Rabu, 05 April 2017

Menyelami Sejarah Nabi dalam Sebuah Novel: Apresiasi Untuk Sibel Eraslan

Di tangan saya, novel karya pengarang Turki, Sibel Eraslan ini sudah menghabiskan waktu empat jam bersama saya. Sesuai janji saya, ada harga yang harus ditebus untuk membacanya. Sebuah catatan pembacaan. Catatan kecil saja. buat yang meminjamkan buku ini dengan sepenuh hati.

Jangan anggap ini sebuah kritik ilmiah, kritik post modern, atau sebuah tafsir atas kisah nabi. Ini murni adalah sebuah interpretasi dan cara saya menghargai pekerjaan tangan Sibel Eraslan, dan membacanya dengan sepenuh hati.

Buku ini adalah bagian dari serial 4 wanita penghuni surga sebagaimana yang digambarkan dalam sebuah hadits sahih. Maryam, Asiyah, Khadijah, dan Fathimah. Diterjemahkan dengan baik dari bahasa Turki pada 2013, publik Indonesia menyambut dengan baik kehadiran  novel ini.

Khadijah. Ibunda Kaum Muslimin. Ia menempati tempat khusus dalam hati Nabi kita. Darinya, Nabi mendapatkan keturunan dan hingga kini masih lestari nasabnya. Akan tetapi, sebagaimana diakui para sejarawan, literatur maupun tradisi lisan pada masa sebelum hijrah atau kenabian Rasulullah di Makkah, terbilang langka. Kelangkaan ini disebabkan berbagai hal.

Akan tetapi, bukan berarti hal ini tidak mungkin dicari. Upaya-upaya untuk menebak dan mengisi ruang kosong dalam sejarah Nabi inilah yang kemudian merangsang banyak penulis orientalis maupun muslim untuk merekaulang kisah Nabi.

Saya kira, di ruang kosong inilah Sibel Eraslan maupun pengarang lainnya bermain. Menjadi novelis memang seperti detektif. Ketika ada suatu kejadian, misalnya Nabi menikahi Khadijah, maka imajinasi kita berjalan. Siapakah penghulunya? Bagaimana suasana pestanya? Bagaimana sambutan orang-orang Makkah di sana?

Khusus mengenai Ibunda Khadijah, literatur tentang beliau cukup terbatas kecuali yang dituturkan oleh Nabi sendiri dan beberapa orang. Sirah Ibnu Hisyam cukup lengkap mengulas tentang sosok beliau, akan tetapi dirasa masih kurang sebagai data sejarah.

Persoalan mengangkat kisah Rasulullah menjadi sebuah karya fiksi, atau kemudian para sahabat dan sahabiyahnya, merupakan persoalan yang tidak gampang. Salah interpretasi akan berakibat serius pada hal-hal fikih atau motif jihad. Apalagi, jika kita terpancing menulis sesuatu yang tidak jelas kejadiannya terkait dengan diri Rasulullah.

Husain Haikal pernah mendapatkan ulasan cukup keras dari Dr. Akram Dhiya’ Al-Umari. Karyanya, Hayatu Muhammad, dianggap terlalu berusaha menarik garis tengah antara ulasan cendekiawan non muslim terhadap kisah-kisah Rasulullah dengan penjelasan para ulama, utamanya dalam kisah-kisah pernikahan maupun peperangan Rasulullah. Di sinilah, kehati-hatian menjadi penting.

Tapi, lupakan tulisan saya di atas. Saya rasa terlalu panjang jika kita membahas itu sekarang. Terus bagaimana dengan novel Khadijah ini? lagi-lagi, mungkin Khadijah sendiri tak pernah membayangkan dirinya akan menjadi tokoh sebuah novel.

Ketika sosok Sahabiyah dijadikan tokoh sebuah novel, miss interpretation akan sangat mungkin terjadi. Terutama, hal-hal apa yang mendasari motif tindakan beliau, atau mekanisme pertahanan ego yang bagaimana yang terjadi dalam benak beliau sehingga mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang ditulis dalam novel ini.

Nah, interpretasi atas tindakan Khadijah dalam novel ini menarik, dan dari titik inilah kita akan membahasnya. Ya ampun. Sebetulnya saya hendak menulis paragraf di atas tetapi butuh sekian paragraf untuk mencapainya.
*


Tanpa mengecilkan peran Makkah, sebelum membahas tokoh Khadijah dan Rasulullah, saya hendak mengupas apa yang ditulis Sibel  pada halaman 5.

“Mekah, yang pada waktu itu merupakan pusat (esperantos) baik bagi agama Yahudi, Nasrani, penyembah api, pagan, maupun hanafi, seolah merupakan batu  akik di tengah-tengah cincin jalur perdagangan India, Eropa, dan Laut Mediterania...”

Dan sambungan pada halaman 7, “...Namun yang terjadi sepanjang sejarah, Yaman dan Mekah adalah dua negara yang selalu bersaing."

Lalu ungkapan pada halaman yang sama, “Musim panas sudah datang, kapan kita akan mengunjungi rumah peristirahatan yang ada di Yaman?”

Di halaman-halaman awal, dengan mudah kita temukan anakroni. Makkah, memang dijuluki Ibu Segala Kota. Akan tetapi ia tetaplah sebuah kota kecil. Pusat kaum Yahudi dan Nasrani bukan di Makkah, tetapi di Syam. Nasrani Arab berkumpul di Yaman atau Najran di Utara, sedangkan Yahudi Arab yang terdiri dari Banu Nadhir, Quraidhah, Ghatafan, Qainuqa’, dan lain-lain menetap di Yastrib dan Thaif.

Itu sebabnya, dalam kegiatan dakwah periode Makiyah, kita tidak menjumpai interaksi dengan kaum Yahudi ataupun Nasrani dengan intens sebagaimana yang ditemui di Madinah. Justru, itu pula sebabnya kaum Quraiys tidak akrab dengan nabi baru atau ciri-ciri yang menyertainya, berbeda dengan masyarakat Anshar di Makkah yang mendengar itu dari tetangganya, kaum Yahudi.

Makkah bukanlah suatu kota dengan pemerintahan, yang kemudian punya motif tertentu untuk bersaing dengan kekuatan besar di sekitarnya. Sebagai kota dagang, justru kepentingan para saudagar di Makkah adalah membuat kota ini aman dan bersahabat untuk semua kubu. Jelas, kala itu, sebagaimana diabadikan dalam Surat Rum ayat pertama hingga kedua, persaingan Kerajaan Romawi dengan Persia begitu kuat dan Makkah bukanlah sesuatu yang bisa disebut.

Penggambaran Makkah yang kurang hati-hati dari Sibel, mungkin bisa dibandingkan dengan bab-bab awal yang dituliskan Ibnu Hisyam dalam sirohnya, yang cukup menggambarkan struktur sosial serta puisi-puisi yang menjelaskan keadaan Makkah pada waktu itu.

Justru dalam surat Al-Quraiys, dikatakan Allah “mengamankan mereka dari rasa takut.” Ini dimaksudkan, posisi Makkah yang tidak bersaing dengan kota manapun. Justru Yamanpun tidak berpikir menguasai Makkah, karena itu akan menghambat dan memutus mata rantai perdagangan antar negara.

Sebab, Makkah justru hidup dari kebebasannya untuk melintasi wilayah Persia maupun Romawi yang sedang bertikai sebagai agen dari komoditas daerah-daerah yang dilintasinya itu. tak heran, leluhur Rasulullah, para putera Qushay dikisahkan oleh Ibnu Ishaq, memiliki perjanjian langsung dengan Kisra, Kaisar Romawi, Najasyi Habasyah, dan penguasa Yaman sekaligus, padahal daerah itu sedang bertikai.

Dalam surat Al-Quraisy pula kita akan menjumpai istilah Ilaf dan Rihlah. Dr. Akram Dhiya’ Al-Umari dalam Shahih Sirah Nabawiyah menjelaskan, bahwa rihlah atau perjalanan dagang Quraisy ini, jika musim panas datang mereka akan berangkat ke utara, bukan ke selatan. Sebab, utara lebih sejuk. Mereka akan ke selatan jika musim dingin tiba, dan menikmati udara selatan yang lebih hangat.

Mungkin saja keluarga Khadijah dalam cerita ini memiliki rumah peristirahatan di Yaman. Akan tetapi, musim panas bukanlah motif yang tepat untuk menginterpretasikan keinginan mereka pergi ke Yaman. Anakroni mengenai Makkah ini saya rasa sudah kelewat jauh dari gambaran seharusnya.

Secara khusus, kita akan menjumpai gambaran yang lebih aneh lagi mengenai Makkah dan penghuninya. Digambarkan pada halaman-halaman selanjutnya bahwa rumah Khadijah adalah sebuah bangunan dengan pagar dan balkon, dan disinari banyak lampu pada malam hari.

Ini cukup aneh. Sebab tidak seperti gambaran di negara lain, rumah di Makkah pada zaman Rasul tidak memiliki pagar, atau tidak umum berpagar. Apalagi, dalam gambaran ini, seolah-olah Makkah adalah tempat penuh pohon dan taman di mana-mana. Padahal, Makkah sendiri adalah daerah kering dan tidak memiliki kesuburan untuk bisa ditumbuhi tanaman tertentu.

Nanti, pada halaman lain kita akan jumpai keanehan-keanehan yang berlanjut. Misalnya, digambarkan bahwa disajikan “anggur yang baru dipetik” di hadapan Khadijah. Pertanyaannya, di Makkah, adakah kebun anggur? Jika ada, kenapa tidak ada profesi petani dan pekebun di Makkah?

Gambaran yang aneh tentang Makkah ini sebetulnya mungkin hadir untuk melengkapi (memperindah) gubahan-gubahan puitik dalam paragraf novel ini. akan tetapi, demikianlah karya sastra. Ia butuh rasa puitika tetapi juga bergerak dalam batas keanggunan sebuah kenyataan.
*

Setelah sedikit mengulas mengenai gambaran kota Makkah, kita akan mengulas mengenai diri pribadi Khadijah. Mengenai betapa lemahnya Khadijah digambarkan dalam novel ini, saya jadi membayangkan beliau radhiallahu ‘anh adalah sosok akhwat masa kini yang galaunya setengah mati sampai keujung dunia ketiban bulan dan tenggelam di lautan api.

Misalnya, adegan yang cukup mengganggu didapati pada halaman 114. “Pernahkah dirinya menuliskan dalam buku hariannya beberapa hal untuk ia yakinkan sendiri di dalam jiwanya, seperti:...” mana ada buku harian di zaman itu? Makkah, adalah tempat yang nirbaca dan nir aksara. Dan, tentu jelas bahwa kala itu—silakan cari dalam literatur sirah yang ada—kertas bukanlah barang umum di Makkah.

Pada halaman-halaman selanjutnya, asesoris untuk mempersedih diri Khadijah dipenuhi anakroni yang melintasi ruang dan waktu terlalu parah. “Seolah malaikat penjaga hari kiamat telah meniup sangkakalanya...” mereka yang mempelajari ilmu tafsir sekaligus sirah akan memahami, konsep kiamat, dan kemudian penjelasannya sebagai hari kehancuran total dan kebangkitan, tidaklah dikenal dalam lingkungan Makkah Jahiliyah.

Bahkan istilah Shuur sebagai terompet tanduk yang ditiup Israfil bagi kiamat tiba, adalah istilah yang asing sehingga banyak muslim yang bertanya pada Rasulullah. Sekarang, bahkan Khadijah sudah mempertanyakannya sebelum Muhammad diutus menjadi Nabi!

“Keadaan seperti inilah yang menjadikan sekujur tubuhnya menggigil bagai terjangkit malaria....” ini lebih parah. Sebab, bahkan penyakit khas tropis dibayangkan oleh benak Khadijah. Perumpamaan semacam ini tidak akan muncul, jika benak Khadijah turut direkonstruksi dan dekonstruksi secara normal dan dewasa.

Gagal rekonstruksi. Sebut saja begitu. Hal ini kemudian ditambah lagi dalam paragraf puitik yang bagi saya terlalu berbuih-buih, dalam halaman 124. “Bagi Khadijah, kini setiap benda telah menuliskan huruf Mim. Setiap benih bunga mawar yang ia tanam di taman, setiap anak biri-biri yang lahir di peternakannya, burung-burung yang sering hinggap di pekarangannya, ikan-ikan yang ada di kolam taman rumahnya, di sisirnya yang terbuat dari gading, di cincinnya yang terbuat dari permata, di penanya....”

Paragraf di atas menampilkan kecelakaan rekonstruksi benak tokoh, yang bahkan lahir di jazirah Arab yang panas. Gambaran semacam di atas, kemungkinannya sangat kecil untuk dibayangkan di benak seorang puteri Quraisy yang biasa menghadapi gunung pasir dan kekeringan. Bahkan, dari mana gambaran kolam taman rumahnya, atau benih bunga mawar itu hadir? Makkah adalah sebuah kota kering yang bersih dari pohonan.

Rekonstruksi benak dan peristiwa mengenai diri Khadijah lebih jauh lagi kerancuannya dalam bab Hikayat Sebuah Kendi, pada halaman 180 hingga akhir bab. Khadijah digambarkan sebagai perempuan yang begitu larut dalam kerinduannya. Bertentangan dengan kedewasaan yang telah ia pertunjukkan selama ini.

Meski niat pengarang mungkin untuk membuat dekonstruksi, tetapi caranya menggambarkan rindu terlalu kekinian, saya rasa. Apalagi, puisi yang—digambarkan—digubah Khadijah dalam benaknya, pada halaman 184 hingga 186 untuk menggambarkan kerinduan, tidak match dikatakan sebagai puisi rindu seorang perempuan dewasa padang pasir. Kita bicara mengenai kota di tengah lintasan pasir, yang tidak mengenal bunga tulip, buku, bunga serunai, kijang, bunga teratai, bulan April, dan lain-lain.

Tanpa puisi inipun, gambaran Khadijah yang hujan-hujanan di balkon rumahnya sudah sangat aneh dan agak sulit dibayangkan.  Meski begitu, caranya menempatkan puisi mengingatkan saya pada buku-buku karangan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.

Rekonstruksi suatu tokoh sejarah menjadi tokoh fiksi novel, terutama tokoh yang berpengaruh bagi  sebuah agama, bagi saya musti ditempatkan secara adil. Selain rekonstruksi fisik dan rekonstruksi lingkungan, jelas rekonstruksi benak pikir begitu penting diperhatikan. Sebab, inilah yang kelak menjadi motif tindakan si tokoh untuk berbuat dan berbicara. Apa yang dia ingat? Kenapa dia mengingat itu? bagaimana dia mendapatkan ingatan itu?

Penggambaran ini kiranya juga mengancam pribadi Khadijah sebagai tokoh utama dalam novel ini. sebab, Sibel membuktikan bahwa wanita jauh di bawah laki-laki. Ketika wanita diterjang rindu, bahkan mereka melakukan hal-hal aneh dan mungkin terkesan hiperbol.
*

Yang lebih asik dibahas sebetulnya mengenai fakta—tepatnya perkiraan sejarah—mengenai usia Khadijah terhadap Tahun Gajah. Sibel dengan berani menembak angka 15 tahun bagi Khadijah ketika peristiwa ini terjadi. Tentu dengan—harapan saya—pertimbangan dan perhitungan yang matang.

Al-Bidayah wan Nihayah Ibnu Katsir menyebutkan perbedaan yang banyak mengenai kapankah tahun lahir Nabi Muhammad terhadap Tahun Gajah.  Yang jelas, tidak satupun mengarah pada tepat tahun gajah. Apa sebabnya?

Sebelum masa Hijrah yang menjadi pangkal penanggalan islam dan Arab oleh Umar bin Khattab, bangsa Arab Quraisy tidak mengenal tahun. Ini juga yang menjadi kesulitan dalam menetapkan usia berbagai tokoh, termasuk, usia Khadijah sendiri. Mungkin, Sibel berasumsi begini: usia Nabi ketika menikah dengan Khadijah, adalah 25. Usia Khadijah yang masyhur, adalah 40. Maka, ada selisih 15 tahun. Artinya, ketika Tahun Gajah, usia beliau 15 tahun. Praktis bukan?

Tunggu dulu. Para sejarawan tidak sepakat mengenai ketepatan Tahun Gajah terhadap kelahiran Rasul disebabkan tidak akuratnya penanggalan sebelum hijrah. Di tambah lagi, ada perbedaan mengenai usia Khadijah ketika menikah dengan Nabi, yaitu 40, atau 28 dan dua pendapat ini sama kuatnya. Ingat, pendapat yang masyhur atau terkenal belum tentu pendapat yang benar.

Dan spekulasi usia Khadijah adalah 15 tahun saat terjadinya Tahun Gajah, apalagi menempatkan Khadijah sebagai saksi dari peristiwa itu, adalah keberanian yang beresiko. Dalam hal ini, kita tidak bisa berlindung di balik tabir interpretasi sebuah novel yang bisa saja fiksi. Sebab, sampai hari ini tidak ada kepastian kapankah tahun gajah itu terjadi dalam penanggalan hijri maupun Masehi.

Akan tetapi, interpretasi cukup menarik ditemukan pada gambaran bab Kabar Gembira, tepatnya di halaman 170. Pada Makkah Jahiliyah, memiliki anak laki-laki adalah kebanggaan tak terkira bagi sebuah keluarga. Apalagi, jika kemudian nama sang ayah bergelar menjadi “Abal Qasim.” 

Gambaran Sibel cukup menarik, sebab Nabi Muhammad—sebelum menjadi Rasul—mendapatkan kebanggaan dengan kelahiran Qasim, putera pertamanya.

Akan tetapi, kisah ini rupanya tak dibiarkan bertahan lama menjadi keunggulan novel Sibel. Kisah diangkatnya Zaid bin Haritsah ternyata tidak digarap dengan manis. Ia terburu-buru menggambarkan Nabi Muhammad begitu saja mengangkat Zaid sebagai anak kandung dan mengumumkannya di Ka’bah.

Padahal kita tahu, di balik itu ada sebuah kisah panjang, ketika  Zaid, kala itu masih menjadi seorang budak, dicari oleh ayahnya yang ternyata tidak sengaja menemukannya sebagai budak di Makkah. Akan tetapi, karena kebaikan Nabi, Zaid menolak pulang. Dengan peristiwa ini, maka Zaid diangkat sebagai anak dan dikenal sebagai Zaid bin Muhammad.

Dan kemudian memang, sayang sekali kisah keibuan Khadijah terhadap Zaid, Ali, maupun anak-anak kandungnya kurang digarap. Justru Sibel fokus berpepatah petitih dengan kisah cinta yang haru-biru antara Khadijah dengan diri Muhammad muda. Sayangnya Sibel malah tidak bisa mengendalikan sisi puitikanya sehingga Khadijah tampak semakin lemah, dan semakin lemah untuk ukuran perempuan yang bisa menenangkan Rasulullah ketika menerima tugas dakwah.

Dan justru, keunikann penggambaran—sekaligus anakroni paling mengesankan—ada pada bab Yang Datang dan Tak Pergi. Pada halaman 239, dituliskan bahwa seolah rumah Khadijah dan Muhammad adalah sebuah madrasah. “Ketika kehilangan ayahnya di umur yang masih muda, dia dibesarkan oleh Khadijah dan Al-Amin. Zubair pun bersama dengan anak-anak lainnya didaftarkan di madrasah milik Khadijah.”

Saya tidak mengetahui apakah ini salah terjemah, ataupun memang dibuat seolah-olah kita percaya bahwa di rumah Khadijah ada sebuah madrasah, atau minimal kegiatannya seperti yang bisa dibayangkan hari ini: beberapa anak kecil diajar mengaji atau calistung di rumah, setiap habis maghrib.

Sebab, konsekuensinya serius. Berarti, tak hanya di rumah Khadijah, maka di rumah-rumah lain ada sekolah serupa. Meskipun gambaran ini nampaknya berlebihan, ini akan membuat kerancuan dalam rekonstruksi masyarakat pada masa muda Nabi Muhammad. Gambaran mengenai sekolah ini muncul lagi pada halaman 242.

Saya sendiri memang tertarik pada suasana rumah Nabi Muhammad di Makkah. Bagaimana kemudian Zaid, Ali, Fathimah, Ummu Kultsum, Ruqayyah, dan Zainab dibesarkan bersama dan diajari bermacam hal hingga menjadi pribadi yang luar biasa.

Perselisihan gambaran Sibel dengan sejarah muncul lagi terkait dekonstruksinya mengenai kisah tahannuts di Gua Hira. Dari teks sejarah yang ada, kita tahu bahwa Uzlah dan Tahannuts untuk beribadah adalah sisa peninggalan Nabi Ibrahim yang masih ada di Makkah pada zaman jahiliyah. Akan tetapi upaya merekonstruksi kisah pertemuan Muhammad dan Khadijah dengan pelaku tahannuts lain, dan bagaimana interaksi mereka, merupakan gambaran yang juga menarik, sekaligus berbahaya jika tidak dipikirkan masak-masak.

Utamanya, kisah uzlah ini merupakan kisah yang tidak umum di tengah masyarakat. Memang sebagian orang Makkah punya tradisi uzlah akan tetapi mengenai interaksi Khadijah dengan pelaku uzlah lain, tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Kita tetap harus memberikan penilaian adil. Saya menikmati—dan terutama terhanyut—pada kisah bagaimana dramatisnya perubahan rumah tangga Rasulullah pasca menerima kenabian. Jelas, pada usia 40, dengan anak yang sudah dewasa, istri yang sempurna, tanggungjawab sebagai Nabi menuntut revolusi. Anak-anak Nabi Muhammad yang tadinya adalah kembang, mesti dihinakan oleh orang musyrik. Khadijah yang tidak pernah membayangkan cobaan sedemikian kuat datang, mesti bersabar menghadapinya.

Muhammad; yang tadinya seorang yang sangat mulia di Makkah, menjadi orang paling diburu dan diinginkan kematiannya. Sisi ini, sangat baik digambarkan oleh Sibel. Betapa Khadijah dan anak-anak perempuan beliau menghadapi ini semua dengan tabah. Betapa keluarga Muhammad, adalah keluarga yang luar biasa.
*

Saya kira orang akan bilang, “Berlebihan. Nikmati saja novel ini sebagai novel.” Bagi saya, inilah cara yang asyik menikmati novel mengenai orang yang paling kita cintai, sosok Nabi Muhammad. Ketika menulis mengenai sesuatu atau seorang  tokoh yang ada referensnya dalam segitiga makna Saussure di dunia nyata, bersiaplah berhadapan dengan logika dan fakta sejarah.

Sebagai sebuah dekonstruksi, Sibel telah berani menggambarkan yang tersembunyi dari teks-teks mengenai Khadijah dan masa-masa periode Makkah. Akan tetapi, sisi hiperbol sebuah karya, menjebaknya menggambar kisah itu keluar batas logika hingga anakroni menumpuk di dalamnya.

Harus sebagai apa kita menghadapi karya Sibel ini? sebagai novel yang punya elastisitas terhadap penulisan sejarah, atau sebagai teks interpretasi terhadap siroh Nabawiyah yang kaku dan amat ilmiah?

Sebab lagi-lagi ini kembali pada kebenaran kisah dan kemudian aspek fikih setelahnya, yang muncul akibat luhurnya posisi kisah Nabi terhadap agama ini. Sebagaimana diulas oleh Muhammad Rasyid Ridha dalam Wahyul Muhammady, para orientalis barat yang mengadakan penelitian terhadap siroh nabawiyah tenggelam pada interpretasi yang anakroni, seperti menggunakan standar masa kini untuk masa kerasulan Nabi Muhammad, ataupun mengadakan kebohongan bagi menafsirkan hukum islam, dengan tujuan melemahkan kita.

Ini kembali pada etika, baik penulis maupun pembaca, untuk menggambarkan diri pribadi Rasulullah dan sahabat-sahabatnya. Kiranya, etika semacam ini juga absurd. Kita hanya bisa mengira-ngira motif dan jalan pikiran tokoh-tokoh sejarah tanpa suatu pembenaran yang pasti. Kita saksikan bagaimana Husain Haikal mengabadikan perdebatan mengenai kisah Gharaniq yang menyertai turunnya surat An-Najm, atau seputar baiat Khilafah Abu Bakr As-Shiddiq. Bagi pembaca Sibel, berhati-hatilah, sekaligus nikmatilah novel ini.

Sepertinya di awal saya bicara soal mekanisme pertahanan ego, yang sampai detik ini belum terbahas. Tapi biar saja. ini bukan skripsi. Ini sebuah apresiasi. Mengenai pertahanan ego, saya rasa penggambaran Khadijah memang kurang konsisten dan sisi perempuan yang dimiliki Khadijah, sangat meledak-ledak. Sangat mudah rindu, dan penggambaran patriarkis lain.

Sibel adalah pengarang Turki. Maka caranya menulis, dirasa lain dari karya Tasaro GK, dalam serial Muhammad 1-3, atau karya-karya serupa. Perumpamaan yang ada di dalamnya memang segar. Khadijah menjadi sudut pandang orang kedua pelaku utama yang menyaksikan secara close-up masa awal Kenabian. Menakjubkan sekali, pengalaman batin wanita ini.

Cara Sibel bercerita memang akhwat banget, tapi saya rasa aspek sejarah bagi mereka yang berekspektasi lebih, harus diperhatikan. Dalam novel setebal 388 halaman ini, sesungguhnya kita bisa menulis ringkasan ceritanya hanya dalam 15 halaman. Sisanya adalah luapan hiperbolik yang kurang perlu, atau justru, itulah isi novel ini. apa salahnya, bukan.

Kehadiran sosok Berenis, Dujayah, dan lain-lain merupakan keberanian, dan keindahan tersendiri dari Sibel, yang meskipun terkesan lepas dari cerita utama, namun memperkaya khazanah novel ini. penokohan mereka kurang tergarap, memang, karena bayang-bayang penggambaran ego dan id Khadijah dalam novel ini—mungkin—menghantui dan membebani Sibel.

Untuk ukuran sosok sekaliber Nabi Muhammad, teks sejarah yang ada terbilang kurang bisa dinikmati kalangan luas. Sejauh ini, selain upaya dari Husain Haikal dalam Hayatu Muhammad dan KH. Moenawar Chalil dengan Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, belum ada upaya penulisan sejarah. Yang ada, penulisan bahan sejarah yang belum dirangkai sebagai bacaan yang mengasyikkan.

Maka, upaya Sibel ini, termasuk juga Tasaro GK, patut diapresiasi. Di tengah bacaan tentang siroh yang cenderung berat dan parsial, hadir novel ini. Kita mungkin hanya kaget dengan keberanian Sibel menginterpretasi kepribadian Khadijah dari berbagai sisi, namun di sinilah justru terbuka peluang bahwa: ternyata sejarah Nabi kita sendiri mungkin belum banyak dibaca. Belum banyak didekonstruksi sebagai kisah yang luarbiasa. Kita masih menghadapinya sebagai bacaan berat yang tak layak didiskusikan di ruang santai.

Ratusan kitab siroh sudah ditulis para ulama, dari yang tidak kronologis sampai yang berupa kitab fikih. Tapi, belum banyak yang ditulis sebagai sebuah saga, atau sebuah catatan penuh hikmah, agar bahasa-bahasa itu sampai ke lubuk hati umat islam dengan lebih kuat. agar anak-anak mencintai nabinya. Agar para ayah dan suami menirunya, tak hanya di dalam masjid.

Bagaimana jika, dituliskan Nabi sebagai seorang suami, Nabi sebagai seorang yatim, dan seterusnya: kemudian novel ini, Khadijah sebagai sosok istri dari laki-laki luar biasa, apa yang ia rasakan, begitulah interpretasi bermain di ruang sastra.

Lagipula, ini soal selera saja. shalawat, mari kita panjatkan untuk Nabi Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya, shallu ‘alaih!



Daftar Bacaan:
Sibel Eraslan, Khadijah, Kaysa Media, Depok, 2014
Al-Bidayah wan Nihayah Ibnu Katsir
Sirah Ibnu Hisyam (The Life of Muhammad), terj. Alfred Guillaume, Oxford University Press, Karachi, 1998.
Silsilah Hadits Sahih, Nashiruddin Al-Albany, Jilid 1-3
Sejarah Hidup Muhammad, Muhammad Husain Haikal
Shahih Sirah Nabawiyah, Dr. Akram Dhiya’ Al-Umari, 2010, Jakarta, Pustaka As-Sunnah