Rabu, 09 Januari 2013

Damaskus Satu Ketika


Damaskus Satu Ketika
Malam tiba, pertempuran untuk sementara dihentikan. mengikuti turunnya matahari yang melelahkan panca indra. Siang tadi, belasan tentara yang mati. Ya, pertempuran menderu dengan keras. Peluru-peluru tak lagi mengenal tuan atau lawan. Selain tentara, puluhan orang sipil mati terinjak-injak menghindari roket dan kejaran anjing-anjing yang dilepaskan tentara pemerintah Suriah.
Semua tentara yang mati dikumpulkan, dijejerkan di pinggir tenda utama pasukan pemerintah. Bendera besar dan sebuah pigura bergambar Bashar tergantung di kain dinding. Satu jenasah berlumur darah. Satunya kehilangan tangan dan kaki. Satunya beku, darahnya habis tertelan roket yang ia lemparkan sendiri.
Ditutupi kain putih.
Sebagian menyiapkan kantong jenasah merah. Ambulan meraung-raung mencari orang sipil, tetapi yang ia dapatkan hanya jenasah tentara. Yang sipil dibawa keluarganya, atau membusuk tanpa dikenali lagi.
Di tengah reruntuhan kota, seorang kolonel menembak seorang militan siang tadi. Menembus liang matanya. Peluru berdentingan, jatuh ke balik reruntuhan batuan. Tangan sang pejuang, tanpa disadari oleh kolonel, memegang sebatang bunga putih kecil padang pasir, yang rencananya ia akan berikan kepada ibunya: tanda ia siap menerima perang dan kematian tanpa ragu-ragu.
Dan peluru itu menemukan sebilah pisau yang diliputi darah bekas luka seorang anak muda.
Didekatnya, senapan kecil sang militan terjatuh dan berbaring. Menyimpan sebuah peluru lain yang belum sempat ditembakkan.
Malam bertambah hening, perang dengan khidmat dan tenang menelusup ke setiap butir pasir dan debu. Menyusup jauh kedalam malam.
“Malam tiba” Peluru memecah keheningan.
“Seharian para pengungsi kehilangan jalan, jalan yang tersisa ditutupi barikade” Sahut Pisau sekenanya.
“Aku belum tahu, kenapa aku ditembakkan” Keluh Peluru. Terdengar suara tangis diselingi jerit sayup-sayup meruah di udara.
Di kejauhan sana, seorang ayah menemukan anaknya tertimpa reruntuhan rumah yang diledakkan siang tadi. Orang-orang Bashar mendeteksi, rumah itu markas oposisi.
“Bashar masih ingin hidup lebih lama” Senapan sang militan membuka mata. Menemukan kesadaran.
“Sebagaimana yang lain, ia menggunakan kita untuk memanjangkan umurnya” sambung Senapan.
“Kita tidak tahu apa-apa” tutup peluru.
Sementara itu, pagi kembali tiba. Terbitnya lebih merah, ketika sekelompok militan lain menemukan jasad temannya tadi, yang ditembak sang kolonel tadi siang. Darahnya merah. Memerahkan mata mereka, yang setengah tergetar mencoba mengangkat tubuh itu. Tubuh temannya sendiri, yang sangat mereka kenal sedari kecil. Dan bunga putih kecil padang pasir itu, yang masih digenggam sang jenasah, bunga yang sama yang mereka berikan kepada ibu-ibu mereka di pengungsian beberapa hari yang lalu
****
“Allahu Akbar! Surga semakin dekat!” Belum sempat ia membawa jasad temannya, sebuah panser memasuki jalan. Dari sudut 15, bekas rumah seorang nenek tua.
Para militan bersiap, mereka tiarap di balik dinding-dinding yang sudah hancur. Mengambil posisi bertahan, karena mereka bukan militan garis depan. Mereka hanya berjaga tanpa mengenakan rompi pengaman, atau senapan kaliber besar.
Bau perang semakin kuat. Bau darah. Bau peluru tajam yang hampir ditembakkan. Tiba-tiba, bercampur bau kerinduan pada masa sebelum perang, muncul di udara.
“Perang akan kembali dimulai” Bisik senapan, yang masih memperhatikan keadaan.
“Peluru di dalam senjata tak tahu apa-apa, mereka ditembakkan begitu saja” Pisau menutup wajahnya. Entah kenapa.
Senjata diletuskan kedua belah pihak, keadaan berkecamuk dan terjadi tembak-menembak yang lumayan besar. Peluru para militan tak mampu menembus baja panser, tetapi sebuah granat menggelinding tepat kearah mereka. Granat, yang mengakhiri konsep-konsep yang diperbincangkan para militan hampir setiap hari.
****
“Dua hari, teman. Dua hari yang lalu ia mati. Tuanku memancarkan wangi, tidak seperti mayat-mayat lainnya” ujar Senapan.
“Itu aroma yang biasa muncul hanya ketika darah, mesiu, dan debu jalanan bercampur di kota ini” jawab Pisau. Tetapi Pisau sempat melihat bunga putih, yang koyak dilebur granat.
“Kapan perang ini berhenti?” sambung Senapan.
“Ketika hanya ada satu islam”
“Yang mana yang menang, perkiraanmu?”
“Entahlah, yang mati mempertahankan diri dan yang menyerang, tak bisa kubedakan. Tidak seperti kita, ditempa dengan fungsi yang berbeda-beda. Aku dihunus, kau diletuskan. Mereka yang bekerja” Pisau menerawang sejenak. Ia merindukan tangan yang menghunusnya bukan untuk perang.
“Rasa darahnya sama. Meski aku baru menembus satu kepala. Bukankah perang ini menuntut kepatuhan semata, lantas kenapa tidak ada yang mematuhi Bashar?”
“Tuhan memerintahkan kita untuk mematuhi-Nya”
“Dia adalah pemimpin negeri ini. kau digerakkan oleh pemberontak”
“Begitulah, Tuhan telah menciptakan manusia yang menumpahkan darah”
“Kita tidak tahu apa-apa” Senapan ikut merenung.
“Dulu sekali, aku adalah sebilah pedang kepunyaan Imam Ali. Betapa gemuruhnya, ketika seratusribu pedang lain tunduk pada perintahku. Sasaranku satu: membuat Muawiyah Ibn Abi Soufyan, yang kala itu menjadi wali daerah ini, tunduk. Ia mengaku khilafah”
Ia mengingat-ingat peristiwa seribu empat ratus tahun yang silam. Pertempuran Shiffin, sembilan puluh ribu lawan delapan puluh ribu. Pertempuran dahsyat terjadi antara dua teman. Ammar Ibn Yasir tewas. Perang berhenti ketika Amru Ibn Ash melakukan muslihat, mengikatkan al-qur’an pada ujung tombak-tombak dan berseru: mari kembali para Kitab Allah!
Tentu saja, sluruh tentara Ali, yang islam, goncang kepatuhannya pada sang Imam.
Mari kembali pada Kitab Allah!
Dan enampuluh ribu diantara mereka berdua mati.
Tetapi, tuntutan mereka satu: bela darah atas Utsman, yang dibunuh tanpa tahu apa-apa mengenai kesudahan perisitiwa sepeninggalnya. Mengenai perang, yang menimpa Khalif setelahnya.
“Dua sahabat Rasul yang agung pun berperang. Bukankah kesudahannya salah satu diantara mereka mati?”. Ya. Ali, akhirnya dibunuh seorang khawarij, yang merasa Sang Khalif tak becus menyelesaikan kasus pembunuhan Utsman.
“Ali tidak tahu apa-apa tentang masa ini. begitu pula Muawiyah”
“Pisau,” sambung peluru.
“Dulu aku adalah tameng yang digunakan Muawiyah. Belum pernah sekalipun aku diliputi darah orang muslim, kecuali saat Muawiyah mesti tergores duri kecil di pinggiran bukit dekat Damaskus”
“Saksikanlah: bukankah mereka berdua tidak pernah melukai siapa-siapa?” Pisau mengingat-ingat masa lalu. Tepat seribu empat ratus tahun yang lalu. Ketika perang bukan untuk melukai, tetapi untuk mencari kebenaran. Perang hanya antara prajurit dan prajurit. Pedang dan pedang. Dan semuanya mempertahankan kebenaran.
Kebenaran.
Kebenaran!
Tiba-tiba, jenasah sang militan bangkit, di hari keempat. Tubuh mati itu pelan-pelan berdiri, membelakangi pisau, peluru, dan senapan. Kebangkitan agung, tepat ketika para militan menghadang iringan kendaraan militer. Ia terlihat bercahaya, mengenakan kafiyeh dan jubah kekuningan. Gading. Menghunus sebilah pedang, yang sangat dikenal Pisau.
Ikat kepalanya berkibaran di udara.
Tubuhnya harum sekali, seperti aroma bunga-bunga sahara. Tetapi, ketika tubuh sang militan menoleh, dan wajahnya terlihat sempurna, wajah yang sangat dikenal Pisau dan Peluru mengguratkan kewibawaan:
“Imam Ali?” Kata peluru.
“Ya, ia Imam Ali!”
“Jangan kejar mana yang lari! Jangan lakukan perampasan!” tiba-tiba, ia berseru. teriaknya tergema membahana. Imam ali mendadak disertai kemunculan ghaib puluhan ribu orang lain dibelakangnya. Pisau dan yang lain hanya bisa terpana. Peristiwa ghaib apa yang tengah terjadi dihadapan mereka?
Itu Ahnaf Ibn Qays. Panglima besar Tamim.
Itu Asytar An-Nakhi. Pewaris Khalid Ibn Walid.
Itu Malik Ibn Asytar.
Itu Ammar Ibn Yasir! Yang hanya akan dibunuh oleh para pendurhaka!
Kuda-kuda mereka mencetuskan debu, namun wajah-wajah mereka tidak mencerminkan ketakutan atau kejenuhan. Imam Ali dengan tenang, tetap berjalan kaki. Membiarkan debu-debu jalanan melekati kakinya. Ratusan tentara pemerintah Bashar dan para militan yang memang akan saling serang dan telah tiba disana, terkejut sekaligus terpana, ada ribuan orang datang secara ghaib dari kematian, dan itu adalah para sahabat nabi! mereka keheranan. Kenapa bisa para Shahabi agung ini berkumpul, dari kematian mereka?
“Jangan kalian kira, kami mati. Kami dari sisi Allah, Tuhan Sunni dan Syiah” Ammar Ibn Yasir berkata dengan tenang. Panahnya, kini lahir sebagai pistol yang menembuskan peluru ke mata sang militan. Ia seolah tahu, keheranan akibat kebangkitan mereka yang ghaib dan mengejutkan.
“Perang ini bukan urusan kalian, bukan?” Kata Imam Ali.
“Bashar hanya ingin mempertahankan kekuasaannya. Orang-orang Farisi disana, hanya menginginkan tersebarnya keyakinan mereka kepadaku, tidak lebih”
“Tubban laka’ Bashar. Ia menjual dirinya seharga gunung di Golan! Ia menyebabkan banyak kehancuran!”
“Asytar, hadapi tentara Bashar. Kau, Ahnaf, hadapi para militan! Kita bersihkan dulu kota ini!”
Tiba-tiba, orang-orang sipil yang bisa mengenali mereka berkumpul dan mengikuti langkah tentara pimpinan Imam Ali, menghentikan gelombang para pengungsi. Mereka seperti menemukan harapan yang baru.
Mereka menemukan Imam mereka, ya, Sunni dan Syiah, akhirnya menemukan Imam Ali yang sesungguhnya, bersama-sama para shahabiyin lainnya dan ingin menghentikan perang.
****
Tepat ketika senja hampir tiba, pertempuran antara para sahabat nabi ini dengan pasukan Bashar dan para militan berhenti. Tetapi, tak ada yang terbunuh atau terluka. Semuanya menjadi bunga padang pasir kecil berwarna putih ketika tertembus pedang para shahabiyin itu.
Tepat, ketika pedang orang-orang ghaib itu menyentuh kulit para tentara dan militan, ada getaran misterius yang mengingatkan mereka kepada sesuatu.
Mengingatkan mereka pada bunga putih kecil, yang pernah mereka tanam di masa kecil mereka, jauh di dalam hati.
Sangat-sangat jauh di dalam hati..
Bunga putih ukhrawi, yang ada di hati setiap mukmin. Kemunculan mereka, dan sabetan pedang yang lembut, menumbuhkan kembali bunga-bunga putih padang pasir. Yang ramah. Yang bermadu. Yang bergoyang pelan diterpa angin sahara.
Ya, Damaskus dan sekitarnya kini dipenuhi bunga putih kecil. Seperti ladang bunga tempat para gembala bermain bersama domba dan untanya. Bunga putih, yang mendaifkan wujud jasmiyah para tentara, militan, dan kolonel.
Imam Ali yang agung lalu berhenti, di sebuah jalan besar. Asap masih mengepul di sekitarnya. Namun dipenuhi bunga-bunga putih, yang menggambarkan keriangan.
Ia memetik satu bunga putih itu, dari pinggir jalan. Ia lalu menciumnya dalam-dalam, seperti menemukan sesuatu yang mungil namun ia rindukan.
“Pertempuran sudah berhenti! Sunni, Syiah, hanya sekelompok orang yang mencari kebenaran, namun dijadikan alat pembenaran oleh mereka yang sesat!”
“Tak ada perang kecuali Perang, tak ada cinta kecuali Cinta! Kota ini adalah kota tempat para raja-raja Umayyah dilahirkan dan berkuasa. Kota ini juga tempat Umar, kekasihku, mendapatkan kehormatannya. Juga Utsman Ibn Affan, Muawiyah, Shalahuddin!”
“Tak ada tepat buat darah mengalir di kota ini! tak ada darah kecuali Darah!” Imam Ali lantang berpidato. Yang hadir setengah menangis, bisa melihat wajah junjungannya ini.
“Manusia! Ayahmu satu. Sedangkan ia dari tanah: di tanah kita berperang, di tanah pula kita mati”
Angin menggerak-gerakkan bunga-bunga putih kecil. Harumnya mewarnai kota Damaskus. Tiba-tiba, Imam Ali seperti diliputi cahaya, dan ia membuka kafiyehnya:
“Akulah Bashar Al-Asad!”
Yang hadir terkejut, lalu memandang Imam Ali yang baru saja berkata secara mencengangkan itu.
“Aku juga syuhada yang mati digilas tentara Bashar!” sambungnya.
“Aku adalah tentara, yang mati ditembak para militan!”
“Aku adalah pasir dan debu-debu kota Damaskus, aku juga gedung yang hancur diterpa ledakan. Aku adalah Ali, Muawiyah, Ammar, Asytar, Ahnaf. Aku adalah orang-orang sipil yang tak tahu apa-apa”
“Aku adalah gunung-gunung yang menyaksikan pertempuran, selama ribuan tahun di dataran ini. aku adalah Golan. Aku adalah Syiria. Aku adalah Syam. Akulah yang kalian perebutkan!”
“pertempuran ini, sesungguhnya terjadi dalam pikiran kalian saja, tanah ini tetap dengan tenang berdiri. Dataran Tinggi Golan yang bijaksana tetap ada di tempatnya!”
“Maka, jangan berpikir tentang pertempuran! Sunni, syiah, aku Imam Ali telah mati. Lalu kalian mau mempertahankan apa kecuali tiada cinta kecuali Cinta? Pada masaku, perang hanya untuk menegakkan perjanjian damai antara Utusan Allah, manusia, dan juga antara masyarakat”
“Tiada cinta kecuali Cinta, tiada damai kecuali Damai! Bashar, para militan, pisau, peluru, senapan, bendera, darah, adalah satu kesatuan, semuanya dari bumi, dan tak pantas diantara anak cucu bumi saling membenturkan diri”
“Wahai Putra Air Langit, Bani Ma’isamaa! Hujan awal musim semi akan segera turun, menghapus jejak darah!”
Tubuh itu, seorang militan yang bangkit lagi menjadi Imam Ali, yang kini menahbiskan dirinya adalah saksi segalanya, memandang satu-satu sahabiyin yang bangkit mengikutinya.
Ia membayangkan masa kecil yang indah bersama mereka di Makkah. Ia membayangkan penyiksaan yang datang bertubi-tubi dari para penentang ketika sama-sama mempertahankan keyakinan. Ketika belum ada prasangka diantara mereka tentang siapa yang salah, dan siapa yang lebih salah.
Tetapi ini: darah keyakinan yang sama, mesti jatuh seperti gerimis ketika salah seorang dari mereka ingin mempertahankan umurnya lebih lama.
Mendadak, Imam Ali, diiringi ribuan tentara para shahabiyin mengangkat tangan kelangit dan terdengar suara dzikir yang membahana, memenuhi gurun dan lembah, memenuhi kota-kota, dan memenuhi segala ruang yang menjadi medan pertempuran. Memanggil-manggil nama Tuhan. Memanggil-manggil rahmat yang lama terhenti. Memanggil-manggil yang maha Penyayang.
Pisau, Peluru, dan Senapan hanya bisa diam. Mereka tetap hanya benda mati, yang dipengaruhi kehendak pemiliknya. Tanpa bisa berkata-kata lagi, mereka hanya saling menggumam dalam hati. Tentang perang. Tentang jalannya perang. Tentang Imam Ali yang tiba-tiba muncul, dan memberikan harapan baru bagi tegaknya kedamaian di Suriah, Iran, Iraq, Afghanistan, Sudan, Indonesia, dan segenap kantong-kantong perang lainnya yang terpendam namun menjadi bisul yang menyakitkan hati setiap orang.
Mereka akhirnya berhenti menggumam. Mereka memilih dengan syahdu mengikuti suara dzikir yang terbang di udara seperti kupu-kupu, dan satu-satu menghinggapi bunga-bunga putih kecil yang tumbuh memenuhi kota.
Seluruh kota, yang diselimuti bunga-bunga putih kecil, kini juga dipenuhi kupu-kupu dzikir para shabiyin itu, dipimpin Imam Ali. Seperti musim semi sehabis kemarau panjang yang diciptakan Bashar.
Bunga-bunga putih kecil, yang berasal dari para militan dan tentara, mekar dengan sempurna, dan menyambut matahari dengan lebih terbuka. Lalu ikut pula berdzikir, hingga dzikir itu kini aromanya seperti bunga putih kecil padang pasir.
Dan kupu-kupu terbang diantaranya, terus keatas, hingga jauh, jauh menuju ketinggian, tempat Tuhan betul-betul berada.
Dzikir mereka diikuti segenap orang-orang sipil yang hadir, dan dari menara putih Damaskus, menara sebuah masjid tua tempat di ibukota tempat Bashar mengatur jalannya perang. mendadak sebuah cahaya terang menyala lembut, lalu orang-orang berteriak:
“Isa Al-Masih Ibn Maryam, Rasulullah telah nuzul kembali!”

Cerpen: Berita


Berita
Setelah Golek pulang, warga dan tetangga ramai-ramai mengunjunginya. Ia sekarang resmi menjadi Haji, Haji Golek. Demikian pula tetangga-tetangganya memanggil. Haji Golek. Namun ia membuat kegemparan, ia mengaku berhaji ke Arsy!
Haji Golek, mendaftarkan titel hajinya langsung ke Istana Keilahian Alam Semesta: Arsy!
Ini segera menjadi perbincangan. Ketua RT-nya repot sekali menutup-nutupinya dari wartawan, sementara makin banyak saja yang berkunjung pada Haji Golek. Ada yang ingin mencari berkah, wawancara, sampai menganggapnya Tuhan itu sendiri, seperti Avatara.
Atau jangan-jangan, Allah sedang menjadi rupa laki-laki setengah baya yang ada di hadapan kita sekarang, batin seorang nenek tua yang menjadi ahli petapaan (kita biasa menyebutnya dukun).
Arsy, singgasana Tuhan semesta Alam adalam tempat segenap malaikat, ada yang mengatakan tujuh puluh ribuan, datang untuk berdzikir dan bersujud tanpa pernah kembali lagi. Mereka abadi dan memanjangkan doanya dalam kasih sayang Allah.
Arsy itu agung, berdiri tegak diatas lautan air murni yang awal sekali adanya. Terbuat dari mutiara, yaqut, zabardjan, lu‟lu‟, marjan, dan permata. Tetapi pasti lebih agung dari pada itu, sebab Allah Subhanahu Wa Ta‟ala tak tertandingi oleh makhluk apapun.
“Aku melihat Singgasana Semesta, „Arsy. Demikian indahnya!”
“Seperti apa, seperti apa?”
“Seperti senja, seperti senja! Kau pernah melihat laut ketika matahari terbenam, bagaimana batas antara laut dan langit membentuk mosaik jingga? Seperti itulah istana-Nya!”
“Betapa Agung, betapa akbarnya!”
“Lalu seperti apa Tuhan, seperti apa Dia?”
“Ia begitu indah, begitu sembilanpuluhsembilan!”
“begitu duapuluhkah?”
“Begitu duapuluh!”
“Ia benar-benar hadir dengan kesembilanpuluhsembilan-Nya? Beruntungnya kau!”
“Iya! Kau mau melihatnya? Aku bisa menunjukkan kepadamu!”
“Eee! Maksudmu? Kau bisa mengajakku kesana?”
“Iya! Jangan takut biaya. Dia sendiri yang akan menanggungnya!”
“Baik, baik! Aku setuju!” Salah seorang tetangganya yang berkunjung agak bingung juga. namun siapa yang tidak tertarik, menjadi tamu Allah, langsung di Istana-Nya yang utama?
Keesokannya, Kardi, tetangga Haji Golek yang bingung ini, datang kerumah Haji Golek membawa sekoper besar baju dan identitas. Tak lupa, pakaian muslim dan sarung. Kopiah putih bersarang di kepalanya. Haji Golek, yang baru saja menunaikan Shalat Dhuha, menemuinya dengan wajah masih basah dan wangi.
“Kau sudah siap? Ayo ikut aku!” Haji Golek membimbingnya.
Ke ruang keluarga.
Lama setelah itu, Kardi bingung. Pak Haji hanya menyodorkan remot teve.
“Pak Haji?”
“Kok tak berangkat-berangkat?” Sambungnya.
“Oh iya, Ibu, tolong buatkan minum dan kue buat Pak Kardi!”
“Pak Haji, kapan saya berangkat?” Kardi merajuk. Ia menangkap sesuatu yang aneh.
“Sebentar, saya pilihkan saluran yang tepat” sambil memilih-milih saluran televisi, Haji Golek berzikir dengan lembut.
“Nah,Pak Kardi, kita manasik dulu. Lihat berita ini, ada Allah disana. Ar-Rahman”
“Pak Haji?”
“Cobalah”
Kardi, dengan segala kebingungannya terus melihat berita. Seorang penyelamat lingkungan bekerja keras menyelamatkan paus yang terdampar di pantai selatan Indonesia. Puluhan warga membantunya dengan menyiramkan air ke paus, agar tetap dingin. Sementara ia bingung, kata-kata dzikir yang diucapkan pak Haji, Kardi melihat huruf-hurufnya terlihat seperti kaligrafi melayang di udara melalui mulut Pak Haji!
Kardi terbengong-bengong.
Berita selanjutnya, Kardi semakin bingung apa maksud Pak Haji. Wabah ulat bulu. Di Jawa, dua kota terkena wabah ulat bulu. Dimana-mana ulat bulu, sampai seolah-olah dinding menjadi karpet yang sedang dijemur, namun bergerak-gerak karena itu adalah ulat bulu. Sepatu, jemuran baju, halaman, tanaman hias, jendela, semuanya dipenuhi ulat bulu. Bahkan jalan raya jadi seperti ada karnaval, karena ulat yang merah-merah itu memenuhi jalan raya. Entah darimana datangnya ulat itu.
Ratusan liter insektisida kelas D dihujankan dari udara dengan helikopter. Ada yang menyiramkan premium ke jalanan, lalu menyulutnya hingga ulat-ulat itu terbakar secara massal. Namun apa artinya? Ulat itu sangat banyak.
Di sela tontonannya, Kardi bertambah bingung, sebab huruf-huruf ini memenuhi ruangan. Mulanya ia kira mimpi, namun ketika ia menyenggol kaki meja dan kesakitan, barulah ia tahu mentalnya masih sehat. Apa maksudnya huruf-huruf ini?
Selanjutnya, seorang ibu yang membakar anaknya ditangkap dan diamankan ke kantor polisi. Dua psikolog diundang untuk mengajaknya bicara. Ibu itu diam saja menangis. Diduga, ibu ini tak punya uang dan memilih menyelamatkan masa depan anaknya, dari pada membiarkan masa depan anaknya hancur tak menentu. Huruf-huruf tadi masih melayang-layang.
Bersama-sama pak Haji, Kardi juga melihat kasus korupsi besar pembangunan hotel raksasa untuk mengadakan acara olahraga dan konferensi internasional. Uangnya mencapai belasan triliun, dan itu mengalir ke kas pribadi beberapa orang dari beberapa partai selama beberapa hari setelah KPK menemukan beberapa transaksi mencurigakan dari beberapa kali pemeriksaan.
Pelakunya, belum tersentuh dan hanya mondar-mandir menghabiskan cangklong di hotel-hotel dekat pantai di Lombok. Namun betapa terkejutnya Kardi, ketika huruf-huruf yang diucapkan pak Haji ada, muncul di rekaman berita televisi di Senayan!
“Pak Haji?” Kardi masih berkerut-kerut. Bingung.
“Itu proses yang pertama. Mari kita lihat berita lain, ah, ini” sambil memenceti remot kontrol. Ia seperti tak melihat apa-apa dari mata Kardi.
Pak Haji Golek diam saja, lalu dengan tasbihnya, ia melihat televisi dengan khusyuk. Kardi menurut saja, meski hatinya ragu-ragu. Apa huruf-huruf itu? Dan kini huruf-huruf itu berganti-ganti warna, emas, kuning, biru, hijau, dan putih.
Demonstrasi terjadi di gedung DPR-MPR di Senayan. Tuntutannya sederhana, menutup impor beras dan garam. Juga, menjelang pemilihan presiden, menuntut pemilu yang bersih. Ratusan mahasiswa, buruh, kernet, tukang es, dan pemulung memadati lokasi demonstrasi. Entah kenapa, demonstrasi berubah kacau. Apalagi kehadiran huruf-huruf dari mulut pak Haji yang terekam kamera wartawan disana membuat orang-orang agak bingung.
Tiba, tiba, pak Haji bangkit dan bertakbir,“Disana, pak Kardi, tak lihatkah kau ada Allah disana, disana?” Pak Haji menunjuk-nunjuk televisi, ketika demonstrasi makin besar dan terjadi baku tembak. Huruf-huruf itu terlupakan.
Kardi semakin bingung, “Pak Haji, saya tak lihat apa-apa, mana mungkin Allah tersorot kamera wartawan!”
“Itu, itu! Tidakkah kau melihat, Pak Kardi?” seru pak haji. “Itu Gusti Allah datang!”
Kardi takut, Haji Golek terkena sakit jiwa, atau dirinya? Mau tak mau, Kardi mendekatkan diri ke televisi, lalu mengamat-amati gambarnya dengan baik, kerusuhan! Spanduk dan ban bekas terbakar, massa berlarian keluar pagar gedung dan terdesak kearah jalan tol.
“Subhana Allah, ya Allah, ini aku, Golek!”
“Pak Haji, Pak Haji!”
“Kardi, tidakkah kau melihat Allah disana? Mohonlah apa saja, mohonlah ampun!”
Sementara Kardi melihat dengan mata kepalanya sendiri, bahwa ada yang terinjak-injak dan kepalanya berlumur darah. Bom molotov dilemparkan tanpa arah. Yang lain teriak-teriak lantas lari. Api. Darah. Takut. Tetapi huruf-huruf tadi menyelimuti orang yang berdarah-darah tadi dan menerbangkannya ke langit yang tinggi.
“Ya Allah! Ini sekarang saya bawa Kardi, teman dan tetangga saya. Sayangilah dia, Ya Allah!”
“Ya Arhamar-Rahimin! Ya Arhamar-Rahimiin!”
Pelan-pelan, ketika Pak Haji Golek larut dalam tangisnya, Kardi melihat rumah Pak Haji Golek berubah menjadi langit senja, lengkap dengan lautnya. Matahari tenggelam di laut, hingga langit senja. Ini mirip sekali dengan yang diceritakan Pak Haji. Tetapi, benarkah ini Arsy, atau hanya angan-angan Kardi? Huruf-huruf itu? Lalu senja di rumah Pak Haji ini? ah!
“Pak Haji, Pak Haji! Dimana ini? dimana?” Kardi yang baru menyadari beberapa kejap lalu ini adalah rumah Pak Haji yang berubah jadi pantai senja sangat terkejut.
Inikah Arsy? Ia menyusuri pantai, takut? Gembira? Entahlah, yang jelas ia panik, kenapa tiba-tiba sekarang ia di tempat seperti ini? setengah berlari, ia terus menyusuri pantai.
Beberapa perkataan yang terdengar seperti ayat-ayat qur‟an, tergetar di udara dengan laghu bayyati. Lembut dan mengharukan, tetapi misterius. Menggaung-gaung memenuhi senja.
“Allahu la ilaha illa hu wal hayyul qayyum...”
Ia terus memanggil-manggil Pak Haji. Tetapi tak ada yang menjawab, lalu ia memanggil-manggil nama Allah, “Allaah, Allaah! Dimana ini, dimana ini! dimana Pak Haji?!”
Ia terus berlari sambil teriak begitu. Sementara senja tak juga jadi malam, malahan semakin menyala indah. “Allaaaaah!”
Tiba-tiba ia kelelahan, terduduk dan lemas. Dalam kelemahannya seperti itu, ia masih menggumamkan nama Allah. “Allah...”
Ketika Kardi menoleh kearah matahari terbenam, alangkah terkejutnya Kardi ketika ia melihat Pak Haji sedang duduk bersila tenang diatas lautan, tetap menonton televisi yang mengambang-ambang, lalu berkata pelan dan tenang kepada Kardi.
“Kardi, bangunlah”
“Pak Haji...”
“Kita sudah sampai”
“Kita dimana Pak Haji?”
“Waktu adalah fana. Kau tak berada dimana-mana” Pak Haji memandang jauh kedalam televisi. “Kau berada dalam Allah” Berita di televisi masih seputar demonstrasi, sayup-sayup terdengar. Beradu dengan laghu bayyati yang terus terlantun dilangit.
“Musim terus berganti, hari-hari berputar seperti jam dinding dan arloji”
“Pak Haji, tadi kita sedang lihat televisi di rumah”
“Ada Allah di setiap peristiwa yang diingat maupun tidak diingat orang-orang, dan pasti Ada Allah dalam sanubari hati kita”, ucapnya. “Berhajilah kedalam hatimu”
“Pak Haji, saya tak paham ini dimana?”
“Arsy seharusnya melampaui keberadaan alam semesta yang terindera. Melampaui Jerussalem. Melampaui Ka‟bah. Bukalah hatimu, dan temukan Itu di didalamnya”
“Lalu berhajilah sepuasmu”