Abstraksi
Kajian
struktural puisi, hanya memandang puisi sebagai puisi, dan memisahkannya dari
pembentuk diluar karya itu sendiri. Unsur yang dianggap membangun sebuah puisi,
yaitu tema, amanat, suasana, citraan, diksi, nada, bunyi, rima, perasaan, dan
imaji.
“Di Masjid”
karya Chairil Anwar yang akan dibedah menggunakan pendekatan struktural
menunjukkan kedalaman perenungan, bagaimana setiap kata-katanya disusun
sedemikian rupa sehingga memiliki arti khusus, dan memberikan pengaruh tertentu
pada pembacanya.
Secara umum,
puisi ini mendekatkan Tuhan pada kita, dengan segala bentuk personifikasi-Nya
sehingga mampu dibayangkan hadir di depan muka dan bertatapan
Tuhan dengan
lincah digambarkan memiliki bentuk personifikasi, sehingga penyair dapat dengan
mudah membayangkannya hadir, bernyala-nyala, lalu memberikan pengaruh amat
keras pada penyairnya itu
Selanjutnya,
tipografi yang unik juga diperlihatkan dengan perulangan bunyi teramat kaya
pada tiap larik. Bukan hanya akhir larik atau akhir bait. Ia menggunakan juga
bentuk stanza 10 larik, dan memisahkannya untuk mengesankan lelah dan makna
yang terpisah-pisah mandiri.
Puisi
ini memiliki makna yang teramat dalam bagi mereka yang memahami seluk-beluk
bahasa dan sastra.
Di Masjid
Kuseru saja Dia
Sehingga datang juga
Kamipun bermuka-muka
Seterusnya ia bernyala-nyala dalam dada
Segala daya memadamkannya
Bersimpah peluh diri yang tak bisa
diperkuda
Ini ruang
Gelanggang tempat kami berperang
Binasa membinasa
Satu menista lain gila
Pendahuluan
1. Pendekatan
Puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan
pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan diusun dengan
mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur
fisik dan struktur batinnya. Sebagai salah satu karya sastra, harus diakui kalau
puisi memang memiliki posisi yang unik. Ada unsur kebebasan yang mungkin
melampaui prosa. Permainan simbolisme yang dihadirkan tidak hanya dengan kata,
tetapi juga dengan angka dan bentuk-bentuk lain menghadirkan nuansa misteri
yang menarik.
Unsur-unsur pembangun karya sastra dapat
di kelompokan menjadi dua unsur, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrnisik.
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam.
Unsur intrinsik meliputi tema, alur, penokohan, seting, sudut pandang dan gaya
bahasa. Unsur ekstrinsik adalah unsure-unsur pembangun karya sastra dari luar
karya sastra yang meliputi psikologi, biografi , social, historis, ekonomi,
ilmu,serta agama.
Kajian
yang kami gunakan adalah kajian struktural, dimana unsur struktural puisii
mengesampingkan aspek ekstrinsik. Berikut ini
penjelasan mengenai unsur-unsur tersebut.
1.
Tema :
pokok
pemikiran, ide atau gagasan serta yang akan disampaikan oleh penulis dalam
tulisannya. Tema dapat diartikan sebagai pengungkapan maksud dan tujuan.
2.
Amanat :
pesan yang terkandung dari puisi tersebut.
3.
Perasaan :
sesuatu yang terkandung di dalam puisi.
4.
Nada :
tinggi atau rendahnya suara ketika membacakakn puisi.
5.
Suasana :
keadaan yang tergambar di dalam sebuah puisi.
6.
Bunyi :
berhubungan dengan nada.
7.
Citraan :
gambaran yang timbul dalam
khayal atau angan-angan pembaca puisi atau karya sastra umum. Gambaran dalam
angan-angan seperti itu sengaja diupayakan oleh penyair agar hal-hal yang
semula abstrak menjadi konkret, agar menimbulkan suasana khusus dan mengesankan
(Suharianto, 2005 : 40).
8.
Gaya Bahasa :
penggunaan bahasa yang dapat menghidupkan atau menmingkatkan efek kepada
pembacanya.
9.
Tipografi :
suatu
ilmu dalam memilih dan menata huruf
dengan pengaturan penyebarannya pada ruang-ruang yang tersedia untuk
menciptakan kesan tertentu, sehingga dapat menolong pembaca untuk mendapatkan
kenyamanan membaca se-maksimal mungkin.
10. Diksi : pemilihan kata-kata yang di
gunakan oleh pengarang, karena prinsip pusis adalah satu kata tetapi mempunyai
banyak makna. Maka dari itu, penggunaan diksi terhadap puisi haruslah tepat dan
mempunyai banyak makna(arti).
Menurut
A Richard,
seorang kritikus sastra yang terkenal telah menunjukkan kepada kita bahwa suatu
puisi mengandung suatu makna keseluruhan yang merupakan paduan dari tema
penyair (mengenai inti pokok puisi itu ), perasaanya yaitu (sikap penyair
terhadap bahan atau objeknya), nadanya (sikap penyair terhadap pembaca atau
penikmatnya), amanatnya yaitu (maksud dan tujuan sang penyair).
Pembahasan
1. Tinjauan
tema dan amanat
kuseru saja Dia
Sehingga
datang juga
Menyeru
nama Tuhan artinya memuji-NYA. Kata tersebut sering dilakukan banyak umat
bergama di dunia. Banyak orang yang menyebut-nyebut nama Tuhannya. Bagi yang
beragama Islam, menyeru nama Tuhannya melalui salat dan mengaji. Ketika para
umat bergama menyeru nama Tuhan mereka. Mereka dapat merasakan bahwa Tuhan ada
mendengar dan datang menghampirii, serta menjawab doa-doa mereka semua.
Kedekatan antara manusia dengan Tuhan dapat di rasakan bila manusia selalu taat
serta percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta dan pemberi rizki
untuknya.
Kami
pun bermuka-muka.
Di
sini di ceritakan dalam diri seseorang
ada dua sisi yang saling berperang. Satu sisi percaya dengan Tuhan dan yang
satu lagi tidak mempercayainya. Kedua sisi tersebut saling berperang di dalam
diri.
Seterusnya
Ia bernyala-nyala dalam dada.
Segala
daya memadamkannya
Di
dalam diri seseorang tersebut seperti ada api yang membesar. Api tersebut ada
di dalam diri mereka yang tidak pernah sedikit pun mempercayai adanya Tuhan. Ia
tidak mempercayai adanya kekuasaan dan ciptaan Tuhan. Ia hanya percaya dengan
adanya kebebasan. Pada akhirnya, diri seseorang tersebut mempercayai adanya
Tuhan Yang Maha Esa. Walaupun di dalam hatinya sama sekali tidak mempercayai,
tetapi ia terus berusaha keras untuk mempercayai, maka dari itu ia berusaha
memadamkan apa yang ia pikirkan kepada Tuhan.
Bersimpah
peluh diri yang tak bisa diperkuda
Diri
yang penuh dengan dosa serta kesedihan yang sudah ia sadari, bahwa tidak bisa
selamanya ia seperti ini –tidak percaya adanya Tuhan tidak percaya adanya Tuhan
Yang Maha Esa- dan ia harus segera melakukan pertaubatan.
Ini
ruang
Gelanggang
kami berperang
Gelanggang
artinya suatu tempat, sedangkan ruang yang sedang di bicarakan di sini adalah
Mesjid. Mesjid adalah tempat batin mereka berperang melawan rasa
ketidakpercayaan dirinya terhadap Tuhannya. DI dalam mesjid para makhluk Tuhan
melakukan apa saja untuk komunikasi dia dengan Tuhannya. Komunikasi tersebut
dapat berupa pertaubatan atau perenungan atas segala dosa-dosa yang pernah ia
lakukan dengan Tuhannya selama ini.
Binasa-membinasa
Satu
menista lain gila.
Satu sisi ingin mempercayai Tuhan, sedangkan
sisi yang lain tidak ingin mempercayainya, lalu mereka saling berperang dan
menistakan satu sama lainnya.
Secara
umum, puisi ini bertemakan ketuhanan, atau perenungan mengenai Tuhan.
2.
Diksional puisi
Diksi
adalah pemilihan kata yang tepat dan
selaras untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu. Diksi-diksi puisi DM yang digunakan oleh
Chairil, memaksa kita melihat peristiwa, dimana ia dan Tuhan sedang beradu
pandang disana. Dikamarnya.
“kuseru
saja”, ku adalah kata ganti sang
penyair. Seru adalah kata yang digunakan untuk menyatakan
memanggil dengan suara nyaring, menarik perhatian, dan biasa digunakan ketika
marah atau penegasan dengan intonasi tinggi.
“saja” berarti semata-mata, tiada lain, hanya.
“Dia”,
dalam puisi ini menggunakan huruf kapital yang berarti kepada Tuhan. “kuseru
saja Dia” berarti, sang penyair memanggil dengan suara nyaring dan tinggi
kepada Tuhan. Mengesankan amarah yang datang tiba-tiba, atau betapa jauhnya terasa
dia dengan Tuhan, hingga harus menyeru agar ratapannya dapat lebih dipahami
pembaca.
“sehingga
datang juga”, penyair dengan unik memberikan diksi yang aneh, seolah-olah Tuhan
datang dan berjalan seperti manusia yang memenuhi seruan-Nya. Tuhan, yang
menyahut panggilan penyair. Sosok Tuhan yang akhirnya datang ketika sang
penyair menyerunya di masjid, ketika ia merasa jauh dari-Nya, merasa dalam
ruang-ruang yang luas dan hampa, lalu datanglah Ia setelah diseru.
“Kamipun
bermuka-muka”, perhatikan kata Kami
yang dipilih sebagai diksi. Kami adalah kata ganti orang pertama jamak. Ia
menyejajarkan dirinya dengan Tuhan dalam satu pembicaraan, artinya, ia merasa
begitu satu, begitu dekat, dan entah kenapa membuat ia seperti sedang
bercerita. Perhatikan dari awal ketika digunakan kata Dia, yang berarti orang
ketiga tunggal, maka pasti ada tokoh “aku” dan “kamu”. Tegasnya, ia
menceritakan apa yang terjadi kepada kita, dan membiarkan kita
menafsir-nafsirkan sendiri apa yang akan Tuhan lakukan.
“bermuka-muka”
memiliki arti berhadapan muka. Sekali lagi, perhatikan bagaimana penyair
menempatkan Tuhan dalam personifikasi, yang membuatnya dapat sejelas mungkin
meresapi dan merasakan kehadiran Tuhan, tepat dihadapan mukanya, dan ia dapat
saling melihat dengan Tuhan. Seolah, Tuhan hadir sangat dekat, dan bermuka-muka
biasa dipilih dalam konteks pertemuan sangat dekat, paling jauh sebatas suara
lirih yang masih terdengar jelas dari lawan kita bermuka-muka.
“kamipun
bermuka-muka” memiliki arti ia dan Tuhan dalam satu pertemuan, yang membuatnya
amat dekat, setelah datang Tuhan menyambut seruan sang penyair, lalu mereka
saling memandang entah bagaimana.
“seterusnya
Ia bernyala-nyala dalam dada”, bernyala-nyala,
setelah Tuhan datang, entah kenapa
sang penyair merasakan kobaran. Kata ini digunakan dalam api yang besar, dan
berkobaran besar dan tinggi. Agung. Api yang sangat dahsyat. Menggelegak.
Semakin menjadi besar. Lalu ia merasakannya dalam dada, paru-parunya panas,
seperti nafas yang sesak dan menahan tangis yang sangat, jantungnya menjadi
memburu, seperti mengimbangi kobaran-Nya. Perhatikan bagaimana ia membendakan,
atau mengibaratkan Tuhan mampu menjadi bernyala-nyala seperti api dan cahaya
dalam dadanya, menjadi besar dan tinggi, ia merasakan dirinya diisi semangat ketuhanan
yang luar biasa, panas, dan menggelegak.
“segala
daya memadamkannya” , daya adalah tenaga, daya adalah upaya dan kekuatan yang
diarahkan kepada sesuatu yang tertentu.
Segala daya memiliki arti, seluruh kekuatannya dipusatkan kepada
sesuatu.
“memadamkannya”
yang menarik, adalah pemilihan kata –nya, dan bukan –Nya. Kapital dan biasa.
Tuhan dan bukan Tuhan. Tegasnya, apa atau siapa yang dipadamkan penyair? Padam
memiliki arti mati tentang api dan cahaya, semangat, gelora. Sebelumnya,
digunakan diksi bernyala-nyala
sebagai penggambaran Tuhan yang sedang berkobaran. Kami memilih arti memadamkan
atau menghentikan kobaran akibat kehadiran Tuhan.
Jangan
lupa, sedari awal, meski Tuhan digambarkan sedang bernyala, tetapi hakikatnya,
Dzat Tuhan ataukah efeknya saja yang menyala? Tegasnya lagi, Tuhan yang
menyala, atau kehadiran Tuhan membuat kita merasakan ada yang menyala dalam
hati begitu besar?
Rahasia
kata –nya yang digunakan, menunjukkan bahwa yang menyala adalah efek kehadiran
Tuhan. Tuhan sebagai sebab, bukan objek kebernyalaan “sesuatu selain Tuhan”.
Tuhan yang hadir menyambut seruannya, menyebabkan “sesuatu itu” menjadi
berkobar-kobar dan bernyala-nyala. Kekuasaan Tuhan, dekatnya Tuhan saat itu,
menyebabkan dalam dadanya ada yang bernyala-nyala.
“bersimpah peluh diri yang tak bisa diperkuda” simpah,
atau simbah, memiliki arti basah. Khususnya, keringat atau darah, yang membuat
sesuatu menjadi terbasahi (dalam daerah yang luas, bukan sempit) dan keluarnya
dengan dua cara, menyembur atau bermanik-manik seperti tetesan yang amat
banyak.
Bersimbah,
keringat yang bermanik-manik (bersimbah peluh diri) membuat kesan ia sedang
ditekan dan menahan sesuatu. beban yang amat berat. Sesuatu yang berkobar dalam
dirinya membuat ia merasakan beban yang berat. Tak bisa diperkuda memiliki
arti tak bisa dikendalikan dengan pengibaratan kekang kuda yang akan dilekatkan
pada mulutnya, dan ia tak akan mampu dikendalikan. Anehnya, apa hubungannya
pembahasan kita diawal yang membahas kedatangan Tuhan yang menjadi bernyala-nyala,
dengan diperkuda?
Yang
paling logis, adalah Tuhan datang dan menurut penyairnya, Tuhan sedang mencoba
mengambil lagi kekang dirinya. Apa maksudnya? Berkobar-kobar yang ada dalam
dirinya, dapat diartikan penolakan terhadap nilai-nilai dirinya yang selama ini
buruk, angkuh, dan kaku, ini mengingat, Tuhan adalah simbol kebaikan dan kanan.
Indah dan benar.
Ia
terlanjur jauh dalam keburukan, dan ketika datang Tuhan, ada dalam dadanya yang
mengingkari bahwa dirinya masih layak, menerima kedatangan Tuhan yang begitu
besar dan tinggi, begitu kuat akan mengambil kendali dirinya dari hal-hal yang
buruk.
“ini
ruang”, dalam hal ini, terlihat penekanan pada kata “ini” ruang. Dimana adanya
ini, adalah di “masjid”. “di masjid”. Mengikuti judul umum puisi ini. lebih
jauh lagi, ini ruang, bisa diartikan dalam dada. “kedalaman dada” sering
dikaitkan dengan datangnya perasaan yang jauh dari lubuk hati, yang juga adanya
dalam “rongga dada”
“gelanggang
tempat kami berperang”, gelanggang adalah tempat beradu, tempat bersaing,
tempat yang mengitari dan memiliki batas tertentu, biasanya lingkaran. “tempat
kami berperang, memiliki arti gelanggang itu diperjelas sedang digunakan untuk
aduan dengan Tuhan. Kami, yang mengandung “aku dan Tuhan” sesuai tokoh-tokoh
dalam puisi ini.
Dalam
dadanya, terjadi peperangan dan peraduan. Perasaan. Antara penyair, dengan
segala keburukannya, dengan Tuhan, yang datang menyambut seruannya. Jelaslah,
sesuatu yang bernyala-nyala adalah kenangan-kenangan keburukannya, dengan
kebaikan dan perasaan hina karena kehadiran Tuhan yang seolah amat dekat,
sehingga dalam dirinya terjadi perseteruan.
“binasa
membinasa” memiliki arti “merusak, menghancurkan, memusnahkan” tetapi tidak
berkaitan dengan “mati”. Tuhan, dengan kobaran-kobaran nyala-Nya, ingin
memadamkan hasrat dan segala lawan-Nya dalam dada penyair, begitu pula penyair,
ada bagian dirinya yang ingin memadamkan Tuhan. Menolak kehadiran tuhan, karena
ia “tak bisa diperkuda”, tak bisa lagi menerima kehadiran Tuhan.
Ada
dua sebab seseorang biasa menolak kehadiran Tuhan. Pertama, ia atheis. Kedua,
ia malu, dengan segala rasa hina. Ia merasa tak layak dengan banyak dosanya.
Dan bukankah, di masjid seseorang biasa melakuka pertobatan dan merasakan
kehadiran Tuhan begitu dekat? Jika memang ia atheis, ia tak akan merasakan
kehadiran-Nya yang amat dekat, hingga bermuka-muka.
“satu
menista lain gila” Tengsoe Tjahjono, kritikus sastra, membuat cara menguak
diksi puisi dengan mengembalikan kata yang seharusnya ada, namun dihilangkan
dalam sebuah puisi oleh pengarangnya.
“(kami
saling) binasa (dan) membinasa(kan)
(yang)
satu menista (,) (dan yang) lain(nya) (menjadi) gila.”
Apa
maksudnya? Terjadi pertempuran yang amat sengit dalam dada penyair. Ia dan
Tuhan saling beradu rasa, argumen. Tetapi, apakah pada dasarnya memang betul
Tuhan yangmemberikan argumen? Sebetulnya, Tuhan tak pernah bicara langsung pada
manusia melalui wahyu. Diksi dalam puisi ini memang mengesankan Tuhan bicara
langsung dan hadir dihadapan kita, tetapi ini tak lain karena hasrat dalam diri
manusia yang entah kenapa menjadi semacam tabiat, bahwa kan selalu merindukan
Tuhan betapapun jauhnya.
Sebetulnya,
yang bicara tak lain adalah dua sisi dirinya, dimana sisi yang satu masih
mewarisi sifat-sifat “kerinduan pada Tuhan” yang amat dalam, dan menjadi
penentang dan bernayal-nyala dihadapan sisi dirinya “yang tak bisa diperkuda”,
dan keduanya saling membinasakan, tanpa dijelaskan apa akhir dari saling
membinasakan ini, hanya diberikan petunjuk, ada yang membuat dirinya nista,
kotor, dan ada yang menjadi gila.
Gila,
bukan hanya berarti sakit syaraf atau jiwa. Ia juga berarti keadaan yang tidak
semestinya, tidak masuk diakal. Keadaan dimana sulit diterima oleh akal. Sulit
mengambil keputusan. Apa artinya? Dalam “binasa membinasa” ini, ia disudutkan,
perasaannya disudutkan dalam kondisi “gila”, sulit mengambil keputusan. Egonya,
membuat sulit menerima Tuhan yang sudah susah payah ia seru di masjid.
Ia
dijepit antara menerima kebaikan, yang menurutnya tidak semestinya, beradu
dengan diri yang tak bisa diperkuda.
3.
Nada, bunyi, dan rima
Dalam
bait awal puisi ini terdapat rima, yang diperjelas dengan
“kuseru
saja dia
Sehingga datang juga
Kamipun
bermuka-muka
Seterusnya ia bernyala-nyala dalam dada
segala daya
memadamkannya
bersimpah
peluh diri yang tak bisa diperkuda”
betapa
penuhnya dengan rima, yang tak hanya membicarakan rima di awal, tengah, dan
akhir, tetapi keseluruhan membentuk harmoni yang indah. “a” dilafalkan dengan
membuka penuh mulut dan lidah. Tanpa hambatan. Ini adalah bunyi paling mudah
dilafalkan. Secara psikologis mengesankan ia sedang mencari kata yang mudah
dilafalkan karena letihnya. Lelahnya. Kesan lelahnya.
Seluruh larik yang menggunakan rima /a/ diatas
masih bercerita tentang satu wacana yang padu, dari seruan hingga penyair yang
bersimbah dengan kebernyalaan Tuhan dalam dirinya.
“Ini
ruang
Gelanggang tempat kami berperang”
Rima bunyi /a/ yang dipadukan dengan nasal
/ng/ memberikan kesan terhambatnya suara. Jika pada bait pertama dipenuhi
kata-kata yang diakhiri dengan mulut terbuka, ini diakhiri dengan nafas yang
tertutup.
“binasa membinasa
Satu
menista lain gila”
Di
larik pertama, dijumpai rima sempurna kata binasa. Dan lagi-lagi menggunakan
bunyi /a/ sebagai akhir ujaran.
Secara
umum, berkaitan denga rima, intonasi yang ada mengesankan nada mengeluh, nada
memberikan masalah diri yang sesuai dengan penjabaran diksi, tak bisa menerima
kehadiran Tuhan. Gelisah. Terjebak dalam perenungan diri.
4.
Gaya bahasa
Gaya
bahasa dimaksudkan untuk membuat bahasa yang digunakan lebih punya arti dalam
simbolnya. Memasukkan arti yang lebih banyak dari seharusnya.
Pada
awal puisi, penyair sudah membuat kita membayangkan Tuhan sebagai persona yang
datang ketika diseru, dan membuat dekat dengan diri, kuseru saja dia/sehingga
datang juga/kamipun bermuka-muka, Tuhan yang datang, bergaya personifikasi yang
amat halus.
Seterusnya
ia bernyala-nyala dalam dada/segala
daya memadamkannya. Tuhan digambarkan
memiliki sifat mampu berkobar dan menyala, simbolik, untuk menggambarkan betapa
panasnya terasa, betapa menggelegaknya. Lagi-lagi, ia menggunakan simbol
memadamkan, sebagai upaya menghentikan pengaruh sisi diri baiknya untuk
menuntun sisi buruknya. Ia mengingkari pengaruh Tuhan dalam dirinya, karena
hinanya dihadapan Tuhan.
“bersimbah
peluh diri yang tak bisa diperkuda” agak hiperbol, penyair menggambarkan upaya
pemadaman ini sangat melelahkan dan menghabiskan keringatnya. Diperkuda juga
merupakan simbol, bahwa ia tak bisa diatur-atur.
Ini
ruang/gelanggang kami berperang, juga dengan agak hiperbol, ia menggambarkan
tempatnya berargumen “dalam dada”, sebagai gelanggang untuk berperang, karena
sengitnya perenungan yang terjadi. Binasa membinasa/satu menista lain gila,
memiliki makna mempersonakan Tuhan, sebagai “pihak yang ingin membinasakan
dirinya” dan “yang mampu menggilakan dirinya”.
Gaya
personifikasi, simbolik, dan hiperbola, memenuhi puisi ini namun dengan tidak
langsung menggunakan apa yang telah umum digunakan pada ujaran biasa, seperti
“Tuhan menyala-nyala bagai api” atau “bagai bertempur sehingga bersimbah peluh”
untuk memperhalus dan memperagung tuturan, juga untuk menghemat kata-kata.
tantangannya, bagaimana menggunakan kata dan gaya sehalus mungkin, tetapi tetap
sehemat mungkin menggunakannya. Dan penyair cukup berhasil menyesakkan makna
yang amat dalam pada sekitar 10 larik puisi.
Gaya
balada, yang digunakan penyair, dimaksudkan mempermudah penceritaan agar kita,
seperti melihat peristiwanya, dan dibiarkan memilih, “jika kita menjadi dia,
apa yang kita lakukan ketika ada dalam posisi yang sama?” inilah kekuatan utama
gaya bahasa puisi ini, amanat disampaikan tidak secara langsung, tetapi melalui
penggambaran peristiwa batin yang disimbolkan dengan peristiwa fisik pertemuan
dengan Tuhan.
5.
Tipografi
Tipografi,
adalah bentuk penulisan dan pelukisan fisik puisi. Tampak, digunakan bentuk 10
larik yang dikenal dengan stanza. Bentuk ini datang dari eropa, dan digunakan
seperti pembatasan puisi lama disana. Mirip seperti pantun, seloka, dan
gurindam di melayu.
10
larik, dinggap telah cukup untuk menarikan kata-kata agar mencapai wacana utuh
dan berterima. Ia juga dianggap cukup bermakna, tidak lebih tidak kurang.
Rata
kiri yang digunakan, dan susunan kalimat biasa yang digunakan, membuat kesan
bahwa ini peristiwa yang betul lekat dalam keseharian kita. Betapa banyak kita
yang merasakan situasi yang sama, tetapi menjadi “gila” dalam mengambil
pilihan, dan disudutkan oleh diri sendiri?
Penjedaan
antar larik, membuat kesan ia menuturkan puisi ini terputus-putus, seperti
kelelahan, dan memang diksi dalam puisi ini mengesankan kelelahan dan tekanan
batin yang amat sangat. Dua larik, jeda. Satu larik, jeda. Banyak diantara
lariknya tidak lebih dari tiga kata, yang bisa diucapkan dalam satu nafas.
Ia
terlalu lelah untuk berkata, ia memilih bentuk yang dapat digunakan untuk
menyampaikan kelelahannya dan kegalauannya seringkas mungkin, tetapi disokong
diksi yang membuat maknanya tidak ringkas juga.
Jika
puisi ini disusun beruntun tanpa jeda larik, puisi ini terkesan pembicaraan
panjang. Tidak memberikan jeda untuk berpikir dan memaknai setiap peristiwa,
karena jeda juga memberikan waktu jeda ketika dibacakan.
Enjambemen,
yang timbul pada larik pertama dan kedua (seharusnya secara sintaksis bahasa
Indonesia berbunyi kuseru saja Dia sehingga datang juga), memberikan penguatan
bahwa ia menyeru, dan kemudian Dia datang. Penguatan timbul pada “sehingga
datang juga”, yang memiliki tambahan arti akhirnya, setelah diseru Tuhan
bersedia datang, setelah sekian lama tidak datang. Betul-betul kedatangan agung
Sang Tuhan.
Enjambemen
lain timbul pada “ini ruang gelanggang kami berperang”, dimaksudkan menekankan
pada kata gelanggang perang. Terjadi atau tercipta sebuah gelanggang, yang ada
dalam dadanya. Betul-betul sebuah gelanggang antara dia dengan Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar