Sabtu, 04 Agustus 2012

Kita Harus Menyelamatkan Sebanyak Mungkin Manusia


Kita Harus Menyelamatkan Sebanyak Mungkin Manusia!
15. 00.                                               
“Kita harus menyelamatkan sebanyak mungkin manusia, yang muda terutama. Yang wanita harus yang cantik  demi menyelamatkan keturunan kita dari penyakit. Yang remaja, periksakan dan beri kartu lulus uji, standar bahwa dia lulus uji penyakit dan IQ. Apapun agamanya!”
“Berapa jam yang kita punya?!” tanyanya kembali sambil mengacak-acak dokumen. Mencari sesuatu.
“Menurut prediksi, hanya tinggal lima belas jam lagi!” sahut bawahannya.
Dia termenung kembali.
Negeri yang dia bangun selama ini, akan hancur seketika, ditelan bencana. Ombak mahadahsyat, yang akan muncul akibat letusan gunung raksasa di tepi lautan.
Para ahlinya, di Kementerian Kebumian Dan Kelautan telah meramalkan setengah hari lagi daratan kepulauan itu akan lenyap, ombak yang terjadi akan setinggi 150 meter, menyapu 100 km keatas daratan.
Hanya puncak Gunung Gede, dan pegunungan diatas tigaribu meter yang akan selamat. Siapa yang dapat menghindar dari hujan batu dan api? Selama satu bulan, sudah tiga meter abu menimbun segalanya. Bahkan istana negara sudah terbenam, hujan yang belum lama terjadi mengubah abu menjadi air bah hitam yang membawa pasir dan menewaskan ratusan orang.
Empat setengah tahun dia memimpin, tak akan pernah terbayangkan apa yang dibangun oleh kesepuluh pendahulunya akan hancur sia-sia. Monas sudah hampir rubuh, ia terhantam air bah. Gelora Bung Karno ambruk tak kuat menahan abu setinggi lima meter di tribunnya.
Getaran akibat letusan-letusan kecil telah meruntuhkan bagian terbesar kota, dan meretakkan jalan-jalan hingga tak dapat dilalui mobil, truk, dan ambulans.
Pasar tanah abang habis terjarah lalu dibakar, dan tinggal bertingkat dua saja. Sementara koleksi museum-museum dibawa ke negera eropa untuk diamankan. Tentu, dalam keadaan hancur.
PLN telah lama memutus aliran listrik, sebab pembangkit utama di seluruh pulau dan lautan bergaris 500 km sudah rusak dan tertimbun abu.
Di Jawa Tengah saja, semua sungai sudah hilang, terendapkan oleh lahar dan pasir panas, yang sekejap berganti lumpur hitam.
Banyak yang menangis, pengungsian untuk pejabat itu nampak dipenuhi bacaan-bacaan yaasin dan shalat taubat, sementara yang Kristen menggelar misa terakhir kali sebelum evakuasi.
15. 30.
Dengan tergesa, ajudan melaporkan bahwa lahar sudah keluar dalam skala kecil, dan membuat sekitar kawah gunung laut itu ditutupi awan dan uap air.
Ada yang sudah sampai daratan, dan menimbun habis pelabuhan Sunda Kelapa, Muara Angke, Tanjung Priok, dan pelabuhan kecil-kecil di Jawa Tengah.
18. 00.
“Mana kapal kita?”
“di pelabuhan selatan”
“berapa kapasitasnya?”
“lima ratus”
“mau kemana?”
“Pak Wakil bilang, ke utara, entah Rusia atau China, asal jangan Jepang.”
“Jepang?”
“ya, patah lempeng kita sampai sana”
“siapa nanti yang menemani kita selain pejabat atas departemen?”
“atasan Kepolisian, TNI, PGRI, pemilik-pemilik perusahaan BUMN, gubernur, dan sebagian walikota”
“Jakarta sudah hancur”
“berapa yang selamat?”
“lima ribuan katanya, tak ada mayat-semua-terbawa ke laut. Pak?
“ya?”
“boleh saya bertanya?”
“saya lelah, dan saya butuh teman bicara”
“pak, belakangan ini nada bicara bapak menjadi datar. Hilang. Ada yang bisa saya bantu pak?”
“kamu adalah ajudanku yang terbaik, Kolonel”
“terimakasih, pak”
“aku kehilangan semua keluargaku. Aku menahan-nahan emosi agar masyarakat tak ikut emosi. Bila aku menangis, masyarakat akan betul-betul menganggap ini bencana besar”
“ini memang besar, pak”
“kamu belum pernah melihat ketika aku menghancurkan kota dulu, waktu aku memimpin pertempuran di Iran”
“maksud Bapak?”
“mungkin ini menjadi penebus dosaku di waktu dulu”
“sudahlah, pak”
“aku salah, ya?” senyum sang Presiden mengembang, getir.
21. 00.
Pasukan Indonesia menghancurkan Teheran, ketika kota itu dikuasai Amerika. Lima tahun yang lalu. Jenderal Ibrahim, yang menjadi panglima perang, mengeluarkan senjata rahasia yang ditemukan berkat teknologi terbaru mahasiswa ITS, pelontar petir, yang mampu meledakkan sebuah tank sekali lecut. Senjata itu kecil, seperti AK-47 dan petir putih akan melecut seperti cemeti.
Ribuan orang tewas, sebagian karena ketika 500 pesawat AS datang, dihantam petir raksasa dari pesawat siluman Indonesia.
Gosong.
Akhirnya, Jenderal Ibrahim menjadi presiden pada pemilu, setahun kemudian. ia memiliki program pengembangan angkatan perang dan teknologi, disamping peningkatan pendidikan dengan meningkatkan jam tatap muka para guru.
Gaji naik.
Subsidi bensin besar-besaran dicabut.
Dialihkan kepada subsidi koran dan buku.
Internet menjangkau hingga kawah gunung Tambora.
Ia membangun proyek sejuta hektar kembali, yang telah lama mati karena Soeharto gagal menjalankan itu, enampuluh tahun yang lalu.
Karena kekuatan militer ini, ia berhasil menguasai PBB dengan segala intriknya. Indonesia menjadi pemimpin dunia.
Meski banyak bencana, empat tahun berjalan dengan aman. Kejahatan turun, karena polisi dibekali pelatihan cuci otak dan hipnotis.
“aku sedih juga, kolonel. Ini semua aku bangun dengan sulit. Berapa yang mesti kita keluarkan untuk membangun kembali makam-makam korban”
“kenapa bukan perumahan, pak?”
“siapa yang akan tinggal?”
Mereka berdua termenung.
23.30.
“Kolonel, kamu ingat, pertama kali dimana kamu bertemu dengan istrimu?”
“ya, tentu pak, kami bertemu ketika sebelum masuk dinas, di Ancol, dan kami bertukar nomor”
“sekarang Ancol hilang”
“iya, pak”
“rumahku, hancur. Anak saya yang bungsu yang menjadi taruna juga mati, kena ombak di Priok ketika evakuasi.”
“pak?”
“ya?”
“berapa yang mau bapak selamatkan?”
“menteri, sarjana, dokter, guru, orang kaya”
“maksud saya, yang bapak selamatkan karena bapak sayang mereka?”
01.  00
Gunung itu dengan keganasannya telah mengubah wajah Presiden-entah kenapa-mencintai makam rakyatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar