Jumat, 03 Agustus 2012

Hujan Kupu-Kupu


Entah kenapa aku tak lagi menikmati main hujan semenjak aku bertengkar dengan kamu. Beratus-ratus hujan kita selami bersama, hingga basah dan bajumu terawang. Aku senyum saja melihatnya. Jika kuingatkan, kamu pasti marah. Ya, kan, Sayang?
Hujan yang turun tidak pernah sama ketika kamu masih kamu yang sama. Selalu ada bulir yang berbeda di dalamnya. Susul menyusul. Tetapi selalu turun bersama-sama, sebab tidak disebut hujan jika tidak bersama-sama.
Suatu ketika, aku keluar bersamamu, ada mendung dan pelangi menari di ambang angkasa. Pertanda akan hujan.  Hangat, deras, dan membasahi hingga lapisan kulit terdalam.
Yang turun, adalah kupu-kupu, hujan kesukaanku dan kesukaanmu. Kupu-kupu biru, lembut dan mempesona. Di sayapnya ada mata, mirip sekali dengan matamu. Sendu, perlahan-lahan akan memasuki pula retina mataku. Retina mata milik kita.
Ya, dari kupu-kupu aku tahu kita memiliki mata yang sama. Kamu juga begitu, kan, Sayang? Tersenyumlah, matamu akan semakin indah. Beterbangan bersama kupu-kupu. Setiap hujan kupu-kupu, aku menjadi seperti anak kecil, menunjuk-nunjuk dan berseru: itu matamu!
Kupu-kupunya hangat, aku pernah dihinggapinya. Kucoba menangkap satu, dan kuberikannya untukmu, dan kamu terima dengan tangan terbuka, halus, dan kupu-kupu itu menyatu dengan tanganmu.
Ingat kan, Sayang? Waktu aku berkata, tanganmu itu sayap kupu-kupu, itu benar-benar sayap kupu-kupu yang menyatu dengan tanganmu. Kamu pernah mengajak aku melayang-layang di udara dengan kepakan tanganmu.
Kita melihat bersama kota kita, di malam hari yang indah. Lampu-lampu jalan dan kendaraan menjadi kunang-kunang dan turut melayang bersama kita. Kita menari di udara, membuat bentuk-bentuk indah bersama kunang-kunang jalan raya.
Ikan.
Kupu-kupu.
Kepiting.
Kupu-kupu.
Hati.
Terus menari.
Dan kupu-kupu lagi, karena di sayapnya ada matamu.
“Kamu mau melayang lagi, Sayang?” Kataku menawarkan.
“Aku lelah, kita pulang saja” Kamu menolak.
Hujan bulan Desember teramat indah, karena bersamanya, kembang api dan aroma tahun baru turun dari langit. Ya, seperti turunnya cahaya penyelamat dunia di akhir zaman.
Cahaya.
Tiba-tiba aku ingin termenung.
Cahaya.
Hilang dari matamu yang seperti api lilin. Hangat. Pada hujan ini, aku mengajakmu bermain hingga basah dan terawang, tetapi kamu-entah kenapa-menolak dan berbalik badan menuju teduhan.
Kamu berjalan satu-satu seperti ragu-ragu. Hujanpun melambat. Tahun baru juga melambat. Kembang api merah dan biru menyatu jadi ungu, dan tepat berpendar di hadapan kita. Kamu tetap tak peduli.
Baiklah, mungkin kamu sakit, dan sudah saatnya kita beristirahat. Kamu memang sangat rawan, mudah lelah dan menangis. Hujan menurunkan kesehatan kita bersama.
Kelopak matamu biru, itu tidak baik. Istirahatlah, biar kubelai pipimu yang indah, dan kujemba tanganmu yang seperti kupu-kupu. Aku takut tanganmu meliuk-liuk dan tidak kembali.
Entah kenapa, kamu tetap menolak.
Kamu masih melangkah satu-satu dan ragu-ragu. Tertunduk. Sepasang sayap kupu-kupu jemarimu meliuk pada wajah, yang kamu tutupi begitu rahasia. Mendung datang, sebentar lagi hujan yang menjadi kesukaan kita, Sayang. Ada apa?
Kamu mempercepat langkah, mataku tak sanggup lagi mengejarnya. Aku memang tak mampu melihat dalam kegelapan. Kesehatanku jauh menurun. Nafasku telah basah, kadang darah turut menyela percakapan diantara kita. Kenapa pula denganmu?
Kerudungmu masih aku temukan berkibaran seperti kupu-kupu pada sudut jalan, sebelum kamu berbelok, pulang. Masuk kedalam rumah. Bibirmu yang selalu menerbangkan senyum menguncup, dan daun kering satu-satu berguguran di sana. Di halaman rumah yang masih dapat aku lihat.
Pada percakapan-percakapan pembuka selanjutnya, kamu menjadi penuh rahasia. Menahan hujan yang pernah kita nikmati bersama. Entah kenapa.
Kupu-kupu masih di tanganmu, tetapi aku ragu akan kamu bagikan kepadaku, sebab mata di sayapnya sudah menutup dan menahan sesuatu. Bulu mata yang lentik, telah hampir basah dan birunya memudar, seperti terkena sisa hujan pada jendela.
Kita-untuk pertama kalinya-tidak mengakhiri percakapan, dan menutupnya begitu saja. Segera menghilang, menuju taman kupu-kupu milik sendiri, dan merenung tentang kamu, juga kamu merenung tentang aku.
Ada yang tak sempat kita perbincangkan, tetapi masih juga tentang hujan, memang. Ya, hujan yang tak sempat kita nikmati bersama.
“Kamu berubah” Kataku lirih. Gerimis mulai turun. Jendela berdenting terkena tetesnya.
“Kenapa, kamu mengatakan seperti itu?” Jawabmu lambat, merenungkan apa yang terjadi.
“Kamu dulu suka hujan, sampai kedinginan” Aku menjawab hati-hati.
“Ya, aku sadar. Entahlah, mungkin terlalu banyak yang harus aku kerjakan sendirian” Katamu, lalu tak berapa lama melepaskan tanganku.
Kita tetap berdiri berhadapan mata, tetapi tak lama kamu menunduk.
“Berceritalah, tak apa,” Kataku, menerka-nerka.
“Tidak, tidak ada yang terjadi”
“Bagaimana jika hujan tadi sore-yang masih tergenang di kakimu-menceritakan padaku tentang kamu dan isi hatimu?”
“Kamu bercanda, tidak mungkin genangan sisa hujan dapat bercerita” Kamu lupa? Bukankah yang memberitahukan kepadamu aku mencintaimu adalah hujan?
Aku menghela nafas panjang sejenak “Kamu tidak percaya? Tapi jika aku mengatakannya, bagaimana?”
Kamu semakin tertunduk, satu-satu kupu-kupu memisahkan diri dari tanganmu.
“Tahukah kamu, mengenai hujan kita bersama? Sayang, aku tak suka main hujan. Sungguh” Kata-katamu akhirnya mengalir dalam darahku, dan segera menjadi bisa penyiksa yang memperlambat waktu.
“Kenapa?” Aku tercekat.
“Kamu sakit, dan aku tahu-kamu-tak boleh lelah. Kamu pernah bercerita, Sayang, jika nafasmu terbasahi hujan, dan aku sungguh benci memperbasah nafasmu” Kamu menutupi matamu dengan setengah sayap kupu-kupu.
“Aku lelah bermain bersamamu, membohongimu. Aku benci hujan, karena itu menghabiskan kesehatanmu. Jadi, biarkan aku berjalan sendirian dan mencari teduhan”
“Aku lelah mengkhawatirkanmu” Kamu memejamkan sayap. Nafasmu terdengar dalam.
“Kamu tidak apa-apa, kan, Sayang?”
Aku terdiam. Aku menangis. Sungguh, aku telah menangis sejak setengah jam yang lalu, dengan cara yang tak akan pernah dapat dimengerti wanita yang menyayangiku.
Hujan kupu-kupu kembali turun, tetapi kini membasahi. Kupu-kupu sudah kembali menjadi air. Hujan kembali memiliki kecepatan biasanya. Dingin. Gemeletuk di jendela.
“Kamu tahu, Sayang?” Aku mulai larut dalam hujan. Tanganku menetes-netes, seperti lilin yang akan mati.
“Aku juga benci hujan. Aku tidak pernah tulus bermain di dalamnya. Sungguh”
Kamu membuka sayap di matamu, dan memandangku dengan terbuka. Sayapmu sembab, tetapi tersamarkan hujan. Ya, kita kali ini berada dalam hujan bukan untuk bermain-main-untuk pertama kalinya-dan kita terbasahi.
“Kenapa?” Bibirmu mengepakkan sayap kupu-kupu. Getir.
“Karena selalu terjadi di matamu”
Seluruh kupu-kupu telah terbang sempurna meninggalkan tubuhmu, dan matamu hanya tinggal diliputi satu sayap. Aku larut sempurna dalam genangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar