Jumat, 03 Agustus 2012

Pendakian


Pendakian Menuju Tanah
Hingga tengah hari, pertempuran terus berdesing. Pedang beradu di antara kepala. Adu kesaktian dan kekuatan antar prajurit, berakhir dengan kematian keduanya. Ini pertempuran yang luar biasa.
Gelar formasi perang yang imbang diperlihatkan masing-masing pasukan. Meski demikian, Adam, panglima laskar manusia, tak habis pikir. Mereka melawan sesuatu yang tak bisa disebut makhluk hidup. Yang berhayat. Mereka melawan patung. Patung-patung yang bahkan belum dibakar, masih basah, tetapi menyerang bangsa manusia yang memiliki sukma. Patung itu berrongga.
Setiap kali ia memecahkan patung, setiap kali itu pula ada satu prajuritnya yang mati. Ia bingung, sebingung-bingungnya. Ini medan perang kesekian yang ia hadapi, tetapi baru kali ini ia melawan yang bukan manusia. Wujud abstrak, yang bahkan diluar kemampuan khayali manusia. Pimpinan musuh bernama Tarub, si Tanah Liat.
Adam terjerembab, sebuah gada besar menghantamnya dari belakang. Ia terbaring di tanah, kulitnya dapat dengan leluasa meraba setiap detak yang Bumi sampaikan kepadanya. Dari pembaringan ini, sukmanya berbicara dengan bumi.
Ia memejamkan mata, namun kekulitannya dengan segera memiliki penglihatan dan pendengaran. Pori-pori tubuhnya segera menjadi rongga indra. Darahnya mengalir deras, membasahi tanah. Ia memanfaatkan kesempatan ini dengan seksama, berpura-pura mati.
“Siapakah Engkau, Tanah kah?” Tanya Adam. Agak tergetar. Setengah sadar, ia mengendalikan sukmanya. Tingkat tertinggi pengendalian ide dan ruh. Pada alam ruh, segalanya-cahaya, air, tanah, angin-menjadi memiliki ruh juga. Mampu bercakap-cakap. Ia belum mati, maka ia menggunakan perantara pintu Ma’dan untuk menjangkau alam lain.
“Aku adalah kamu, yang mati.” Jawab Tanah. Suaranya seperti tembok tua yang menyaksikan perkembangan manusia sejak lama.
“Terangkan maksudmu, aku belum jadi tanah” Adam menyela. Ia masih muda. Sangat muda.
“Aku juga adalah saudaramu, yang mati, 400, 4000 tahun yang lalu. Aku juga adalah anak-anakmu yang akan lahir 4, 40 tahun lagi. Aku adalah asal mula, dan aku akan menjadi akhirnya juga” Kain putih tua yang ia kenakan senantiasa berkibaran dan memancarkan aroma perabuan.
“Engkau ku injak setiap hari,”
“Engkau menginjak dirimu sendiri. Engkau menginjak aku sendiri. Aku menginjak aku, Adam,” Tanah menjawab.
“Engkau adalah tanah,”
“Engkau adalah aku, aku adalah engkau, Adam,”
“Aku memiliki sukma, dan yang bicara padamu adalah sukmaku”
“Engkau bicara pada tubuhmu, tubuh yang tanpa sukma adalah aku. Aku adalah fatamorgana. Ketanpasukmaan aku menjadikan aku fatamorgana, meskipun aku ini benda padat”
“Bagaimana Engkau menjadi darah?”
“Darah adalah aliran, dan dalam alirannya ada air,”
“Engkau dapat mengalir?”
“Pada hakikatnya, aku yang harus bertanya padamu,” Tanah merapatkan tangannya yang berada dalam mudra.
“Bagaimana kesukmaanku dapat menyatu dengan ketanpasukmaanku dan menjadi Aku? Aku memerangi siapa?!”
 “Adam,” Sapa seseorang. Tidak terlihat. Adam bingung, mencari kesana-kemari sumber panggilan itu. Pertanyaannya seperti belum terjawab.
Tiba-tiba, latar dan tempat-ruang waktu-dimana ia melakukan pengembaraan ghaib berubah, dengan angin besar yang memaksa ia memejamkan mata kembali. Ajiannya tidak menjadi hilang, sukmanya tidak tertarik kembali kedalam tubuhnya yang sedang terkapar. Sukmanya hanya hampir buyar, namun konsentrasi tinggi Adam mempertahankan keberadaannya.
Adam terhenyak, suaranya tidak berasal dari tanah. Di sekitarnya adalah rawa-rawa dan beberapa pohon besar beringin. Pada pematang rawa tersisa lumpur hitam, tetapi tidak bersuara.
“Engkau dimana, Tanah?”
“Aku adalah tempat, aku tidak berada dimana-mana tetapi dalam diriku sendiri,” Getaran suaranya membuat angin tiba-tiba bertiup.
“Lihatlah sekelilingmu,” Lanjutnya.
“Aku adalah saudara-saudaramu yang mati dalam perang. Pertempuran besar yang engkau rencanakan, Adam,”
“Apa maksudmu?” Adam semakin bingung kakinya agak dalam terbenam lumpur. Udara basah mengitari rawa-rawa, gelap. Batas tengah hari menjadi tidak jelas, sebab dalam rawa hanya ada dua masa, gelap dan terang. Ia, merencanakan perang?
“Aku adalah saudaramu yang terbunuh di Torwada*. Yang larut, dan darahku mengalir dalam rawa, diisap tanaman menjadi hara. Aku adalah saudaramu yang mati di Bharatayudha, dan sisa-sisa daging yang hangus terbakar menjadi humus padang rumput, dan banjir menjadikannya rawa yang membenamkan kakimu. Aku adalah syuhada Baddar, yang kini melarut dalam tanah dan beterbangan seperti debu. Aku juga adalah korban-korban perang salib, yang didalamnya bertempur juga dua Tuhan.”
Kakinya semakin erat dan tak dapat ditarik, terbenam. Ia semakin bingung. Ia hanya ingin jawaban, ia sedang melawan siapa? Kenapa lawannya kali ini bukan manusia? Kenapa juga Tanah memberi jawaban, bahwa ia sendiri yang merencanakan perang?
“Apa rencanamu sesungguhnya, Tanah,“ Desis sukma Adam. Ia menghentikan perapalan ragasukma, dan meniatkan kembali hidup. Menyatu dengan raganya. Ia benar-benar merasa dipermainkan Tanah. Sudah ratusan anak buahnya mati. Ia tak tahan. Terlalu banyak darah.
Adam bangun dengan perlahan, persis seperti mayat yang baru dibangkitkan. Berlumuran darahnya sendiri. Ia meregangkan tubuhnya sebentar, lalu menghunus lagi senjata.
Pedang bermata dua, yang satu diselimuti api dan mata satunya lagi diliputi asap dingin, asap udara yang membeku. Tetapi ini semua tidak berguna, ada yang tak dapat dijangkau oleh senjatanya.
“Aku juga adalah saudaramu, yang mati, 400, 4000 tahun yang lalu. Aku juga adalah anak-anakmu yang akan lahir 4, 40 tahun lagi. Aku adalah asal mula, dan aku akan menjadi akhirnya juga,”
“Engkau kuinjak setiap hari,”
“Engkau menginjak dirimu sendiri. Engkau menginjak aku sendiri. Aku menginjak aku, Adam.”
“Engkau adalah tanah.”
“Engkau adalah aku, aku adalah engkau, Adam.”
“Aku memiliki sukma, dan yang bicara padamu adalah sukmaku.”
 Adam mencoba mengingat-ingat lagi petunjuk yang diberikan Tanah. Tanah yang masih menghampar, yang belum dijadikan manusia.
“Perbedaan aku dan kamu adalah sukma dan tanpa sukma.” Tanah melanjutkan kata-katanya.
“Aku memiliki sukma, Tanah, berarti mereka tidak?”
“Mereka adalah kamu juga.”
“Maksudmu?”
“Kembalilah bertempur.”
*****
“Ada yang juga telah menemui aku, Tarub,” Tanah menjawab semedi Tarub. Di tengah peperangan ini ia bingung. Pertempuran maha dahsyat yang menjungkirkan logikanya.
Gelar formasi perang yang imbang diperlihatkan masing-masing pasukan. Tarub, panglima laskar manusia, tak habis pikir. Mereka melawan sesuatu yang tak bisa disebut makhluk. Mereka melawan patung. Patung-patung yang bahkan belum dibakar, masih basah, tetapi menyerang bangsa manusia yang memiliki sukma. Patung itu berrongga. Pimpinannya diserukan dengan nama Adam.
Setiap kali ia memecahkan patung, setiapkali itu pula ada satu prajuritnya yang mati. Ia bingung, sebingung-bingungnya. Ini medan perang kesekian yang ia hadapi, tetapi baru kali ini ia melawan yang bukan manusia. Wujud abstrak, yang bahkan diluar kemampuan khayali manusia.
Ia mengerahkan aji untuk menelusup kepada Ma’dan, ilmu segala ilmu. Ia mencari jawaban tentang siapa lawannya. Ma’dan adalah tempat maha ghaib, yang hanya bisa dicapai dengan penyatuan sukma dan jasad. Di Ma’dan, ia menemui inti Tanah. Seorang petapa tua, berjubah putih tua. Ia tak suka basa basi, sebab tak ada ilmu di dalamnya. Ma’dan itu ilmu, hanya ilmu yang ada di dalamnya.
“Siapa lawanku, Tanah?”
“Aku dan kamu,”
“Engkau dihadapanku, dan tidak sedang bertempur!” Tarub kebingungan. Ini peperangan yang sangat aneh, bahkan untuk sekelas dia, yang memenangkan belasan pertempuran.
“Aku yang memiliki tanahku, sukmaku, yang terdiri dari akalku, nafsuku, apiku, airku, anginku, dan cahayaku. Semuanya berkumpul dan tewas dalam medan perang, lalu hidup lagi.”
“Aku juga adalah saudaramu, yang mati, 400, 4000 tahun yang lalu. Aku juga adalah anak-anakmu yang akan lahir 4, 40 tahun lagi. Aku adalah asal mula, dan aku akan menjadi akhirnya juga,” Kain putih tua yang ia kenakan senantiasa berkibaran dan memancarkan aroma perabuan.
“Engkau ku injak setiap hari!”
“Engkau menginjak dirimu sendiri. Engkau menginjak aku sendiri. Aku menginjak aku, Tarub.” Tanah menjawab. Ia membingungkan Tarub.
“Engkau adalah tanah,”
“Engkau adalah aku, aku adalah engkau, Tarub,”
“Aku memiliki sukma, dan yang bicara padamu adalah sukmaku,” Tarub mencoba mengingat-ingat lagi petunjuk yang diberikan tanah pada awal pembicaraan. Tanah yang masih menghampar, yang belum dijadikan manusia. Hitam.
“Perbedaan aku dan kamu adalah sukma dan tanpa sukma,” Tanah melanjutkan kata-katanya.
“Aku memiliki sukma, Tanah, berarti mereka tidak?”
“Mereka adalah kamu juga,”
“Maksudmu?”
“Kembalilah bertempur.”
Tarub kehilangan akal, siapa yang ia hadapi kali ini? Aku adalah aku, aku adalah kamu, kamu adalah aku, mereka adalah kamu? Aku tanah? Tanah aku? Siapa mereka?
*****
Aku harus terus mengawasi jalannya pertempuran mereka, menjadikan mereka boneka tanah liat yang setia. Rongga yang ada dalam patung itu besar, dan mudah saja mengendalikannya seperti wayangku. Aku hanya menghasut panglimanya, tidak lebih, dan membiarkan kedua panglimanya menghasut puluhan ribu tentara.
Sebelum manusia hidup, aku lebih dulu hidup, dan mempelajari tubuh mereka. Api mereka. Air mereka. Angin mereka. Cahaya mereka. Itu yang menjadi Sukma mereka. Tanah mereka. Tuhan membiarkan aku mempelajari mereka. Mendiamkannya beberapa saat.
Aku hanya tinggal mengumpulkan sukma mereka yang mati, meminum darahnya, dan menyentuh dengan perlahan mereka yang masih hidup. Ini pertempuran mereka, dan aku hanya tinggal menyaksikannya. Menunggu hasilnya.
Ya, menunggu hasilnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar