengan halus, menghirup, yang biasa digunakan
untuk nafas kepada udara, ditempelkan antara kita dan waktu, membuat
kata-katanya menjadi ringkas untuk menggambarkan hidup secara biologis dan
secara mental dalam waktu bersamaan: bernafas dan bekerja.
Citraan visual kuat digunakan pada sajak ini, yang
bertujuan memudahkan pembacanya menghadirkan apa yang dialami penyair, di depan
matanya, dan tanpa mengganggu logika pembaca tentang suasana, dengan halus
penyair membagi-bagikan amanatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar