Refleksi
Sepulang dari
pertempuran besar itu, aku kembali ke rumah. Berapa bulan ini aku tak
membersihkan barakku dari debu. Bau.
Ada beberapa
orang disana, namun semuanya ikut pertempuran. Aku masih ingat, betapa hiruk
pikuk pertempuran membunuh satu temanku yang tercinta.
Dia bertempur
demi apa yang kami cintai, Tuhan, meski kami belum pernah sekalipun bertemu
dengan Dia. Temanku itu sangat cinta pada Dia, maka mati dia demi apa yang dia
cintai.
"Mulai sekarang, kamu, kamu,
kamu adalah prajurit yang disiapkan untuk menumpas Tuhan!" seru Panglima.
"Tuhan?!" gelak beberapa orang.
"Dia, yang dulu tak boleh disebut nama-Nya,
tumpaslah karena Dia menyebabkan pembantaian-pembantaian atas nama Tuhan Selain
Tuhan Kita Bersama!"
"Tapi, pimpinan! Tuhan yang Mana, sementara
Mereka mengaku Sama!" kritik yang lain.
"Tuhan yang berdusta dalam kitabNya, Tuhan
yang mampu memanusiakan dirinya, Tuhan yang Manusiawi!"
Gemuruh suara prajurit, "Manusiawi!!!"
"Tuhan yang memaksa kita semua berada dalam
lingkaran pohon pengetahuan tanpa tahu apa itu pengetahuan! Tuhan yang pelit!"
"peliiit!!!"
"Tumpas, tumpaaaaas!!!"
Mereka menyerbu singgasana yang serupa dengan
singgasana Tuhan Kita Bersama, dan di langit nampak barisan yang serupa
malaikat berbaris menyongsong mereka membawa gada, yang serupa Gada Api
Malaikat.
"Tuhan Kita Bersama! berkatilah Prajurit
yang ingin menolong agamaMu!" seru Panglima
Sementara, penduduk kota bingung dengan Tuhan
mereka, ternyata Tuhan mereka mengempis, pelan-pelan Tuhan-Tuhan itu berjatuhan
seperti laron, tapi ada satu sayap tentara Tuhan Lain yang mampu menerobos
barisan tengah kami, dan menyerbu habis-habisan.
Temanku termasuk pasukan yang dipukul mundur
secara mendadak oleh pasukan sayap cadangan musuh itu, dan dia tewas terkena
kelewang. Ia terlibat satu lawan satu dengan panglimanya.
“Kini, pedangku dan kelewangmu telah bersilangan,
Saudara!”
“Aku bukan saudaramu!”
“Aku benci menumpahkan darahmu”
“kamu musuh Tuhanku!”
Maka, temanku itu, yang mampu mengeluarkan api
dari pedangnya, menebas sang panglima sayap cadangan. Malang, kelewang panglima
terburu dilempar dan menembus jantung temanku. Dada kiri.
Jantung dada kiri.
Sayap cadangan musuh hancur, namun sepertiga
pasukan sayap tengah kami mati. Penduduk kota yang tersisa berseru sambil terus
melawan membawa senjata seadanya. Keris, batu, golok, galah, bambu runcing,
bahkan kayu balok biasa.
Mereka meneriakkan bahwa kami memusnahkan Tuhan
mereka tanpa menawarkan Tuhan Alternatif.
"Mana Tuhan Kami!!"
“Kembalikaan, Hidupkaan!”
Itulah kenanganku tentang perang. Aku bimbang,
peperangan ini memakan banyak nyawa, untuk Tuhan yang Maha Menghidupkan. Aku
letih, aku mulai mempertanyakan Tuhanku sendiri.
Kemudian dzatku
yang kemarin bicara, “hujan mengering, setelah sebelumnya membawa dosa-dosa
kita semua bergerak tiada.”
“Tuhan menyertai
kita, yang terluka sepulang dari pertempuran di tengah bulan-bulan yang
terbelah dan terluka. Kamu diliputi bau darah, Dzatku sekarang. Kamu bau darah”
“Basuhlah dirimu! aroma darah dan perang mengaliri kita!”
Aku yang sekarang diam saja.
Aku lelah, peperangan
ini banyak membunuh aku.
Dzatku yang tiga
hari lalu menyeringai, “hai, tunggu dulu”
“Aku, bukankah
yang membangkitkan kecoak-kecoak dan nyamuk menjadi pembunuh nomor satu adalah
aku?”
“lalu Kecoak dan
Nyamuk itu membunuh Tuhan yang diam dalam hati mereka tanpa ragu, hehehe, ha ha
ha!”
“Aku munafik!
Tuhan yang aku sembah tak lain tumpukan darah, daging, tulang, dan bulu!”
Aku yang
sekarang bertambah diam saja. Dzatku yang tiga hari lalu itu memang memiliki
nada bicara kasar, membentak dan sarkas. Aku-aku yang lain telah maklum.
Kami memang
sangat lelah. Kami memang sangat lelah. Ya Tuhan, peperangan melawan Tuhan
sungguh sangat melelahkan.
Dzatku, mulai
dari setahun lalu, hingga yang tiga hari lalu, aku kumpulkan setiap detiknya.
Aku-aku itu lalu kuangkat dan kuatur menjadi prajurit untuk melawan Tuhan.
Meski tak ada
protes, namun entah kenapa kami tak puas dengan hasil pertempuran. Kami telah
bunuh Tuhan, demi melestarikan Tuhan yang tunggal, tetapi apakah ada yang
terlewat?
Mendadak,
seperti tak tahan mendengar dialog kami semua yang kelelahan, Dzatku yang sejam
lalu angkat suara,
“Perhatian, kita
seperti dibangkitkan kembali, tak sadarkah Aku semua? Seharusnya aku sudah
menjadi Aku yang sekarang, tetapi Aku Sekalian disini tak bisa menyatukan Aku
yang Aku dengan Aku yang Aku sekarang!”
Dzatku yang
sejam lalu ini memang memiliki tipe perenung, ia suka merenung. Ia sempat
menolak ketika aku mencoba menyatukan pasukan. Ia memiliki gagasan, bahwa aku
tidak pernah konsisten. Mustahil aku yang sekarang sama satu tujuan dengan aku
yang setahun lalu, bahkan dengan aku yang sedetik lalu.
Aku sedih juga,
menghadapi kebenaran perkataan aku yang sejam lalu. Ia benar. Aku tidak pernah
konsisten. Aku yang setahun lalu, bahkan tidak memiliki Tuhan yang sama, namun
kami kini ingin memerangi Tuhan yang berbeda dengan Tuhan kami.
Apakah nanti,
selesai pertempuran, tidak akan terjadi perang saudara? Antara aku yang kini
dengan aku yang setahun lalu, karena Tuhan kami berbeda?
Entahlah. Aku
sendiri bimbang.
“he!"
“Itu darah
siapa, bodoh!", aku yang dikenal orang menyela, aku yang sekarang diam
saja.
“Itu darah belum kering!”
Ia pemarah, ia
sangat marah ketika aku memutuskan melanjutkan pertempuran manakala ada yang
mati dan itu dalam jumlah besar. Ia menuntut penundaan untuk menguburkan,
tetapi aku yang itu beranggapan, pertempuran ini diselesaikan dulu.
Temanku, aku
yang dulu, yang kini mayat yang tinggal
tulang bangkit dan menyela juga pembicaraan Aku semua dari dalam peti matinya,
yang masih kuletakkan di ruang tamu, menunggu saat-saat penguburan.
“Kau lupa? kau
bunuh aku, maka kamu semua kehilangan diri
kamu semua merasa mati”
kamu semua merasa mati”
“Kau lupa? aku lah la ilaaha illa Allah mu”
“Akulah astahfirullah mu”
“Aku inna lillaahi wa inna lillahmu”
“Aku inna lillahi wa inna lillahmu”
“Akulah astahfirullah mu”
“Aku inna lillaahi wa inna lillahmu”
“Aku inna lillahi wa inna lillahmu”
Kami semua
terperangah, apa yang ia katakan? Ia sudah mati! Berani sekali mencampuri pembicaraan
kami yang hidup!
“Aku seruan
kematian, yang datang membangkitkan kamu semua
aku inna lillaahi wa inna lillah mu, inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun! inna lillaahi wa inna ilaihi raaji'uun!”
aku inna lillaahi wa inna lillah mu, inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun! inna lillaahi wa inna ilaihi raaji'uun!”
“Aku inna lillahi wa inna lillahmu!”
“laa ilaaha illa Llaah
laa ilaaha illa Llaah
laa ilaaha illa Llaah
laa ilaaa haa illa Llaah”
“inna lillahi wa innilaihi raaji'unn!
nna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun!
inna lillaahi wa inna ilaihi raaji'uun!
aku inna lillahi wa inna lillahmu!”]
laa ilaaha illa Llaah
laa ilaaha illa Llaah
laa ilaaa haa illa Llaah”
“inna lillahi wa innilaihi raaji'unn!
nna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun!
inna lillaahi wa inna ilaihi raaji'uun!
aku inna lillahi wa inna lillahmu!”]
***
Kami semua masih terperangah dan termenung. Masih
mengenang pertempuran melawan Tuhan.
BIngung mas..
BalasHapusheheheheh semua tokoh dalam ceren ini, adalah "aku". satu orang.
BalasHapus