Jumat, 03 Agustus 2012

Jesus


Jesus
Aku sebal. Tetapi aku senang. Ini hari pertama aku menemui teman-temanku setelah tiga bulan liburan. Aku sebal. Katanya aku terlihat senang. Tetap saja, aku sebal.
Jesus!
Aku katanya mirip Jesus!
Apa?
Ya!
Jesus.
Bukan!
Rambut panjang, keriting keemasan. Mata cokelat tanah. Terang. Tinggi dan mancung, figur Israel. Namaku Nasrul. Bukan Nasrani! Nasrul! Bukan Jesus!
Aku menyukai gadis kelas sebelah, namanya Khanza. Ia cantik, tinggi sedang, putih terang, cemerlang. Matanya sayu. Tetapi cerah dan menggairahkan. Suaranya lembut, ia cerdas, juga ramah. Senyumnya mampu mengalihkan pandangan mata Jesus.
 Bukan! Pandangan mata Nasrul!
Caranya berbicara mampu mengalihkan pandangan hati Jesus. Bukan! Nasrul! Caranya berjalan memancing Jesus untuk selalu mengikutinya. Bukan! Nasrul! Caranya menjawab pertanyaan memancing Jesus untuk selalu bertanya lagi dan lagi. Bukan! Nasrul.
Bukan! Nasrul!
Ketika aku duduk-duduk bersama rekan di bawah tembok kampus, mereka memanggilku Jesus. Ada Jesus dalam kampus. Karena rambutku mirip Jesus, maka ada Jesus di rambutku. Sinting! Aku Nasrul! Bukan Jesus!
Aku cerita pada mereka tentang aku yang menyukai wanita. “Bah! Jesus jatuh cinta!” kata mereka. Aku bukan Jesus! Apa karena rambutku mirip Jesus maka aku Jesus?
Omong-omong, hidungmu mirip pelacur, maka kamu pelacur. Matamu mirip maling, maka kamu maling. Tanganmu mirip aku, maka kamu aku tapi kamu bukan Jesus. Kamu Nasrul, karena aku bukan Jesus. Rambutmu mirip juga Jacko, maka kamu Jacko.
Entah kenapa dengan perubahan panjang rambutku yang dramatis-tapi sungguh tak ada maksud menyaingi orang anak Tuhan itu-teman-teman bilang aku mirip Jesus. Semua puisi yang mereka serukan kala latihan menghujat aku. Semua menghujat aku.
“Engkau mengaku sebagai Tuhan,
Lantas Tuhan mengakuimu sebagai apa!”
Sial.
Brengsek.
Akhirnya aku tahu juga rasanya jadi Tuhan yang dihina. Tuhan yang terhina. Tuhan yang dihujat umat-umatnya! Tuhan yang dihujat rekan-rekannya! Bah! Brengsek!
Brengsek. Tetapi tabah juga Tuhan yang asli dihina macam ini. Hm, aku diam saja. Katanya Tuhan maha penyabar. Ya! Maha penyabar. Tuhan yang Maha Penyabar. Cukup! Aku bukan Tuhan! Tetapi aku Jesus!
Bukan!
Aku Nasrul!
Ketika di kelas, aku selalu memilih duduk di dekat-Nya. Khanza. Nama yang menggetarkan tiang-tiang kampus hingga siap menimpa aku. Di dekat-Nya itu, bisa di belakang-Nya, bisa di depan-Nya, bisa di kiri-Nya. Ya! Dia adalah matahari, yang menerangi Tuhan yang butuh kasih sayang seperti aku. Bukan! Nasrul yang butuh kasih sayang. Bukan Tuhan. Bukan Jesus.
Khanza, nama yang sanggup mengganggu tidur pejabat-pejabat dan pembantunya. Yang memicu tsunami. Yang membuat pesawat jatuh di Gunung Gedhe. Yang membuat kampusku banjir tiap tahun. Yang membuat Cililitan macet! Yang membuat gempa dimana-mana!
Di dekat-Nya, Aku mulai memuja dia. Ada Tuhan yang dipuja Tuhan seperti aku. Aku juga mulai termakan sugesti mengenai diriku. Apakah aku benar-benar Jesus? Oh tidak. Apakah iya? Oh tidak.
Oh tidak. Aku menjadi Tuhan.
Oh tidak. Aku benar-benar menjadi Tuhan.
Aku harus maha kuasa atas Khanza! Tuhan! Tuhan!
Aku harus mendapatkan Khanza!
Kususun rencana, aku harus menyatakan cinta-Ku kepadanya. Wahai Khanza, Tuhan yang tercatat seperti legenda dalam kitab-kitab suci samawi kini menyatakan cinta kepada-Mu. Wahai Khanza tunggulah aku datang kepada-Mu!
***
Sebagai Tuhan yang baru diakui tahun 2012, aku harus menjaga penampilan. Baju belang-belang. Celana levi’s, rokok Magnum, tiga kali sehari. Ini asap rokok dari Surga. Gelang plastik biru, sepatu sobek-sobek. Tiga tahun ku beli. Sebelum jadi Tuhan.
Apakah aku Tuhan? Harus dikaji ulang. Aku sendiri bimbang. Menurut teori-teori dari buku-buku, Tuhan adalah maha kuasa. Kini akan ku tunjukkan kekuasaanku pada Khanza.
Akan ku pengaruhi jiwa-Nya. Akan ku renggut hati-Nya. Akan kugetarkan pula tiang-tiang penyangga kampus yang telah retak karena pesona-Nya.
Sebagai Tuhan, aku diturunkan di tengah domba-domba tersesat dari kaum sastra. Ada yang memuja puisi. Ada yang menyembah Sutardji. Ada yang cinta Sapardi. Tugasku memperbaiki akhlak mereka.
Oh tidak.
Aku mulai percaya bahwa aku adalah Tuhan.
Oh tidak.
Aku mulai percaya bahwa aku dapat menurunkan Azab bagi mereka yang mengatai aku mirip Tuhan.
Oh tidak.
Aku Jesus.
Setidaknya,
Mirip Jesus.
Aku membawa ajaran kasih. Tapi jangan kasihi Khanza, karena Khanza harus menjadi milikku seorang. Karena Khanza harus aku kasihi seorang. aku membawa ajaran kasih. Maka kasihilah aku, akan kukasihi pula kamu.
Ajaranku ajaran kasih, mengasihi sesama manusia, mengasihi sesama yang mirip Jesus. Tunggulah.
Sesungguhnya,  aku mulai bosan. Aku mulai bosan mengasihi Khanza. Huf. Hufh. Aku lelah. Aku mengejar-ngejar dia setiap hari. Seperti film India, tapi ini Indonesia. Tapi kenapa di Indonesia turun pula Jesus? Dia harusnya hanya ada di Palestina. Di Jerussalem. Di hati mereka yang penuh rasa kasih dan sayang. Bukan dalam rambutku. Bukan pula dalam namaku. Aku Nasrul!
Bukan Jesus!
Aku batalkan rencanaku menyatakan cinta kepada Khanza. Semua sandiwara ini, semua orang ini harus dihentikan! Aku bukan Tuhan! Brengsek! Aku bukan Tuhan! Aku bukan Jesus!
Brengsek bertuhan!
Apakah aku harus berteriak di depan gedung jurusan? Tidak. Mereka akan semakin percaya bahwa aku Tuhan. Tuhan yang rendah diri, tak mau mengaku Tuhan. Seperti kebiasaan orang-orang jawa yang merendahkan dirinya di hadapan tamu-tamu.
Apakah aku harus berteriak menggunakan spiker masjid? Tidak. Bisa habis aku dibabtis imam masjid. Liurnya memang seperti memandikan aku bila marah. Lagi pula, jadi apa aku di tengah anak-anak yang suka memegang Kitab Suci? Dirajamnya aku nanti.
Apakah aku harus membuat surat? Bisa-bisa suratku nanti dipandang sebagai surat ke seratuslimabelas dalam Al-Qur’an karena aku Tuhan. Atau, menjadi Injil Kelima. Bayangkan betapa kerennya, Injil Lukas, Markus, Matius, Yohanes, dan Nasrul. Injil yang langsung dari orang yang diakui sebagai Jesus.
Oh tidak.
Oh tidak.
Mengaku bukan Tuhan lebih sulit dari yang ku kira, lebih sulit dari diakui sebagai Tuhan. Oh tidak. Bagaimana caranya mengaku bukan Tuhan?
Sudahlah, mereka akan lupa seiring berjalannya waktu. Aku tenang-tenang saja, berhenti menebar keajaiban. Berhenti mengejar-ngejar Khanza. Berhenti menuhankan dia. Dia bukan Tuhan! Aku harus lebih mengasihi diriku sendiri baru mengasihi dia.
Sudahlah. Aku ingin tobat sebagai Tuhan. Ya, Jesus yang tobat. Kini namaku kembali Nasrul. Selamat tinggal, Khanza. Selamat tinggal, Jesus. Kini tugasku, menghentikan diri mengejar-ngejar kamu. Terserah apa kata temanku.
Yang jelas, aku bekas Tuhan selama beberapa bulan, dan ketika itu, aku gagal mendapatkan kekasih. Akhirnya aku paham, kenapa Tuhan tidak pernah punya pacar juga. Aku pernah menjadi Dia beberapa bulan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar