Jesus
Aku
sebal. Tetapi aku senang. Ini hari pertama aku menemui teman-temanku setelah
tiga bulan liburan. Aku sebal. Katanya aku terlihat senang. Tetap saja, aku
sebal.
Jesus!
Aku
katanya mirip Jesus!
Apa?
Ya!
Jesus.
Bukan!
Rambut
panjang, keriting keemasan. Mata cokelat tanah. Terang. Tinggi dan mancung,
figur Israel. Namaku Nasrul. Bukan Nasrani! Nasrul! Bukan Jesus!
Aku
menyukai gadis kelas sebelah, namanya Khanza. Ia cantik, tinggi sedang, putih
terang, cemerlang. Matanya sayu. Tetapi cerah dan menggairahkan. Suaranya
lembut, ia cerdas, juga ramah. Senyumnya mampu mengalihkan pandangan mata
Jesus.
Bukan! Pandangan mata Nasrul!
Caranya
berbicara mampu mengalihkan pandangan hati Jesus. Bukan! Nasrul! Caranya
berjalan memancing Jesus untuk selalu mengikutinya. Bukan! Nasrul! Caranya
menjawab pertanyaan memancing Jesus untuk selalu bertanya lagi dan lagi. Bukan!
Nasrul.
Bukan!
Nasrul!
Ketika
aku duduk-duduk bersama rekan di bawah tembok kampus, mereka memanggilku Jesus.
Ada Jesus dalam kampus. Karena rambutku mirip Jesus, maka ada Jesus di rambutku.
Sinting! Aku Nasrul! Bukan Jesus!
Aku
cerita pada mereka tentang aku yang menyukai wanita. “Bah! Jesus jatuh cinta!”
kata mereka. Aku bukan Jesus! Apa karena rambutku mirip Jesus maka aku Jesus?
Omong-omong,
hidungmu mirip pelacur, maka kamu pelacur. Matamu mirip maling, maka kamu
maling. Tanganmu mirip aku, maka kamu aku tapi kamu bukan Jesus. Kamu Nasrul,
karena aku bukan Jesus. Rambutmu mirip juga Jacko, maka kamu Jacko.
Entah
kenapa dengan perubahan panjang rambutku yang dramatis-tapi sungguh tak ada
maksud menyaingi orang anak Tuhan itu-teman-teman bilang aku mirip Jesus. Semua
puisi yang mereka serukan kala latihan menghujat aku. Semua menghujat aku.
“Engkau
mengaku sebagai Tuhan,
Lantas
Tuhan mengakuimu sebagai apa!”
Sial.
Brengsek.
Akhirnya
aku tahu juga rasanya jadi Tuhan yang dihina. Tuhan yang terhina. Tuhan yang
dihujat umat-umatnya! Tuhan yang dihujat rekan-rekannya! Bah! Brengsek!
Brengsek.
Tetapi tabah juga Tuhan yang asli dihina macam ini. Hm, aku diam saja. Katanya
Tuhan maha penyabar. Ya! Maha penyabar. Tuhan yang Maha Penyabar. Cukup! Aku
bukan Tuhan! Tetapi aku Jesus!
Bukan!
Aku
Nasrul!
Ketika
di kelas, aku selalu memilih duduk di dekat-Nya. Khanza. Nama yang menggetarkan
tiang-tiang kampus hingga siap menimpa aku. Di dekat-Nya itu, bisa di
belakang-Nya, bisa di depan-Nya, bisa di kiri-Nya. Ya! Dia adalah matahari,
yang menerangi Tuhan yang butuh kasih sayang seperti aku. Bukan! Nasrul yang
butuh kasih sayang. Bukan Tuhan. Bukan Jesus.
Khanza,
nama yang sanggup mengganggu tidur pejabat-pejabat dan pembantunya. Yang memicu
tsunami. Yang membuat pesawat jatuh di Gunung Gedhe. Yang membuat kampusku
banjir tiap tahun. Yang membuat Cililitan macet! Yang membuat gempa
dimana-mana!
Di
dekat-Nya, Aku mulai memuja dia. Ada Tuhan yang dipuja Tuhan seperti aku. Aku
juga mulai termakan sugesti mengenai diriku. Apakah aku benar-benar Jesus? Oh
tidak. Apakah iya? Oh tidak.
Oh
tidak. Aku menjadi Tuhan.
Oh
tidak. Aku benar-benar menjadi Tuhan.
Aku
harus maha kuasa atas Khanza! Tuhan! Tuhan!
Aku
harus mendapatkan Khanza!
Kususun
rencana, aku harus menyatakan cinta-Ku kepadanya. Wahai Khanza, Tuhan yang
tercatat seperti legenda dalam kitab-kitab suci samawi kini menyatakan cinta
kepada-Mu. Wahai Khanza tunggulah aku datang kepada-Mu!
***
Sebagai
Tuhan yang baru diakui tahun 2012, aku harus menjaga penampilan. Baju
belang-belang. Celana levi’s, rokok Magnum, tiga kali sehari. Ini asap rokok
dari Surga. Gelang plastik biru, sepatu sobek-sobek. Tiga tahun ku beli. Sebelum
jadi Tuhan.
Apakah
aku Tuhan? Harus dikaji ulang. Aku sendiri bimbang. Menurut teori-teori dari
buku-buku, Tuhan adalah maha kuasa. Kini akan ku tunjukkan kekuasaanku pada
Khanza.
Akan
ku pengaruhi jiwa-Nya. Akan ku renggut hati-Nya. Akan kugetarkan pula
tiang-tiang penyangga kampus yang telah retak karena pesona-Nya.
Sebagai
Tuhan, aku diturunkan di tengah domba-domba tersesat dari kaum sastra. Ada yang
memuja puisi. Ada yang menyembah Sutardji. Ada yang cinta Sapardi. Tugasku
memperbaiki akhlak mereka.
Oh
tidak.
Aku
mulai percaya bahwa aku adalah Tuhan.
Oh
tidak.
Aku
mulai percaya bahwa aku dapat menurunkan Azab bagi mereka yang mengatai aku
mirip Tuhan.
Oh
tidak.
Aku
Jesus.
Setidaknya,
Mirip
Jesus.
Aku
membawa ajaran kasih. Tapi jangan kasihi Khanza, karena Khanza harus menjadi
milikku seorang. Karena Khanza harus aku kasihi seorang. aku membawa ajaran
kasih. Maka kasihilah aku, akan kukasihi pula kamu.
Ajaranku
ajaran kasih, mengasihi sesama manusia, mengasihi sesama yang mirip Jesus.
Tunggulah.
Sesungguhnya,
aku mulai bosan. Aku mulai bosan
mengasihi Khanza. Huf. Hufh. Aku lelah. Aku mengejar-ngejar dia setiap hari.
Seperti film India, tapi ini Indonesia. Tapi kenapa di Indonesia turun pula
Jesus? Dia harusnya hanya ada di Palestina. Di Jerussalem. Di hati mereka yang
penuh rasa kasih dan sayang. Bukan dalam rambutku. Bukan pula dalam namaku. Aku
Nasrul!
Bukan
Jesus!
Aku
batalkan rencanaku menyatakan cinta kepada Khanza. Semua sandiwara ini, semua
orang ini harus dihentikan! Aku bukan Tuhan! Brengsek! Aku bukan Tuhan! Aku
bukan Jesus!
Brengsek
bertuhan!
Apakah
aku harus berteriak di depan gedung jurusan? Tidak. Mereka akan semakin percaya
bahwa aku Tuhan. Tuhan yang rendah diri, tak mau mengaku Tuhan. Seperti
kebiasaan orang-orang jawa yang merendahkan dirinya di hadapan tamu-tamu.
Apakah
aku harus berteriak menggunakan spiker masjid? Tidak. Bisa habis aku dibabtis
imam masjid. Liurnya memang seperti memandikan aku bila marah. Lagi pula, jadi
apa aku di tengah anak-anak yang suka memegang Kitab Suci? Dirajamnya aku
nanti.
Apakah
aku harus membuat surat? Bisa-bisa suratku nanti dipandang sebagai surat ke
seratuslimabelas dalam Al-Qur’an karena aku Tuhan. Atau, menjadi Injil Kelima.
Bayangkan betapa kerennya, Injil Lukas, Markus, Matius, Yohanes, dan Nasrul.
Injil yang langsung dari orang yang diakui sebagai Jesus.
Oh
tidak.
Oh
tidak.
Mengaku
bukan Tuhan lebih sulit dari yang ku kira, lebih sulit dari diakui sebagai Tuhan.
Oh tidak. Bagaimana caranya mengaku bukan Tuhan?
Sudahlah,
mereka akan lupa seiring berjalannya waktu. Aku tenang-tenang saja, berhenti
menebar keajaiban. Berhenti mengejar-ngejar Khanza. Berhenti menuhankan dia.
Dia bukan Tuhan! Aku harus lebih mengasihi diriku sendiri baru mengasihi dia.
Sudahlah.
Aku ingin tobat sebagai Tuhan. Ya, Jesus yang tobat. Kini namaku kembali
Nasrul. Selamat tinggal, Khanza. Selamat tinggal, Jesus. Kini tugasku,
menghentikan diri mengejar-ngejar kamu. Terserah apa kata temanku.
Yang
jelas, aku bekas Tuhan selama beberapa bulan, dan ketika itu, aku gagal
mendapatkan kekasih. Akhirnya aku paham, kenapa Tuhan tidak pernah punya pacar
juga. Aku pernah menjadi Dia beberapa bulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar