Sabtu, 04 Agustus 2012

Refleksi


Refleksi

Sepulang dari pertempuran besar itu, aku kembali ke rumah. Berapa bulan ini aku tak membersihkan barakku dari debu. Bau.

Ada beberapa orang disana, namun semuanya ikut pertempuran. Aku masih ingat, betapa hiruk pikuk pertempuran membunuh satu temanku yang tercinta.

Dia bertempur demi apa yang kami cintai, Tuhan, meski kami belum pernah sekalipun bertemu dengan Dia. Temanku itu sangat cinta pada Dia, maka mati dia demi apa yang dia cintai.

            "Mulai sekarang, kamu, kamu, kamu adalah prajurit yang disiapkan untuk menumpas Tuhan!" seru Panglima.
"Tuhan?!" gelak beberapa orang.
"Dia, yang dulu tak boleh disebut nama-Nya, tumpaslah karena Dia menyebabkan pembantaian-pembantaian atas nama Tuhan Selain Tuhan Kita Bersama!"
"Tapi, pimpinan! Tuhan yang Mana, sementara Mereka mengaku Sama!" kritik yang lain.
"Tuhan yang berdusta dalam kitabNya, Tuhan yang mampu memanusiakan dirinya, Tuhan yang Manusiawi!"
Gemuruh suara prajurit, "Manusiawi!!!"
"Tuhan yang memaksa kita semua berada dalam lingkaran pohon pengetahuan tanpa tahu apa itu pengetahuan! Tuhan yang pelit!"
"peliiit!!!"
"Tumpas, tumpaaaaas!!!"
Mereka menyerbu singgasana yang serupa dengan singgasana Tuhan Kita Bersama, dan di langit nampak barisan yang serupa malaikat berbaris menyongsong mereka membawa gada, yang serupa Gada Api Malaikat.
"Tuhan Kita Bersama! berkatilah Prajurit yang ingin menolong agamaMu!" seru Panglima
Sementara, penduduk kota bingung dengan Tuhan mereka, ternyata Tuhan mereka mengempis, pelan-pelan Tuhan-Tuhan itu berjatuhan seperti laron, tapi ada satu sayap tentara Tuhan Lain yang mampu menerobos barisan tengah kami, dan menyerbu habis-habisan.
Temanku termasuk pasukan yang dipukul mundur secara mendadak oleh pasukan sayap cadangan musuh itu, dan dia tewas terkena kelewang. Ia terlibat satu lawan satu dengan panglimanya.
“Kini, pedangku dan kelewangmu telah bersilangan, Saudara!”
“Aku bukan saudaramu!”
“Aku benci menumpahkan darahmu”
“kamu musuh Tuhanku!”
Maka, temanku itu, yang mampu mengeluarkan api dari pedangnya, menebas sang panglima sayap cadangan. Malang, kelewang panglima terburu dilempar dan menembus jantung temanku. Dada kiri.
Jantung dada kiri.
Sayap cadangan musuh hancur, namun sepertiga pasukan sayap tengah kami mati. Penduduk kota yang tersisa berseru sambil terus melawan membawa senjata seadanya. Keris, batu, golok, galah, bambu runcing, bahkan kayu balok biasa.
Mereka meneriakkan bahwa kami memusnahkan Tuhan mereka tanpa menawarkan Tuhan Alternatif.

"Mana Tuhan Kami!!"
“Kembalikaan, Hidupkaan!”
Itulah kenanganku tentang perang. Aku bimbang, peperangan ini memakan banyak nyawa, untuk Tuhan yang Maha Menghidupkan. Aku letih, aku mulai mempertanyakan Tuhanku sendiri.
Kemudian dzatku yang kemarin bicara, “hujan mengering, setelah sebelumnya membawa dosa-dosa kita semua bergerak tiada.”

“Tuhan menyertai kita, yang terluka sepulang dari pertempuran di tengah bulan-bulan yang terbelah dan terluka. Kamu diliputi bau darah, Dzatku sekarang. Kamu bau darah”

“Basuhlah dirimu! aroma darah dan perang mengaliri kita!”

Aku yang sekarang diam saja.

Aku lelah, peperangan ini banyak membunuh aku.

Dzatku yang tiga hari lalu menyeringai, “hai, tunggu dulu”

“Aku, bukankah yang membangkitkan kecoak-kecoak dan nyamuk menjadi pembunuh nomor satu adalah aku?”

“lalu Kecoak dan Nyamuk itu membunuh Tuhan yang diam dalam hati mereka tanpa ragu, hehehe, ha ha ha!”

“Aku munafik! Tuhan yang aku sembah tak lain tumpukan darah, daging, tulang, dan bulu!”

Aku yang sekarang bertambah diam saja. Dzatku yang tiga hari lalu itu memang memiliki nada bicara kasar, membentak dan sarkas. Aku-aku yang lain telah maklum.

Kami memang sangat lelah. Kami memang sangat lelah. Ya Tuhan, peperangan melawan Tuhan sungguh sangat melelahkan.

Dzatku, mulai dari setahun lalu, hingga yang tiga hari lalu, aku kumpulkan setiap detiknya. Aku-aku itu lalu kuangkat dan kuatur menjadi prajurit untuk melawan Tuhan.

Meski tak ada protes, namun entah kenapa kami tak puas dengan hasil pertempuran. Kami telah bunuh Tuhan, demi melestarikan Tuhan yang tunggal, tetapi apakah ada yang terlewat?

Mendadak, seperti tak tahan mendengar dialog kami semua yang kelelahan, Dzatku yang sejam lalu angkat suara,

“Perhatian, kita seperti dibangkitkan kembali, tak sadarkah Aku semua? Seharusnya aku sudah menjadi Aku yang sekarang, tetapi Aku Sekalian disini tak bisa menyatukan Aku yang Aku dengan Aku yang Aku sekarang!”

Dzatku yang sejam lalu ini memang memiliki tipe perenung, ia suka merenung. Ia sempat menolak ketika aku mencoba menyatukan pasukan. Ia memiliki gagasan, bahwa aku tidak pernah konsisten. Mustahil aku yang sekarang sama satu tujuan dengan aku yang setahun lalu, bahkan dengan aku yang sedetik lalu.

Aku sedih juga, menghadapi kebenaran perkataan aku yang sejam lalu. Ia benar. Aku tidak pernah konsisten. Aku yang setahun lalu, bahkan tidak memiliki Tuhan yang sama, namun kami kini ingin memerangi Tuhan yang berbeda dengan Tuhan kami.

Apakah nanti, selesai pertempuran, tidak akan terjadi perang saudara? Antara aku yang kini dengan aku yang setahun lalu, karena Tuhan kami berbeda?

Entahlah. Aku sendiri bimbang.

“he!"

“Itu darah siapa, bodoh!", aku yang dikenal orang menyela, aku yang sekarang diam saja.
“Itu darah belum kering!”

Ia pemarah, ia sangat marah ketika aku memutuskan melanjutkan pertempuran manakala ada yang mati dan itu dalam jumlah besar. Ia menuntut penundaan untuk menguburkan, tetapi aku yang itu beranggapan, pertempuran ini diselesaikan dulu.

Temanku, aku yang dulu, yang kini  mayat yang tinggal tulang bangkit dan menyela juga pembicaraan Aku semua dari dalam peti matinya, yang masih kuletakkan di ruang tamu, menunggu saat-saat penguburan.


“Kau lupa? kau bunuh aku, maka kamu semua kehilangan diri
kamu semua merasa mati”

“Kau lupa? aku lah la ilaaha illa Allah mu”
“Akulah astahfirullah mu”
“Aku inna lillaahi wa inna lillahmu”
“Aku inna lillahi wa inna lillahmu”

Kami semua terperangah, apa yang ia katakan? Ia sudah mati! Berani sekali mencampuri pembicaraan kami yang hidup!

“Aku seruan kematian, yang datang membangkitkan kamu semua
aku inna lillaahi wa inna lillah mu, inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun! inna lillaahi wa inna ilaihi raaji'uun!”

“Aku inna lillahi wa inna lillahmu!”

“laa ilaaha illa Llaah
laa ilaaha illa Llaah
laa ilaaha illa Llaah
laa ilaaa haa illa Llaah”


“inna lillahi wa innilaihi raaji'unn!
nna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun!
inna lillaahi wa inna ilaihi raaji'uun!
aku inna lillahi wa inna lillahmu!”]

***
            Kami semua masih terperangah dan termenung. Masih mengenang pertempuran melawan Tuhan.

2 komentar: