Selasa, 23 Oktober 2012

bagian makalah: Pemaparan Teori Strukturalis Terhadap Puisi Di Masjid Chairil Anwar


Abstraksi
Kajian struktural puisi, hanya memandang puisi sebagai puisi, dan memisahkannya dari pembentuk diluar karya itu sendiri. Unsur yang dianggap membangun sebuah puisi, yaitu tema, amanat, suasana, citraan, diksi, nada, bunyi, rima, perasaan, dan imaji.
“Di Masjid” karya Chairil Anwar yang akan dibedah menggunakan pendekatan struktural menunjukkan kedalaman perenungan, bagaimana setiap kata-katanya disusun sedemikian rupa sehingga memiliki arti khusus, dan memberikan pengaruh tertentu pada pembacanya.
Secara umum, puisi ini mendekatkan Tuhan pada kita, dengan segala bentuk personifikasi-Nya sehingga mampu dibayangkan hadir di depan muka dan bertatapan
Tuhan dengan lincah digambarkan memiliki bentuk personifikasi, sehingga penyair dapat dengan mudah membayangkannya hadir, bernyala-nyala, lalu memberikan pengaruh amat keras pada penyairnya itu
Selanjutnya, tipografi yang unik juga diperlihatkan dengan perulangan bunyi teramat kaya pada tiap larik. Bukan hanya akhir larik atau akhir bait. Ia menggunakan juga bentuk stanza 10 larik, dan memisahkannya untuk mengesankan lelah dan makna yang terpisah-pisah mandiri.
Puisi ini memiliki makna yang teramat dalam bagi mereka yang memahami seluk-beluk bahasa dan sastra.

Di Masjid

Kuseru saja Dia
Sehingga datang juga

Kamipun bermuka-muka

Seterusnya ia bernyala-nyala dalam dada
Segala daya memadamkannya

Bersimpah peluh diri yang tak bisa diperkuda

Ini ruang
Gelanggang tempat kami berperang

Binasa membinasa
Satu menista lain gila










                                                   
Pendahuluan
1.      Pendekatan
Puisi adalah bentuk karya sastra yang mengung­kapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan diusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya.  Sebagai salah satu karya sastra, harus diakui kalau puisi memang memiliki posisi yang unik. Ada unsur kebebasan yang mungkin melampaui prosa. Permainan simbolisme yang dihadirkan tidak hanya dengan kata, tetapi juga dengan angka dan bentuk-bentuk lain menghadirkan nuansa misteri yang menarik.
Unsur-unsur pembangun karya sastra dapat di kelompokan menjadi dua unsur, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrnisik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Unsur intrinsik meliputi tema, alur, penokohan, seting, sudut pandang dan gaya bahasa. Unsur ekstrinsik adalah unsure-unsur pembangun karya sastra dari luar karya sastra yang meliputi psikologi, biografi , social, historis, ekonomi, ilmu,serta agama.
Kajian yang kami gunakan adalah kajian struktural, dimana unsur struktural puisii mengesampingkan aspek ekstrinsik.        Berikut ini penjelasan mengenai unsur-unsur tersebut.
1.      Tema               : pokok pemikiran, ide atau gagasan serta yang akan disampaikan oleh penulis dalam tulisannya. Tema dapat diartikan sebagai pengungkapan maksud dan tujuan.
2.      Amanat                       : pesan yang terkandung dari puisi tersebut.
3.      Perasaan          : sesuatu yang terkandung di dalam puisi.
4.      Nada               : tinggi atau rendahnya suara ketika membacakakn puisi.
5.      Suasana           : keadaan yang tergambar di dalam sebuah puisi.
6.      Bunyi              : berhubungan dengan nada.
7.      Citraan                        : gambaran yang timbul dalam khayal atau angan-angan pembaca puisi atau karya sastra umum. Gambaran dalam angan-angan seperti itu sengaja diupayakan oleh penyair agar hal-hal yang semula abstrak menjadi konkret, agar menimbulkan suasana khusus dan mengesankan (Suharianto, 2005 : 40).
8.      Gaya Bahasa   : penggunaan bahasa yang dapat menghidupkan atau menmingkatkan efek kepada pembacanya.
9.      Tipografi         : suatu ilmu dalam memilih dan menata huruf dengan pengaturan penyebarannya pada ruang-ruang yang tersedia untuk menciptakan kesan tertentu, sehingga dapat menolong pembaca untuk mendapatkan kenyamanan membaca se-maksimal mungkin.
10.  Diksi                : pemilihan kata-kata yang di gunakan oleh pengarang, karena prinsip pusis adalah satu kata tetapi mempunyai banyak makna. Maka dari itu, penggunaan diksi terhadap puisi haruslah tepat dan mempunyai banyak makna(arti).
Menurut A Richard, seorang kritikus sastra yang terkenal telah menunjukkan kepada kita bahwa suatu puisi mengandung suatu makna keseluruhan yang merupakan paduan dari tema penyair  (mengenai inti pokok puisi itu ), perasaanya yaitu (sikap penyair terhadap bahan atau objeknya), nadanya (sikap penyair terhadap pembaca atau penikmatnya), amanatnya yaitu (maksud dan tujuan sang penyair).
Pembahasan

1.      Tinjauan tema dan amanat
            kuseru saja Dia
Sehingga datang juga
Menyeru nama Tuhan artinya memuji-NYA. Kata tersebut sering dilakukan banyak umat bergama di dunia. Banyak orang yang menyebut-nyebut nama Tuhannya. Bagi yang beragama Islam, menyeru nama Tuhannya melalui salat dan mengaji. Ketika para umat bergama menyeru nama Tuhan mereka. Mereka dapat merasakan bahwa Tuhan ada mendengar dan datang menghampirii, serta menjawab doa-doa mereka semua. Kedekatan antara manusia dengan Tuhan dapat di rasakan bila manusia selalu taat serta percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta dan pemberi rizki untuknya.
Kami pun bermuka-muka.
Di sini di ceritakan  dalam diri seseorang ada dua sisi yang saling berperang. Satu sisi percaya dengan Tuhan dan yang satu lagi tidak mempercayainya. Kedua sisi tersebut saling berperang di dalam diri.
Seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada.
Segala daya memadamkannya
Di dalam diri seseorang tersebut seperti ada api yang membesar. Api tersebut ada di dalam diri mereka yang tidak pernah sedikit pun mempercayai adanya Tuhan. Ia tidak mempercayai adanya kekuasaan dan ciptaan Tuhan. Ia hanya percaya dengan adanya kebebasan. Pada akhirnya, diri seseorang tersebut mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa. Walaupun di dalam hatinya sama sekali tidak mempercayai, tetapi ia terus berusaha keras untuk mempercayai, maka dari itu ia berusaha memadamkan apa yang ia pikirkan kepada Tuhan.

Bersimpah peluh diri yang tak bisa diperkuda
Diri yang penuh dengan dosa serta kesedihan yang sudah ia sadari, bahwa tidak bisa selamanya ia seperti ini –tidak percaya adanya Tuhan tidak percaya adanya Tuhan Yang Maha Esa- dan ia harus segera melakukan pertaubatan.
Ini ruang
Gelanggang kami berperang
Gelanggang artinya suatu tempat, sedangkan ruang yang sedang di bicarakan di sini adalah Mesjid. Mesjid adalah tempat batin mereka berperang melawan rasa ketidakpercayaan dirinya terhadap Tuhannya. DI dalam mesjid para makhluk Tuhan melakukan apa saja untuk komunikasi dia dengan Tuhannya. Komunikasi tersebut dapat berupa pertaubatan atau perenungan atas segala dosa-dosa yang pernah ia lakukan dengan Tuhannya selama ini.
Binasa-membinasa
Satu menista lain gila.
 Satu sisi ingin mempercayai Tuhan, sedangkan sisi yang lain tidak ingin mempercayainya, lalu mereka saling berperang dan menistakan satu sama lainnya.
Secara umum, puisi ini bertemakan ketuhanan, atau perenungan mengenai Tuhan.

2.      Diksional puisi
Diksi adalah pemilihan  kata yang tepat dan selaras untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu. Diksi-diksi puisi DM yang digunakan oleh Chairil, memaksa kita melihat peristiwa, dimana ia dan Tuhan sedang beradu pandang disana. Dikamarnya.

“kuseru saja”, ku adalah kata ganti sang penyair. Seru  adalah kata yang digunakan untuk menyatakan memanggil dengan suara nyaring, menarik perhatian, dan biasa digunakan ketika marah atau penegasan dengan intonasi tinggi.  “saja” berarti semata-mata, tiada lain, hanya.

“Dia”, dalam puisi ini menggunakan huruf kapital yang berarti kepada Tuhan. “kuseru saja Dia” berarti, sang penyair memanggil dengan suara nyaring dan tinggi kepada Tuhan. Mengesankan amarah yang datang tiba-tiba, atau betapa jauhnya terasa dia dengan Tuhan, hingga harus menyeru agar ratapannya dapat lebih dipahami pembaca.

“sehingga datang juga”, penyair dengan unik memberikan diksi yang aneh, seolah-olah Tuhan datang dan berjalan seperti manusia yang memenuhi seruan-Nya. Tuhan, yang menyahut panggilan penyair. Sosok Tuhan yang akhirnya datang ketika sang penyair menyerunya di masjid, ketika ia merasa jauh dari-Nya, merasa dalam ruang-ruang yang luas dan hampa, lalu datanglah Ia setelah diseru.

“Kamipun bermuka-muka”, perhatikan kata Kami yang dipilih sebagai diksi. Kami adalah kata ganti orang pertama jamak. Ia menyejajarkan dirinya dengan Tuhan dalam satu pembicaraan, artinya, ia merasa begitu satu, begitu dekat, dan entah kenapa membuat ia seperti sedang bercerita. Perhatikan dari awal ketika digunakan kata Dia, yang berarti orang ketiga tunggal, maka pasti ada tokoh “aku” dan “kamu”. Tegasnya, ia menceritakan apa yang terjadi kepada kita, dan membiarkan kita menafsir-nafsirkan sendiri apa yang akan Tuhan lakukan.

“bermuka-muka” memiliki arti berhadapan muka. Sekali lagi, perhatikan bagaimana penyair menempatkan Tuhan dalam personifikasi, yang membuatnya dapat sejelas mungkin meresapi dan merasakan kehadiran Tuhan, tepat dihadapan mukanya, dan ia dapat saling melihat dengan Tuhan. Seolah, Tuhan hadir sangat dekat, dan bermuka-muka biasa dipilih dalam konteks pertemuan sangat dekat, paling jauh sebatas suara lirih yang masih terdengar jelas dari lawan kita bermuka-muka.

“kamipun bermuka-muka” memiliki arti ia dan Tuhan dalam satu pertemuan, yang membuatnya amat dekat, setelah datang Tuhan menyambut seruan sang penyair, lalu mereka saling memandang entah bagaimana.

“seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada”, bernyala-nyala,  setelah Tuhan datang, entah kenapa sang penyair merasakan kobaran. Kata ini digunakan dalam api yang besar, dan berkobaran besar dan tinggi. Agung. Api yang sangat dahsyat. Menggelegak. Semakin menjadi besar. Lalu ia merasakannya dalam dada, paru-parunya panas, seperti nafas yang sesak dan menahan tangis yang sangat, jantungnya menjadi memburu, seperti mengimbangi kobaran-Nya. Perhatikan bagaimana ia membendakan, atau mengibaratkan Tuhan mampu menjadi bernyala-nyala seperti api dan cahaya dalam dadanya, menjadi besar dan tinggi, ia merasakan dirinya diisi semangat ketuhanan yang luar biasa, panas, dan menggelegak.

“segala daya memadamkannya” , daya adalah tenaga, daya adalah upaya dan kekuatan yang diarahkan kepada sesuatu yang tertentu.  Segala daya memiliki arti, seluruh kekuatannya dipusatkan kepada sesuatu.

“memadamkannya” yang menarik, adalah pemilihan kata –nya, dan bukan –Nya. Kapital dan biasa. Tuhan dan bukan Tuhan. Tegasnya, apa atau siapa yang dipadamkan penyair? Padam memiliki arti mati tentang api dan cahaya, semangat, gelora. Sebelumnya, digunakan diksi bernyala-nyala sebagai penggambaran Tuhan yang sedang berkobaran. Kami memilih arti memadamkan atau menghentikan kobaran akibat kehadiran Tuhan.

Jangan lupa, sedari awal, meski Tuhan digambarkan sedang bernyala, tetapi hakikatnya, Dzat Tuhan ataukah efeknya saja yang menyala? Tegasnya lagi, Tuhan yang menyala, atau kehadiran Tuhan membuat kita merasakan ada yang menyala dalam hati begitu besar?

Rahasia kata –nya yang digunakan, menunjukkan bahwa yang menyala adalah efek kehadiran Tuhan. Tuhan sebagai sebab, bukan objek kebernyalaan “sesuatu selain Tuhan”. Tuhan yang hadir menyambut seruannya, menyebabkan “sesuatu itu” menjadi berkobar-kobar dan bernyala-nyala. Kekuasaan Tuhan, dekatnya Tuhan saat itu, menyebabkan dalam dadanya ada yang bernyala-nyala.

“bersimpah  peluh diri yang tak bisa diperkuda” simpah, atau simbah, memiliki arti basah. Khususnya, keringat atau darah, yang membuat sesuatu menjadi terbasahi (dalam daerah yang luas, bukan sempit) dan keluarnya dengan dua cara, menyembur atau bermanik-manik seperti tetesan yang amat banyak.

Bersimbah, keringat yang bermanik-manik (bersimbah peluh diri) membuat kesan ia sedang ditekan dan menahan sesuatu. beban yang amat berat. Sesuatu yang berkobar dalam dirinya membuat ia merasakan beban yang berat.  Tak bisa diperkuda memiliki arti tak bisa dikendalikan dengan pengibaratan kekang kuda yang akan dilekatkan pada mulutnya, dan ia tak akan mampu dikendalikan. Anehnya, apa hubungannya pembahasan kita diawal yang membahas kedatangan Tuhan yang menjadi bernyala-nyala, dengan diperkuda?

Yang paling logis, adalah Tuhan datang dan menurut penyairnya, Tuhan sedang mencoba mengambil lagi kekang dirinya. Apa maksudnya? Berkobar-kobar yang ada dalam dirinya, dapat diartikan penolakan terhadap nilai-nilai dirinya yang selama ini buruk, angkuh, dan kaku, ini mengingat, Tuhan adalah simbol kebaikan dan kanan. Indah dan benar.

Ia terlanjur jauh dalam keburukan, dan ketika datang Tuhan, ada dalam dadanya yang mengingkari bahwa dirinya masih layak, menerima kedatangan Tuhan yang begitu besar dan tinggi, begitu kuat akan mengambil kendali dirinya dari hal-hal yang buruk.

“ini ruang”, dalam hal ini, terlihat penekanan pada kata “ini” ruang. Dimana adanya ini, adalah di “masjid”. “di masjid”. Mengikuti judul umum puisi ini. lebih jauh lagi, ini ruang, bisa diartikan dalam dada. “kedalaman dada” sering dikaitkan dengan datangnya perasaan yang jauh dari lubuk hati, yang juga adanya dalam “rongga dada”

“gelanggang tempat kami berperang”, gelanggang adalah tempat beradu, tempat bersaing, tempat yang mengitari dan memiliki batas tertentu, biasanya lingkaran. “tempat kami berperang, memiliki arti gelanggang itu diperjelas sedang digunakan untuk aduan dengan Tuhan. Kami, yang mengandung “aku dan Tuhan” sesuai tokoh-tokoh dalam puisi ini.

Dalam dadanya, terjadi peperangan dan peraduan. Perasaan. Antara penyair, dengan segala keburukannya, dengan Tuhan, yang datang menyambut seruannya. Jelaslah, sesuatu yang bernyala-nyala adalah kenangan-kenangan keburukannya, dengan kebaikan dan perasaan hina karena kehadiran Tuhan yang seolah amat dekat, sehingga dalam dirinya terjadi perseteruan.

“binasa membinasa” memiliki arti “merusak, menghancurkan, memusnahkan” tetapi tidak berkaitan dengan “mati”. Tuhan, dengan kobaran-kobaran nyala-Nya, ingin memadamkan hasrat dan segala lawan-Nya dalam dada penyair, begitu pula penyair, ada bagian dirinya yang ingin memadamkan Tuhan. Menolak kehadiran tuhan, karena ia “tak bisa diperkuda”, tak bisa lagi menerima kehadiran Tuhan.

Ada dua sebab seseorang biasa menolak kehadiran Tuhan. Pertama, ia atheis. Kedua, ia malu, dengan segala rasa hina. Ia merasa tak layak dengan banyak dosanya. Dan bukankah, di masjid seseorang biasa melakuka pertobatan dan merasakan kehadiran Tuhan begitu dekat? Jika memang ia atheis, ia tak akan merasakan kehadiran-Nya yang amat dekat, hingga bermuka-muka.

“satu menista lain gila” Tengsoe Tjahjono, kritikus sastra, membuat cara menguak diksi puisi dengan mengembalikan kata yang seharusnya ada, namun dihilangkan dalam sebuah puisi oleh pengarangnya.

“(kami saling) binasa (dan) membinasa(kan)
(yang) satu menista (,) (dan yang) lain(nya) (menjadi) gila.”

Apa maksudnya? Terjadi pertempuran yang amat sengit dalam dada penyair. Ia dan Tuhan saling beradu rasa, argumen. Tetapi, apakah pada dasarnya memang betul Tuhan yangmemberikan argumen? Sebetulnya, Tuhan tak pernah bicara langsung pada manusia melalui wahyu. Diksi dalam puisi ini memang mengesankan Tuhan bicara langsung dan hadir dihadapan kita, tetapi ini tak lain karena hasrat dalam diri manusia yang entah kenapa menjadi semacam tabiat, bahwa kan selalu merindukan Tuhan betapapun jauhnya.

Sebetulnya, yang bicara tak lain adalah dua sisi dirinya, dimana sisi yang satu masih mewarisi sifat-sifat “kerinduan pada Tuhan” yang amat dalam, dan menjadi penentang dan bernayal-nyala dihadapan sisi dirinya “yang tak bisa diperkuda”, dan keduanya saling membinasakan, tanpa dijelaskan apa akhir dari saling membinasakan ini, hanya diberikan petunjuk, ada yang membuat dirinya nista, kotor, dan ada yang menjadi gila.

Gila, bukan hanya berarti sakit syaraf atau jiwa. Ia juga berarti keadaan yang tidak semestinya, tidak masuk diakal. Keadaan dimana sulit diterima oleh akal. Sulit mengambil keputusan. Apa artinya? Dalam “binasa membinasa” ini, ia disudutkan, perasaannya disudutkan dalam kondisi “gila”, sulit mengambil keputusan. Egonya, membuat sulit menerima Tuhan yang sudah susah payah ia seru di masjid.
Ia dijepit antara menerima kebaikan, yang menurutnya tidak semestinya, beradu dengan diri yang tak bisa diperkuda.


3.      Nada, bunyi, dan rima
Dalam bait awal puisi ini terdapat rima, yang diperjelas dengan

“kuseru saja dia
Sehingga datang juga
Kamipun bermuka-muka
Seterusnya ia bernyala-nyala dalam dada
segala daya memadamkannya
bersimpah peluh diri yang tak bisa diperkuda”

betapa penuhnya dengan rima, yang tak hanya membicarakan rima di awal, tengah, dan akhir, tetapi keseluruhan membentuk harmoni yang indah. “a” dilafalkan dengan membuka penuh mulut dan lidah. Tanpa hambatan. Ini adalah bunyi paling mudah dilafalkan. Secara psikologis mengesankan ia sedang mencari kata yang mudah dilafalkan karena letihnya. Lelahnya. Kesan lelahnya.
 Seluruh larik yang menggunakan rima /a/ diatas masih bercerita tentang satu wacana yang padu, dari seruan hingga penyair yang bersimbah dengan kebernyalaan Tuhan dalam dirinya.

“Ini ruang
Gelanggang tempat kami berperang”

 Rima bunyi /a/ yang dipadukan dengan nasal /ng/ memberikan kesan terhambatnya suara. Jika pada bait pertama dipenuhi kata-kata yang diakhiri dengan mulut terbuka, ini diakhiri dengan nafas yang tertutup.

binasa membinasa
Satu menista lain gila”

Di larik pertama, dijumpai rima sempurna kata binasa. Dan lagi-lagi menggunakan bunyi /a/ sebagai akhir ujaran.

Secara umum, berkaitan denga rima, intonasi yang ada mengesankan nada mengeluh, nada memberikan masalah diri yang sesuai dengan penjabaran diksi, tak bisa menerima kehadiran Tuhan. Gelisah. Terjebak dalam perenungan diri.

4.      Gaya bahasa
Gaya bahasa dimaksudkan untuk membuat bahasa yang digunakan lebih punya arti dalam simbolnya. Memasukkan arti yang lebih banyak dari seharusnya.

Pada awal puisi, penyair sudah membuat kita membayangkan Tuhan sebagai persona yang datang ketika diseru, dan membuat dekat dengan diri, kuseru saja dia/sehingga datang juga/kamipun bermuka-muka, Tuhan yang datang, bergaya personifikasi yang amat halus.

Seterusnya ia bernyala-nyala dalam dada/segala daya memadamkannya. Tuhan digambarkan memiliki sifat mampu berkobar dan menyala, simbolik, untuk menggambarkan betapa panasnya terasa, betapa menggelegaknya. Lagi-lagi, ia menggunakan simbol memadamkan, sebagai upaya menghentikan pengaruh sisi diri baiknya untuk menuntun sisi buruknya. Ia mengingkari pengaruh Tuhan dalam dirinya, karena hinanya dihadapan Tuhan.

“bersimbah peluh diri yang tak bisa diperkuda” agak hiperbol, penyair menggambarkan upaya pemadaman ini sangat melelahkan dan menghabiskan keringatnya. Diperkuda juga merupakan simbol, bahwa ia tak bisa diatur-atur.

Ini ruang/gelanggang kami berperang, juga dengan agak hiperbol, ia menggambarkan tempatnya berargumen “dalam dada”, sebagai gelanggang untuk berperang, karena sengitnya perenungan yang terjadi. Binasa membinasa/satu menista lain gila, memiliki makna mempersonakan Tuhan, sebagai “pihak yang ingin membinasakan dirinya” dan “yang mampu menggilakan dirinya”.

Gaya personifikasi, simbolik, dan hiperbola, memenuhi puisi ini namun dengan tidak langsung menggunakan apa yang telah umum digunakan pada ujaran biasa, seperti “Tuhan menyala-nyala bagai api” atau “bagai bertempur sehingga bersimbah peluh” untuk memperhalus dan memperagung tuturan, juga untuk menghemat kata-kata. tantangannya, bagaimana menggunakan kata dan gaya sehalus mungkin, tetapi tetap sehemat mungkin menggunakannya. Dan penyair cukup berhasil menyesakkan makna yang amat dalam pada sekitar 10 larik puisi.

Gaya balada, yang digunakan penyair, dimaksudkan mempermudah penceritaan agar kita, seperti melihat peristiwanya, dan dibiarkan memilih, “jika kita menjadi dia, apa yang kita lakukan ketika ada dalam posisi yang sama?” inilah kekuatan utama gaya bahasa puisi ini, amanat disampaikan tidak secara langsung, tetapi melalui penggambaran peristiwa batin yang disimbolkan dengan peristiwa fisik pertemuan dengan Tuhan.


5.      Tipografi
Tipografi, adalah bentuk penulisan dan pelukisan fisik puisi. Tampak, digunakan bentuk 10 larik yang dikenal dengan stanza.  Bentuk ini datang dari eropa, dan digunakan seperti pembatasan puisi lama disana. Mirip seperti pantun, seloka, dan gurindam di melayu.

10 larik, dinggap telah cukup untuk menarikan kata-kata agar mencapai wacana utuh dan berterima. Ia juga dianggap cukup bermakna, tidak lebih tidak kurang.

Rata kiri yang digunakan, dan susunan kalimat biasa yang digunakan, membuat kesan bahwa ini peristiwa yang betul lekat dalam keseharian kita. Betapa banyak kita yang merasakan situasi yang sama, tetapi menjadi “gila” dalam mengambil pilihan, dan disudutkan oleh diri sendiri?

Penjedaan antar larik, membuat kesan ia menuturkan puisi ini terputus-putus, seperti kelelahan, dan memang diksi dalam puisi ini mengesankan kelelahan dan tekanan batin yang amat sangat. Dua larik, jeda. Satu larik, jeda. Banyak diantara lariknya tidak lebih dari tiga kata, yang bisa diucapkan dalam satu nafas.

Ia terlalu lelah untuk berkata, ia memilih bentuk yang dapat digunakan untuk menyampaikan kelelahannya dan kegalauannya seringkas mungkin, tetapi disokong diksi yang membuat maknanya tidak ringkas juga.

Jika puisi ini disusun beruntun tanpa jeda larik, puisi ini terkesan pembicaraan panjang. Tidak memberikan jeda untuk berpikir dan memaknai setiap peristiwa, karena jeda juga memberikan waktu jeda ketika dibacakan.

Enjambemen, yang timbul pada larik pertama dan kedua (seharusnya secara sintaksis bahasa Indonesia berbunyi kuseru saja Dia sehingga datang juga), memberikan penguatan bahwa ia menyeru, dan kemudian Dia datang. Penguatan timbul pada “sehingga datang juga”, yang memiliki tambahan arti akhirnya, setelah diseru Tuhan bersedia datang, setelah sekian lama tidak datang. Betul-betul kedatangan agung Sang Tuhan.

Enjambemen lain timbul pada “ini ruang gelanggang kami berperang”, dimaksudkan menekankan pada kata gelanggang perang. Terjadi atau tercipta sebuah gelanggang, yang ada dalam dadanya. Betul-betul sebuah gelanggang antara dia dengan Tuhan.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar