Pendakian
Menuju Tanah
Hingga
tengah hari, pertempuran terus berdesing. Pedang beradu di antara kepala. Adu
kesaktian dan kekuatan antar prajurit, berakhir dengan kematian keduanya. Ini
pertempuran yang luar biasa.
Gelar
formasi perang yang imbang diperlihatkan masing-masing pasukan. Meski demikian,
Adam, panglima laskar manusia, tak habis pikir. Mereka melawan sesuatu yang tak
bisa disebut makhluk hidup. Yang berhayat. Mereka melawan patung. Patung-patung
yang bahkan belum dibakar, masih basah, tetapi menyerang bangsa manusia yang
memiliki sukma. Patung itu berrongga.
Setiap
kali ia memecahkan patung, setiap kali itu pula ada satu prajuritnya yang mati.
Ia bingung, sebingung-bingungnya. Ini medan perang kesekian yang ia hadapi,
tetapi baru kali ini ia melawan yang bukan manusia. Wujud abstrak, yang bahkan
diluar kemampuan khayali manusia. Pimpinan musuh bernama Tarub, si Tanah Liat.
Adam
terjerembab, sebuah gada besar menghantamnya dari belakang. Ia terbaring di
tanah, kulitnya dapat dengan leluasa meraba setiap detak yang Bumi sampaikan
kepadanya. Dari pembaringan ini, sukmanya berbicara dengan bumi.
Ia
memejamkan mata, namun kekulitannya dengan segera memiliki penglihatan dan
pendengaran. Pori-pori tubuhnya segera menjadi rongga indra. Darahnya mengalir
deras, membasahi tanah. Ia memanfaatkan kesempatan ini dengan seksama,
berpura-pura mati.
“Siapakah
Engkau, Tanah kah?” Tanya Adam. Agak tergetar. Setengah sadar, ia mengendalikan
sukmanya. Tingkat tertinggi pengendalian ide dan ruh. Pada alam ruh,
segalanya-cahaya, air, tanah, angin-menjadi memiliki ruh juga. Mampu
bercakap-cakap. Ia belum mati, maka ia menggunakan perantara pintu Ma’dan untuk
menjangkau alam lain.
“Aku
adalah kamu, yang mati.” Jawab Tanah. Suaranya seperti tembok tua yang
menyaksikan perkembangan manusia sejak lama.
“Terangkan
maksudmu, aku belum jadi tanah” Adam menyela. Ia masih muda. Sangat muda.
“Aku
juga adalah saudaramu, yang mati, 400, 4000 tahun yang lalu. Aku juga adalah
anak-anakmu yang akan lahir 4, 40 tahun lagi. Aku adalah asal mula, dan aku
akan menjadi akhirnya juga” Kain putih tua yang ia kenakan senantiasa
berkibaran dan memancarkan aroma perabuan.
“Engkau
ku injak setiap hari,”
“Engkau
menginjak dirimu sendiri. Engkau menginjak aku sendiri. Aku menginjak aku, Adam,”
Tanah menjawab.
“Engkau
adalah tanah,”
“Engkau
adalah aku, aku adalah engkau, Adam,”
“Aku
memiliki sukma, dan yang bicara padamu adalah sukmaku”
“Engkau
bicara pada tubuhmu, tubuh yang tanpa sukma adalah aku. Aku adalah fatamorgana.
Ketanpasukmaan aku menjadikan aku fatamorgana, meskipun aku ini benda padat”
“Bagaimana
Engkau menjadi darah?”
“Darah
adalah aliran, dan dalam alirannya ada air,”
“Engkau
dapat mengalir?”
“Pada
hakikatnya, aku yang harus bertanya padamu,” Tanah merapatkan tangannya yang
berada dalam mudra.
“Bagaimana
kesukmaanku dapat menyatu dengan ketanpasukmaanku dan menjadi Aku? Aku
memerangi siapa?!”
“Adam,” Sapa seseorang. Tidak terlihat. Adam
bingung, mencari kesana-kemari sumber panggilan itu. Pertanyaannya seperti
belum terjawab.
Tiba-tiba,
latar dan tempat-ruang waktu-dimana ia melakukan pengembaraan ghaib berubah,
dengan angin besar yang memaksa ia memejamkan mata kembali. Ajiannya tidak
menjadi hilang, sukmanya tidak tertarik kembali kedalam tubuhnya yang sedang
terkapar. Sukmanya hanya hampir buyar, namun konsentrasi tinggi Adam
mempertahankan keberadaannya.
Adam
terhenyak, suaranya tidak berasal dari tanah. Di sekitarnya adalah rawa-rawa
dan beberapa pohon besar beringin. Pada pematang rawa tersisa lumpur hitam,
tetapi tidak bersuara.
“Engkau
dimana, Tanah?”
“Aku
adalah tempat, aku tidak berada dimana-mana tetapi dalam diriku sendiri,”
Getaran suaranya membuat angin tiba-tiba bertiup.
“Lihatlah
sekelilingmu,” Lanjutnya.
“Aku
adalah saudara-saudaramu yang mati dalam perang. Pertempuran besar yang engkau
rencanakan, Adam,”
“Apa
maksudmu?” Adam semakin bingung kakinya agak dalam terbenam lumpur. Udara basah
mengitari rawa-rawa, gelap. Batas tengah hari menjadi tidak jelas, sebab dalam
rawa hanya ada dua masa, gelap dan terang. Ia, merencanakan perang?
“Aku
adalah saudaramu yang terbunuh di Torwada*. Yang larut, dan darahku mengalir
dalam rawa, diisap tanaman menjadi hara. Aku adalah saudaramu yang mati di
Bharatayudha, dan sisa-sisa daging yang hangus terbakar menjadi humus padang
rumput, dan banjir menjadikannya rawa yang membenamkan kakimu. Aku adalah
syuhada Baddar, yang kini melarut dalam tanah dan beterbangan seperti debu. Aku
juga adalah korban-korban perang salib, yang didalamnya bertempur juga dua
Tuhan.”
Kakinya
semakin erat dan tak dapat ditarik, terbenam. Ia semakin bingung. Ia hanya
ingin jawaban, ia sedang melawan siapa? Kenapa lawannya kali ini bukan manusia?
Kenapa juga Tanah memberi jawaban, bahwa ia sendiri yang merencanakan perang?
“Apa
rencanamu sesungguhnya, Tanah,“ Desis sukma Adam. Ia menghentikan perapalan
ragasukma, dan meniatkan kembali hidup. Menyatu dengan raganya. Ia benar-benar
merasa dipermainkan Tanah. Sudah ratusan anak buahnya mati. Ia tak tahan.
Terlalu banyak darah.
Adam
bangun dengan perlahan, persis seperti mayat yang baru dibangkitkan. Berlumuran
darahnya sendiri. Ia meregangkan tubuhnya sebentar, lalu menghunus lagi
senjata.
Pedang
bermata dua, yang satu diselimuti api dan mata satunya lagi diliputi asap
dingin, asap udara yang membeku. Tetapi ini semua tidak berguna, ada yang tak
dapat dijangkau oleh senjatanya.
“Aku juga adalah saudaramu, yang
mati, 400, 4000 tahun yang lalu. Aku juga adalah anak-anakmu yang akan lahir 4,
40 tahun lagi. Aku adalah asal mula, dan aku akan menjadi akhirnya juga,”
“Engkau kuinjak setiap hari,”
“Engkau menginjak dirimu sendiri.
Engkau menginjak aku sendiri. Aku menginjak aku, Adam.”
“Engkau adalah tanah.”
“Engkau adalah aku, aku adalah
engkau, Adam.”
“Aku memiliki sukma, dan yang
bicara padamu adalah sukmaku.”
Adam mencoba mengingat-ingat lagi petunjuk yang
diberikan Tanah. Tanah yang masih menghampar, yang belum dijadikan manusia.
“Perbedaan
aku dan kamu adalah sukma dan tanpa sukma.” Tanah melanjutkan kata-katanya.
“Aku
memiliki sukma, Tanah, berarti mereka tidak?”
“Mereka
adalah kamu juga.”
“Maksudmu?”
“Kembalilah
bertempur.”
*****
“Ada
yang juga telah menemui aku, Tarub,” Tanah menjawab semedi Tarub. Di tengah
peperangan ini ia bingung. Pertempuran maha dahsyat yang menjungkirkan
logikanya.
Gelar
formasi perang yang imbang diperlihatkan masing-masing pasukan. Tarub, panglima
laskar manusia, tak habis pikir. Mereka melawan sesuatu yang tak bisa disebut
makhluk. Mereka melawan patung. Patung-patung yang bahkan belum dibakar, masih
basah, tetapi menyerang bangsa manusia yang memiliki sukma. Patung itu berrongga.
Pimpinannya diserukan dengan nama Adam.
Setiap
kali ia memecahkan patung, setiapkali itu pula ada satu prajuritnya yang mati.
Ia bingung, sebingung-bingungnya. Ini medan perang kesekian yang ia hadapi,
tetapi baru kali ini ia melawan yang bukan manusia. Wujud abstrak, yang bahkan
diluar kemampuan khayali manusia.
Ia
mengerahkan aji untuk menelusup kepada Ma’dan, ilmu segala ilmu. Ia mencari
jawaban tentang siapa lawannya. Ma’dan adalah tempat maha ghaib, yang hanya
bisa dicapai dengan penyatuan sukma dan jasad. Di Ma’dan, ia menemui inti
Tanah. Seorang petapa tua, berjubah putih tua. Ia tak suka basa basi, sebab tak
ada ilmu di dalamnya. Ma’dan itu ilmu, hanya ilmu yang ada di dalamnya.
“Siapa
lawanku, Tanah?”
“Aku
dan kamu,”
“Engkau
dihadapanku, dan tidak sedang bertempur!” Tarub kebingungan. Ini peperangan
yang sangat aneh, bahkan untuk sekelas dia, yang memenangkan belasan
pertempuran.
“Aku
yang memiliki tanahku, sukmaku, yang terdiri dari akalku, nafsuku, apiku,
airku, anginku, dan cahayaku. Semuanya berkumpul dan tewas dalam medan perang,
lalu hidup lagi.”
“Aku
juga adalah saudaramu, yang mati, 400, 4000 tahun yang lalu. Aku juga adalah
anak-anakmu yang akan lahir 4, 40 tahun lagi. Aku adalah asal mula, dan aku
akan menjadi akhirnya juga,” Kain putih tua yang ia kenakan senantiasa
berkibaran dan memancarkan aroma perabuan.
“Engkau
ku injak setiap hari!”
“Engkau
menginjak dirimu sendiri. Engkau menginjak aku sendiri. Aku menginjak aku, Tarub.”
Tanah menjawab. Ia membingungkan Tarub.
“Engkau
adalah tanah,”
“Engkau
adalah aku, aku adalah engkau, Tarub,”
“Aku
memiliki sukma, dan yang bicara padamu adalah sukmaku,” Tarub mencoba
mengingat-ingat lagi petunjuk yang diberikan tanah pada awal pembicaraan. Tanah
yang masih menghampar, yang belum dijadikan manusia. Hitam.
“Perbedaan
aku dan kamu adalah sukma dan tanpa sukma,” Tanah melanjutkan kata-katanya.
“Aku
memiliki sukma, Tanah, berarti mereka tidak?”
“Mereka
adalah kamu juga,”
“Maksudmu?”
“Kembalilah
bertempur.”
Tarub
kehilangan akal, siapa yang ia hadapi kali ini? Aku adalah aku, aku adalah kamu, kamu adalah aku, mereka adalah kamu?
Aku tanah? Tanah aku? Siapa mereka?
*****
Aku
harus terus mengawasi jalannya pertempuran mereka, menjadikan mereka boneka
tanah liat yang setia. Rongga yang ada dalam patung itu besar, dan mudah saja
mengendalikannya seperti wayangku. Aku hanya menghasut panglimanya, tidak
lebih, dan membiarkan kedua panglimanya menghasut puluhan ribu tentara.
Sebelum
manusia hidup, aku lebih dulu hidup, dan mempelajari tubuh mereka. Api mereka.
Air mereka. Angin mereka. Cahaya mereka. Itu yang menjadi Sukma mereka. Tanah
mereka. Tuhan membiarkan aku mempelajari mereka. Mendiamkannya beberapa saat.
Aku
hanya tinggal mengumpulkan sukma mereka yang mati, meminum darahnya, dan
menyentuh dengan perlahan mereka yang masih hidup. Ini pertempuran mereka, dan
aku hanya tinggal menyaksikannya. Menunggu hasilnya.
Ya,
menunggu hasilnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar