Sabtu, 04 Agustus 2012

Kita Harus Menyelamatkan Sebanyak Mungkin Manusia


Kita Harus Menyelamatkan Sebanyak Mungkin Manusia!
15. 00.                                               
“Kita harus menyelamatkan sebanyak mungkin manusia, yang muda terutama. Yang wanita harus yang cantik  demi menyelamatkan keturunan kita dari penyakit. Yang remaja, periksakan dan beri kartu lulus uji, standar bahwa dia lulus uji penyakit dan IQ. Apapun agamanya!”
“Berapa jam yang kita punya?!” tanyanya kembali sambil mengacak-acak dokumen. Mencari sesuatu.
“Menurut prediksi, hanya tinggal lima belas jam lagi!” sahut bawahannya.
Dia termenung kembali.
Negeri yang dia bangun selama ini, akan hancur seketika, ditelan bencana. Ombak mahadahsyat, yang akan muncul akibat letusan gunung raksasa di tepi lautan.
Para ahlinya, di Kementerian Kebumian Dan Kelautan telah meramalkan setengah hari lagi daratan kepulauan itu akan lenyap, ombak yang terjadi akan setinggi 150 meter, menyapu 100 km keatas daratan.
Hanya puncak Gunung Gede, dan pegunungan diatas tigaribu meter yang akan selamat. Siapa yang dapat menghindar dari hujan batu dan api? Selama satu bulan, sudah tiga meter abu menimbun segalanya. Bahkan istana negara sudah terbenam, hujan yang belum lama terjadi mengubah abu menjadi air bah hitam yang membawa pasir dan menewaskan ratusan orang.
Empat setengah tahun dia memimpin, tak akan pernah terbayangkan apa yang dibangun oleh kesepuluh pendahulunya akan hancur sia-sia. Monas sudah hampir rubuh, ia terhantam air bah. Gelora Bung Karno ambruk tak kuat menahan abu setinggi lima meter di tribunnya.
Getaran akibat letusan-letusan kecil telah meruntuhkan bagian terbesar kota, dan meretakkan jalan-jalan hingga tak dapat dilalui mobil, truk, dan ambulans.
Pasar tanah abang habis terjarah lalu dibakar, dan tinggal bertingkat dua saja. Sementara koleksi museum-museum dibawa ke negera eropa untuk diamankan. Tentu, dalam keadaan hancur.
PLN telah lama memutus aliran listrik, sebab pembangkit utama di seluruh pulau dan lautan bergaris 500 km sudah rusak dan tertimbun abu.
Di Jawa Tengah saja, semua sungai sudah hilang, terendapkan oleh lahar dan pasir panas, yang sekejap berganti lumpur hitam.
Banyak yang menangis, pengungsian untuk pejabat itu nampak dipenuhi bacaan-bacaan yaasin dan shalat taubat, sementara yang Kristen menggelar misa terakhir kali sebelum evakuasi.
15. 30.
Dengan tergesa, ajudan melaporkan bahwa lahar sudah keluar dalam skala kecil, dan membuat sekitar kawah gunung laut itu ditutupi awan dan uap air.
Ada yang sudah sampai daratan, dan menimbun habis pelabuhan Sunda Kelapa, Muara Angke, Tanjung Priok, dan pelabuhan kecil-kecil di Jawa Tengah.
18. 00.
“Mana kapal kita?”
“di pelabuhan selatan”
“berapa kapasitasnya?”
“lima ratus”
“mau kemana?”
“Pak Wakil bilang, ke utara, entah Rusia atau China, asal jangan Jepang.”
“Jepang?”
“ya, patah lempeng kita sampai sana”
“siapa nanti yang menemani kita selain pejabat atas departemen?”
“atasan Kepolisian, TNI, PGRI, pemilik-pemilik perusahaan BUMN, gubernur, dan sebagian walikota”
“Jakarta sudah hancur”
“berapa yang selamat?”
“lima ribuan katanya, tak ada mayat-semua-terbawa ke laut. Pak?
“ya?”
“boleh saya bertanya?”
“saya lelah, dan saya butuh teman bicara”
“pak, belakangan ini nada bicara bapak menjadi datar. Hilang. Ada yang bisa saya bantu pak?”
“kamu adalah ajudanku yang terbaik, Kolonel”
“terimakasih, pak”
“aku kehilangan semua keluargaku. Aku menahan-nahan emosi agar masyarakat tak ikut emosi. Bila aku menangis, masyarakat akan betul-betul menganggap ini bencana besar”
“ini memang besar, pak”
“kamu belum pernah melihat ketika aku menghancurkan kota dulu, waktu aku memimpin pertempuran di Iran”
“maksud Bapak?”
“mungkin ini menjadi penebus dosaku di waktu dulu”
“sudahlah, pak”
“aku salah, ya?” senyum sang Presiden mengembang, getir.
21. 00.
Pasukan Indonesia menghancurkan Teheran, ketika kota itu dikuasai Amerika. Lima tahun yang lalu. Jenderal Ibrahim, yang menjadi panglima perang, mengeluarkan senjata rahasia yang ditemukan berkat teknologi terbaru mahasiswa ITS, pelontar petir, yang mampu meledakkan sebuah tank sekali lecut. Senjata itu kecil, seperti AK-47 dan petir putih akan melecut seperti cemeti.
Ribuan orang tewas, sebagian karena ketika 500 pesawat AS datang, dihantam petir raksasa dari pesawat siluman Indonesia.
Gosong.
Akhirnya, Jenderal Ibrahim menjadi presiden pada pemilu, setahun kemudian. ia memiliki program pengembangan angkatan perang dan teknologi, disamping peningkatan pendidikan dengan meningkatkan jam tatap muka para guru.
Gaji naik.
Subsidi bensin besar-besaran dicabut.
Dialihkan kepada subsidi koran dan buku.
Internet menjangkau hingga kawah gunung Tambora.
Ia membangun proyek sejuta hektar kembali, yang telah lama mati karena Soeharto gagal menjalankan itu, enampuluh tahun yang lalu.
Karena kekuatan militer ini, ia berhasil menguasai PBB dengan segala intriknya. Indonesia menjadi pemimpin dunia.
Meski banyak bencana, empat tahun berjalan dengan aman. Kejahatan turun, karena polisi dibekali pelatihan cuci otak dan hipnotis.
“aku sedih juga, kolonel. Ini semua aku bangun dengan sulit. Berapa yang mesti kita keluarkan untuk membangun kembali makam-makam korban”
“kenapa bukan perumahan, pak?”
“siapa yang akan tinggal?”
Mereka berdua termenung.
23.30.
“Kolonel, kamu ingat, pertama kali dimana kamu bertemu dengan istrimu?”
“ya, tentu pak, kami bertemu ketika sebelum masuk dinas, di Ancol, dan kami bertukar nomor”
“sekarang Ancol hilang”
“iya, pak”
“rumahku, hancur. Anak saya yang bungsu yang menjadi taruna juga mati, kena ombak di Priok ketika evakuasi.”
“pak?”
“ya?”
“berapa yang mau bapak selamatkan?”
“menteri, sarjana, dokter, guru, orang kaya”
“maksud saya, yang bapak selamatkan karena bapak sayang mereka?”
01.  00
Gunung itu dengan keganasannya telah mengubah wajah Presiden-entah kenapa-mencintai makam rakyatnya.

apa itu kebosanan?


Yang kita inginkan, sesungguhnya sederhana, bukan? Untuk dapat saling menggenggam tangan dengan erat, hingga kehilangan adalah fatamorgana, dan pertemuan adalah keabadian dan kita bersemayam di dalamnya.
Dalam taman kita berjalan, angin menerbangkan dedunan hingga jatuh, dan menerpa riak-riak air, lalu mawar mekar tepat di hadapanku. Aku bersegera memetiknya, ketika aromanya tercium di pipimu. Setiap helainya merah, juga seperti pipimu, lembut dan memerah.
Jangan malu-malu, ini taman kita. Tenang saja, duri tidak lagi berbahaya. Racun tidak lagi berbahaya. Udara tak akan panas atau dingin, cukup saja sejuk bagi kita berdua. Jalan setapak juga cukup bagi kita berdua agar tetap menyentuhkan tangan. Agar aku memastikan tanganmu tetap hangat, agar aku memastikan tanganmu tetap menyerupai tanganku.
“Apakah nanti, dalam taman ini, kita temui rasa bosan?” Tanyamu dengan sederhana. Meriapkan keriuhan yang tersemnbunyi.
“Bosan adalah sudut pandang, Sayang.” Angin menyela ketika aku bicara.
Kamu tersenyum lirih, seperti angin yang segera meninggalkan kita. “Kebosanan adalah ketika aku kehilangan cara memperbarui waktu kita berdua.”
“Apa maksud kamu?”
“Kita setiap hari bertemu. Berdua, dan berjalan dalam taman ini.” Jawabku.
“Lalu?” Kamu mengejar jawabanku.
“Bosan, nanti akan datang menjadi yang keempat diantara kita dan Tuhan, ketika aku mulai memandang hari ini adalah sama seperti kemarin, dan demikian pula kamu. Kita kehabisan cara membuat sesuatu yang baru dalam taman kita setiap hari,”
  

Refleksi


Refleksi

Sepulang dari pertempuran besar itu, aku kembali ke rumah. Berapa bulan ini aku tak membersihkan barakku dari debu. Bau.

Ada beberapa orang disana, namun semuanya ikut pertempuran. Aku masih ingat, betapa hiruk pikuk pertempuran membunuh satu temanku yang tercinta.

Dia bertempur demi apa yang kami cintai, Tuhan, meski kami belum pernah sekalipun bertemu dengan Dia. Temanku itu sangat cinta pada Dia, maka mati dia demi apa yang dia cintai.

            "Mulai sekarang, kamu, kamu, kamu adalah prajurit yang disiapkan untuk menumpas Tuhan!" seru Panglima.
"Tuhan?!" gelak beberapa orang.
"Dia, yang dulu tak boleh disebut nama-Nya, tumpaslah karena Dia menyebabkan pembantaian-pembantaian atas nama Tuhan Selain Tuhan Kita Bersama!"
"Tapi, pimpinan! Tuhan yang Mana, sementara Mereka mengaku Sama!" kritik yang lain.
"Tuhan yang berdusta dalam kitabNya, Tuhan yang mampu memanusiakan dirinya, Tuhan yang Manusiawi!"
Gemuruh suara prajurit, "Manusiawi!!!"
"Tuhan yang memaksa kita semua berada dalam lingkaran pohon pengetahuan tanpa tahu apa itu pengetahuan! Tuhan yang pelit!"
"peliiit!!!"
"Tumpas, tumpaaaaas!!!"
Mereka menyerbu singgasana yang serupa dengan singgasana Tuhan Kita Bersama, dan di langit nampak barisan yang serupa malaikat berbaris menyongsong mereka membawa gada, yang serupa Gada Api Malaikat.
"Tuhan Kita Bersama! berkatilah Prajurit yang ingin menolong agamaMu!" seru Panglima
Sementara, penduduk kota bingung dengan Tuhan mereka, ternyata Tuhan mereka mengempis, pelan-pelan Tuhan-Tuhan itu berjatuhan seperti laron, tapi ada satu sayap tentara Tuhan Lain yang mampu menerobos barisan tengah kami, dan menyerbu habis-habisan.
Temanku termasuk pasukan yang dipukul mundur secara mendadak oleh pasukan sayap cadangan musuh itu, dan dia tewas terkena kelewang. Ia terlibat satu lawan satu dengan panglimanya.
“Kini, pedangku dan kelewangmu telah bersilangan, Saudara!”
“Aku bukan saudaramu!”
“Aku benci menumpahkan darahmu”
“kamu musuh Tuhanku!”
Maka, temanku itu, yang mampu mengeluarkan api dari pedangnya, menebas sang panglima sayap cadangan. Malang, kelewang panglima terburu dilempar dan menembus jantung temanku. Dada kiri.
Jantung dada kiri.
Sayap cadangan musuh hancur, namun sepertiga pasukan sayap tengah kami mati. Penduduk kota yang tersisa berseru sambil terus melawan membawa senjata seadanya. Keris, batu, golok, galah, bambu runcing, bahkan kayu balok biasa.
Mereka meneriakkan bahwa kami memusnahkan Tuhan mereka tanpa menawarkan Tuhan Alternatif.

"Mana Tuhan Kami!!"
“Kembalikaan, Hidupkaan!”
Itulah kenanganku tentang perang. Aku bimbang, peperangan ini memakan banyak nyawa, untuk Tuhan yang Maha Menghidupkan. Aku letih, aku mulai mempertanyakan Tuhanku sendiri.
Kemudian dzatku yang kemarin bicara, “hujan mengering, setelah sebelumnya membawa dosa-dosa kita semua bergerak tiada.”

“Tuhan menyertai kita, yang terluka sepulang dari pertempuran di tengah bulan-bulan yang terbelah dan terluka. Kamu diliputi bau darah, Dzatku sekarang. Kamu bau darah”

“Basuhlah dirimu! aroma darah dan perang mengaliri kita!”

Aku yang sekarang diam saja.

Aku lelah, peperangan ini banyak membunuh aku.

Dzatku yang tiga hari lalu menyeringai, “hai, tunggu dulu”

“Aku, bukankah yang membangkitkan kecoak-kecoak dan nyamuk menjadi pembunuh nomor satu adalah aku?”

“lalu Kecoak dan Nyamuk itu membunuh Tuhan yang diam dalam hati mereka tanpa ragu, hehehe, ha ha ha!”

“Aku munafik! Tuhan yang aku sembah tak lain tumpukan darah, daging, tulang, dan bulu!”

Aku yang sekarang bertambah diam saja. Dzatku yang tiga hari lalu itu memang memiliki nada bicara kasar, membentak dan sarkas. Aku-aku yang lain telah maklum.

Kami memang sangat lelah. Kami memang sangat lelah. Ya Tuhan, peperangan melawan Tuhan sungguh sangat melelahkan.

Dzatku, mulai dari setahun lalu, hingga yang tiga hari lalu, aku kumpulkan setiap detiknya. Aku-aku itu lalu kuangkat dan kuatur menjadi prajurit untuk melawan Tuhan.

Meski tak ada protes, namun entah kenapa kami tak puas dengan hasil pertempuran. Kami telah bunuh Tuhan, demi melestarikan Tuhan yang tunggal, tetapi apakah ada yang terlewat?

Mendadak, seperti tak tahan mendengar dialog kami semua yang kelelahan, Dzatku yang sejam lalu angkat suara,

“Perhatian, kita seperti dibangkitkan kembali, tak sadarkah Aku semua? Seharusnya aku sudah menjadi Aku yang sekarang, tetapi Aku Sekalian disini tak bisa menyatukan Aku yang Aku dengan Aku yang Aku sekarang!”

Dzatku yang sejam lalu ini memang memiliki tipe perenung, ia suka merenung. Ia sempat menolak ketika aku mencoba menyatukan pasukan. Ia memiliki gagasan, bahwa aku tidak pernah konsisten. Mustahil aku yang sekarang sama satu tujuan dengan aku yang setahun lalu, bahkan dengan aku yang sedetik lalu.

Aku sedih juga, menghadapi kebenaran perkataan aku yang sejam lalu. Ia benar. Aku tidak pernah konsisten. Aku yang setahun lalu, bahkan tidak memiliki Tuhan yang sama, namun kami kini ingin memerangi Tuhan yang berbeda dengan Tuhan kami.

Apakah nanti, selesai pertempuran, tidak akan terjadi perang saudara? Antara aku yang kini dengan aku yang setahun lalu, karena Tuhan kami berbeda?

Entahlah. Aku sendiri bimbang.

“he!"

“Itu darah siapa, bodoh!", aku yang dikenal orang menyela, aku yang sekarang diam saja.
“Itu darah belum kering!”

Ia pemarah, ia sangat marah ketika aku memutuskan melanjutkan pertempuran manakala ada yang mati dan itu dalam jumlah besar. Ia menuntut penundaan untuk menguburkan, tetapi aku yang itu beranggapan, pertempuran ini diselesaikan dulu.

Temanku, aku yang dulu, yang kini  mayat yang tinggal tulang bangkit dan menyela juga pembicaraan Aku semua dari dalam peti matinya, yang masih kuletakkan di ruang tamu, menunggu saat-saat penguburan.


“Kau lupa? kau bunuh aku, maka kamu semua kehilangan diri
kamu semua merasa mati”

“Kau lupa? aku lah la ilaaha illa Allah mu”
“Akulah astahfirullah mu”
“Aku inna lillaahi wa inna lillahmu”
“Aku inna lillahi wa inna lillahmu”

Kami semua terperangah, apa yang ia katakan? Ia sudah mati! Berani sekali mencampuri pembicaraan kami yang hidup!

“Aku seruan kematian, yang datang membangkitkan kamu semua
aku inna lillaahi wa inna lillah mu, inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun! inna lillaahi wa inna ilaihi raaji'uun!”

“Aku inna lillahi wa inna lillahmu!”

“laa ilaaha illa Llaah
laa ilaaha illa Llaah
laa ilaaha illa Llaah
laa ilaaa haa illa Llaah”


“inna lillahi wa innilaihi raaji'unn!
nna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun!
inna lillaahi wa inna ilaihi raaji'uun!
aku inna lillahi wa inna lillahmu!”]

***
            Kami semua masih terperangah dan termenung. Masih mengenang pertempuran melawan Tuhan.

Riset: Kepulauan Seribu dalam Folklore


Ombak-ombak berkejaran di sela akar-akar bakau yang tumbuh memanjang. Kepiting dan ikan kecil berenang dengan mesra. Musim angin selatan sesaat lagi tiba, ombak lebih besar dari biasanya. Bakau yang baru berukuran 50 cm itu nampak rapi,  dan siap menerima terjangan musim angin selatan.
Ratusan tahun lalu, di tengah lautan yang sama, sebuah kapal terombang-ambing dan awaknya berjatuhan kelaut satu demi satu. Kapal itu semakin goyah dan terjadi kebocoran dimana-mana. Pemilik kapal, yang merupakan orang Mandar, berseru untuk mengencangkan tiang  dan tali layar.
Apa daya, sebuah ombak besar keburu menghantam sisi kapal, dan kapal itu hancur. Awaknya bergelimpangan di tengah lautan, bersembulan dan kehilangan nyawa. Hari menjelang pagi, hanya satu orang  yang selamat, dan itu hanya si pemilik kapal.
Bertahun-tahun ia mengapung di tengah lautan luas tanpa mengalami kematian. Kaki dan tangannya telah ditumbuhi teritip dan ganggang. Kulitnya sudah rusak. Akhirnya terdamparlah ia di sebuah pulau, dan ia telentang diatas pesisirnya. Nafasnya tinggal satu-satu, kesaktiannya hilang begitu menyentuh pasir.
Penduduk pulau yang ada di sana kebingungan, sebab ada orang yang kulitnya sudah rusak dan ditumbuhi teritip namun masih hidup. Ketika ia ditolong, ia nampak sudah mendekati ajalnya. Ia berkata, “Aku sesaat lagi mati. Bila kamu ingin mandikan dan kuburkan aku, jangan kamu bersihkan kulitku”.
Ia akhirnya mati, dan sebelum mati ia meninggalkan sebuah amanat, “bila kamu ingin kuburkan aku, maka kapalku galangkanlah dulu”. Penduduk pulau tidak bertanya, sebab mereka yakin, si Mandar ini bukan orang biasa. Setelah kapalnya yang karam digalangkan, maka diadakan upacara penguburan. Ketika upacara ini, mengalirlah darah berwarna putih dari sela kulit Mandar. Oleh sebab itu, ia dipanggil dengan Darah Putih.
Ketika upacara penguburan diadakan, terjadi sesuatu di tengah lautan. Ombak bergulung-gulung dengan besarnya, sementara angin menghembus dahan-dahan kelapa menjadi terhuyung. Petir menggelegar. Para penduduk pulau panik, pemakaman baru saja dilaksanakan, belum lagi ada yang sampai ke rumahnya.
Dengan panik, para penduduk berkumpul kembali di dekat makam Darah Putih dan membuat sebuah mantra, “Hai Makam Darah Putih! Tolong lautan ini kau teduhkanlah!” Tak berapa lama, lautan menjadi teduh, angin berhenti, dan suasana kembali tenang. Makam itu kini bisa dilihat di Pulau Karya, sebelah Pulau Panggang.
Penduduk mulai ramai. Mulai banyak anak-anak dan penduduk Mandar, bugis, banten, dan jawa banyak yang menetap disana. Banyak juga yang wafat, dan dikuburkan. Perumahan mulai padat, dan pulau semakin menyempit karena padat. Banyak juga reklamasi untuk membangun rumah baru.
Hari beranjak malam, semua sudah mematikan pelita. Angin berhembus tenang, membawa suara-suara dari tengah lautan. Udara dingin, membuat semuanya menarik selimut lebih erat. Tak berapa lama, telinga dikejutkan dengan suara langkah kaki kuda. Menapak-napak penjuru pulau. Di pulau itu tidak pernah dijumpai kuda sebelumnya.
Seorang mengintip, alangkah terkejutnya ia melihat sesosok penunggang kuda putih. Lentera dibawanya disisi kiri, sementara sisi kanannya memegang tali kekang yang juga putih terang warnanya. Ia mengenakan surban, yang tampak bersinar di kegelapan malam. Kainnya menjulur seperti panji, sementara ia mengenakan jubah putih.
Janggutnya lebat, tetapi tak ada yang dapat melihat mukanya. Seorang yang mengintip itu nampak ketakutan, dan ia segera menutup jendela. Ini berlangsung sepanjang malam itu, dan paginya beberapa penduduk mengalami hal yang sama.
Cerita tentang penunggang kuda ini tersebar dari mulut kemulut. Ketika itu, malam jum’at, sekelompok juru ronda berjaga di tepi dermaga. Ada yang mengobrol tentang pulau, ada pula yang terkantuk-kantuk. Tiba-tiba, sang penunggang kuda kembali menampakkan wujudnya di kejauhan. Hal ini terus berulang setiap malam jumat.
Hingga pada akhirnya, di pulau-pulau terluar terjadi bencana. Beberapa penyihir dari Kalimantan dan daratan Jawa membuat suatu kutukan mengerikan. Entah apa alasannya, yang jelas setiap anak yang tidur di siang hari, maka ia akan hilang pada sore harinya. Tanpa jejak, dengan pintu kamar yang terkunci.
Keesokan harinya, anak-anak itu ditemukan bergelimpangan di jalan-jalan utama pulau. Telentang. Tanpa luka sedikitpun. Penduduk pulau geger, dan langsung diketahui bahwa ini adalah sihir. Tetapi siapa yang mengirimnya? Untuk apa? Kenapa pula menyasar anak-anak pulau ini?
Pada malamnya, seorang penduduk, yang kehilangan anaknya karena peristiwa itu mengalami mimpi. Sang penunggang kuda putih datang kepadanya, dan memberikan sebuah pertanda mengenai bencana yang menimpa pulaunya.
Keesokan paginya, si penduduk yang mengalami mimpi itupun memberitahukan kepada yang lain, dan segera dilakukan pencarian terhadap sumber sihir. Entah kenapa juga, di pulau Pramuka, Panggang, dan Karya, yang menjadi asal dari Sang Penunggang Kuda Putih itu tidak sama sekali terkena dampak dari sihir.
Ratusan tahun kemudian, berdirilah pemukiman modern diatas kepulauan itu. Pulau Panggang menjadi pusat Kelurahan, sementara Pulau Pramuka menjadi pusat kabupaten. Sudah ribuan orang yang menetap di sana.
Folklore yang ditemukan diatas, hanyalah sekelumit ceritera rakyat yang hilang dan membentuk kearifan setempat. Folklore, adalah salah satu unsur pembentuk kebudayaan dalam sebuah sistem masyarakat.  Kepulauan ini adalah contoh terbaik bagaimana folklore membentuk kearifannya.
Bahnawi, 54, adalah seorang pelaut, sedangkan Haji Ahmad, 70, adalah pembangun dan saksi hidup berkembangnya pulau ini. Mereka mengajarkan satu prinsip filsafatis yang amat dalam, sedalam lautan yang menjadi penghubung kepulauan, rumah-rumah mereka.
Pada dasarnya, lautan, memiliki hati. Samudera raya ini memiliki perasaan yang dapat membaca hati setiap manusia yang berlayar dan tinggal di atas pulau-pulaunya. Kita, manusia, apabila memiliki niat baik,  lautan akan mendukung kita, secara kasat mata. Entah itu berupa tenangnya lautan, keluarnya rizki yang melimpah dari dasarnya, atau dijaganya pulau dari kedatangan lanun dengan membesarnya ombak.
Apabila kita memiliki niatan jahat ketika datang ke lautan tersebut, atau memiliki etika kurang sopan, maka lautan dan kepulauan tersebut akan meluapkan kemarahannya, dari sekedar menegur, hingga meminta korban jiwa.
Ketika pembangunan dermaga, ada seorang pekerja yang dengan angkuh bermain-main di sekitar pantai dan dalam istilah Ibu Denta, seorang ketua RT, kurang permisi. Akibatnya, ia tenggelam dan secara ajaib, jasadnya hilang di dasar lautan. Ketika itu, ia tenggelam di bawah batuan proyek dermaga utama Pulau Pramuka.
Masyarakat setempat dan rekan kerjanya berusaha mencari tetapi tidak ditemukan juga. Akhirnya, warga meminta petunjuk dan “pembersihan” dengan doa seorang alim ulama, ustad pulau tersebut, dan ditunjukkanlah dimana mayatnya. Sang pekerja ditemukan dalam kondisi bersedekap, terduduk, bersandar di tiang jembatan dermaga. Di sana penyelam sudah mencari berulang kali, namun baru kali ini terlihat.
Filsafat yang dalam ini timbul akibat ikatan yang kuat antara pelaut, pulau, dan samudera. Kearifan mereka, yang menjaga pulau ini, sebetulnya memiliki arti utama bukan menghormati atau merawat lautan itu sendiri.
Sang Penunggang Kuda Putih, Sang Darah Putih dari Mandar, hanyalah simbol sebuah kearifan betapa lekat kehidupan masyarakat kepulauan ini dengan lautan. Berbeda dengan apa yang kita kenal sebagai wisata, mereka lahir, tumbuh, dan dimakamkan di kepulauan ini. Laut adalah rumah.
Dengan khusus, Sang Penunggang Kuda Putih, adalah simbol seorang syaikh. Haji Ahmad menekankan bahwa kepulauan ini adalah kepulauan yang religius. Bukan kepulauan yang lugu, yang primitif. Apabila masyarakat daratan memandang mereka sebagi masyarakat yang kampungan, salah besar.
Sang Penunggang Kuda Putih yang digambarkan menjadi syaikh penolak sihir mengerikan, menyimbolkan bahwa Umarolah yang mampu melindungi rakyatnya dari malapetaka. Bukan sosok putri, raja, pangeran, atau panglima. Syaikh adalah seorang yang mendalam pengetahuan agamanya dan mampu menjadi pemimpin bagi rakyat.
Sang Darah Putih, adalah simbol kegagahan seorang pelaut. Suku Mandar, dari Sulawesi Selatan, adalah suku yang dikenal amat sakti. Mereka mampu mengendalikan mayat, menyihir jarak jauh, dan menaklukkan lautan. Darahnya memang terkenal putih sebagai efek samping aji mandraguna.
Masyarakat Kepulauan Seribu terdiri dari mayoritas orang Mandar. Mereka inilah pewaris-pewaris kegagahan masa lalu, yang kini mulai ditinggalkan dengan kebijakan pemerintah yang hanya terfokus kepada pembangunan daratan dan kota besar. Jarang ada pembangunan yang memfokuskan pemeliharaan dan eksploitasi lautan secara optimal.
Makam Darah Putih, dipercaya sebagai makam keramat. Keramat disini diartikan seperti seorang pemilik terhadap rumah sewaan. Apabila kita ingin pergi dan kembali, tentu kita harus minta izin terlebih dulu. Demikian pula masyarakat sana.
Minta izin bukan diartikan pemujaan, tetapi, segala hal yang dilakukan, segala hal yang dibangun, diruntuhkan, diciptakan, dipindahkan, harus memperhatikan kearifan dan sejarah masa lalu. Jangan sampai segala pembangunan yang ada meruntuhkan peninggalan kebudayaan masa lalu, dan berganti menjadi kebudayaan industri yang terbukti gagal mempertahankan kearifan budaya asli Indonesia.
Mantra Darah Putih, yang dituturkan Haji Ahmad, sesungguhnya bukan bentuk  kemusyrikan, tetapi secara kebahasaan menunjukkan kesadaran bahwa rakyatnya bekerja di lautan. Hidupnya amat tergantung dengan lautan. Apabila terjadi sesuatu dengan lautan, habislah penghidupan.
Ketika Sang Darah Putih ini wafat, barulah segala aspek kehidupannya kembali ke daratan. Kapalnya dinaikkan ke darat. Manusia, tercipta dari tanah, dan tanah ini secara umum disimbolkan dengan daratan. Ketika ia mati, ia akan serta merta kembali menjadi tanah. Betapapun jauhnya pelayaran, betapapun saktinya ia. Tanah, itulah hakikat hidup seorang manusia.
Bangsa pelaut kepulauan ini memang mencari makan di lautan, tetapi mereka akan pulang kepada asalnya. Mereka tercipta dari tanah, dan akan kembali tanah lagi. Ini menunjukkan sisi kesadaran masyarakat yang amat tinggi kepada asal kejadiannya, agar tidak sombong. Secara kebetulan pula, setiap orang yang ditanyai mengenai sejarah kebudayaan kepulauan, akan mengawalinya dengan ucapan “Maaf, jika saya salah, manusia memang banyak salahnya”.
Sekali lagi, folklore yang dipandang sebagai fosil kebudayaan zaman dulu, jangan sampai hilang. Apabila itu terjadi maka dengan sendirinya akar kebudayaan akan hilang, dan arah kebudayaan yang sedang berkembang itu menjadi tak jelas. Hancur.

Mantra


Mantra Si Gembel


Ya Allah!
Dalam bayyati kini kami mendaki dan dengan tangga yang suci
Kami bayyati bayyati
Qarari ila jawwab, ila jawabul jawab maka jawablah Allah!
Alam habis jadi hutan habis jadi pepohonan habis jadi pohon habis jadi kayu habis jadi abu habis jadi hara habis jadi benih habis jadi tunas habis jadi pokok habis jadi pucuk habis jadi perdu habis jadi
Kami habis jadi nuthfah yang adalah manusia
Manusia habis jadi nafsu
Nafsu habis jadi abu
Nafsu adalah diri yang kehilangan diri maka terbakar jadi abu maka jadi aku maka kembali tersiram maka terlarut maka hanyut menuju laut maka aku tenggelam dalam lautan
Lautan segera jadi samudera dan hujan
Dan aku tenggelam di dalamnya, tanpa bisa menegakkan tangga yang lurus mendaki,
Maka inilah pendakian menuju Allah!
Bismillah, ya Allah, bismillahi rahmani rahimi!
Allah
Siapakah Kamu?
Kenapa harus Kamu?
Wa Rasulahu?
Muhammad, khatamul anbiya,
Wa bainal ardhi was samawaati ya
Allah
Maka mi’rajkan kami
Naikkan kami kepada tangga
 mendaki menuju-Mu lurus menuju-Mu

/1/ Takut
Nahawand

Nuh tiba air binasa tiba yunus tiba paus besar tiba syuaib tiba madyan binasa musa tiba firaun hilang kuasa luth tiba gomora sirna yesus tiba debat tiba mesti ada konsili dan arya binasa nestor binasa muhammad tiba parsi dan roma sirna

Siapakah takut itu?
Rasul tiba takutlah kita, api menyala-nyala bagi mata merana-rana bagi dada menyayat-nyayat jemari luka
Akulah orang gila Tuhan! Gila yang ukhrawi!
Panji dan serigalanya?.neraka. Kita bagai panji yang menemukan serigala bengis dalam hutan?.neraka.
Air terjun, dan aroma airnya membuatmu melayang-layang dalam cinta kepada alam?.neraka. Tebing-tebing pohonan menghijau, lalu menguning diterpa matahari?.neraka.
Sawah-sawah huma subur, dan akan mengalirkan susu dari tangkai padinya!
Suatu waktu, Dia menyuruh Panji mencari buah belimbing hutan, yang hanya bisa ditemui dalam hutan?.neraka.
“Panji, kamu cari belimbing hutan?.neraka. Kamu hati-hati,” Kata pemimpin?.neraka.
“Kenapa hati-hati, saya pendekar,” Panji dengan percaya diri berlebih memuncratkan liur?.neraka.
“Ada serigala besar dalam hutan, dan jika kamu tidak memukulkan golokmu kepada pohon yang menghalangi jalan, maka kamu akan diterkam!” Muka pemimpin serius, seperti akan kehabisan anggur ini?.neraka.
“Baik, Pak!”
Tiba dalam hutan, Panji termenung dan memutuskan tetap mematuhi pemimpin, meski agak aneh?.neraka. Memukul pohon dengan golok?.neraka.
Tetapi ia tetap memukul golok kepada pohon yang menghalangi jalan,
meski tak ada serigala?.neraka. Ia kembali secepat-cepatnya
seperti dikejar serigala?.neraka. Seakan ada
serigala?.neraka. Ia benar-benar takut
dimangsa?.neraka.
.neraka.
Dan Panji kembali ke desa yang tenteram itu, pemimpin menunggunya dengan sukacita?.neraka. Tuhan adalah serigala itu, sebab kamu memukulkan golok karena takut serigala?.neraka.
Ya, kamu memukulkan golok karena takut serigala?.neraka.
Dan pemimpin mabuk itu, adalah guru mabuk yang menyuruh kami tidak mabuk karena mabuk masuk neraka yang memabukkan?.neraka.
Kenapa?.neraka.
Siapakah serigala?.neraka.
Serigala?.neraka.
Serigala?.neraka.
Takut?.neraka.
Takut serigala?.neraka.
Kehadiran serigala dalam hutan, yang akan bermakna bila ada yang terbunuh tersoyak menjadi mangsa neraka
Serigala yang makan mati
Serigala yang makan mati
Dan kita terpaksa di dalam lingkaran si mati
Mati yang paling neraka jahim saqar luza huthamah hawiyah wail jahannam semuanya api
Maka dosa kelahiran api
Maka Tuhan kelahiran api
Maka api kelahiran neraka
Maka neraka kembalinya kita dan semua
api
/2/
Lupa
Jiharkah
La ilaha illa Allah
Menafikan semua
Menafikan segala


Ini Pulau Milik Kami!


Fahmi (14) tampak riang bermain di pinggir dermaga kecil Pulau Pramuka. Ia seorang siswa kelas 2 SMP. Ia tidak lagi tahu bagaimana sejarah adat pulau ini. Ketika ditanya, ia hanya menjawab bahwa orang tuanya berasal dari suku Bugis, tidak lebih. Sehari-hari ia membantu wisatawan menjadi diver. Yang jelas, ia bercita-cita menjadi pelaut juga, seperti ayahnya.
Denta (39), adalah seorang ketua RT di pulau ini dan membantu penghidupan dapur dengan berdagang makanan ringan. Ia asli kelahiran Pramuka. Wajahnya yang tampak legam menandakan ia sering berkegiatan di tepi pantai yang kini dipenuhi bakau di sela-sela pagar beton dan pemecah ombak.
Denta sendiri adalah gelar bangsawan dari Kerajaan Bone, Sulawesi Selatan. Kakek neneknya merupakan kelahiran Bone dan masih memiliki hubungan darah dengan bangsawan Kerajaan Bone.
Disinggung tentang adat istiadat dan folklore, Denta memberi sedikit perhatian. Meskipun pulau ini dikenal sebagai tempat berwisata, sebetulnya ada adat yang harus dipatuhi.
Denta, Ketika ditemui dalam acara riset matakuliah Menulis Populer kelas A, B, dan E Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta pada tanggal 19 hingga 20 Mei 2012, ia sedang menata barang-barang dagangannya. Kesan keramahan ada di wajahnya.
Ini berkaitan erat dengan sejarah adanya penduduk di pulau Pramuka. Dulunya, pulau ini tidak dihuni. Yang dihuni adalah pulau yang berjarak 0.5 mil laut dari sini, Pulau Panggang. Zaman sebelum kemerdekaan dulu, pelaut Banten, Bugis, Jawa, dan Sunda adakalanya singgah kesini untuk beristirahat dan mencari ikan kecil. Ikan zaman itu masih melimpah.
Lama kelamaan, pelaut Bugis, membangun rumah peristirahatan semi permanen di pulau ini, dan sebagian memutuskan menetap dan beranak-pinak di pulau ini. Hal ini juga yang diikuti oleh pelaut dari suku lainnya. Akhirnya, penduduk pulau Panggang menjadi padat.
Pulau ini baru dinamai panggang setelah zaman kolonial. Kala itu, perompak laut yang tertangkap oleh nelayan setempat dibunuh lalu dipanggang diatas batu karang. Beberapa karang itu kini masih bisa kita lihat, tenggelam karena abrasi. Pemanggang, itu nama asli pulau ini, dan mengalami penyingkatan menjadi Panggang.
Pada era orde lama, pulau Pramuka bernama Pulau Elang. Bahnawi, tokoh masyarakat asli kelahiran pulau Panggang 50 tahun lalu, mengatakan bahwa hingga tahun 1980-an masih dapat kita temukan elang bondol, yang sekarang kita kenal sebagai lambang DKI Jakarta.
Elang-elang itu hilang seiring pembersihan pulau untuk dijadikan perkampungan. Sejarahnya, sebelum ada Bumi Perkemahan Ragunan dan Cibubur di Jakarta daratan (istilah masyarakat setempat bagi orang yang tinggal di Pulau Jawa) pihak Kepramukaan mengirim anggotanya untuk berlatih di pulau ini. Terjadi pada sekitar tahun 50-an hingga 60-an.
Bahnawi sendiri termasuk penduduk pertama, tepatnya satu dari enam keluarga pertama yang tinggal disini. Ia melanjutkan, bahwa anggota Pramuka tersebut turut membangun dan melatih masyarakat setempat. Sisa masa itu masih kita lihat di Bumi Perkemahan Pulau Pramuka.
Karena komposisi demografi pulau ini didominasi oleh suku Mandar dan Bugis, adat setempat pun didominasi oleh adat suku-suku tersebut.
Pada perayaan sunatan misalnya, dikisahkan ada hari tertentu yang tidak boleh dilanggar, dan juga si anak tersebut harus melakukan adat tertentu setelah sunat. Pada perarakan sunatan, harus dilakukan silat mandar sebagai tolak bala. Bila tidak dilakukan, maka darah dari luka sunat itu akan terus mengucur, dan si anak, malangnya, akan terus mati kehabisan darah.
Dalam membangun rumah, suku mandar di pulau ini percaya harus menghadap ke daerah tertentu. Namun baik Bahnawi maupun Denta, sudah tak lagi menganut aturan ini. Juga, mereka sudah lupa dengan adat mandar tersebut.
Suku Jawa, memiliki ceritera sendiri. Setiap beberapa tahun, diadakan ruwatan laut dan kepulauan. Dengan menanggap wayang dari darat, masyarakat jawa percaya, akan terhindar bali bala dan bencana lautan. Wayang dan ruwatan, hanya sebuah simbol penghormatan terhadap alam semesta dan Tuhan, bukan berarti pemujaan terhadap alam itu sendiri.
Suku Mandar dan Bugis, membangun adat yang cukup unik dalam folklore setempat. Dari informasi yang masih tersisa, dapat kita ketahui ceritera rakyat pulau ini.
Dikisahkan, zaman dahulu kala, ada pelaut Mandar yang berlayar menuju kepulauan ini. Di tengah lautan, terjadi badai dan kapalnya pecah.
Hanya dia seorang yang selamat, dari seluruh awak kapal. Ia terombang-ambing selama bertahun-tahun hingga tubuhnya dipenuhi teritip, sejenis hama lautan yang berwarna merah muda, sering tumbuh di dasar perahu.
Alkisah, ia terdampar di Pulau Panggang, dan ditemukan oleh masyarakat. Dengan kondisi lemah menjelang sekarat, si pelaut meminta agar tubuhnya jangan dibersihkan dan kapalnya dinaikkan “jangan kau bersihkan tubuhku, dan kalau kau ingin makamkan aku, galangkanlah dulu kapalku”, ujarnya. Masyarakat tidak banyak bertanya dan meluluskan permintaannya.
Setelah meninggal, ia dimandikan dan tidak sengaja kulitnya terkelupas, mengalirlah darah yang warnanya putih, karena itu ia dinamai Darah Putih. Ketika ia dimakamkan, entah kenapa terjadi badai dan gelombang besar di lautan dan kepulauan tersebut, sebab itu, masyarakat lalu berseru, “hai Darah Putih! Kumohon teduhkanlah laut ini!”, dan mantera inilah yang kemudian menjadi keyakinan nelayan setempat selama beberapa waktu.
Denta juga menambahkan, di kepulauan ini, ada sosok penjaga yang berkuda putih, masyarakat menyebutnya dengan Penunggang Kuda Putih. Sosoknya seperti seorang syaikh, membawa lentera, dan hanya muncul setiap malam jum’at. Ia akan lebih sering muncul ketika ada bala atau sihir.
Dahulu, di pulau ini sering sekali ada penyihir yang mengeluarkan kutukan. Masyarakat jawa menyebutnya santet. Kisahnya, apabila seorang anak tidur pada siang hari, maka sore harinya akan hilang, dan tidak ditemukan.
Pada pagi harinya, anak tersebut akan ditemukan bergelimpangan di jalan-jalan di pulau itu, tanpa luka, tetapi sudah tidak bernyawa. Akan tetapi, disebabkan oleh Penunggang Kuda Putih ini, sihir tersebut dipercaya mental dan tidak dapat menembus dinding ghaib pulau Panggang dan Pramuka.
Juga Denta menambahkan, ketika penyerbuan tentara Belanda ke wilayah ini, ingin mengadakan sapu bersih, secara ajaib Pulau Panggang dan Pramuka menghilang tertutup kabut tebal, dan juga dari penglihatan radar. Ini dipercaya ulah penunggu pulau itu.
Haji Ahmad, yang berusia 70 tahun, warga asli pulau Panggang yang kini tinggal di Tangerang, menuturkan ketika ia menjadi polisi yang bertugas di pulau tersebut,  sosok penjaga  Pulau Panggang memang betul-betul ada. Ia bahkan mengaku pernah melihatnya secara langsung.
Sosoknya, berjanggut lebat, memegang tali kekang putih, berkuda putih, dan serbannya terjulur hingga punggung karena panjangnya. Apabila malam, ia sering juga mendengar tapak kaki kudanya.
Kisahnya, awal tahun 70-an, karena kecilnya gaji polisi, ia bekerja sebagai buruh lepas pembangun lapangan terbang Pulau Panjang, tak jauh dari Pulau Panggang.
Siang-malam ia bersama 10 rekannya, menebang batang kelapa. Syahdan, ketika hampir selesai, pada malam hari mereka sedang terjaga, muncullah sosok Penunggang kuda ini, dan bergerak mengelilingi proyek tanpa menghampiri pekerja. Ia tampak marah, dan kudanya meringkik seperti tergesa.
Haji Ahmad dan rekannya hanya dapat terpaku sambil mengucapkan doa-doa perlindungan, tetapi sang Penunggang tidak melakukan hal yang lebih. Ada diantara rekan Haji Ahmad ini, seorang sunda dari Cianjur. Rekan ini memiliki kepercayaan dari daerah asalnya, bahwa di sebuah makam keramat harus diadakan nyekaran atau nyekar, agar mendapatkan keamanan dari si penunggu makam ini. Akhirnya, esok hari mereka melakukan nyekar.
Meskipun telah dilakukan nyekar, ketika 7 batang kelapa terakhir di tebangnya, terjadi peristiwa menakjubkan. Secara tiba-tiba, batang-batang pohon kelapa itu bergerak sendirinya dan menjepit gergaji mesin yang ia gunakan. Ia dan rekan-rekannya lari terbirit-birit melihat kelapa yang  kini seperti manusia, terpersonifikasikan oleh energi pulau itu.
 batang kelapa itu, yang memang ada di sekitar makam, akhirnya mau tak mau mati seiring selesainya proyek bandar udara Pulau Panggang selesai.
Hal lain yang cukup aneh terjadi ketika penerbangan pertama dilakukan. Haji Ahmad termasuk penumpangnya. Sebelum meninggalkan landasan, mendadak mesin pesawat mengalami gangguan, dan kembali berhenti. Rombongan Haji Ahmad akhirnya memutuskan kembali nyekar, di makam Sang Darah Putih, dan akhirnya lancarlah penerbangan itu.
Masyarakat setempat mempercayai, bahwa makam Darah Putih dan Sang Penunggang Kuda Putih inilah yang melindungi pulau mereka. Tidak berarti mereka memuja, namun hanya sebatas menghormati.
Pulau Karya dan Pulau Panjang sendiri memiliki sejarah rumit. Pulau Karya, dahulunya bernama pulau Cina, karena banyak didiami oleh saudagar cina yang merantau kemari. Lama kelamaan, penduduk tidak hanya orang keturunan cina, tetapi juga Mandar dan Bugis.
Era orde baru, pulau ini berganti berganti nama seiring banyaknya pekerja yang datang untuk membuka pulau. Pekerja ini, dulu disebut juga dengan karyawan, sebelum secara semantis kata “karyawan” mengalami peyorasi menjadi berarti buruh pabrik.
Akhirnya, dengan naiknya Bapak Darmo sebagai lurah Panggang, digantilah nama pulau Cina dengan Pulau Karya. Lagi pula, secara tata nama, Karya memiliki nilai rasa lebih baik apabila ditilik dari situasi politik zaman itu. Adapun Pulau Panjang, memang karena bentuknya memanjang seperti ekor ikan pari. Pulau Karya, sekarang ini hanya diisi dengan pemakaman.
Secara administratif, ketika zaman Lurah Darmo, terjadi perombakan struktur kebijakan dari kebijakan dasar menuju kebijakan modern. Ini terjadi sekitar tahun 1980. Penyebabnya adalah, sudah padatnya penduduk Pulau Panggang. Mau tak mau, terjadilah pemindahan kantor-kantor pemerintahan agar masyarakat mau mengikuti pemimpinnya.
Mulanya, kantor Kelurahan Pulau Panggang dipindahkan ke Pulau Pramuka, dengan harapan, masyarakat mau mengikuti perpindahan ini. Ternyata, itu tak terjadi. Masyarakat justru menuntut pengembalian pusat pemerintahan kelurahan kembali ke pulau mereka. Padahal mereka sudah dijanjikan dengan sebidang tanah.
Haji Ahmad dengan berapi-api menceritakan bagaimana sejarah terbentuknya struktur adat masyarakat yang sekarang ada, ditinjau dari segi administratif. Ia melanjutkan, bahwa akhirnya pusat kelurahan kembali dipindahkan ke Pulau Panggang, dan Kantor Kabupaten Kepulauan Seribu yang ditempatkan di Pulau Pramuka.
Dengan ramainya Pulau Panggang dan Pramuka, ini menuntut kebutuhan lahan pemakaman yang tinggi. Akhirnya pemakaman dialihkan ke Pulau Panjang, dan makam yang sudah ada lebih dulu turut dipindahkan kesana.
Menurut Bahnawi, ini terjadi berangsur selama beberapa tahun di era 2000-an ini. Hingga sekarang, orang-orang pulau yang wafat dikuburkan di Pulau Panjang meskipun harus menyeberang lautan.
 mengenai adat setempat dan kaitannya dengan agama masyarakat, Haji Ahmad dan Bahnawi memiliki satu suara. Mereka menegaskan, masyarakat dan budayanya, adalah masyarakat dan budaya islam. Ada banyak nilai-nilai islam yang memberi warna positif terhadap tindak-tanduk masyarakat.
Keduanya menyatakan, islam di kepulauan ini ada secara sekonyong-konyong, sebab para penduduk yang berasal dari Mandar, Bugis, Banten, dan Jawa, sudah beragama islam. Tidak lagi dibawa atau disebarkan oleh tokoh ulama dan pengajar.
Haji Ahmad sendiri mengatakan, ketika penduduk mulai ramai, barulah terasa kebutuhan terhadap ulama. Ia menunjukkan dua makam Habaib yang pernah menjadi guru bagi masyarakat. Nama keduanya adalah Habib Ali Bin Hussein Al-Attas dan
Ada cerita khusus mengenai dua makam ini. Keduanya, terletak bersebarang di masing-masing ujung timur dan barat Pulau Panggang. Masyarakat meyakini, kepulauan mereka jarang terkena bencana sebab makam keduanya menjadi semacam “paku bumi” Kepulauan Panggang.
Bahkan, ketika satu demi satu mereka dimakamkan, terjadi angin ribut yang segera reda setelah prosesi pemakaman selesai. Jenazah Habib Ali, mengalami sedikit karamah. Karamah, adalah keajaiban yang hanya turun kepada orang shalih dalam agama islam.
Ketika ia wafat, jenazahnya akan dimakamkan di tempat asalnya, Jakarta Daratan. Ketika ia akan dibawa melewati lautan, hari sedang cerah, dan matahari bersinar seperti biasa. Perjalanan belum jauh dari pulau, terjadi badai di tengah lautan yang betul-betul besar. Ini membuat kapal tak bisa melanjutkan pelayaran dan rombongan memutuskan kembali.
Anehnya, begitu sampai di pulau asal, badai menjadi reda. Rombongan pelayat melanjutkan untuk membawa jenazah Sang Habib menuju daratan. Siapa sangka, kembali terjadi badai, dan terulanglah peristiwa pertama. Ini terjadi hingga tiga kali, dan akhirnya diputuskan bahwa Habib Ali tetap akan dimakamkan di Pulau panggang.
Kedua makam Habaib tersebut dikeramatkan, dalam arti masyarakat tidak menyembahnya, namun sebatas meyakini bahwa keduanya adalah wali Allah. Dalam ajaran islam, seorang yang digelari wali berarti mencapai derajat Kekasih Allah.
Akulturasi masyarakat Kepulauan di Kelurahan Pulau Panggang paling tidak, menyebabkan beberapa hal secara kebudayaan dan kesusastraan. Menurut Dr. Agus Trianto, dalam essai yang disampaikan dalam seminar nasional di Universitas Bengkulu, berjudul Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia Berbasis Budaya, kebudayaan turut membentuk perilaku kebahasaan masyarakatnya, yang berhubungan seperti hutan.
Dalam konsep ini, bahwa Budaya adalah tanah tempat tumbuhnya bahasa, sementara bahasa itu berkembang membesar, ada pula daun-daun dan ranting mati yang berguguran membentuk kesuburan baru bagi tanah, budaya itu sendiri.
Inilah yang menyebabkan seolah dengan berbaurnya masyarakat Bugis, Mandar, Banten, Jawa, dan Sunda, maka bahasa mereka lebur dan menjadi sebuah bahasa Indonesia yang berdialek khas orang pulau.
Khas mereka, adalah membunyikan fonem /e/ teleng yang terletak di akhir morfem, menjadi /é/ pepet, seperti pada kata “Banten” yang dilafalkan menjadi /Bantén/ oleh masyarakat.
Namun hal ini tidak menjadi mutlak, karena seiring zaman, masyarakat sudah terbiasa menggunakan bahasa nasional sesuai kaidah pengucapan fonemis yang benar.
Secara kejiwaan, masyarakat memiliki motivasi yang kuat untuk tetap mempertahankan agama islam tanpa kehilangan nilai budaya setempat. Agama islam yang berkembang di Pulau Jawa dan Sulawesi, tentu memiliki sedikit corak yang berbeda.
Oleh karena sifat dasar masyarakat yang menyatu, merasa sepenanggungan, satu pulau, satu lautan, mereka menghilangkan keegoan rasial diantara mereka, dan membentuk komunitas islam yang damai. Ada kemungkinan, kedatangan dua Habaib turut menyatukan keberagamaan di pulau tersebut hingga tidak terjadi perbenturan yang serius.
Ketika lebaran tiba, seperti biasa diadakan tradisi bersalaman dan saling memaafkan antar warga, hingga mereka saling mengenal satu dengan lainnya. Ada pula tradisi memberi hadiah berupa uang kepada anak-anak, tanpa memandang perbedaan suku.
Sehubungan dengan itu, Haji Ahmad, ketika ditanya aliran apa yang dominan di pulau itu, ia menjawab, “saya tidak suka sebetulnya, masyarakat ini dikandangkan dalam aliran tertentu. Orang-orang pulau ini satu, semuanya islam. Tidak ada Muhammadiyah, tidak ada NU, tidak ada Syiah, atau sejenisnya. Kami semua satu, kami beragama islam, dan yang terpenting adalah, syahadat kami satu, shalat kami satu, zakat, puasa, dan haji kamipun satu, tak ada lainnya”.
Demikian arifnya masyarakat pulau ini, hingga akulturasi menjalar kepada tradisi gotong royong yang amat terjaga. Satu ketika, ada terjadi seorang wisatawan kehilangan kamera dan sejumlah uang, telepon genggam, dan penyimpan data.
Dengan menakjubkan, hampir semua warga, segera mengetahui kabar tersebut dan tanpa dikomando melakukan pencarian terhadap si maling. Akhirnya, tertangkaplah maling itu, lalu habis dihajar warga.
Gotong royong ini, menurut Haji Ahmad dan Bahnawi, memiliki dasar filsafatis yang cukup menarik. Menurut mereka, gotong royong di suatu lingkungan masyarakat, hanya dapat dilaksanakan apabila terjadi kondisi dimana semua warga saling mengenal, dan memiliki satu tujuan untuk bersama-sama menjaga, membangun, dan perasaan memiliki pulau itu. Perasaan memiliki dan ingin menjaga pulau inilah, yang menyebabkan ikatan warga amat erat disini. Pada mata rantai selanjutnya, ini membentuk adat gotong royong yang kuat diantara mereka.
Selanjutnya, ditegaskan pula bahwa perasaan menjaga dan memiliki ini bersumber dari asas yang disimpulkan, baik Bahnawi maupun Haji Ahmad, “Kami jelas tinggal sepenanggungan di pulau ini. Kami tinggal di pulau, namun hidup di lautan. Maksudnya adalah, kami membangun rumah, hingga berkewajiban menjaga pulau ini, namun mencari nafkah di lautan, hingga berkewajiban pula menjaga lautan, setidaknya dari sampah dan kerusakan”.
“Beberapa bulan lalu, ada puting beliung di Pulau Kelapa, apa ada kamu tahu? Tentu tidak. Padahal kamu orang kota daratan membaca koran mudah, melihat televisi tidak dibatasi pemadaman bergilir, tetapi kami tak melihat ada orang yang bergerak memberikan bantuan. Hanya kami, orang pulau yang ramai-ramai berpatungan dan kesana untuk perbaikan Pulau Kelapa, juga menghibur saudara-saudara kami. Mana kamu? Payah kali orang kota ini”, sindir Denta kepada warga kota Jakarta yang kehilangan nilai gotong royongnya.
Sikap kebersamaan ini yang diterapkan Lurah Darmo ketika membangun perkampungan Pulau Pramuka, yang kala itu berantakan. Pada tahun 80-an, segala pagar yang menonjol, pohon yang melintang di jalanan, haruslah diratakan dan dirapikan. Jadilah sekarang ini Pulau Pramuka yang rapi dan tertib, berkat sikap gotong-royong warga untuk merawat pulaunya.
Masyarakat setempat memiliki suatu sandi untuk membedakan warga pulau dengan pendatang yang membawa pengaruh buruk. Diakui, dengan adanya kebijakan pemerintah DKI Jakarta untuk menjadikan Kepulauan Seribu sebagai daerah wisata, kewaspadaan masyarakat terhadap budaya luar meninggi.
Untuk membedakannya, cukup diketahui dari cara pendatang berbicara. Apabila ada orang berbicara yang nada suaranya lebih tinggi dan keras dari warga pulau itu, maka orang tersebut akan dicap buruk dan dijauhi. Istilahnya, menjaga kesopanan terhadap tuan rumah dan memberi kesan kedatangan yang positif.
Juga, apabila seseorang membawa aliran tertentu, dan berciri-ciri fisik keagamaan berbeda, seperti berjenggot panjang, memakai celana pendek, namun mendakwahi sesuatu yang dianggap asing oleh warga, maka kewaspadaan akan meninggi.
Bahnawi adalah seorang pelaut, sedangkan Haji Ahmad adalah pembangun dan saksi hidup berkembangnya pulau ini. Mereka mengajarkan satu prinsip filsafatis yang amat dalam, sedalam lautan yang menjadi penghubung kepulauan, rumah-rumah mereka.
Pada dasarnya, lautan, memiliki hati. Samudera raya ini memiliki perasaan yang dapat membaca hati setiap manusia yang berlayar dan tinggal di atas pulau-pulaunya. Kita, manusia, apabila memiliki niat baik, maka lautan akan mendukung kita, secara kasat mata. Entah itu berupa tenangnya lautan, keluarnya rizki yang melimpah dari dasarnya, atau dijaganya pulau dari kedatangan lanun dengan membesarnya ombak.
Apabila kita memiliki niatan jahat ketika datang ke lautan tersebut, atau memiliki etika kurang sopan, maka lautan dan kepulauan tersebut akan meluapkan kemarahannya, dari sekedar menegur, hingga meminta korban jiwa.
Ketika pembangunan dermaga, ada seorang pekerja yang dengan angkuh bermain-main di sekitar pantai dan dalam istilah Ibu Denta, kurang permisi. Akibatnya, ia tenggelam dan secara ajaib, jasadnya hilang di dasar lautan. Ketika itu, ia tenggelam di bawah batuan proyek dermaga utama Pulau Pramuka.
Masyarakat setempat dan rekan kerjanya berusaha mencari tetapi tidak ditemukan juga. Akhirnya, warga meminta petunjuk dan “pembersihan” dengan doa seorang alim ulama, ustad pulau tersebut, dan ditunjukkanlah dimana mayatnya. Sang pekerja ditemukan dalam kondisi bersedekap, terduduk, bersandar di tiang jembatan dermaga. Di sana penyelam sudah mencari berulang kali, namun baru kali ini terlihat.
Filsafat yang dalam in itimbul akibat ikatan yang kuat antara pelaut, pulau, dan samudera. Kearifan mereka, yang menjaga pulau ini, sebetulnya memiliki arti utama bukan menghormati atau merawat lautan itu sendiri.
Kembali pada persoalan keimanan. Lautan, pulau, bumi, dan juga orang-orang di atasnya, adalah ciptaan Allah juga. Haji Ahmad menegaskan, kita turun sebagai khalifah di muka bumi, menyitir surah Al-Baqarah ayat ke-30. Khalifah, berarti wakil, pengganti, dalam artian, kita adalah wakil Allah (tanpa meninggalkan sifat Maha Kuasa dari Sang Khaliq) untuk memakmurkan bumi.
Kewajiban memakmurkan bumi ini, dalam ajaran islam, ditawarkan kepada Gunung, namun ditolak. Begitu juga oleh makhluk-makhluk lain. Namun dengan sewenang-wenang, manusia mengambil kewajiban ini. “Alangkah manusia ini bodohnya!” seru Haji Ahmad.
“Kita ini ditugaskan untuk menjaga lautan, maka menjadi amanlah kita. Bukan berarti lautan ini yang menjaga kita, tetapi, segala lautan dan daratan, adalah milik Allah. Apabila kita menjaga milik Allah, maka Allah jua yang menjaga kita. Kita menjaga, Dia melihat. Kita merusak, Dia juga melihat”, serunya.
Di gerbang dermaga utama Pulau Pramuka, memang terpampang kutipan ayat suci Al-Qur’an, surah Ar-Rum, ayat 41 yang berbunyi: “Telah terjadi kerusakan di daratan dan di laut, disebabkan oleh ulah tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (kejalan yang benar)”, diatas papan berwarna kuning dan berbingkai biru.
Ini seolah menggambarkan betapa tunduknya mereka dengan Sang Pencipta, Tuhan daratan dan Tuhan lautan. Berbeda dengan keyakinan pamali atau takhyul yang mengatakan bahwa lautan memiliki kuasa sendiri, itu jelas dibantah oleh Haji Ahmad, Bahnawi, dan Denta.
“Kami ini ingin, apabila ada orang datang, entah untuk meneliti, wisata, atau apa, tidak usahg membayar penginapan atau tiket. Tetapi cukuplah rombongan itu berpatungan, bangunkan atau perbaiki mushala di sini, atau sumbangkan pada sekolah itu yang tak memiliki lapangan berplester. Atau, buatkan kamar mandi umum saja. Itu sudah cukup, jangan kami dianggap seperti Pulau Bidadari atau Pulau Putri, hanya untuk berwisata semata”, kata Haji Ahmad.
Sikap rendah diri dan arif masyarakat setempat juga tampak dari cara mereka bertutur kata yang bagai sastrawan. Ada satu persamaan, yang tetap saja mengesankan. Mereka selalu mengucapkan kata kunci yang sama apabila ditanyai tentang sejarah kebudayaan pulau ini.
“Maaf-maaf saja, apabila kami salah memberikan kabar. Kalau benar, syukur alhamdulillah, kalau salah, ya maklum, kami ini tidak begitu tahu”. Padahal, informasi yang mereka berikan amatlah banyak dan berharga.
 Kramanisasi ini, atau berbasa-basi, sebetulnya menjadi semacam penanda perilaku kebahasaan yang mencerminkan betapa halusnya kebudayaan mereka, berbeda dengan yang digambarkan di media massa selama ini, bahwa masyarakat pulu adalah primitif dan kampung, nelayan yang tak tahu adat.
Akulturasi di kepulauan ini menunjukkan sebuah prototip kebudayaan Indonesia yang betul-betul damai, lebur menjadi satu tanpa meninggalkan warna masing-masing daerah. Seperti cahaya putih cerlang, yang berasal dari tujuh warna. Inilah kebudayaan asli kita, gotong-royong dan kearifan lautan dan daratan, serta keyakinan akidah terhadap Sang Pencipta yang amat agung dan mendalam di setiap hati masyarakatnya.
-kecemasan warga setempat bukannya tak ada. Mereka umumnya khawatir dengan pencanangan daerah ini sebagai objek wisata oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Diakui baik oleh Denta, Bahnawi, maupun Haji Ahmad, generasi muda mereka mulai meninggalkan adat dan kearifan lokal daerah ini.
Setidaknya, ada lima penyebab lunturnya tradisi dan adat kepulauan ini. Pertama, adalah sikap bapakisme yang masih kental ada. Sikap bapakisme ini, secara sosial adalah pendambaan dan pengagunganmasyarakat terhadap orang atau tokoh yang dianggap ideal, dan memegang kekuasaan. Ini membuat masyarakat menurut saja, apapun kata pemerintah.
Kebijakan pemerintah yang ada, terkesan memodernkan kepulauan ini. Namun tanpa sadar, mereka membunuh nelayan. Naiknya harga bensin, dibangunnya hotel-hotel dan penginapan, turut menghancurkan lautan, dan akhirnya mata pencaharian nelayan. Mau tak mau, mereka beralih profesi. Ada yang menjadi instruktur penyelaman, penanam bakau, ataupun pejabat pemerintah.
Ini perlahan mengikis adat lautan menjadi adat perkotaan. Lautan, yang menjadi basis kebudayaan mereka, dipaksa digantikan oleh adat perkotaan oleh orang yang menjabat di provinsi, yang bukan orang yang kenal dengan Kepulauan Seribu.
Kedua, diangkatnya pejabat-pejabat yang bukan asli Kepulauan Seribu, membuat masyarakat kehilangan sosok pemimpin ideal dan teladan. Haji Ahmad, yang seorang purnawirawan polisi di sana, mengeluarkan kemarahan yang seperti tertunda. Ia geram, jarangnya bupati maupun lurah tinggal dan berkantor di sini. “Mereka semua orang daratan, main ke pulau hanya untuk berlibur”, serbu Haji Ahmad.
“Kau tengok lah itu wisma di utara pulau, itu milik bupati, yang kami taksir harganya limaratus juta! Uang dari mana dia? Saya tahu benar gaji seorang PNS, tidak sampai segitu, dia tak sampai setahun sudah membuat penginapan, sedang dia sendiri jarang ke pulau ini untuk menemui kami”, Haji Ahmad menambahkan.
Ketiga, kebijakan pariwisata juga turut mengikis adat setempat. Bagi Bahnawi, Denta, maupun Haji Ahmad, mereka menyatakan tegas bahwa pulau ini  bukan pulau wisata. “Ini bukan untuk wisata, kami bukan tontonan. Kami ini masyarakat, hidup di sini”, tutur Bahnawi agak keras.
“Kami tak suka, khawatir dengan datangnya wisatawan kesini. Utamanya, mereka tak bisa menjaga kata-kata dan tutur tingkah mereka. Mereka membawa pengaruh jelek kepada generasi anak kami, yang dewasa sih sudah paham, tetapi yang kecil-kecil ini bagaimana? Kita ini orang berbudaya, tak boleh menampakkan aurat di depan umum”, tutur Nalim, sesepuh Pulau Panggang.
“Sebetulnya, kami bukan tempat wisata. Kalau kamu ingin wisata, sanalah pergi ke Pulau Putri, Onrust, atau Edam. Di sini tempatnya masyarakat. Kami tak suka ada perempuan wisata kemari, mentang-mentang berenang, maka pakailah ia celana segini (sambol memperagakan bentuk celana renang wanita two piece dengan tangannya) bisa rusak kami!”, Haji Ahmad meringkas.
Adat mereka memang ketat soal berbusana. Bahkan, kaum perempuan dewasanya semacam ditabukan bercelana pendek yang ketat keluar rumah. “Kami takut yang terjadi di Aceh, terulang di sini. Lihat Aceh, masjidnya besar-besar tapi ternyata sedikit isinya. Ternyata juga dia penghasil ganja terbesar, ternyata juga dia sering konflik antar warga dan GAM. Jadilah tsunami, sebagai Azab Allah pada mereka”, Bahnawi melanjutkan.
“Bukan tak mungkin, kami terkena sedemikian itu juga, karena tingkah anak muda kami. Lihat saja, orang laki jalan dua-dua dengan perempuan bukan muhrim dengan pegang tangannya, celana ketat. Aceh saja yang memiliki gunung dan daratan yang luas, tak bisa kabur dari ombak, apalagi kami yang ibarat hanya seujung kuku pulaunya. Matilah semua kami!”, tutupnya.
Keempat, budaya dan adat setempat juga hilang dengan wafatnya para tetua tanpa sempat menceritakan apa sejarah pulau ini. Terus terang, penulis agak sulit menguak informasi dari mereka. Padahal, penulis mengambil sampel dari segala rentang usia dan profesi.
Semua narasumber mengatakan, para tetua pulau ini sudah sedikit yang awas bila ditanya seputar sejarah pulau. Nalim, yang berusia 70-an tahun, sudah mengaku lupa dengan sejarah pulau ini dan jejak rekam masalalunya di sini. Denta sendiri mengaku tidak diceritakan apapun oleh orang tuanya.
Mereka resah, generasi muda yang banyak merantau untuk belajar dan bekerja di darat, pasti akan lupa dengan masa lalu, kearifan, dan adat istiadat yang membentuk sistem kebudayaan masyarakat Kepulauan Seribu.
“Sayang betul, orang tua kami tak sempat cerita banyak tentang pulau. Apalagi, jarang ada peneliti yang datang untuk menguak sejarah kenapa kami ada di sini, dan kenapa kami menjadi seperti ini, kebanyakan mereka hanya meneliti hewan dan tumbuhan. Bakau, penyu, dan isi laut, tetapi tidak meneliti lautnya”, Denta agak menyesal.
“Kami tidak banyak diceritakan sejarah di sini, hanya setahu saya, banyak tentara kita dan juga pejuang Banten yang dimakamkan di Pulau Karya dan Pulau Panggang, tapi saya sendiri tak mendapatkan cerita tentang siapa pahlawan, panglimanya, pertempuran apa, dan kapan. Itu sudah tak lagi diceritakan oleh sesepuh”, tambah Bahnawi.
“Ada banyak nak, Veteran di kepulauan ini. Sayang, mereka tak menceritakan secara detil. Hingga kini, mereka sudah pelupa, sudah tak awas diajak bicara. Sudah uzur, maka kami hanya mendapatkan sejarah yang terpotong. Sejarah pulau ini ada putus, kami tak tahu kenapa kami ada di sini, kami tak tahu apa-apa. Pokoknya semua cerita yang ada muncul ketika sudah ada masyarakat yang menetap di pulau ini”, sesal Haji Ahmad.
Terakhir, masuknya media televisi dan telepon genggam, internet, serta kebebasan informasi malahan membuat generasi anak mereka tidak berminat  lagi untuk mengaji sejarah pulau dan tradisi adat setempat.
“Dulu, setiap habis maghrib, anak-anak kami dan saya sendiri ketika kecil, waktu azan maghrib terdengar semuanya menuju masjid. Hingga isya, mereka mengaji kitab. Setelah pulang, mereka tadarus atau baca kitab lagi sampai malam, baru tidur. Mana sekarang, yang ada lihat televisi, buka hape saling berkirim pesan pendek, atau mangkir”, keluh Nalim.
Diakuinya, perhatian generasi muda setempat teralih oleh munculnya teknologi yang memberi informasi aneh dan negatif. Televisi, memberikan berita perkembangan, tetapi juga memberikan berita kemunduran dari kebudayaan lain, yang kemunduran kebudayaan itu dianggap baik oleh generasi muda.
Pada akhirnya, masyarakat, diwakili oleh Haji Ahmad, meminta kami untuk tetap meneliti pulau ini. Mereka tak mau kehilangan identitas. Bagaimanapun, sebuah budaya terbentuk menjadi identitas masyarakatnya.
“Kamu nanti setelah selesai studi, mengajarlah di pulau ini. Kami kekurangan guru yang baik, yang mau menjaga kearifan budaya di sini”, tutur Haji Ahmad dengan pelan.
Ombak-ombak berkejaran, seakan memberi isyarat tergerusnya budaya bersama pasir-pasir pantai dan karang yang terhempas. Hari semakin malam, semoga keadaan akan menjadi lebih baik.