Fahmi
(14) tampak riang bermain di pinggir dermaga kecil Pulau Pramuka. Ia seorang
siswa kelas 2 SMP. Ia tidak lagi tahu bagaimana sejarah adat pulau ini. Ketika
ditanya, ia hanya menjawab bahwa orang tuanya berasal dari suku Bugis, tidak
lebih. Sehari-hari ia membantu wisatawan menjadi diver. Yang jelas, ia bercita-cita menjadi pelaut juga, seperti
ayahnya.
Denta
(39), adalah seorang ketua RT di pulau ini dan membantu penghidupan dapur
dengan berdagang makanan ringan. Ia asli kelahiran Pramuka. Wajahnya yang
tampak legam menandakan ia sering berkegiatan di tepi pantai yang kini dipenuhi
bakau di sela-sela pagar beton dan pemecah ombak.
Denta
sendiri adalah gelar bangsawan dari Kerajaan Bone, Sulawesi Selatan. Kakek
neneknya merupakan kelahiran Bone dan masih memiliki hubungan darah dengan
bangsawan Kerajaan Bone.
Disinggung
tentang adat istiadat dan folklore, Denta memberi sedikit perhatian. Meskipun
pulau ini dikenal sebagai tempat berwisata, sebetulnya ada adat yang harus
dipatuhi.
Denta,
Ketika ditemui dalam acara riset matakuliah Menulis Populer kelas A, B, dan E
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas
Negeri Jakarta pada tanggal 19 hingga 20 Mei 2012, ia sedang menata
barang-barang dagangannya. Kesan keramahan ada di wajahnya.
Ini
berkaitan erat dengan sejarah adanya penduduk di pulau Pramuka. Dulunya, pulau
ini tidak dihuni. Yang dihuni adalah pulau yang berjarak 0.5 mil laut dari
sini, Pulau Panggang. Zaman sebelum kemerdekaan dulu, pelaut Banten, Bugis,
Jawa, dan Sunda adakalanya singgah kesini untuk beristirahat dan mencari ikan
kecil. Ikan zaman itu masih melimpah.
Lama
kelamaan, pelaut Bugis, membangun rumah peristirahatan semi permanen di pulau
ini, dan sebagian memutuskan menetap dan beranak-pinak di pulau ini. Hal ini
juga yang diikuti oleh pelaut dari suku lainnya. Akhirnya, penduduk pulau
Panggang menjadi padat.
Pulau
ini baru dinamai panggang setelah zaman kolonial. Kala itu, perompak laut yang
tertangkap oleh nelayan setempat dibunuh lalu dipanggang diatas batu karang.
Beberapa karang itu kini masih bisa kita lihat, tenggelam karena abrasi. Pemanggang,
itu nama asli pulau ini, dan mengalami penyingkatan menjadi Panggang.
Pada
era orde lama, pulau Pramuka bernama Pulau Elang. Bahnawi, tokoh masyarakat
asli kelahiran pulau Panggang 50 tahun lalu, mengatakan bahwa hingga tahun
1980-an masih dapat kita temukan elang bondol, yang sekarang kita kenal sebagai
lambang DKI Jakarta.
Elang-elang
itu hilang seiring pembersihan pulau untuk dijadikan perkampungan. Sejarahnya,
sebelum ada Bumi Perkemahan Ragunan dan Cibubur di Jakarta daratan (istilah
masyarakat setempat bagi orang yang tinggal di Pulau Jawa) pihak Kepramukaan
mengirim anggotanya untuk berlatih di pulau ini. Terjadi pada sekitar tahun
50-an hingga 60-an.
Bahnawi
sendiri termasuk penduduk pertama, tepatnya satu dari enam keluarga pertama
yang tinggal disini. Ia melanjutkan, bahwa anggota Pramuka tersebut turut
membangun dan melatih masyarakat setempat. Sisa masa itu masih kita lihat di
Bumi Perkemahan Pulau Pramuka.
Karena
komposisi demografi pulau ini didominasi oleh suku Mandar dan Bugis, adat
setempat pun didominasi oleh adat suku-suku tersebut.
Pada
perayaan sunatan misalnya, dikisahkan ada hari tertentu yang tidak boleh
dilanggar, dan juga si anak tersebut harus melakukan adat tertentu setelah
sunat. Pada perarakan sunatan, harus dilakukan silat mandar sebagai tolak bala.
Bila tidak dilakukan, maka darah dari luka sunat itu akan terus mengucur, dan
si anak, malangnya, akan terus mati kehabisan darah.
Dalam
membangun rumah, suku mandar di pulau ini percaya harus menghadap ke daerah
tertentu. Namun baik Bahnawi maupun Denta, sudah tak lagi menganut aturan ini.
Juga, mereka sudah lupa dengan adat mandar tersebut.
Suku
Jawa, memiliki ceritera sendiri. Setiap beberapa tahun, diadakan ruwatan laut
dan kepulauan. Dengan menanggap wayang dari darat, masyarakat jawa percaya,
akan terhindar bali bala dan bencana lautan. Wayang dan ruwatan, hanya sebuah
simbol penghormatan terhadap alam semesta dan Tuhan, bukan berarti pemujaan
terhadap alam itu sendiri.
Suku
Mandar dan Bugis, membangun adat yang cukup unik dalam folklore setempat. Dari informasi yang masih tersisa, dapat kita
ketahui ceritera rakyat pulau ini.
Dikisahkan,
zaman dahulu kala, ada pelaut Mandar yang berlayar menuju kepulauan ini. Di
tengah lautan, terjadi badai dan kapalnya pecah.
Hanya
dia seorang yang selamat, dari seluruh awak kapal. Ia terombang-ambing selama
bertahun-tahun hingga tubuhnya dipenuhi teritip, sejenis hama lautan yang
berwarna merah muda, sering tumbuh di dasar perahu.
Alkisah,
ia terdampar di Pulau Panggang, dan ditemukan oleh masyarakat. Dengan kondisi
lemah menjelang sekarat, si pelaut meminta agar tubuhnya jangan dibersihkan dan
kapalnya dinaikkan “jangan kau bersihkan tubuhku, dan kalau kau ingin makamkan
aku, galangkanlah dulu kapalku”, ujarnya. Masyarakat tidak banyak bertanya dan
meluluskan permintaannya.
Setelah
meninggal, ia dimandikan dan tidak sengaja kulitnya terkelupas, mengalirlah
darah yang warnanya putih, karena itu ia dinamai Darah Putih. Ketika ia
dimakamkan, entah kenapa terjadi badai dan gelombang besar di lautan dan
kepulauan tersebut, sebab itu, masyarakat lalu berseru, “hai Darah Putih!
Kumohon teduhkanlah laut ini!”, dan mantera inilah yang kemudian menjadi
keyakinan nelayan setempat selama beberapa waktu.
Denta
juga menambahkan, di kepulauan ini, ada sosok penjaga yang berkuda putih,
masyarakat menyebutnya dengan Penunggang Kuda Putih. Sosoknya seperti seorang
syaikh, membawa lentera, dan hanya muncul setiap malam jum’at. Ia akan lebih
sering muncul ketika ada bala atau sihir.
Dahulu,
di pulau ini sering sekali ada penyihir yang mengeluarkan kutukan. Masyarakat
jawa menyebutnya santet. Kisahnya, apabila seorang anak tidur pada siang hari,
maka sore harinya akan hilang, dan tidak ditemukan.
Pada
pagi harinya, anak tersebut akan ditemukan bergelimpangan di jalan-jalan di
pulau itu, tanpa luka, tetapi sudah tidak bernyawa. Akan tetapi, disebabkan
oleh Penunggang Kuda Putih ini, sihir tersebut dipercaya mental dan tidak dapat
menembus dinding ghaib pulau Panggang dan Pramuka.
Juga
Denta menambahkan, ketika penyerbuan tentara Belanda ke wilayah ini, ingin
mengadakan sapu bersih, secara ajaib Pulau Panggang dan Pramuka menghilang
tertutup kabut tebal, dan juga dari penglihatan radar. Ini dipercaya ulah
penunggu pulau itu.
Haji
Ahmad, yang berusia 70 tahun, warga asli pulau Panggang yang kini tinggal di
Tangerang, menuturkan ketika ia menjadi polisi yang bertugas di pulau tersebut,
sosok penjaga Pulau Panggang memang betul-betul ada. Ia
bahkan mengaku pernah melihatnya secara langsung.
Sosoknya,
berjanggut lebat, memegang tali kekang putih, berkuda putih, dan serbannya
terjulur hingga punggung karena panjangnya. Apabila malam, ia sering juga
mendengar tapak kaki kudanya.
Kisahnya,
awal tahun 70-an, karena kecilnya gaji polisi, ia bekerja sebagai buruh lepas
pembangun lapangan terbang Pulau Panjang, tak jauh dari Pulau Panggang.
Siang-malam
ia bersama 10 rekannya, menebang batang kelapa. Syahdan, ketika hampir selesai,
pada malam hari mereka sedang terjaga, muncullah sosok Penunggang kuda ini, dan
bergerak mengelilingi proyek tanpa menghampiri pekerja. Ia tampak marah, dan
kudanya meringkik seperti tergesa.
Haji
Ahmad dan rekannya hanya dapat terpaku sambil mengucapkan doa-doa perlindungan,
tetapi sang Penunggang tidak melakukan hal yang lebih. Ada diantara rekan Haji
Ahmad ini, seorang sunda dari Cianjur. Rekan ini memiliki kepercayaan dari
daerah asalnya, bahwa di sebuah makam keramat harus diadakan nyekaran atau
nyekar, agar mendapatkan keamanan dari si penunggu makam ini. Akhirnya, esok
hari mereka melakukan nyekar.
Meskipun
telah dilakukan nyekar, ketika 7 batang kelapa terakhir di tebangnya, terjadi
peristiwa menakjubkan. Secara tiba-tiba, batang-batang pohon kelapa itu
bergerak sendirinya dan menjepit gergaji mesin yang ia gunakan. Ia dan
rekan-rekannya lari terbirit-birit melihat kelapa yang kini seperti manusia, terpersonifikasikan
oleh energi pulau itu.
batang kelapa itu, yang memang ada di sekitar
makam, akhirnya mau tak mau mati seiring selesainya proyek bandar udara Pulau
Panggang selesai.
Hal lain yang cukup
aneh terjadi ketika penerbangan pertama dilakukan. Haji Ahmad termasuk
penumpangnya. Sebelum meninggalkan landasan, mendadak mesin pesawat mengalami
gangguan, dan kembali berhenti. Rombongan Haji Ahmad akhirnya memutuskan
kembali nyekar, di makam Sang Darah Putih, dan akhirnya lancarlah penerbangan
itu.
Masyarakat
setempat mempercayai, bahwa makam Darah Putih dan Sang Penunggang Kuda Putih
inilah yang melindungi pulau mereka. Tidak berarti mereka memuja, namun hanya
sebatas menghormati.
Pulau
Karya dan Pulau Panjang sendiri memiliki sejarah rumit. Pulau Karya, dahulunya
bernama pulau Cina, karena banyak didiami oleh saudagar cina yang merantau
kemari. Lama kelamaan, penduduk tidak hanya orang keturunan cina, tetapi juga
Mandar dan Bugis.
Era
orde baru, pulau ini berganti berganti nama seiring banyaknya pekerja yang
datang untuk membuka pulau. Pekerja ini, dulu disebut juga dengan karyawan,
sebelum secara semantis kata “karyawan” mengalami peyorasi menjadi berarti
buruh pabrik.
Akhirnya,
dengan naiknya Bapak Darmo sebagai lurah Panggang, digantilah nama pulau Cina
dengan Pulau Karya. Lagi pula, secara tata nama, Karya memiliki nilai rasa
lebih baik apabila ditilik dari situasi politik zaman itu. Adapun Pulau
Panjang, memang karena bentuknya memanjang seperti ekor ikan pari. Pulau Karya,
sekarang ini hanya diisi dengan pemakaman.
Secara
administratif, ketika zaman Lurah Darmo, terjadi perombakan struktur kebijakan
dari kebijakan dasar menuju kebijakan modern. Ini terjadi sekitar tahun 1980.
Penyebabnya adalah, sudah padatnya penduduk Pulau Panggang. Mau tak mau,
terjadilah pemindahan kantor-kantor pemerintahan agar masyarakat mau mengikuti
pemimpinnya.
Mulanya,
kantor Kelurahan Pulau Panggang dipindahkan ke Pulau Pramuka, dengan harapan,
masyarakat mau mengikuti perpindahan ini. Ternyata, itu tak terjadi. Masyarakat
justru menuntut pengembalian pusat pemerintahan kelurahan kembali ke pulau
mereka. Padahal mereka sudah dijanjikan dengan sebidang tanah.
Haji
Ahmad dengan berapi-api menceritakan bagaimana sejarah terbentuknya struktur
adat masyarakat yang sekarang ada, ditinjau dari segi administratif. Ia
melanjutkan, bahwa akhirnya pusat kelurahan kembali dipindahkan ke Pulau
Panggang, dan Kantor Kabupaten Kepulauan Seribu yang ditempatkan di Pulau Pramuka.
Dengan
ramainya Pulau Panggang dan Pramuka, ini menuntut kebutuhan lahan pemakaman
yang tinggi. Akhirnya pemakaman dialihkan ke Pulau Panjang, dan makam yang
sudah ada lebih dulu turut dipindahkan kesana.
Menurut
Bahnawi, ini terjadi berangsur selama beberapa tahun di era 2000-an ini. Hingga
sekarang, orang-orang pulau yang wafat dikuburkan di Pulau Panjang meskipun
harus menyeberang lautan.
mengenai adat setempat dan kaitannya dengan
agama masyarakat, Haji Ahmad dan Bahnawi memiliki satu suara. Mereka
menegaskan, masyarakat dan budayanya, adalah masyarakat dan budaya islam. Ada
banyak nilai-nilai islam yang memberi warna positif terhadap tindak-tanduk
masyarakat.
Keduanya
menyatakan, islam di kepulauan ini ada secara sekonyong-konyong, sebab para
penduduk yang berasal dari Mandar, Bugis, Banten, dan Jawa, sudah beragama
islam. Tidak lagi dibawa atau disebarkan oleh tokoh ulama dan pengajar.
Haji
Ahmad sendiri mengatakan, ketika penduduk mulai ramai, barulah terasa kebutuhan
terhadap ulama. Ia menunjukkan dua makam Habaib yang pernah menjadi guru bagi
masyarakat. Nama keduanya adalah Habib Ali Bin Hussein Al-Attas dan
Ada
cerita khusus mengenai dua makam ini. Keduanya, terletak bersebarang di
masing-masing ujung timur dan barat Pulau Panggang. Masyarakat meyakini,
kepulauan mereka jarang terkena bencana sebab makam keduanya menjadi semacam
“paku bumi” Kepulauan Panggang.
Bahkan,
ketika satu demi satu mereka dimakamkan, terjadi angin ribut yang segera reda
setelah prosesi pemakaman selesai. Jenazah Habib Ali, mengalami sedikit
karamah. Karamah, adalah keajaiban yang hanya turun kepada orang shalih dalam
agama islam.
Ketika
ia wafat, jenazahnya akan dimakamkan di tempat asalnya, Jakarta Daratan. Ketika
ia akan dibawa melewati lautan, hari sedang cerah, dan matahari bersinar
seperti biasa. Perjalanan belum jauh dari pulau, terjadi badai di tengah lautan
yang betul-betul besar. Ini membuat kapal tak bisa melanjutkan pelayaran dan
rombongan memutuskan kembali.
Anehnya,
begitu sampai di pulau asal, badai menjadi reda. Rombongan pelayat melanjutkan
untuk membawa jenazah Sang Habib menuju daratan. Siapa sangka, kembali terjadi
badai, dan terulanglah peristiwa pertama. Ini terjadi hingga tiga kali, dan
akhirnya diputuskan bahwa Habib Ali tetap akan dimakamkan di Pulau panggang.
Kedua
makam Habaib tersebut dikeramatkan, dalam arti masyarakat tidak menyembahnya,
namun sebatas meyakini bahwa keduanya adalah wali Allah. Dalam ajaran islam,
seorang yang digelari wali berarti mencapai derajat Kekasih Allah.
Akulturasi
masyarakat Kepulauan di Kelurahan Pulau Panggang paling tidak, menyebabkan
beberapa hal secara kebudayaan dan kesusastraan. Menurut Dr. Agus Trianto,
dalam essai yang disampaikan dalam seminar nasional di Universitas Bengkulu,
berjudul Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia Berbasis Budaya, kebudayaan
turut membentuk perilaku kebahasaan masyarakatnya, yang berhubungan seperti
hutan.
Dalam
konsep ini, bahwa Budaya adalah tanah tempat tumbuhnya bahasa, sementara bahasa
itu berkembang membesar, ada pula daun-daun dan ranting mati yang berguguran
membentuk kesuburan baru bagi tanah, budaya itu sendiri.
Inilah
yang menyebabkan seolah dengan berbaurnya masyarakat Bugis, Mandar, Banten,
Jawa, dan Sunda, maka bahasa mereka lebur dan menjadi sebuah bahasa Indonesia
yang berdialek khas orang pulau.
Khas
mereka, adalah membunyikan fonem /e/ teleng yang terletak di akhir morfem,
menjadi /é/ pepet, seperti pada kata “Banten” yang dilafalkan menjadi /Bantén/
oleh masyarakat.
Namun
hal ini tidak menjadi mutlak, karena seiring zaman, masyarakat sudah terbiasa
menggunakan bahasa nasional sesuai kaidah pengucapan fonemis yang benar.
Secara
kejiwaan, masyarakat memiliki motivasi yang kuat untuk tetap mempertahankan
agama islam tanpa kehilangan nilai budaya setempat. Agama islam yang berkembang
di Pulau Jawa dan Sulawesi, tentu memiliki sedikit corak yang berbeda.
Oleh
karena sifat dasar masyarakat yang menyatu, merasa sepenanggungan, satu pulau,
satu lautan, mereka menghilangkan keegoan rasial diantara mereka, dan membentuk
komunitas islam yang damai. Ada kemungkinan, kedatangan dua Habaib turut
menyatukan keberagamaan di pulau tersebut hingga tidak terjadi perbenturan yang
serius.
Ketika
lebaran tiba, seperti biasa diadakan tradisi bersalaman dan saling memaafkan
antar warga, hingga mereka saling mengenal satu dengan lainnya. Ada pula
tradisi memberi hadiah berupa uang kepada anak-anak, tanpa memandang perbedaan
suku.
Sehubungan
dengan itu, Haji Ahmad, ketika ditanya aliran apa yang dominan di pulau itu, ia
menjawab, “saya tidak suka sebetulnya, masyarakat ini dikandangkan dalam aliran
tertentu. Orang-orang pulau ini satu, semuanya islam. Tidak ada Muhammadiyah,
tidak ada NU, tidak ada Syiah, atau sejenisnya. Kami semua satu, kami beragama
islam, dan yang terpenting adalah, syahadat kami satu, shalat kami satu, zakat,
puasa, dan haji kamipun satu, tak ada lainnya”.
Demikian
arifnya masyarakat pulau ini, hingga akulturasi menjalar kepada tradisi gotong
royong yang amat terjaga. Satu ketika, ada terjadi seorang wisatawan kehilangan
kamera dan sejumlah uang, telepon genggam, dan penyimpan data.
Dengan
menakjubkan, hampir semua warga, segera mengetahui kabar tersebut dan tanpa
dikomando melakukan pencarian terhadap si maling. Akhirnya, tertangkaplah
maling itu, lalu habis dihajar warga.
Gotong
royong ini, menurut Haji Ahmad dan Bahnawi, memiliki dasar filsafatis yang
cukup menarik. Menurut mereka, gotong royong di suatu lingkungan masyarakat,
hanya dapat dilaksanakan apabila terjadi kondisi dimana semua warga saling
mengenal, dan memiliki satu tujuan untuk bersama-sama menjaga, membangun, dan
perasaan memiliki pulau itu. Perasaan memiliki dan ingin menjaga pulau inilah,
yang menyebabkan ikatan warga amat erat disini. Pada mata rantai selanjutnya,
ini membentuk adat gotong royong yang kuat diantara mereka.
Selanjutnya,
ditegaskan pula bahwa perasaan menjaga dan memiliki ini bersumber dari asas
yang disimpulkan, baik Bahnawi maupun Haji Ahmad, “Kami jelas tinggal
sepenanggungan di pulau ini. Kami tinggal di pulau, namun hidup di lautan.
Maksudnya adalah, kami membangun rumah, hingga berkewajiban menjaga pulau ini,
namun mencari nafkah di lautan, hingga berkewajiban pula menjaga lautan, setidaknya
dari sampah dan kerusakan”.
“Beberapa
bulan lalu, ada puting beliung di Pulau Kelapa, apa ada kamu tahu? Tentu tidak.
Padahal kamu orang kota daratan membaca koran mudah, melihat televisi tidak
dibatasi pemadaman bergilir, tetapi kami tak melihat ada orang yang bergerak
memberikan bantuan. Hanya kami, orang pulau yang ramai-ramai berpatungan dan
kesana untuk perbaikan Pulau Kelapa, juga menghibur saudara-saudara kami. Mana
kamu? Payah kali orang kota ini”, sindir Denta kepada warga kota Jakarta yang
kehilangan nilai gotong royongnya.
Sikap
kebersamaan ini yang diterapkan Lurah Darmo ketika membangun perkampungan Pulau
Pramuka, yang kala itu berantakan. Pada tahun 80-an, segala pagar yang
menonjol, pohon yang melintang di jalanan, haruslah diratakan dan dirapikan.
Jadilah sekarang ini Pulau Pramuka yang rapi dan tertib, berkat sikap
gotong-royong warga untuk merawat pulaunya.
Masyarakat
setempat memiliki suatu sandi untuk membedakan warga pulau dengan pendatang
yang membawa pengaruh buruk. Diakui, dengan adanya kebijakan pemerintah DKI
Jakarta untuk menjadikan Kepulauan Seribu sebagai daerah wisata, kewaspadaan
masyarakat terhadap budaya luar meninggi.
Untuk
membedakannya, cukup diketahui dari cara pendatang berbicara. Apabila ada orang
berbicara yang nada suaranya lebih tinggi dan keras dari warga pulau itu, maka
orang tersebut akan dicap buruk dan dijauhi. Istilahnya, menjaga kesopanan
terhadap tuan rumah dan memberi kesan kedatangan yang positif.
Juga,
apabila seseorang membawa aliran tertentu, dan berciri-ciri fisik keagamaan
berbeda, seperti berjenggot panjang, memakai celana pendek, namun mendakwahi
sesuatu yang dianggap asing oleh warga, maka kewaspadaan akan meninggi.
Bahnawi
adalah seorang pelaut, sedangkan Haji Ahmad adalah pembangun dan saksi hidup
berkembangnya pulau ini. Mereka mengajarkan satu prinsip filsafatis yang amat
dalam, sedalam lautan yang menjadi penghubung kepulauan, rumah-rumah mereka.
Pada
dasarnya, lautan, memiliki hati. Samudera raya ini memiliki perasaan yang dapat
membaca hati setiap manusia yang berlayar dan tinggal di atas pulau-pulaunya.
Kita, manusia, apabila memiliki niat baik, maka lautan akan mendukung kita,
secara kasat mata. Entah itu berupa tenangnya lautan, keluarnya rizki yang
melimpah dari dasarnya, atau dijaganya pulau dari kedatangan lanun dengan
membesarnya ombak.
Apabila
kita memiliki niatan jahat ketika datang ke lautan tersebut, atau memiliki
etika kurang sopan, maka lautan dan kepulauan tersebut akan meluapkan
kemarahannya, dari sekedar menegur, hingga meminta korban jiwa.
Ketika
pembangunan dermaga, ada seorang pekerja yang dengan angkuh bermain-main di
sekitar pantai dan dalam istilah Ibu Denta, kurang permisi. Akibatnya, ia
tenggelam dan secara ajaib, jasadnya hilang di dasar lautan. Ketika itu, ia
tenggelam di bawah batuan proyek dermaga utama Pulau Pramuka.
Masyarakat
setempat dan rekan kerjanya berusaha mencari tetapi tidak ditemukan juga.
Akhirnya, warga meminta petunjuk dan “pembersihan” dengan doa seorang alim
ulama, ustad pulau tersebut, dan ditunjukkanlah dimana mayatnya. Sang pekerja
ditemukan dalam kondisi bersedekap, terduduk, bersandar di tiang jembatan
dermaga. Di sana penyelam sudah mencari berulang kali, namun baru kali ini
terlihat.
Filsafat
yang dalam in itimbul akibat ikatan yang kuat antara pelaut, pulau, dan
samudera. Kearifan mereka, yang menjaga pulau ini, sebetulnya memiliki arti
utama bukan menghormati atau merawat lautan itu sendiri.
Kembali
pada persoalan keimanan. Lautan, pulau, bumi, dan juga orang-orang di atasnya,
adalah ciptaan Allah juga. Haji Ahmad menegaskan, kita turun sebagai khalifah
di muka bumi, menyitir surah Al-Baqarah ayat ke-30. Khalifah, berarti wakil,
pengganti, dalam artian, kita adalah wakil Allah (tanpa meninggalkan sifat Maha
Kuasa dari Sang Khaliq) untuk memakmurkan bumi.
Kewajiban
memakmurkan bumi ini, dalam ajaran islam, ditawarkan kepada Gunung, namun
ditolak. Begitu juga oleh makhluk-makhluk lain. Namun dengan sewenang-wenang,
manusia mengambil kewajiban ini. “Alangkah manusia ini bodohnya!” seru Haji Ahmad.
“Kita
ini ditugaskan untuk menjaga lautan, maka menjadi amanlah kita. Bukan berarti
lautan ini yang menjaga kita, tetapi, segala lautan dan daratan, adalah milik
Allah. Apabila kita menjaga milik Allah, maka Allah jua yang menjaga kita. Kita
menjaga, Dia melihat. Kita merusak, Dia juga melihat”, serunya.
Di
gerbang dermaga utama Pulau Pramuka, memang terpampang kutipan ayat suci
Al-Qur’an, surah Ar-Rum, ayat 41 yang berbunyi: “Telah terjadi kerusakan di
daratan dan di laut, disebabkan oleh ulah tangan manusia; Allah menghendaki
agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka
kembali (kejalan yang benar)”, diatas papan berwarna kuning dan berbingkai
biru.
Ini
seolah menggambarkan betapa tunduknya mereka dengan Sang Pencipta, Tuhan
daratan dan Tuhan lautan. Berbeda dengan keyakinan pamali atau takhyul yang
mengatakan bahwa lautan memiliki kuasa sendiri, itu jelas dibantah oleh Haji
Ahmad, Bahnawi, dan Denta.
“Kami
ini ingin, apabila ada orang datang, entah untuk meneliti, wisata, atau apa,
tidak usahg membayar penginapan atau tiket. Tetapi cukuplah rombongan itu
berpatungan, bangunkan atau perbaiki mushala di sini, atau sumbangkan pada
sekolah itu yang tak memiliki lapangan berplester. Atau, buatkan kamar mandi
umum saja. Itu sudah cukup, jangan kami dianggap seperti Pulau Bidadari atau
Pulau Putri, hanya untuk berwisata semata”, kata Haji Ahmad.
Sikap
rendah diri dan arif masyarakat setempat juga tampak dari cara mereka bertutur
kata yang bagai sastrawan. Ada satu persamaan, yang tetap saja mengesankan.
Mereka selalu mengucapkan kata kunci yang sama apabila ditanyai tentang sejarah
kebudayaan pulau ini.
“Maaf-maaf
saja, apabila kami salah memberikan kabar. Kalau benar, syukur alhamdulillah,
kalau salah, ya maklum, kami ini tidak begitu tahu”. Padahal, informasi yang
mereka berikan amatlah banyak dan berharga.
Kramanisasi ini, atau berbasa-basi, sebetulnya
menjadi semacam penanda perilaku kebahasaan yang mencerminkan betapa halusnya
kebudayaan mereka, berbeda dengan yang digambarkan di media massa selama ini,
bahwa masyarakat pulu adalah primitif dan kampung, nelayan yang tak tahu adat.
Akulturasi
di kepulauan ini menunjukkan sebuah prototip kebudayaan Indonesia yang
betul-betul damai, lebur menjadi satu tanpa meninggalkan warna masing-masing
daerah. Seperti cahaya putih cerlang, yang berasal dari tujuh warna. Inilah
kebudayaan asli kita, gotong-royong dan kearifan lautan dan daratan, serta
keyakinan akidah terhadap Sang Pencipta yang amat agung dan mendalam di setiap
hati masyarakatnya.
-kecemasan
warga setempat bukannya tak ada. Mereka umumnya khawatir dengan pencanangan
daerah ini sebagai objek wisata oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Diakui
baik oleh Denta, Bahnawi, maupun Haji Ahmad, generasi muda mereka mulai
meninggalkan adat dan kearifan lokal daerah ini.
Setidaknya,
ada lima penyebab lunturnya tradisi dan adat kepulauan ini. Pertama, adalah
sikap bapakisme yang masih kental ada. Sikap bapakisme ini, secara sosial
adalah pendambaan dan pengagunganmasyarakat terhadap orang atau tokoh yang
dianggap ideal, dan memegang kekuasaan. Ini membuat masyarakat menurut saja,
apapun kata pemerintah.
Kebijakan
pemerintah yang ada, terkesan memodernkan kepulauan ini. Namun tanpa sadar,
mereka membunuh nelayan. Naiknya harga bensin, dibangunnya hotel-hotel dan
penginapan, turut menghancurkan lautan, dan akhirnya mata pencaharian nelayan.
Mau tak mau, mereka beralih profesi. Ada yang menjadi instruktur penyelaman,
penanam bakau, ataupun pejabat pemerintah.
Ini
perlahan mengikis adat lautan menjadi adat perkotaan. Lautan, yang menjadi
basis kebudayaan mereka, dipaksa digantikan oleh adat perkotaan oleh orang yang
menjabat di provinsi, yang bukan orang yang kenal dengan Kepulauan Seribu.
Kedua,
diangkatnya pejabat-pejabat yang bukan asli Kepulauan Seribu, membuat
masyarakat kehilangan sosok pemimpin ideal dan teladan. Haji Ahmad, yang
seorang purnawirawan polisi di sana, mengeluarkan kemarahan yang seperti
tertunda. Ia geram, jarangnya bupati maupun lurah tinggal dan berkantor di
sini. “Mereka semua orang daratan, main ke pulau hanya untuk berlibur”, serbu
Haji Ahmad.
“Kau
tengok lah itu wisma di utara pulau, itu milik bupati, yang kami taksir
harganya limaratus juta! Uang dari mana dia? Saya tahu benar gaji seorang PNS,
tidak sampai segitu, dia tak sampai setahun sudah membuat penginapan, sedang
dia sendiri jarang ke pulau ini untuk menemui kami”, Haji Ahmad menambahkan.
Ketiga,
kebijakan pariwisata juga turut mengikis adat setempat. Bagi Bahnawi, Denta,
maupun Haji Ahmad, mereka menyatakan tegas bahwa pulau ini bukan pulau wisata. “Ini bukan untuk wisata,
kami bukan tontonan. Kami ini masyarakat, hidup di sini”, tutur Bahnawi agak
keras.
“Kami
tak suka, khawatir dengan datangnya wisatawan kesini. Utamanya, mereka tak bisa
menjaga kata-kata dan tutur tingkah mereka. Mereka membawa pengaruh jelek
kepada generasi anak kami, yang dewasa sih sudah paham, tetapi yang kecil-kecil
ini bagaimana? Kita ini orang berbudaya, tak boleh menampakkan aurat di depan
umum”, tutur Nalim, sesepuh Pulau Panggang.
“Sebetulnya,
kami bukan tempat wisata. Kalau kamu ingin wisata, sanalah pergi ke Pulau
Putri, Onrust, atau Edam. Di sini tempatnya masyarakat. Kami tak suka ada
perempuan wisata kemari, mentang-mentang
berenang, maka pakailah ia celana segini (sambol memperagakan bentuk celana
renang wanita two piece dengan
tangannya) bisa rusak kami!”, Haji Ahmad meringkas.
Adat
mereka memang ketat soal berbusana. Bahkan, kaum perempuan dewasanya semacam
ditabukan bercelana pendek yang ketat keluar rumah. “Kami takut yang terjadi di
Aceh, terulang di sini. Lihat Aceh, masjidnya besar-besar tapi ternyata sedikit
isinya. Ternyata juga dia penghasil ganja terbesar, ternyata juga dia sering
konflik antar warga dan GAM. Jadilah tsunami, sebagai Azab Allah pada mereka”,
Bahnawi melanjutkan.
“Bukan
tak mungkin, kami terkena sedemikian itu juga, karena tingkah anak muda kami.
Lihat saja, orang laki jalan dua-dua dengan perempuan bukan muhrim dengan
pegang tangannya, celana ketat. Aceh saja yang memiliki gunung dan daratan yang
luas, tak bisa kabur dari ombak, apalagi kami yang ibarat hanya seujung kuku
pulaunya. Matilah semua kami!”, tutupnya.
Keempat,
budaya dan adat setempat juga hilang dengan wafatnya para tetua tanpa sempat menceritakan
apa sejarah pulau ini. Terus terang, penulis agak sulit menguak informasi dari
mereka. Padahal, penulis mengambil sampel dari segala rentang usia dan profesi.
Semua
narasumber mengatakan, para tetua pulau ini sudah sedikit yang awas bila ditanya
seputar sejarah pulau. Nalim, yang berusia 70-an tahun, sudah mengaku lupa
dengan sejarah pulau ini dan jejak rekam masalalunya di sini. Denta sendiri
mengaku tidak diceritakan apapun oleh orang tuanya.
Mereka
resah, generasi muda yang banyak merantau untuk belajar dan bekerja di darat,
pasti akan lupa dengan masa lalu, kearifan, dan adat istiadat yang membentuk
sistem kebudayaan masyarakat Kepulauan Seribu.
“Sayang
betul, orang tua kami tak sempat cerita banyak tentang pulau. Apalagi, jarang
ada peneliti yang datang untuk menguak sejarah kenapa kami ada di sini, dan
kenapa kami menjadi seperti ini, kebanyakan mereka hanya meneliti hewan dan
tumbuhan. Bakau, penyu, dan isi laut, tetapi tidak meneliti lautnya”, Denta
agak menyesal.
“Kami
tidak banyak diceritakan sejarah di sini, hanya setahu saya, banyak tentara
kita dan juga pejuang Banten yang dimakamkan di Pulau Karya dan Pulau Panggang,
tapi saya sendiri tak mendapatkan cerita tentang siapa pahlawan, panglimanya,
pertempuran apa, dan kapan. Itu sudah tak lagi diceritakan oleh sesepuh”,
tambah Bahnawi.
“Ada
banyak nak, Veteran di kepulauan ini. Sayang, mereka tak menceritakan secara
detil. Hingga kini, mereka sudah pelupa, sudah tak awas diajak bicara. Sudah
uzur, maka kami hanya mendapatkan sejarah yang terpotong. Sejarah pulau ini ada
putus, kami tak tahu kenapa kami ada di sini, kami tak tahu apa-apa. Pokoknya
semua cerita yang ada muncul ketika sudah ada masyarakat yang menetap di pulau
ini”, sesal Haji Ahmad.
Terakhir,
masuknya media televisi dan telepon genggam, internet, serta kebebasan
informasi malahan membuat generasi anak mereka tidak berminat lagi untuk mengaji sejarah pulau dan tradisi
adat setempat.
“Dulu,
setiap habis maghrib, anak-anak kami dan saya sendiri ketika kecil, waktu azan
maghrib terdengar semuanya menuju masjid. Hingga isya, mereka mengaji kitab.
Setelah pulang, mereka tadarus atau baca kitab lagi sampai malam, baru tidur.
Mana sekarang, yang ada lihat televisi, buka hape saling berkirim pesan pendek, atau mangkir”, keluh Nalim.
Diakuinya,
perhatian generasi muda setempat teralih oleh munculnya teknologi yang memberi
informasi aneh dan negatif. Televisi, memberikan berita perkembangan, tetapi
juga memberikan berita kemunduran dari kebudayaan lain, yang kemunduran
kebudayaan itu dianggap baik oleh generasi muda.
Pada
akhirnya, masyarakat, diwakili oleh Haji Ahmad, meminta kami untuk tetap
meneliti pulau ini. Mereka tak mau kehilangan identitas. Bagaimanapun, sebuah
budaya terbentuk menjadi identitas masyarakatnya.
“Kamu
nanti setelah selesai studi, mengajarlah di pulau ini. Kami kekurangan guru
yang baik, yang mau menjaga kearifan budaya di sini”, tutur Haji Ahmad dengan
pelan.
Ombak-ombak
berkejaran, seakan memberi isyarat tergerusnya budaya bersama pasir-pasir
pantai dan karang yang terhempas. Hari semakin malam, semoga keadaan akan
menjadi lebih baik.