Senin, 09 September 2013

Kenapa Umat Islam Mudah Jadi Sasaran Kristenisasi?

Mungkin ada baiknya juga saya terangkan, kenapa umat islam mudah sekali diserang oleh misi kristenisasi. Begini, ambil dulu lagi tehnya, snack juga.

Umat islam kita sederhanakan dulu menjadi dua bagian, Alim Ulama-Ulil Amri,  dan Golongan Awam. Ingat, ulama dan ulil amri saya satukan, karena pada dasarnya, dalam qur’an tersimpan hikmah kenapa umat diperintah menaati Ulil Amri tanpa disebutkan ulama. Karena sejatinya Ulama adalah pimpinan bagi Ummat.

 Lihat, bagaimana para khalifah bertugas sebagai juru fatwa pada masanya, tidak seperti saat ini, Presidennya tak pernah kelihatan mimpin khotbah jumat sekalipun. Padahal dia islam lho... hehehe. Mau mantan mas’ul organisasi tarbiyah apa kek, dia harus manunggal dengan ulama. Artinya, dia adalah ulama sekaligus amri, bukan amri saja atau ulama saja. akibatnya, ya,... sekularisasi....

a.       Dari golongan Ulil Amri-Ulama

Menguak Strategi Kristenisasi Secara Ringkas

Baik, akan saya jelaskan melalui dua jalur. Jalur pertama, islam diserang lewat eksternal agama islam, meliputi:

a.       Strategi politik

Kaum kristen, sangat berupaya menguasai bumi dengan dasar Matthew 24:14 "This gospel of the kingdom shall be preached in the whole world as a testimony to all the nations, and then the end will come." Jelas bahwa mereka sama dengan kita, membuat seluruh manusia beriman pada agama mereka.

Jalur politik mereka tempuh dengan membuat jaringan politik dunia kristen, mengadopsi konsep khilafah islam, yang berpusat di Vatikan untuk katolik. Persis dengan zaman Khalifah, dimana ibukota dunia islam ada di Madinah dan selanjutnya Damaskus serta Cordova dan Baghdad. Dengan menempatkan satu ibukota begini, segala kegiatan kristen seluruh bumi dikontrol dan diketahui Paus, Khalifahnya mereka. Keren ya? Iya. Harusnya penguasa Islam ada, sayang, mereka masih ribut-ribut soal hilal dan keharaman cacing tanah.

Minggu, 08 September 2013

Risalah Amar: Cara Mudah Membuat Puisi


Puisi. Semua orang bisa membuat puisi. Jangan dibatasi apa definisi puisi. Tetapi; saya termasuk penganut tradisional, puisi harus indah dan memiliki arti. Jarang orang tahu, bahwa Chairil Anwar yang kadung dibesar-besarkan sebagai pembebas puisi, mengatakan bahwa puisi harus indah.  Ia meneliti setiap kata-katanya, hingga tak ditemukan cela dibaliknya.

Lagi-lagi, ini Cuma jalan pintas dari jalan panjang yang mesti ditempuh. Cuma sekedar tips. Haram mempelajari tips ini sebelum tahu, bahwa puisi adalah masalah proses, masalah ideologi. Masalah harga diri dan kepahaman serta kecintaan kita kepada objek yang dijadikan puisi.

Bak, kita mulai saja dari cara paling sederhana membuat puisi:

DZIKIR PAGI DAN PETANG-Ust. Yazid Ibn Abdul Qadir Jawas

Dzikir PAGI PETANG


Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas 
خفظه الله

أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ


"Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk."


اللهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاء وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَلاَ يَؤُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ



"Allah tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi) melainkan Dia Yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang (berada) dihadapan mereka, dan dibelakang mereka dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari Ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, Allah Mahatinggi lagi Mahabesar." (QS. Al-Baqarah: 255). (Dibaca 1x) [1] 

Selasa, 03 September 2013

Aduh, Kota ini....

Aduh, Kota ini....
Melamun. Saya tiba-tiba jadi ingat kabar murid-murid saya, di sekolah terbuka. Mereka berasal dari kalangan-kalangan ini:

Kurang mampu, tapi telepon genggamnya mengalahkan saya. Layar sentuh, dan jenis-jenis lain yang bikin ngeri. Takut salah pencet, nanti error sistem operasinya. Telepon genggam saya saja Cuma telepon curut yang tidak rusak meski terbanting berkali-kali... (tahulah apa mereknya).

Kurang gizi, tapi uang jajannya dihabiskan untuk main ke warnet. Maklum, mereka mengalami kekerasan rumah tangga. Jadi, mereka mencari pengalihan dengan main ke warnet, game online. Yah... mereka suka melihat grafis tembak-tembakan dan orang terbunuh karena bidikan mereka. Game apa ya itu?

Kamis, 29 Agustus 2013

Menjawab Fitnah Terhadap Ummahatul Mukminin Aisyah

Jawaban dari Fitnah kafiriin tentang Rosulullah menikahi Aisyah sebagai kesalahan!

Telah datang ke meja redaksi beberapa syubhat dari pembaca, isi syubhat tersebut adalah:

"Seorang teman kristen suatu kali bertanya kepada saya, 'Akankah anda menikahkan saudara perempuanmu yang berumur 7 tahun dengan seorang tua berumur 50 tahun?' Saya terdiam.

Dia melanjutkan, 'Jika anda tidak akan melakukannya, bagaimana bisa anda menyetujui pernikahan gadis polos berumur 7 tahun, Aisyah, dengan Nabi anda?' Saya katakan padanya, 'Saya tidak punya jawaban untuk pertanyaan anda pada saat ini.' Teman saya tersenyum dan meninggalkan saya dengan guncangan dalam batin saya akan agama saya.

Kebanyakan muslim menjawab bahwa pernikahan seperti itu diterima masyarakat pada saat itu. Jika tidak, orang-orang akan merasa keberatan dengan pernikahan Nabi Sholallohu `alaihi wa sallam dengan Aisyah ra. 

Bagaimanapun, penjelasan seperti ini menipu orang yang taklid dalam membenarkan pernikiahan ini dan membuat saya tidak puas. Nabi saw merupakan manusia tauladan, semua tindakannya paling patut dicontoh, akan tetapi kita kaum Muslimin termasuk saya tidak berkhayal untuk menikahkan saudari atau putri kita yang berumur 7 tahun dengan orang tua yang berumur 50 tahun. Jika orang tua setuju dengan pernikahan seperti itu, kebanyakan orang, walaupun tidak semuanya, akan memandang rendah terhadap orang tua dan suami tua tersebut.

Rabu, 28 Agustus 2013

Puisi-Puisi Amar Ar-Risalah

Kangen
Itu ada cinta mengambang-ambang di udara—tak kuasa aku menangkapnya—agung sekali cara terbangnya
Hei, bukankah ia berasal dari tetes-tetes airmata yang naik ke langit; dari mereka yang ingin sekali menjumpai-Mu?
Aku kangen, Ya Allah, pada airmata Kita. Agar aku menangis lalu Kau hiburkan, di cahayai tahir sekali
Aku masih boleh kangen, kan, pada-Mu?

Selasa, 27 Agustus 2013

Pertunjukan-Cerpen Amar Ar-Risalah

Ada sosok mayat laki-laki. Masih segar. Habis dibunuh dengan dikeroyok oleh sekelompok orang. orang-orang itu ribut, menentukan siapa yang telah membunuh mayat itu. perseteruan itu demikian seru, mirip sekali perdebatan di ruang-ruang pengadilan. Padahal mereka hanya sekelompok orang yang ingin jadi pembunuh, dan repot menentukan siapa yang menjadi pembunuh utama hingga korban pun tewas. Si Korban adalah orang kurang beruntung yang kebetulan melintas, tapi seperti dikirim oleh Tuhan untuk membuat seseorang menjadi pembunuh, dan waktu itu, gelar pembunuh sangatlah membanggakan.

“Itu korbanku! Jelas, lihat luka di tangannya!” Pembawa Kapak mencoba mengaku. “Darah dari luka itu cukup banyak. Sudah jelas ia mayatku!” Ia ngotot sekali. reputasinya memang sudah sangat besar sebagai Si Kapak Malaikat.

Risalah Amar: Kisah Jatijajar

Sebuah desa permai, Jatijajar namanya, sebagaimana kesederhanaan orang-orang Sunda menamai sebuah tempat dengan ciri yang juga sederhana. Hanya ada tiga ekor kucing dan sepuluh rumah penduduk, sepuluh tahun yang lalu. Alkisah, ketiga kucing ini terus-menerus melahirkan. Kemampuan bunting mereka luar biasa; enam kali setahun dan enam anak setiap melahirkan. Mutan? Tidak diketahui dengan pasti. Yang terjadi berikutnya adalah kepindahan orang-orang Jawa, yang mayoritas dari Wonogiri lalu menetap.

Penduduk asli yang beranak pinak bersimbiosis, dan membentuk pola pemukiman menyusur mengikuti alur jalan raya. Tiga ekor kucing yang tadi, telah menjelma menjadi puluhan kucing jenis baru yang masih bisa dilacak silsilahnya melalui belangnya, tetapi tidak doyan tikus.

Risalah Amar: Menghargai Sesuatu

Hmmh.

Tulisan ini, lagi-lagi Cuma desah-desah keresahan saya. Di akademi Sosmas, saya jadi mengingat-ingat sesuatu, beberapa tahun lalu sebelum bergabung dengan KAMMI. Begini ceritanya:

Seorang teman saya; bukan beragama islam, gemar sekali mempelajari sejarah nasional yang disembunyikan oleh pemerintah. Waktu itu, kami masih sama-sama muda. Dua SMA. Dia orang yang lumayan simpatik; ketika kebanyakan orang-orang islam yang menjadi kawan saya justru acuh tak acuh kepada temannya sendiri, dia justru menjadi sahabat dekat saya dari SMP.

Satu saat, di kelas saya—2 IPA 1—ternyata diisi anak-anak pilihan yang menjadi aktivis sekolah. Tak kurang ketua Basket, Ketua PaskIbra, Ketua Pramuka, dan ini yang unik: dua orang wakil ketua ROHIS bersama dengan seorang Ketua ROHKRIS

Risalah Amar: Berdamailah Dengan Dirimu, Sobat!

Ini curahan hati kepala departemen, yang mesti membina umat dan masyarakat selayaknya kepala desa, tetapi bingung harus mulai dari mana. Rekan-rekan saya harus saya perlakukan, sebagaimana Rasul memperlakukan rekan-rekannya.

Satu hari, kami mengadakan pertemuan. Satu demi satu berkesempatan mengutarakan pemikirannya. Seorang, bimbang. Ia sekarang dikenakan kewajiban membangun sebuah desa antah berantah, yang ia baru kenali beberapa bulan belakangan, namun menghadapi fakta:

Bahwa daerahnya menjadi langganan tawuran pemuda antar gang setiap bulan ramadhan. Menjelang lebaran; teman kita ini sedang menunggu-nunggu datangnya imsak bersama teman-temannya. Biasa, di depan rumah, sambil memperhatikan bapak-bapak yang berjalan menuju masjid.

Minggu, 19 Mei 2013

Harus Ada Hujan Deras di Antara Kita


 Harus Ada Hujan Deras Di Antara Kita

Kesepian menjadikanmu lebih dewasa;
Mampu memahami arti kekeliruan kalimat-kalimatku
 yang sengaja kubuat agar kau tahu bahwa aku keliru

Aku ingin hidup seperti biasa; tidur siang
Kopi panas dan teman-teman yang manja
Himpitan-himpitan beban kerja dan waktu
Lalu aku yang berpusar di dalamnya

Sabtu, 30 Maret 2013

cerpen: Rencana


Rencana
Segudang rencana-rencana, pada akhirnya menenggelamkan kita. Aku sesak nafas, tak lagi mampu bergerak bebas. Di sini seperti di ketinggian. Aku berteriak sekeras-kerasnya, namun gemanya hanya untuk aku dan pepohonan. Apakah pepohonan mampu menjawabnya?

Aku berteriak sekeras-kerasnya, memanggil masa lalu. Sebelum ada segudang rencana-rencana. Di puncak daratan masa depan. Pelan-pelan, gelembung masa lalu keluar dari tubuh dan wajahku. Lembut lalu mengambang seperti kupu-kupu. Beraneka warna.

Ini di puncak masa depan, dan begitu dingin. Aku sendirian, tak ingin ada yang melihat airmata masa laluku mengalir dan menjadi gerimis. Gerimis ini akan membeku, menyelimuti tenda yang kugunakan untuk bermalam di puncak daratan masa depan ini. menyepi, dari keramaian rencana-rencana yang tak pernah terlaksana.

Jumat, 15 Maret 2013

KAJIAN RINGKAS ILMU HADITS ( 1 )

AJIAN RINGKAS ILMU HADITS ( 1 )
oleh Jack Budi Satrio (Catatan) pada 15 Maret 2013 pukul 21:39

بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــمِ





Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, keluarga, para sahabat dan pengikut setia mereka sampai hari kiamat,



Aku memuji-Nya atas besarnya anugerah dan kebaikan-Nya. Aku bersaksi bahwa tidak ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah satu-satu-Nya tidak ada sekutu bagi-Nya, sebagai bentuk pengagungan terhadap-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya .



Segala puji yang disertai pengagungan seagung-agungnya hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan perendahan diri kita yang serendah-rendahnyanya hanya kita berikan kepadaNya Robbul ‘Alamin. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam.

Amma ba’d :



Sahabat..Ikhwan dan Ukhti sekalian..yang di Rahmati Allah Ta'ala , kita meyakini bahwa yang menjadi suri tauladan yang baik bagi umat ini adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan sunnahnya adalah hakim bagi setiap sesuatu perkara .

Marilah kita untuk lebih mengukuhkan keimanan serta ketaqwaan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan mengenal lebih dekat dan senantiasa memuji serta berseru dan melaksanakan apa yang telah di Syari'atkkan pada Kita Umat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam...



Untuk itu marilah kita bersama belajar mengkaji perihal Ilmu Hadits yg telah di ringkas . Adapun tujuannya agar kita tidaklah mudah mengambil Hujjah dari sebuah riwayat Hadits dan terhindar dari keburukan / kekeliruan dalam melaksanakan syariat yg telah di ajarkan pada kita semua .



Pada kesempatan ini marilah kita mengenal apa itu Hadits dan juga belajar untuk mengetahui Ilmu yg berkaitan dengan perihal mempelajari hadits ...



ILMU AL-JARH WAT-TA’DIL





Al-Jarh secara bahasa merupakan isim mashdar yang berarti luka yang mengalirkan darah atau sesuatu yang dapat menggugurkan ke’adalahan seseorang (Lisaanul-Arab; kosa kata “Jaraha”).



- Al-Jarh menurut istilah yaitu terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke’adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak.



- At-Tajrih yaitu memberikan sifat kepada seorang perawi dengan sifat yang menyebabkan pendla’ifan riwayatnya, atau tidak diterima riwayatnya.



- Al-‘Adlu secara bahasa adalah apa yang lurus dalam jiwa; lawan dari durhaka. Dan seorang yang ‘adil artinya kesaksiannya diterima; dan At-Ta’dil artinya mensucikannya dan membersihkannya.



- Al-‘Adlu menurut istilah adalah orang yang tidak nampak padanya apa yang merusak agamanya dan perangainya, maka oleh sebab itu diterima beritanya dan kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat menyampaikan hadits (yaitu : Islam, baligh, berakal, dan kekuatan hafalan).



- At-Ta’dil yaitu pensifatan perawi dengan sifat-sifat yang mensucikannya, sehingga nampak ke’adalahannya, dan diterima beritanya.



Dan atas dasar ini, maka ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka (Ushulul-Hadiits halaman 260; dan Muqaddimah Kitab Al-Jarh wat-Ta’dil 3/1)



Perkembangan Ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil





Para ulama menganjurkan untuk melakukan jarh dan ta’dil, dan tidak menganggap hal itu sebagai perbuatan ghibah yang terlarang; diantaranya berdasarkan dalil-dalil berikut :



1. Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada seorang laki-laki :



ﺓﺮﻴﺸﻌﻟﺍ ﻮﺧﺃ ﺲﺌﺑ



”(Dan) itu seburuk-buruk saudara di tengah-tengah keluarganya” (HR. Bukhari).



2. Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada Fathimah binti Qais yang menanyakan tentang Mu’awiyyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm yang tengah melamarnya :



”Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (suka memukul), sedangkan Mu’awiyyah seorang yang miskin tidak mempunyai harta” (HR. Muslim).



Dua hadits di atas merupakan dalil Al-Jarh dalam rangkan nasihat dan kemaslahatan. Adapun At-Ta’dil, salah satunya berdasarkan hadits :



3. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid bin Walid, salah satu pedang diantara pedang-pedang Allah” (HR. Ahmad dan Tirmidzi dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu).



----------------

Oleh karena itu, para ulama membolehkan Al-Jarh wat-Ta’dil untuk menjaga syari’at/agama ini, bukan untuk mencela manusia. Dan sebagaimana dibolehkan Jarh dalam persaksian, maka pada perawi pun juga diperbolehkan; bahkan memperteguh dan mencari kebenaran dalam masalah agama lebih utama daripada masalah hak dan harta.



Al-Jarh dan At-Ta’dil dalam ilmu hadits menjadi berkembang di kalangan shahabat, tabi’in, dan para ulama setelahnya hingga saat ini karena takut pada apa yang diperingatkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :



ﺍﻮﻌﻤﺴﺗ ﻢﻟ ﺎﻣ ﻢﻜﻧﻮﺛﺪﺤﻳ ﺱﺎﻧﺃ ﻲﺘﻣﺃ ﺮﺧﺁ ﻲﻓ ﻥﻮﻜﻴﺳ

ﻢﻫﺎﻳﻭ ﻢﻛﺎﻳﺈﻓ ﻢﻜﺋﺎﺑﺁ ﻻﻭ ﻢﺘﻧﺃ



”Akan ada pada umatku yang terakhir nanti orang-orang yang menceritakan hadits kepada kalian apa yang belum pernah kalian dan juga bapak-bapak kalian mendengar sebelumnya. Maka waspadalah terhadap mereka dan waspadailah mereka” (Muqaddimah Shahih Muslim).



Dari Yahya bin Sa’idAl-Qaththan dia berkata,”Aku telah bertanya kepada Sufyan Ats-Tsaury, Syu’bah, dan Malik, serta Sufyan bin ‘Uyainah tentang seseorang yang tidak teguh dalam hadits. Lalu seseorang datang kepadaku dan bertanya tentang dia, mereka berkata,”Kabarkanlah tentang dirinya bahwa haditsnya tidaklah kuat” (Muqaddimah Shahih Muslim).



Dari Abu Ishaq Al-Fazary dia berkata,”Tulislah dari Baqiyyah apa yang telah ia riwayatkan dari orang-orang yang dikenal, dan jangan engkau tulis darinya apa yang telah dia riwayatkan dari orang-orang yang tidak dikenal, dan janganlah kamu menulis dari Isma’il bin ‘Iyasy apa yang telah ia riwayatkan dari orang-orang yang dikenal maupun dari selain mereka” (- Baqiyyah bin Al-Walid banyak melakukan tadlis dari para dlu’afaa).



Diketahuinya hadits-hadits yang shahih dan yang lemah hanyalah dengan penelitian para ulama’ yang berpengalaman yang dikaruniai oleh Allah kemampuan untuk mengenali keadaan para perawi. Dikatakan kepada Ibnul-Mubarak : ”(Bagaimana dengan) hadits-hadits yang dipalsukan ini?”. Dia berkata,”Para ulama yang berpengalaman yang akan menghadapinya”.



Maka penyampaian hadits dan periwayatannya itu adalah sama dengan penyampaian untuk agama. Oleh karenannya kewajiban syar’i menuntut akan pentingnya meneliti keadaan para perawi dan keadilan mereka, yaitu seorang yang amanah, alim terhadap agama, bertaqwa, hafal dan teliti pada hadits, tidak sering lalai dan tidak peragu. Melalaikan itu semua (Al-Jarh wat-Ta’dil) akan menyebabkan kedustaan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.



Dikatakan kepada Yahya bin Sa’id Al-Qaththan,”Apakah kamu tidak takut terhadap orang-orang yang kamu tinggalkan haditsnya akan menjadi musuh-musuhmu di hadapan Allah?”. Dia berkata,”Mereka menjadi musuh-musuhku lebih baik bagiku daripada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang menjadi musuhku. Beliau akan berkata : mengapa kamu mengambil hadits atas namaku padahal kamu tahu itu adalah kedustaan?”

(Al-Kifaayah halaman 144).



Tingkatan Al-Jarh



1. Tingkatan Pertama



Yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan al-jarh seperti : layyinul-hadiits (lemah haditsnya), atau fiihi maqaal (dirinya diperbincangkan), atau fiihi dla’fun (padanya ada kelemahan).



2. Tingkatan Kedua



Yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah; seperti : “Fulan tidak boleh dijadikan hujjah”, atau “dla’if, atau “ia mempunyai hadits-hadits yang munkar”, atau majhul (tidak diketahui identitas/kondisinya).



3. Tingkatan Ketiga



Yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis haditsnya, seperti : “Fulan dla’if jiddan (dla’if sekali)”, atau “tidak ditulis haditsnya”, atau “tidak halal periwayatan darinya”, atau laisa bi-syai-in (tidak ada apa-apanya). (Dikecualikan untuk Ibnu ma’in bahwasannya ungkapan laisa bisyai-in sebagai petunjuk bahwa hadits perawi itu sedikit).



4. Tingkatan Keempat



Yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsua hadits, seperti : Fulan muttaham bil-kadzib (dituduh berdusta) atau “dituduh memalsukan hadits”, atau “mencuri hadits”, atau matruk (yang ditinggalkan), atau laisa bi tsiqah (bukan orang yang terpercaya).



5. Tingkatan Kelima



Yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya; seperti : kadzdzab (tukang dusta), atau dajjal, atau wadldla’ (pemalsu hadits), atau yakdzib (dia berbohong), atau yadla’ (dia memalsikan hadits).



6. Tingkatan Keenam



Yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini seburuk-buruk tingkatan; seperti : “Fulan orang yang paling pembohong”, atau “ia adalah puncak dalam kedustaan”, atau “dia rukun kedustaan”.



Hukum Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh



1. Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap hadits mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya orang untuk tingkatan kedua lebih rendah kedudukannya daripada tingkatan pertama.



2. Sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh ditulis, dan tidak dianggap sama sekali.

(Tadriibur-Rawi halaman 229-233; dan Taisir Musthalah Al-Hadits halaman 152-154).



Kitab-Kitab yang membahas Tentang Al-Jarh wat-Ta’dil



Penyusunan karya dalam ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil telah berkembang sekitar abad ketiga dan keempat, dan komentar orang-orang yang berbicara mengenai para tokoh secara jarh dan ta’dil sudah dikumpulkan. Dan jika permulaan penyusunan dalam ilmu ini dinisbatkan kepada Yahya bin Ma’in, Ali bin Al-Madini, dan Ahmad bin Hanbal; maka penyusunan secara meluas terjadi sesudah itu, dalam karya-karya yang mencakup perkataan para generasi awal tersebut.



Para penyusun mempunyai metode yang berlainan :



a. Sebagian di antara mereka hanya menyebutkan orang-orang yangdla’if saja dalam karyanya.

b. Sebagian lagi menyebutkan orang-orang yang tsiqaat saja.

c. dan sebagian lagi menggabungkan antara yang dla’if dan yang tsiqaat.



Sebagian besar metode yang dipakai oleh para pengarang adalah mengurutkan nama para perawi sesuai dengan huruf kamus (mu’jam). Dan berikut ini karya-karya mereka yang sampai kepada mereka :



1. Kitab Ma’rifatur-Rijaal, karya Yahya bin Ma’in (wafat tahun 233 H), terdapat sebagian darinya berupa manuskrip.



2. Kitab Adl-Dlu’afaa’ul-Kabiir dan Adl-Dlu’afaa’ush-Shaghiir, karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (wafat tahun 256 H), dicetak di India. Karya beliau yang lain : At-Tarikh Al-Kabiir, Al-Ausath, dan Ash-Shaghiir[/I].



3. Kitab Ats-Tsiqaat, karya Abul-Hasan Ahmad bin Abdillah bin Shalih Al-‘Ijly (wafat tahun 261 H), manuskrip.



4. Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Abu Zur’ah Ubaidillah bin Abdilkariim Ar-Razi (wafat tahun 264 H), manuskrip.



5. Kitaab Adl-Dlu’afaa’ wal-Kadzdzabuun wal-Matrukuun min-Ashhaabil-Hadiits, karya Abu ‘Utsman Sa’id bin ‘Amr Al-Bardza’I (wafat tahun 292 H).



6. Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Imam Shmad bin Ali An-Nasa’I (wafat tahun 303 H), telah dicetak di India bersama kitab Adl-Dlu’afaa’ karya Imam Bukhari.



7. Kitab Adl-Dlu’afaa’, karya Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr binMusa bin Hammad Al-‘Uqaily (wafat tahun 322 H), manuskrip.



8. Kitab Ma’rifatul-Majruhiin minal-Muhadditsiin, karya Muhammad bin Ahmad bin Hibban Al-Busti (wafat tahun 354 H), manuskrip; dan karyanya Kitab Ats-Tsiqaat, juga manuskrip.



Dan di antara karya-karya mereka adalah tentang sejarah perawi hadits secara umum, tidak hanya terbatas pada biografi tokoh-tokoh saja, atau biografi para tsiqaat saja, atau para dlu’afaa’ saja; seperti :



9. Kitab At-Tarikhul-Kabiir, karya Imam Bukhari (wafat tahun 256 H) mencakup atas 12315c biografi sebagaimana dalam naskah yang dicetak dengan nomor.



10. Kitab Al-Jarh wat-Ta’dil, karya Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi (wafat tahun 327 H) dan ia termasuk di antara yang paling besar dari kitab-kitab tentang Al-Jarh wat-Ta’dil yang sampai pada kita, dan paling banyak faidahnya; dimana ia mencakup banyak perkataan para imam Al-Jarh wat-Ta’dil terkait dengan para perawi hadits. Kitab ini merupakan ringkasan dari upaya para pendahulu yang mengerti ilmu ini mengenai para perawi hadits secara umum.



Kemudian karya-karya mengenai perawi hadits yang disebutkan dalam kutubus-sittah dan lainnya, sebagian di antaranya khusus pada perawi satu kitab, dan sebagian yang lain mencakup kitab-kitab hadits dan lainnya.



11. Kitab Asaami’ Man Rawa ‘anhum Al-Bukhari karya Ibnu Qaththan – Abdullah bin ‘Ady Al-Jurjani (wafat tahun 360 H), manuskrip.



12. Kitab Dzikri Asma’it-Tabi’iin wa Man ba’dahum Min Man Shahhat Riwayatuhu minats-Tsiqaat ‘indal-Bukhari, karya Abul-hasan Ali bin Umar Ad-daruquthni (wafat tahun 385 H), manuskrip.



13. Kitab Al-Hidayah wal-Irsyaad fii Ma’rifati Ahlits-Tsiqah was-Sadaad, karya Abu Nashr Ahmad bin Muhammad Al-kalabadzi (wafat tahun 398 H), khusus tentang perawi Imam Bukhari; manuskrip.



14. Kitab At-Ta’dil wat-Tarjih li Man Rawa ‘anhul-Bukhari fish-Shahiih, karya Abul-Walid Sulaiman bin Khalaf Al-Baaji Al-Andalusi (wafat tahun 474 H), manuskrip.



15. Kitab At-Ta’rif bi Rijaal Al-Muwaththa’, karya Muhammad bin Yahya bin Al-Hidza’ At-tamimi (wafat tahun 416 H); manuskrip.



16. Kitab Rijaal Shahih Muslim, karya Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Manjawaih Al-Ashfahani (wafat tahun 247 H); manuskrip.



17. Kitab Rijal Al-Bukhari wa Muslim, karya Abul-hasan Ali bin ‘Umar Ad-daruquthni (wafat tahun 385 H); manuskrip.



18. Kitab Rijaal Al-Bukhari wa Muslim, karya Abu Abdillah Al-hakim An-Naisabury (wafat tahun 404 H); telah dicetak.



19. Kitab Al-Jam’I baina Rijalish-Shahihain, karya Abul-Fadll Muhammad bin Thahir Al-Maqdisy (wafat tahun 507 H); dicetak.



20. Kitab Al-Kamal fi Asmaa-ir-Rijaal, karya Al-Hafidh Abdul Ghani bin Abdil-Wahid Al-Maqdisy Al-Jumma’ily (wafat tahun 600 H), termasuk karya tertua yang sampai pada kita yang secara khusus membahas perawi kutub sittah. Kitab ini dianggap sebagai asal bagi orang setelahnya dalam bab ini.

Dan sejumlah ulama’ telah melakukan perbaikan dan peringkasan atasnya.



21. Kitab Tahdzibul-Kamal, karya Al-Hafidh Al-Hajjaj Yusuf bin Az-Zaki Al-Mizzi (wafat tahun 742 H).



22. Kitab Tadzkiratul-Huffadh, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H).



23. Kitab Tahdzibut-Tahdzib, karya Adz-Dzahabi juga.



24. Kitab Al-Kasyif fii Ma’rifat man Lahu Riwayat fil-Kutubis-Sittah, karya Adz-Dzahabi juga.



25. Kitab Tahdzibut-Tahdzib, karya Al-hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani (wafat tahun 852 H), yang merupakan ringkasan dan perbaikan dari Tahdzibul-Kamal karya Al-Hafidh Al-Mizzi; dan dia adalah kitab yang paling menonjol yang dicetak secara terus-menerus. Di dalamnya Ibnu hajar telah meringkas hal-hal yang perlu diringkas, dan menambah hal-hal yang terlewatkan di kitab asli, dan kitab Kitab Tahdzibut-Tahdzib adalah kitab paling baik dan paling detil.



26. Kitab Taqribut-Tahdzib, karya Ibnu Hajar juga.



27. Kitab Khulashah Tahdzibul-Kamal, karya Shafiyyuddin Ahmad bin Abdillah Al-Khazraji (wafat tahun 934 H).



28. Kitab Ta’jilul-Manfa’ah bi Zawaid Al-Kutub Al-Arba’ah, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalany.



29. Kitab Mizaanul-I’tidaal fii Naqdir-Rijaal, karya Al-Hafidh Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H). dan termasuk kitab yang paling lengkap tentang biografi orang-orangyang di-jarh.



30. Kitab Lisaanul-Mizaan, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Atsqalani.



31. Kitab At-Tadzkiratul bir-Rijaal Al-‘Asyarah, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ali Al-Husaini Ad-Dimasyqi (wafat tahun 765 H).

Kitab ini mencakup atas biografi sepeuluh perawi dari kitab-kitab hadits, yaitu : al-kutubus-sittah, yang menjadi objek pembahasan pada kitab Tahdzibul-Kamal-nya Al-Mizzi, ditambah empat kitab lagi karya imam empat madzhab : Al-Muwaththa’, Musnad Asy-Syafi’I, Musnad Ahmad, Al-Musnad yang diriwayatkan oleh Al-Husain bin Muhammad bin Khasru dari hadits Abu Hanifah. Dan terdapat manuskrip lengkap dari kitab At-Tadzkirah ini.



Demikian yang bisa saya sampaikan Insya Allah , semoga bisa bermanfaat bagi kita semua khususnya saya pribadi dan juga bagi sahabat serta teman dan saudara muslim lainnya pada Umumnya , serta menjauhkan kita dari kesesatan yang nyata .Bilamana ada kalimat atau lafadz yang salah mohon maaf .



Akhirnya Segala perkara yang benar datangnya hanya dari Allah Ta'ala semata , sedang yang salah dan keliru datangnya dari saya sendiri dan Syaitan yang selalu menghembus hembuskan kedzaliman serta kesesatan , bila ada kekurangannya mohon maaf .





Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa melimpahkan Rahmat serta Hidayah-Nya pada Junjungan kita Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam beserta keluarganya dan Para Shahabat serta Kita semua ...aamiin..aamiin..Ya Rabbal 'alamiin....







" Ya Allah damaikanlah hati hati kami dan tunjukkanlah kami kepada jalan jalan keselamatan Selamatkanlah kami dari kegelapan menuju cahaya , jauhkanlah kami dari kekejian baik yang nampak maupun yang tersembunyi , berkatilah kami pada pendengaran , penglihatan , hati , istri istri dan keturunan keturunan kami .Ampunilah kami , sesungguhnya Engkaulah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.Jadikanlah kami termasuk orang orang yang mensyukuri nikmat - Mu dan senang hati menerimanya .serta Sempurnakanlah nikmat tersebut atas kami" amin....



Allahu A'lam bish showaab ...

Buat Allah-puisi

 DIALEKTIK

ya Allah, kami sebenarnya bukan tidak mau berfikir
tapi kami takut menjadi kafir atau dikafir-kafirkan oleh yang telah lebih dulu berfikir

kami sebenarnya bukan tidak mau berdoa, tapi kami takut
menjadi perintah yang memaksamu melayani kami



DOA

 kadang orang-orang dengan sabar bilang kau jangan melakukan ini itu nanti kau dosa
tapi pada siapa Tuhan akan marah

kadang orang-orang begitu baiknya mengingatkan kita untuk shalat, tapi shalatnya tidak mencegah keji dan munkar

katanya jangan omong sembarangan padaTuhan, lalu dengan siapa aku harus mengadu?


DOA CINTA
 
Ya Allah
Perkara cinta bukan perkara yang mudah buat kami
Sederhanakanlah ia

Bukan karena wajahnya yang manis
Pipinya yang halus
Tangannya yang lincah mempermainkan angin

Malam ini, izinkan aku merindukannya lagi
Dan jadikan Engkau menjaga kami

Kamis, 14 Maret 2013


Cerpen-Topeng Monyet

Tiap pulang kerja, mataku selalu iseng memperhatikan Topeng Monyet dan Pawangnya, yang mangkal tepat di seberang istana. 


Jalan Merdeka memang sangat padat. Memaksa mata siapa saja yang melewatinya pantang melihat kedepan karena jenuh, tetapi menengok istana yang megah, atau ke arah lapangan Monas yang sangat permai.


Ia mangkal tepat dibawah reklame yang dipasangi spanduk kampanye calon presiden. Ada foto dua orang yang sangat besar, dengan kualitas editan yang buruk, lalu ada nomor urut. 


Janjinya banyak, mulai dari utara hingga selatan. Kontras dengan taman Monas di belakang reklame itu, yang segar dan hijau.


Jika lampu merah menyala, ia akan memainkan Monyetnya kesana-kemari di trotoar, bersamaan dengan berhentinya motor-motor dan pejalan kaki yang antre. Mulai dari Monyetnya yang berlagak kehujanan, memegang payung warna pelangi, berlagak perang menenteng senapan kayu kecil yang dicat putih, hingga mengenakan rok mini seperti banci. Pawangnya mengendalikan si Monyet dengan seringai senyum aneh sambil berkata-kata.


Tentu, ada jalan cerita dan hikayat yang terus dirapalkan sang Pawang. Dulu ketika kecil, di Depok, aku sering mendengarkan si Pawang itu bercerita tentang si Monyet, yang kadang dinamai Mumun, Mimin, Maman, Eman, atau yang lain—yang penting ada imbuhan -man di belakang namanya—berkelana ke berbagai tempat dan menyamar menjadi beragam tokoh.


Cerita itu kadang begini bunyinya: Suatu pagi si Mimin ingin belanja ke pasar, membeli timun, kol, terong, teri dan petai. Maka si Mimin Pergi Ke Pasaaar (pawang melemparkan keranjang kecil). Pulang dari pasar, si Mimin kehujanan! (pawang melemparkan payung mini yang segera disambar si Monyet). 


Kata bapak si Monyet, kakeknya dulu adalah pejuang kemerdekaan. Begini caranya, si Mimin Jadi Pahlawaaan! (melemparkan senapan kayu kecil).


Si Pawang setengah baya. Berkumis lebat, menggantung seperti krim diatas kue ulang tahun keponakanku. Hanya, yang ini warnanya hitam. Hitam, sering berjemur di panasnya Jalan Merdeka. 


 Ia selalu mengenakan topi koboi putih, kaus lusuh yang kadang putih kadang hitam, celana setengah betis, dan sandal kulit hitam yang tua dan hampir lapuk.


Kandang si Monyet kecil sekali. Hanya cukup ia berjongkok di dalamnya seperti burung nuri yang dikurung. Warnanya hijau bergaris kuning dan hitam. Sambil makan pepaya atau pisang, ia menanti-nanti saat pentasnya di panggung bata trotoar Jalan Merdeka yang panas bila disentuh tanpa alas kaki.



Satu kali, aku terjebak lampu merah agak lama dan sempat kudengarkan suaranya yang khas seperti tukang hikayat dari Melayu mendendangkan cerita, diselingi irama gambang mainan, kendang plastik, dan kadang ketukan kayu di kandang kotak sang Monyet. Suaranya agak keras, tebal, namun parau. 


Karena ia selalu bercerita dengan senyum lima senti, maka entah kenapa ceritanya selalu terdengar lebih ceria dari seharusnya. Lebih mampu menonjolkan kesan jenaka.


“Si Mimin keeehujanaaan!” lalu si Monyet memegang payung yang dilemparkan Pawang.


“Si Mimin kepanasaaaaan!” lalu si Monyet berlagak membuka baju dan minum beer. Kaleng kosong.


“Si Mimin jadi pahlawaan kemerdekaaaan!” maka si Monyet menyambar senapan dan mendadak, dengan suaranya yang berat dan parau si Pawang melagukan Hari Merdeka milik H. Muntahar:


“Tujuh belas Agustus tahun empat lima! Itulah hari kemerdekaan kita (sambil menatap Monyet, seolah kemerdekaan ‘kita’ adalah kemerdekaan si Pawang dan si Monyet) hari merdeka nusa dan bangsa, hari lahirnya bangsa Indonesia! Merdeka!”


Kendang dan gambang mengiringinya dengan bunyi teratur, namun tak bernada. Maklum, alatnya sederhana dan tidak di desain untuk mengiringi nyanyian lagu kemerdekaan.


Sampai sini, nyanyian biasanya berhenti karena lampu hijau menyala dan ia harus segera mengambil uang yang berserakan. Percuma diteruskan, takkan ada yang mendengar.


Monyetnya sendiri biasa saja, warnanya cokelat keunguan, mungkin sejenis dengan spesies Monyet hutan yang sering juga kutemui jika aku berlibur ke curug-curug di Puncak sana.

Taringnya panjang, sering dikeluarkan ketika tuannya menarik rantai di leher, hingga ia meringis.


Kasihan juga, sih. Sering si Monyet membangkang, misalnya jika aku iseng pulang sebelum jam empat, hari sangat panas, dan si Monyet dipaksa menari. Ia terlihat sangat kehausan, dan menatap murung pada sang Pawang yang minum minuman berenergi warna kuning yang baunya seperti urin.


Ia lantas guling-gulingan, muka ditutup topeng, dan memegang senapan. Banyak juga orang yang memberikan uang. Terhibur, sirkus trotoar ini menarik sebetulnya. Entahlah. Aku sendiri memang suka melihat ini, dari pada mendengarkan pengamen yang suaranya diakrobatkan seperti Monyet itu juga, tetapi malah terlihat seperti main-main.


Akan tetapi, tetap saja. selepas lampu merah Jalan Merdeka itu, aku memikirkan sesuatu. jika setiap main ada lima orang memberi uang, seribu, dan sehari bisa main sepuluh kali—taruhlah dia datang siang dan istirahat tengah hari, dengan durasi sekali main lima menit—maka ia hanya mendapat sekitar limapuluhribu rupiah.


Itu makanku dua kali. Belum parkirnya. Belum pertamaxnya. Ya, kan?


Masalah si Monyet ini sederhana: ia tak mungkin dipaksa makan nasi.


Dua, ia hanya makan buah. Baik, menurut lawak jam delapan di tivi, ia makan pisang.


Tiga. Yang utama, uang si Pawang tak cukup memberi makan dan minum mereka berdua.


Baiklah. Minggu datang, dan aku memutuskan bersepeda ke lapangan Monas dengan harapan bisa menjumpai Monyet dan Pawangnya. Aku ingin menontonnya sekali lagi dengan santai, dan bila perlu, menghilangkan penasaranku dengan mengobrol.


Benar saja. ia sedang memainkan Monyetnya dengan riang, dan seperti biasa, dengan gaya hikayat, sampai pada bagian menyanyikan Hari Merdeka dan lampu hijau yang muncul seenaknya. Padahal ini hari khusus, dimana mobil dilarang melintas pada hari minggu.


“Dari pagi, pak?” basa-basi, biasa.


“Iya, ini lagi ramai...” mungkin si Pawang ini berpikiran, aku seperti intel.


“Monyetnya bagus.. (sumpah, aku bingung mau bilang apa sebagai pengantar) sehari bisa dapat berapa pak?”


“ya... lumayan, gocap. Nutup makan, lah...”


“Rumah dimana, pak?” aku seperti orang penasaran yang sok akrab, ya?


Selanjutnya, benar dugaanku. Uangnya ini tak cukup menghidupinya sehari-hari. Dulu, ketika aku bekerja di BPS, aku mendapat lelucon tentang orang Indonesia. Pengeluarannya, lumrah dua kali lipat dari penghasilannya. Dan untuk memenuhi kebutuhan, mereka menggunakan cara-cara yang mustahil namun masuk akal.


Hari itu, dia menolak membeberkan rahasianya, darimana ia memenuhi pisang monyetnya, kontrakannya, sepatunya yang baru, dan sedekah bulanan. Namun ia merasa aku seperti sahabatnya dan menjadi kenalan untukku.


Minggu ini adalah musim kampanye terbuka. Banyak janji-janji mewarnai televisi. Pidato mendadak marak ditampilkan, dengan gaya ala-ala Pak Karno.


“Rakyat masih miskin....”


“Pengangguran melimpah...”


“Reformasi gagal....”


“Hanya jika saya terpilih....” sambung calon terakhir.


Ngomong-ngomong, keponakanku yang TK masih cadel. Jika ia melihat kampanye di televisi ia sontak bernyanyi:


“Langit kecil... di bintang yang biru, amat banyak... menghias angkasa....”


Lalu mengajakku melihat topeng Monyet. Padahal, sulit mencari topeng Monyet di sekitar kediamanku sekarang ini. Ah, aku jadi teringat kembali dengan Pawang dan Monyetnya.


Ketika akhirnya hari pemilihan tiba, diadakan penghitungan cepat dan aku tak terlalu peduli siapa yang menang. Pikiranku masih melayang-layang pada Pawang dan monyetnya yang misterius, memainkan atraksinya di bawah reklame calon presiden nomor sekian. Semakin misterius. Zaman sekarang, mana ada orang hidup dengan uang yang kurang, coba? Sejujur apapun dia, pasti ada main.


Akhirnya, minggu itu kuputuskan memaksaanya bercerita. Memang sangat sulit. Bahkan aku tak terlalu peduli siapa namanya. Aku hanya penasaran. Si Monyet yang tak kurus-kurus amat itu—sebagai tanda kemelaratan—memandangiku jelalatan, mencari makanan. Persis seperti laki-laki memandangi perempuan.


Si Pawang akhirnya hanya memberi petunjuk sederhana, nanti malam, dia akan pindah ke seberang jalan, tepat di depan istana. Aneh memang. Kalau malam-malam ‘kan istana tutup, persis seperti toko. Sepi pula. Buat apa ia pindah kesana? Padahal kalau malam, Monas yang ramai.

****


Baik. Kuturuti petunjuknya. Malam itu, dengan berkendara motor dan mengendap-endap dari rumah, aku pergi ke Monas. Jam sembilan malam, tepat ketika anak muda yang besok masuk


pagi sekolahnya bersiap pulang dari lapangan Monas. Jalanan lebar jadi lengang. Jakarta Pusat malam-malam begini malah sepi, beda dengan Depok atau Jak-sel dan Jak-tim.


Motor sudah kuparkir, aku menuju tepat ke depan istana merdeka. Benar, kutemukan dia di depan pagar istana. Hanya dia dan monyetnya. Berdua. Heran, kenapa dia seperti berlagak mengikuti monyetnya, ya?


Akan tetapi, setelah aku mendekat, alangkah terkejutnya aku, ketika mendapati rantai si Monyet kecil yang biasa melekat di leher Monyet, kini tergelang di leher sang Pawang, dan sang Pawang menari-nari layaknya Monyet kecil di siang hari.


Berlembar-lembar brosur kebijakan pemerintah masuk ke kantong bekas permen lusuh tempat ia mengumpulkan receh, dan si Monyet dengan tangkas memainkan gambang dan kendang sambil sesekali melemparkan payung, baju, boneka, apapun yang menjadi alat peraga hikayat Monyetnya.


Tepat di gerbang istana, si Pawang, yang adalah manusia, dipermainkan Monyet kecil dan berlembar-lembar brosur, cek kosong, proposal, serta koran bekas tentang masa pemilihan umum dilontarkan dari dalam istana, namun si Pawang melihatnya, persis dengan tatapan manusia diluaran sana yang melihat uang ditaburkan sekenanya!


Siapa yang melontarkan barang-barang itu? Apa pula maksudnya ini? Istana masih sepi, sepi sekali!


Si Monyet memunguti brosur, majalah, pamplet, dan koran bekas itu persis seperti pada siang hari ketika ia memunguti uang yang dilemparkan penontonnya.


Aku mengepalkan tangan untuk meyakinkan bahwa ini kenyataan, dan semakin terpana ketika si Monyet betul-betul bersuara berat, parau, dan bicara seperti manusia. tepat pada hikayat, ketika si Mimin diharuskan menenteng senjata kayu kecil seperti senapan, dan Pawang biasa menyanyikan hari merdeka milik H. Mutahar dengan suara parau dan senyum lima senti, si Monyet bernyanyi dengan seringai senang menerima brosur dan koran bekas kampanye itu:


“S’kali merdeka tetap merdekaa! Selama hayat masih di kandung badaaan! Kita tetap setia, tetap sedia, mempertahankan Indonesia, kita tetap sedia, tetap setia, membela negara k-i-t-aaaaaaaaaa!”

Cerpen: Ombak


Setahun setelah perpisahannya dengan perempuan yang sangat disayanginya, pria itu, dengan segenap hatinya telah memutuskan untuk melepaskan bingkai jendela dari dinding kamarnya di lantai dua. Ia membulatkan perasaannya, untuk terus mengembara selama beberapa bulan. Meninggalkan kesibukan untuk menenangkan dirinya sendiri.

Entah dari apa.

Entah dari siapa.

Pria itu hanya sedang ingin berjalan dengan jendelanya.

Banyak tetangga dan rekan-rekan menganggapnya gila, meski ada juga yang menyayangkan tindakannya. Mencopot jendela itu sia-sia, katanya. Pria itu mengacuhkan, lantas pergi dari rumah. Ia ingin merenung di tengah kota besar. Di puncak sebuah gedung tinggi, tempat ia bisa melihat segala dinamika kota.

Lewat jendela itu, ia menyandarkan tangannya dan memandang jauh. Di sana, ia melihat sebelum senja, matahari telah terbenam lalu padam. Burung-burung yang kebingungan, hinggap sekenanya di kabel-kabel listrik.

Jalanan macet. Semua sibuk mengomentari kendaraan di depannya, sementara kendaraan terdepan mengumpat-umpat kepada lampu merah yang menghentikannya. Kota ini kehilangan cinta. Sudah tidak mengenal senja, dan hanya menganggapnya sebagai peristiwa biasa.

Tak ada pohonan yang menghitam karena bayang-bayang sendiri. Tak ada juga awan senja yang berarak. Semua kubus. Kubus gedung-gedung kota, dan kita tinggal di salah satunya. Senja tak pernah membeda-bedakan kubus, semuanya sama.

Tidak untuk dinikmati.

Ketika senja seharusnya mencapai titik terindahnya, deretan gedung-gedung perkantoran menghalangi. Maka, tidak pernah ada warga kota yang melihat senja. Pria itu akhirnya mengerti, kenapa kotanya menjadi kaku dan kehilangan rasa cinta. Tak pernah ada yang menikmati senja. Ia lewat begitu saja.

Ketika langit betul-betul jadi malam, sebuah gedung bertanya padanya.

“Kenapa kau membawa jendela sampai kesini?”

“Aku ingin menyelamatkan senja kedalam jendelaku”

“Sendirian?”

“Aku tidak lagi mempercayai siapa-siapa”

“Kenapa?” Kaca-kaca jendela gedung membiaskan kegiatan orang-orang di dalamnya.

“Entahlah, tetapi...”

Pria itu termenung-menung melihat dua orang, di sebuah jendela gedung itu, sedang tidur dengan nyenyaknya. Berdua. Tidak takut kehilangan apa-apa.

“Banyak yang menikmati senja lewat jendela rumahnya, bersama”

“Aku hanya ingin merenung”

“Tentang apa”

“Jendelanya”

Gedung itu akhirnya paham, ia tak melanjutkan pertanyaannya. Tetapi, mata gedung itu menyiratkan sesuatu. Pria itu entah, seperti merindukan masa lalu. tetapi bukan jendelanya.

Perjalanannya membawa jendela, terus mengantarnya sampai ke sebuah tepi laut yang tenang. Ombak-ombak bisa bicara. Senjapun hampir datang.

Ombak, yang melihat pria itu lalu berbisik pada yang lainnya, untuk sekedar mengajaknya bicara. Pantai dan lautan tidak pernah membiarkan siapapun sendirian di hadapannya. Disana, siang dan malam berbagi menjadi senja.

Matahari mengorbankan dirinya kepada malam, agar senja bisa muncul dan merenungi sisa-sisa siang hari. Pesisir mengorbankan dirinya dihantam ombak, agar pasir tercipta dan menjadi batas samudra.

“Senja yang indah, Teman?”

Pria itu tersenyum singkat, tetapi matanya sayu.

“Kau menikmati senja?”

“Ya, Ombak. Maukah kau duduk di sampingku?” Ia akhirnya menyerah pada sepi.

“Mari” Kata Ombak yang segera mengambil duduk di sebelah pria itu.

“Untuk apa kau membawa jendela sebesar itu?"

“Aku melepasnya dari tembok rumahku”

“Kau nampak berjalan teramat jauh. Aku melihatmu dari teluk seberang. Jendela ini untuk apa?”

“Entahlah, tetapi aku suka membawanya, untuk melihat apa saja dari salahsatu sudutnya, terutama, senja”

“Apa yang kau lihat, Teman?”

“Aku pernah melihat siang, matahari bersinar diatasnya. Aku berjalan, lalu kutemukan diriku telanjang tanpa busana”

“Bagaimana seterusnya?”

“Aku lalu merebahkan diriku di tanah. Aku melihat diriku begitu rapuhnya: matahari menghabisi kesegaranku. Aku mengering, lalu hujan turun”

“ Apa yang dikatakan hujan padamu? Ia senang sekali mengunjungi lautan dan bercerita apa saja”

“Aku diberinya pakaian hujan. Lalu aku dilarutkan, bersama jendela dan terhanyut sampai muara”

“Sebetulnya, apa yang ingin kau katakan, Teman? Jujurlah pada kami”

“Setiap kali ada wanita yang mengenakan jilbab, aku selalu teringat dia. Jilbab kesukaannya berwarna abu-abu, khas sekali, diselempangkan menyilang melingkari leher”

“Aku selalu ingat dia”

“Dua bulan yang lalu, kami tidak sedang bertengkar, tetapi dia sekejap membenci aku. Kami memang berhubungan jarak jauh, tetapi...” Pria itu merenung sebentar.

“Nampaknya, kau sangat mencintainya, hanya dengan cara yang tak ia mengerti”

“Bagaimana kau tahu?”

“Beribu tahun lamanya, aku menghantamkan diriku pada karang hitam itu, karena aku mencintainya. Aku tak pernah bicara, hingga akhirnya, ia mati menjadi pasir yang ada di kakimu saat ini, juga tanpa mengatakan apa-apa”

Matahari makin terbenam, pria itu masih memperhatikan dengan tatapan penuh makna pada senja yang merah dan bau laut. Terasa benar padanya, laut memiliki tenaga yang sangat besar.

“Tak inginkah kau kembali pulang? Tentu kau memiliki keluarga”

“Aku kehilangan diriku sendiri”

“Aku tak tahu kemana harus pulang” Tandas pria itu.

“Kau pasti tetap harus pulang”

“Suatu ketika, mungkin aku memang harus pulang. Mengetuk pintu dengan sepantasnya. Kembali menghirup aroma teh hangat di atas meja. Meletakkan tasku di kursi, dan mencium tangannya kembali.”

“Keluargamu pasti sangat merindukanmu”

“Pulanglah, teman”

“Suatu ketika, aku mungkin harus pulang. Membuka pintu kamar dengan lembut, dan berganti busana di dalam. Tidur dengan tenang, sementara sinar matahari sore masuk perlahan-lahan“

“Bukankah dengan kepergianmu, nantinya keluargamu hanya akan merasakan kehilangan yang lain?”

“Aku memang harus pulang. Aku pergi terlalu lama dan jauh untuk menyelamatkan senja. Tak kudengar kabar rumah yang nyaman, telah sekian lama...”

“Bagaimana dengan senja di rumahmu, apakah pernah kau selamatkan dengan jendela?”
Pria itu terdiam.

Pertemuan terakhirnya dengan rumah dan wanita yang sangat disayanginya, berakhir dengan perdebatan. Yang sepertinya sudah terpendam ratusan hari lamanya, tanpa sempat terselesaikan karena ragu-ragu.

“Teman?” Tegur Ombak.

“Ya, kami melinangkan airmata bersama-sama. Ia mengenakan baju ungu kemerahan, yang mengartikan ia sedang lelah terhadap sesuatu. Jilbabnya abu-abu. Sepertinya ia ragu-ragu juga dengan sesuatu...”

“Tentang wanita itu, ya?”

“Nampak benar ia menyembunyikan sesuatu”

“Sesuatu, yang aku juga tidak tahu. Aku tidak punya kemampuan membaca pikiran. Apa yang menjadi dasar pikirannya memisahkan antara kita? Aku gagal. Ya, aku gagal, aku tak bisa memaafkan diriku sendiri”

Senja sudah jadi malam, dan pria itu tak menyelamatkan sedikitpun senja di laut itu dengan jendela, karena lebih banyak merenungkan kata-kata Ombak padanya.

“Katakanlah pada kami, untuk apa kau bawa jendela ini?”

“Untuk menyelamatkan senja”

“Dari apa?”

“Aku ingin menikmatinya lagi”

“Jujurlah, teman! Itu tak akan membuatmu lebih baik!”

“Ya, aku ingin menikmatinya lagi, dengan dia! Apakah jelas?!” Tiba-tiba pria itu berseru, beban di hatinya terasa memuncak.

“Aku tak pernah bisa menikmati senja bersamanya, karena kesibukanku, karena aku tak pernah mau memahami apa yang bisa dipahaminya sebagai kasih sayang!”

****

Empatpuluh kilometer per jam. Tidak begitu kencang. Semakin senja saja, angin tak hendak menyingkir dari jalan kami berdua. Asramanya terletak agak jauh, selang satu kota dari kota asal kami. Aku mengantarnya. Senja ini. entah kenapa ada perasaan yang berbeda, langitnya lebih senja dari biasanya. Berboncengan dengan sepeda motor.

“Ta?” Aku agak mengeraskan suara, mengalahkan deru angin.

“Kenapa?” Ia menjawab lembut, mendekatkan sedikit telinganya.

“Macet, ya?” Bodoh. Aku memulai percakapan dengan bodoh. Memang macet, tetapi bukan itu!

“Iya, kamu lelah? Kita istirahat saja dulu,” Jawabnya.

“Tidak, tidak usah, jika kamu lelah, tidurlah di punggungku”

“Iya, santai saja. jangan terlalu cepat”

“Kenapa, ya, kita mesti terpisah jauh? Dan ini hari terakhir aku bisa mengantarmu”

“Jangan begitu”

“beberapa jam, dalam sebulan. Aku hanya mampu memberikan itu”

“Jangan dipikirkan...”

“Jalanan ini makin macet, ya, sayang?”

“ini akhir pekan, semuanya keluar untuk menyentuh senja”

“Kita?”

“Apa?”

“Iya, kita, keluar untuk apa?”

“Maafkan aku, sayang”

“Tidak apa-apa. Kamu lelah, kan? Tidurlah. Akan kujalankan pelan-pelan motornya”

Percakapan-percakapan ini memperlambat senja. Apa lagi yang harus ku katakan? Dia telah tertidur di punggungku. Beberapa minggu ini dia mendiamkan aku. Tak juga dibalasnya pesan singkatku. Panggilanku. Nada-nada yang sama ketika aku memanggilnya menusuk-nusuk mimpi dan prasangkaku.

Jenuhkah ia?

Ya,
Jenuhkah ia?

Aku sadar betul, sikap dan penampilanku selama ini akan membuat orang berpikir dua kali untuk menghubungiku. Tegakah aku padanya? Jalanan yang aku lalui menuju asramanya menjadi penuh angka-angka dan huruf yang berantakan untuk aku tata sedemikian rupa: menjadi jawaban pertanyaan-pertanyaanku padanya. Dia diam.

“Kamu sudah makan, sayang? Ayo kita ke By Pass, ada warung enak disana...”

“Belum, kebetulan! Jam berapa?”

“Hm... Jam lima? Sudah siap, kan, sayang?”

Pesan semakin singkat saja. semakin mampu mewakili sebanyak mumgkin arti dalam sesedikit mungkin kata-kata. pada pertemuan terakhir sebelum saat ini, ada yang berbeda. Dia lebih lemah, terlihat lebih rapuh.

Ia tak mau dipaksa memberikan alasan-alasan yang logis menurut senja, ketika kutanya sebabnya. Wajahnya yang pucat. Matanya yang sayu. Flu. Suaranya yang lebih lembut. Ia hanya terlihat menikmati makan malam bersamaku, tidak lebih.

“Masih jauh, ya?”

“Iya, semakin gelap”

“Kamu sakit, ya?” Beban kuliahnya teras berat, membekas di matanya.

“tidak,” jawabnya. Sangat singkat.

“Baiklah,”

“Sayang?” aku menyapanya ketika terdiam. Sudah saatnya aku bicara serius!

“Kamu... jenuh, ya?”

Semakin malam. Mobil-mobil sudah menyalakan lampu, jalan raya semakin semarak.

Selasa, 19 Februari 2013

Hutan Kupu-Ku



Ranying Ratalla Langit, Sang Maha Tunggal, menata hutan demikian indahnya. Dedaunan tersusun seperti sayap burung-burung rangkong yang beterbangan mencari pasangannya. Ranting-ranting terjulur lembut, dan sinar gading matahari menembus sela-selanya. Beragam anggrek tumbuh dan kerap kali menyapa burung-burung yang berkunjung.
Pepohonan di hutan ini telah amat tinggi, mereka sudah tua. Memahami seluk-beluk manusia dan lingkungannya. Mereka menyaksikan manusia mati, lahir, mati, kemudian lahir lagi. Peperangan antar suku terjadi silih berganti, dan banyak yang mati. Darahnya menyuburkan lantai hutan, lalu embun pagi mengurainya menjadi hara.
Segala pohon yang telah diciptakan Ranying Ratalla Langit, diberi anugerah dan kutukan secara bersamaan. Mereka memiliki jiwa; namun disaat yang sama jiwa mereka membatu dan terendap menjadi lapisan-lapisan tahunan kayu. Itulah sebabnya, dimasa kita sekarang, jika kita menajamkan pendengaran akan terdengar melalui angin pohon-pohon bernyanyi. Menari. Menyenandungkan lagu-lagu kesegaran dan wangi rimba raya. Wangi surga.
Kupu-kupu adalah lambang jiwa. Jiwa pohon, jiwa bumi, jiwa manusia. jiwa yang belajar dari masa lalunya dan melalui saat-saat perenungan menuju kedewasaan. Kupu-kupu bisa terbang kesana-kemari karena terbebas dari pengaruh hawa nafsu, baik makanan, minuman, suami-istri, maupun kelelahan.
Ia hanya akan mati jika tugasnya selesai: membuat keturunan atau mati diterkam masa.
Bagi suku-suku yang ada sekarang, kupu-kupu adalah lambang jiwa suci yang terbebas dari segalanya, dan jika salah seorang diantara mereka mati, entah karena perang, penyakit, atau celaka, mereka akan berubah menjadi kupu-kupu. Semakin baik hidupnya, semakin putih warna sayapnya dan memendarkan cahaya yang menuntun kita yang masih hidup, jika tersesat dalam hutan maha indah itu.
Segala macam pohonan dan kupu-kupu, lalu dihimpun oleh leluhur pertama manusia, Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut. Ia menciptakan taman yang luar biasa indah di tengah hutan, sebagai rasa syukurnya pada Ranying Hattala Langit, yang oleh beberapa klan dayak juga dipuja dengan nama Mahatara, karena telah mempertemukannya dengan perempuan, istrinya. Cinta yang diabadikan menjadi hutan yang hidup dan bernafas, bukan benda-benda mati. Taman itu kini ada di Meratus, Hutan Kupu-kupu.
Setiap hari, ia menyapa kupu-kupu, yang nantinya menjadi jiwa bagi anak-anaknya dalam kehidupan selanjutnya. Ia mengumpulkan segala jenis kupu-kupu yang menjadi perlambang jiwa.
Hingga pada suatu hari, keturunan Manyamei telah memenuhi hutan. Ia melakukan tapa moksa. Menghilang dalam perenungannya di tengah taman. Ia mencapai tingkatan bersama Mahatara.
Kini, keturunannya menetap di berbagai sudut hutan itu. Anak-anak ini tak ada lagi yang mengetahui keberadaan Hutan Taman yang dibangun oleh leluhur mereka.
Raja Sangen menjadi kepala sukubesar itu, dan ratusan orang berlindung kepadanya. Demikian kehidupan berjalan seperti biasa, setiap hari. Sepanjang siang. Anaknya, seorang putri yang cantik jelita, menjadi buah bibir segala isi desa. Tua muda. Kecantikannya dijaga betul-betul oleh Raja Sangen, sang putri dipingit begitu tersembunyi, hingga kecantikannya seperti anggrek hutan yang tersembunyi di puncak-puncak pohonan. Agung, putihnya memancarkan cahaya gading.
Sampai satu ketika, Suku Sungai, yang menjadi tetangga suku Batu, mulai memicu perkelahian dengan menghina dan mengganggu di perbatasan ladang antara Suku Sungai dan Suku Batu. Awal mulanya, perseteruan biasa.
Lama-kelamaan, orang-orang dayak ini lupa Adat Kaharingan mereka. Mereka saling membunuh dalam pertempuran besar, dua orang ksatria Batu terbunuh. Akhirnya semua menghentikan pertempuran setelah terdengar kabar Kepala Suku mereka, yang tidak mengikuti pertempuran, wafat terkena tulah yang disisipkan orang-orang Batu kedalam minumannya.
Untuk beberapa lama, keadaan hutan tempat mereka dibesarkan amatlah mencekam, bau darah bersahutan dengan teriakan jiwa pohon-pohon. Kupu-kupu beterbangan, seperti menaburkan melati perpisahan bagi pahlawan-pahlawan perang yang gugur dalam pertempuran ini, tetapi sebenarnya, kupu-kupu itu adalah jiwa mereka sendiri yang meratapi raganya, hancur sia-sia dalam pertempuran.
Dayak Sungai dan Dayak Batu sebetulnya memiliki watak asli yang sangat pemurah dan lembut. Hanya saja, ketika mereka lupa bahwa mereka berasal dari keturunan yang sama, mereka menjadi tak saling kenal dan lupa.
Raja Sangen, akhirnya mengadakan upacara besar untuk mengumpulkan para tetua-tetua, Dato, dan ksatria yang tersisa untuk membicarakan pemindahan kampung. Mereka memilih mengalah, demi terjaganya hutan dari bau darah, dan agar kupu-kupu bisa beterbangan dengan bebas.
Ada seorang ksatria, Mahin namanya. Ia berwajah tampan. Berdada bidang, dan tubuhnya tegap berisi. Kecerdasannya melebihi yang lain. Itu sebabnya Raja Sangen mempercayainya untuk mencari tanah yang baru, untuk ditempati. Di pipinya, ada goresan tato bergambar kupu-kupu, sebagai lambang ksatria utama. Namun, karena ia biasa mengenakan topeng, maka jarang yang mengetahui tato jenis apa yang ia punya, kupu-kupu Dato kah? Kupu-kupu ksatria kah? Atau kupu-kupu tanah-lambang anggota bawahan suku Batu?
Sang Putri, yang sempat mengamat-amati tato ini, berkesimpulan bahwa tatonya cukup aneh, gabungan antara Dato dan Ksatria. Tetapi, dia tampan juga.
Memang, di kalangan Suku Batu dan juga suku-suku lainnya, tato dianggap mewakili kekastaan tertentu, dan tato ini mutlak bergambar kupu-kupu sebagai simbol jiwa manusia.
Putri Raja Sangen juga ikut menemui para Tetua sebagai keluarga Kepala Suku. Mahin, yang masih berusia muda, merasakan sinar gading sang putri meresap jauh kedalam hatinya. Suaranya, entah kenapa tiba-tiba menjadi suara serunai terindah dalam hutan. Ah, ia mengingatkan Mahin pada Hutan Perenungan tempat para Dato bertapa, melepaskan segala nafsu. Menyayangi Ratalla Langit lebih dalam pada pertapaannya.
Mahin jatuh cinta. Ya, kupu-kupu nampak lebih indah dari seharusnya.
Disaat yang sama, Suku Sungai mengirimkan duta. Mereka ternyata ingin berdamai dan hidup seperti sedia kala, tak harus berperang dan melupakan sanak saudara. Mereka datang bertepatan dengan upacara berlangsung, dan diterima oleh seluruh pemimpin suku Batu.
Setelah beragam Kaba dibacakan, pantun dan lain-lain juga selesai sebagai tanda ramah tamah, mulailah Suku Sungai menceritakan niatnya.
Perdamaian mereka, ternyata menuntut syarat persembahan.
Sang putri, yang kecantikannya menjadi cahaya gading hutan mereka.
Raja Sangen terang saja menolak, Putri adalah juga lambang kehormatan suku. Jika Sungai menuntut persembahan, itu sama saja dengan merendahkan martabat Batu!
Ya, manusia. dengan segala nafsunya, melupakan hasil petapaan mereka dalam kepompong, dan kembali menjadi ulat yang memakan segalanya. Kehilangan sayap kupu-kupu.
Duta Sungai kembali dengan emosi yang tertahan, dan segera menyarankan agar sukunya mengadakan persiapan perang, karena melihat, apa yang dilakukan Sangen dan Batu adalah sebuah pelecehan juga.
Perang, akan segera dimulai diantara para kupu-kupu. Kupu-kupu amarah manusia.
Suatu malam, Sangen dan keluarga besar Suku Batu mengadakan perkemahan besar sebagai tanda mereka bersiap pindah pada esok harinya. Mahin telah berhasil menemukan dataran indah yang ditumbuhi makanan dan landai untuk ditempati, namun ia hanya mengirim utusan semata.
Ada yang tertahan dalam hatinya: ia merenung-renung saja.
Sang Putri.
Mahin melihat dengan mata batinnya, bagaimana kupu-kupu tercipta melalui telur dari induknya, lalu ia menetas. Ini mengingatkannya pada masa kecil yang sungguh bahagia: belum mengenal perang.
Ulat itu lalu memakan daun-daunan, dengan lahap. Tanpa henti. Hingga badannya membesar berkali-kali lipat. Berbahaya, ada yang beracun dan bisa menyengat. Sebelum manusia dewasa, memang egonya bertambah besar. Ini yang terjadi pada kedua suku, yang sebetulnya masih bersaudara itu.
Kepompong lalu tercipta, ulat itu berhenti memakan dedaunan. Ia menjauhkan diri dari hawa nafsu. Bersembunyi jauh dibalik daun-daun tertinggi di hutan. Tiga minggu lamanya, kepompong siap mengeluarkan manusia sempurna, sebagai perujudan kupu-kupu.
Hingga akhirnya, tanpa mengenal perang, kupu-kupu itu terbang kesana-kemari. Hinggap memperindah bunga-bunga.
Seekor kupu-kupu lainnya mendekati, dengan warna yang tak jauh berbeda. Mereka memadu sayapnya, dan tercipta tarian-tarian indah cinta kupu-kupu di udara. Begitu seterusnya.
Sang putri, ternyata demikian pula. Ia dengan kelembutan hati hutannya, terus mengamati perkembangan sukunya. Kabar Mahin, dan segala tindakannya.
Kupu-kupu terbang di hadapannya, lalu hinggap di sebuah tangkai mati: narasi-narasi daam benaknya mengalir, merindukan Mahin sebagai kupu-kupu yang jauh lebih dewasa darinya.
Beberapa hari kemudian, Suku Batu mempersiapkan perkemahan untuk berganti tempat dan kampung, sesuai dengan petunjuk yang diberikan Mahin. Hutan Utara. Raja Sangen memahami, bukan orang sembarangan yang bisa menembus hutan Utara, karena itu ia mengutus Mahin. Ada sesuatu dalam silsilahnya.
Perkemahan rombongan Suku Batu berhenti di sebuah lembah untuk bermalam, dan mereka menyusun-nyusun bekal untuk esok hari. Perjalanan terasa amat panjang, namun setidaknya mereka tak perlu lagi berseteru dengan Dayak Sungai.
****
Tiba-tiba malam menjadi mencekam, berkabut merah. Perkemahan Batu, entah dari mana asalnya dilempari bara api, sehingga keadaan menjadi genting. Mendadak, sumpit berlesatan seperti elang, menembus leher orang-orang Batu.
Di tengah kegaduhan, Raja Sangen terbata-bata mengatur sukunya dalam formasi perang. Namun percuma; serangan mendadak ini telah menghabisi sebagian besar laki-laki Batu. Tinggal puluhan orang saja yang siap memegang senjata, dan pertempuran berlangsung.
Apa daya jika Suku Sungai yang merencanakan peperangan ini terlanjur menemukan tenda Raja Sangen, dan pergumulan terjadi. Segala macam ajian dikerahkan Sangen untuk mengalahkan penyusup bertopeng perang yang memasuki tendanya, namun dari belakang sebuah tombak menembus tenda dan langsung merobek lambung Raja Sangen.
Malang, Raja Sangen yang tak sempat mengelak: racun menjalari darahnya. Giliran si pria bertopeng mencari tenda sang putri sebagai persembahan kepada kepala suku Sungai. Ketika tenda sang putri telah ditemukan, pria bertopeng itu seketika merobek-robek kain tenda, dan kini sang putri terduduk di tanah dengan ketakutan.
Apa yang ia alami kini, adalah sebuah perang buta, yang tak pernah ia bayangkan.
Ayahnya gugur.
Pria bertopeng bersegera meraih tubuh sang Putri, namun mendadak pria bertopeng ditendang oleh pria bertopeng lain yang memegang mandau, mandaunya khas berhiasan ksatria Dayak Batu.
Siapa dia? Sang Putri seolah mengenalnya.
Di tengah keributan yang mencekam, kedua pria bertopeng bertempur mati-matian. Segala bentuk mantra mereka ternyata imbang, bahkan cahayanya kadang terlontar kesegala arah.
Satu ketika, penyelamat putri ini lengah. Dadanya tertembus sumpit beracun yang melesat dari arah depan, seorang Sungai bersembunyi dibalik semak-semak, mengintai sejak tadi.
Pagi hampir tiba, sudah remang-remang. Pria Bertopeng yang menyelamatkan sang putri masih bergeming, seperti tembok Batu.
“Pergilah, putri! Larilah!”
“Ke utara!”
Putri bimbang, dalam pengetahuannya, Hutan Utara adalah hutan larangan, karena dipercaya disanalah ruh orang-orang mati bersemayam bersama leluhurnya.
Ia terus menyerang lawannya meski hampir kehabisan darah. Satu ketika, tinju petir penyerangnya menghantam topeng penyelamat, sekaligus melemparnya keudara. Ia terbanting dengan keras.
“Cepatlah! Akan ada yang menunggumu di sana!”
Mendadak, penyerang memanggil kalajengking dan kelabang dari dalam tanah, untuk memakan daging-daging pria bertopeng penyelamat itu. Berpencaran kesegala penjuru, memenuhi arena pertempuran. Sang putri, sempat melihat tato dari balik topeng sang penolong yang pecah: kupu-kupu ksatria yang sangat ia kenal, dan mata yang pernah beradu pandang dengannya. Tetapi siapa?
Pria penyelamat lengah, ia tertebas mandau tepat di lambungnya. Terjatuhlah ia, lalu ia seperti akan mati. Ia melihat kupu-kupu putih pucat di penjuru arena pertempuran.
Jiwanya seperti ditarik ke alam para dewa, namun tiba-tiba perasaannya menjadi tenang, entah kenapa seperti ada zat penenang yang mengaliri darahnya.
Ia melihat leluhurnya hadir di arena pertempuran, namun tak seorangpun bisa melukai mereka karena mereka hadir dalam bentuk gaib. Semua bersayap kupu-kupu putih.
Dalam kegaiban itu, hadir pula ayahnya. Seorang tua, dengan kewibawaan tiada tara.
“Anakku” Katanya tenang.
“Ayah?” ia terpana.
“ Ini dimana? Apakah aku sudah mati?”
“Kau tidak mati. Kami membawamu ke persemayaman para dewa, alam kupu-kupu yang telah menemui kebijaksanaan sejati. Lihatlah ke bumi”
“Dipenuhi darah, ayah”
“Bagaimana aku menyelamatkan sang putri?”
“Sadarilah, segala jenis hikmat yang kau dapatkan selama perenunganmu sedang diuji. Kau adalah kupu-kupu diantara banyak kupu-kupu milik Mahatara. Kini, aku akan menyatu dengan ragamu, dan menyelesaikan pertempuran ini”
“Anakku, kau mencintai putri Sangen, aku memahami itu, tetapi kini, kau harus pergi menuju hutan yang dibangun leluhur kita, Hutan Kupu-kupu”
“Relakanlah hatimu, anakku. Aku akan menyatu denganmu”
Pikirannya mengawang-awang. Tetapi, penyerangnya melihat pelan-pelan raga sang penolong ini berubah menjadi ribuan kupu-kupu, dan menyerangnya dengan kibasan sayap.
Ribuan kupu-kupu coklat ini lalu berkumpul, membentuk sesosok tubuh lain, yang telah menjadi legenda: Raja Sangui. Dato terbesar suku Batu yang moksa dalam petapaannya puluhan tahun lalu. Matanya tajam, namun bercahaya. Tangannya besar.
Ia merapalkan mantra dengan keras, lalu mendadak keajaiban terjadi. Ruh para penyerang, yang berbentuk kupu-kupu dilepaskan dengan isyarat; keluar dari mulut para penyerang. Bercahaya biru, lalu terbang mengitari arena pertempuran.
Penyerang yang mati bergelimpangan, lunglai dan mati seketika. Dengan keajaiban lagi, kupu-kupu biru lalu mengikuti sang Raja Sangui ke udara, ke langit tanpa batas.
Seekor kupu-kupu putih, bersinar pucat, memisahkan diri dari tubuh Raja Sangui. Tepat dari arah hatinya.
Kupu-kupu ini lalu kembali ke bumi, namun menuju Hutan Utara. Tempat persemayaman para dewa.
****
Sang putri, yang lari ke Utara, ketakutan, karena siang tetap seperti malam di Hutan Utara. Hening dan beku, tetapi dipenuhi suara-suara makhluk yang tak terlihat bentuknya.
Mencekam.
Bau darah menyeruak.
Putri melihat wajah-wajah yang ia kenal semasa kecil, yang mati ketika Putri mendewasakan diri, muncul dan menyatu di batang-batang pohon. Ya, pohon-pohon di hutan utara dipenuhi wajah. Dan hanya wajah orang yang kita kenallah yang bisa kita lihat.
Ia melihat wajah ayahnya yang masih segar muncul di sana. Ia juga melihat wajah kakaknya yang tewas dalam pencegatan beberapa tahun lalu. Mengeras, menjadi kulit pohon dan kayu.
Putri hanya bisa menangis, lalu dengan magis, tangisannya menggema ke seluruh hutan seperti bersahut-sahutan. Wajah-wajah yang ada di pohonan juga ikut menitikkan air mata, namun dengan suara lirih.
Mereka mengingatkan sang putri tentang perang, tentang kematian ayahnya. Tiba-tiba, seekor kupu-kupu putih muncul dari selatan. Cahayanya berpendar lembut, mengalahkan malam.
Kupu-kupu ini seperti ia kenal. Putri lalu mengikuti kupu-kupu ini, ia ingin bersegera meninggalkan hutan yang menyedihkan ini, yang dipenuhi wajah korban-korban pertempuran.
Ia setengah berlari, begitu takut kehilangan kupu-kupu putih ini. Putri menerobos duri-duri, sampai suatu ketika ia sampai di sebuah daratan luas, lalu ia melihat hutan yang dipenuhi kupu-kupu aneka warna.
Ditengah hutan yang dipenuhi kupu-kupu itu, ia merasa luka-lukanya sembuh seketika. Tak lama kemudian, ia melihat kupu-kupu putih yang tadi membantunya terbang ke sudut hutan.
Berkumpul dengan kupu-kupu lainnya. Membentuk sebuah raga, raga yang sangat ia kenal: Ksatria Mahin. Wajahnya bercahaya. Ia muncul dalam rupa seorang Dato.
“Kanda?”
“Selamat datang, Dinda”
“Ini Hutan Kupu-Kupu milik leluhur kita”
“Bagaimana kanda bisa sampai di...”
“Ah! Bukankah Kanda yang menolongku di peperangan malam itu?” Tiba-tiba Putri teringat sesuatu. Tato, yang terpampang di pipi Mahin.
“Dinda,” Sela Mahin.
“Dalam kehidupan, ada perputaran. Ulat, kepompong, lalu kupu-kupu”
“Bukankah kanda telah gugur?”
“Aku adalah kupu-kupu, gugur hanya salah satu perputaran kehidupan. Bukankah dinda juga kupu-kupu? Kesedihan akan berganti. Sang Mahatara telah mempersiapkan segalanya”
“Maksud kanda?”
“Para leluhur menyelamatkanku, dan tanah yang kutemukan bagi kampung kita yang baru adalah Hutan Kupu-Kupu, yang hanya bisa ditemukan jika seorang laki-laki mencintai dengan tulus perempuan dari bangsanya” Angin mengusap-usap bunga.
Perenungan Mahin menjadikannya lebih tulus mencintai Sang Putri, lebih dari sekedar mencintai perempuan jelita. Tetapi kupu-kupu: harus tetap mewarnai hutannya, hutan Pegunungan Meratus yang lugu.
Perenungannya juga yang kini menjadikannya setaraf dengan ayahnya: seorang Dato, penghubung dunia Mahatara dengan dunia manusia dan kupu-kupu.
“Kanda...”
“Ini negeri yang diwariskan pada kita berdua, Dinda” cahaya gading sang putri meruah.
“Hutan Kupu-Kupu, Sebagai perlambang baru Suku kita, Suku Anak Kupu-Kupu”

Rabu, 09 Januari 2013

Damaskus Satu Ketika


Damaskus Satu Ketika
Malam tiba, pertempuran untuk sementara dihentikan. mengikuti turunnya matahari yang melelahkan panca indra. Siang tadi, belasan tentara yang mati. Ya, pertempuran menderu dengan keras. Peluru-peluru tak lagi mengenal tuan atau lawan. Selain tentara, puluhan orang sipil mati terinjak-injak menghindari roket dan kejaran anjing-anjing yang dilepaskan tentara pemerintah Suriah.
Semua tentara yang mati dikumpulkan, dijejerkan di pinggir tenda utama pasukan pemerintah. Bendera besar dan sebuah pigura bergambar Bashar tergantung di kain dinding. Satu jenasah berlumur darah. Satunya kehilangan tangan dan kaki. Satunya beku, darahnya habis tertelan roket yang ia lemparkan sendiri.
Ditutupi kain putih.
Sebagian menyiapkan kantong jenasah merah. Ambulan meraung-raung mencari orang sipil, tetapi yang ia dapatkan hanya jenasah tentara. Yang sipil dibawa keluarganya, atau membusuk tanpa dikenali lagi.
Di tengah reruntuhan kota, seorang kolonel menembak seorang militan siang tadi. Menembus liang matanya. Peluru berdentingan, jatuh ke balik reruntuhan batuan. Tangan sang pejuang, tanpa disadari oleh kolonel, memegang sebatang bunga putih kecil padang pasir, yang rencananya ia akan berikan kepada ibunya: tanda ia siap menerima perang dan kematian tanpa ragu-ragu.
Dan peluru itu menemukan sebilah pisau yang diliputi darah bekas luka seorang anak muda.
Didekatnya, senapan kecil sang militan terjatuh dan berbaring. Menyimpan sebuah peluru lain yang belum sempat ditembakkan.
Malam bertambah hening, perang dengan khidmat dan tenang menelusup ke setiap butir pasir dan debu. Menyusup jauh kedalam malam.
“Malam tiba” Peluru memecah keheningan.
“Seharian para pengungsi kehilangan jalan, jalan yang tersisa ditutupi barikade” Sahut Pisau sekenanya.
“Aku belum tahu, kenapa aku ditembakkan” Keluh Peluru. Terdengar suara tangis diselingi jerit sayup-sayup meruah di udara.
Di kejauhan sana, seorang ayah menemukan anaknya tertimpa reruntuhan rumah yang diledakkan siang tadi. Orang-orang Bashar mendeteksi, rumah itu markas oposisi.
“Bashar masih ingin hidup lebih lama” Senapan sang militan membuka mata. Menemukan kesadaran.
“Sebagaimana yang lain, ia menggunakan kita untuk memanjangkan umurnya” sambung Senapan.
“Kita tidak tahu apa-apa” tutup peluru.
Sementara itu, pagi kembali tiba. Terbitnya lebih merah, ketika sekelompok militan lain menemukan jasad temannya tadi, yang ditembak sang kolonel tadi siang. Darahnya merah. Memerahkan mata mereka, yang setengah tergetar mencoba mengangkat tubuh itu. Tubuh temannya sendiri, yang sangat mereka kenal sedari kecil. Dan bunga putih kecil padang pasir itu, yang masih digenggam sang jenasah, bunga yang sama yang mereka berikan kepada ibu-ibu mereka di pengungsian beberapa hari yang lalu
****
“Allahu Akbar! Surga semakin dekat!” Belum sempat ia membawa jasad temannya, sebuah panser memasuki jalan. Dari sudut 15, bekas rumah seorang nenek tua.
Para militan bersiap, mereka tiarap di balik dinding-dinding yang sudah hancur. Mengambil posisi bertahan, karena mereka bukan militan garis depan. Mereka hanya berjaga tanpa mengenakan rompi pengaman, atau senapan kaliber besar.
Bau perang semakin kuat. Bau darah. Bau peluru tajam yang hampir ditembakkan. Tiba-tiba, bercampur bau kerinduan pada masa sebelum perang, muncul di udara.
“Perang akan kembali dimulai” Bisik senapan, yang masih memperhatikan keadaan.
“Peluru di dalam senjata tak tahu apa-apa, mereka ditembakkan begitu saja” Pisau menutup wajahnya. Entah kenapa.
Senjata diletuskan kedua belah pihak, keadaan berkecamuk dan terjadi tembak-menembak yang lumayan besar. Peluru para militan tak mampu menembus baja panser, tetapi sebuah granat menggelinding tepat kearah mereka. Granat, yang mengakhiri konsep-konsep yang diperbincangkan para militan hampir setiap hari.
****
“Dua hari, teman. Dua hari yang lalu ia mati. Tuanku memancarkan wangi, tidak seperti mayat-mayat lainnya” ujar Senapan.
“Itu aroma yang biasa muncul hanya ketika darah, mesiu, dan debu jalanan bercampur di kota ini” jawab Pisau. Tetapi Pisau sempat melihat bunga putih, yang koyak dilebur granat.
“Kapan perang ini berhenti?” sambung Senapan.
“Ketika hanya ada satu islam”
“Yang mana yang menang, perkiraanmu?”
“Entahlah, yang mati mempertahankan diri dan yang menyerang, tak bisa kubedakan. Tidak seperti kita, ditempa dengan fungsi yang berbeda-beda. Aku dihunus, kau diletuskan. Mereka yang bekerja” Pisau menerawang sejenak. Ia merindukan tangan yang menghunusnya bukan untuk perang.
“Rasa darahnya sama. Meski aku baru menembus satu kepala. Bukankah perang ini menuntut kepatuhan semata, lantas kenapa tidak ada yang mematuhi Bashar?”
“Tuhan memerintahkan kita untuk mematuhi-Nya”
“Dia adalah pemimpin negeri ini. kau digerakkan oleh pemberontak”
“Begitulah, Tuhan telah menciptakan manusia yang menumpahkan darah”
“Kita tidak tahu apa-apa” Senapan ikut merenung.
“Dulu sekali, aku adalah sebilah pedang kepunyaan Imam Ali. Betapa gemuruhnya, ketika seratusribu pedang lain tunduk pada perintahku. Sasaranku satu: membuat Muawiyah Ibn Abi Soufyan, yang kala itu menjadi wali daerah ini, tunduk. Ia mengaku khilafah”
Ia mengingat-ingat peristiwa seribu empat ratus tahun yang silam. Pertempuran Shiffin, sembilan puluh ribu lawan delapan puluh ribu. Pertempuran dahsyat terjadi antara dua teman. Ammar Ibn Yasir tewas. Perang berhenti ketika Amru Ibn Ash melakukan muslihat, mengikatkan al-qur’an pada ujung tombak-tombak dan berseru: mari kembali para Kitab Allah!
Tentu saja, sluruh tentara Ali, yang islam, goncang kepatuhannya pada sang Imam.
Mari kembali pada Kitab Allah!
Dan enampuluh ribu diantara mereka berdua mati.
Tetapi, tuntutan mereka satu: bela darah atas Utsman, yang dibunuh tanpa tahu apa-apa mengenai kesudahan perisitiwa sepeninggalnya. Mengenai perang, yang menimpa Khalif setelahnya.
“Dua sahabat Rasul yang agung pun berperang. Bukankah kesudahannya salah satu diantara mereka mati?”. Ya. Ali, akhirnya dibunuh seorang khawarij, yang merasa Sang Khalif tak becus menyelesaikan kasus pembunuhan Utsman.
“Ali tidak tahu apa-apa tentang masa ini. begitu pula Muawiyah”
“Pisau,” sambung peluru.
“Dulu aku adalah tameng yang digunakan Muawiyah. Belum pernah sekalipun aku diliputi darah orang muslim, kecuali saat Muawiyah mesti tergores duri kecil di pinggiran bukit dekat Damaskus”
“Saksikanlah: bukankah mereka berdua tidak pernah melukai siapa-siapa?” Pisau mengingat-ingat masa lalu. Tepat seribu empat ratus tahun yang lalu. Ketika perang bukan untuk melukai, tetapi untuk mencari kebenaran. Perang hanya antara prajurit dan prajurit. Pedang dan pedang. Dan semuanya mempertahankan kebenaran.
Kebenaran.
Kebenaran!
Tiba-tiba, jenasah sang militan bangkit, di hari keempat. Tubuh mati itu pelan-pelan berdiri, membelakangi pisau, peluru, dan senapan. Kebangkitan agung, tepat ketika para militan menghadang iringan kendaraan militer. Ia terlihat bercahaya, mengenakan kafiyeh dan jubah kekuningan. Gading. Menghunus sebilah pedang, yang sangat dikenal Pisau.
Ikat kepalanya berkibaran di udara.
Tubuhnya harum sekali, seperti aroma bunga-bunga sahara. Tetapi, ketika tubuh sang militan menoleh, dan wajahnya terlihat sempurna, wajah yang sangat dikenal Pisau dan Peluru mengguratkan kewibawaan:
“Imam Ali?” Kata peluru.
“Ya, ia Imam Ali!”
“Jangan kejar mana yang lari! Jangan lakukan perampasan!” tiba-tiba, ia berseru. teriaknya tergema membahana. Imam ali mendadak disertai kemunculan ghaib puluhan ribu orang lain dibelakangnya. Pisau dan yang lain hanya bisa terpana. Peristiwa ghaib apa yang tengah terjadi dihadapan mereka?
Itu Ahnaf Ibn Qays. Panglima besar Tamim.
Itu Asytar An-Nakhi. Pewaris Khalid Ibn Walid.
Itu Malik Ibn Asytar.
Itu Ammar Ibn Yasir! Yang hanya akan dibunuh oleh para pendurhaka!
Kuda-kuda mereka mencetuskan debu, namun wajah-wajah mereka tidak mencerminkan ketakutan atau kejenuhan. Imam Ali dengan tenang, tetap berjalan kaki. Membiarkan debu-debu jalanan melekati kakinya. Ratusan tentara pemerintah Bashar dan para militan yang memang akan saling serang dan telah tiba disana, terkejut sekaligus terpana, ada ribuan orang datang secara ghaib dari kematian, dan itu adalah para sahabat nabi! mereka keheranan. Kenapa bisa para Shahabi agung ini berkumpul, dari kematian mereka?
“Jangan kalian kira, kami mati. Kami dari sisi Allah, Tuhan Sunni dan Syiah” Ammar Ibn Yasir berkata dengan tenang. Panahnya, kini lahir sebagai pistol yang menembuskan peluru ke mata sang militan. Ia seolah tahu, keheranan akibat kebangkitan mereka yang ghaib dan mengejutkan.
“Perang ini bukan urusan kalian, bukan?” Kata Imam Ali.
“Bashar hanya ingin mempertahankan kekuasaannya. Orang-orang Farisi disana, hanya menginginkan tersebarnya keyakinan mereka kepadaku, tidak lebih”
“Tubban laka’ Bashar. Ia menjual dirinya seharga gunung di Golan! Ia menyebabkan banyak kehancuran!”
“Asytar, hadapi tentara Bashar. Kau, Ahnaf, hadapi para militan! Kita bersihkan dulu kota ini!”
Tiba-tiba, orang-orang sipil yang bisa mengenali mereka berkumpul dan mengikuti langkah tentara pimpinan Imam Ali, menghentikan gelombang para pengungsi. Mereka seperti menemukan harapan yang baru.
Mereka menemukan Imam mereka, ya, Sunni dan Syiah, akhirnya menemukan Imam Ali yang sesungguhnya, bersama-sama para shahabiyin lainnya dan ingin menghentikan perang.
****
Tepat ketika senja hampir tiba, pertempuran antara para sahabat nabi ini dengan pasukan Bashar dan para militan berhenti. Tetapi, tak ada yang terbunuh atau terluka. Semuanya menjadi bunga padang pasir kecil berwarna putih ketika tertembus pedang para shahabiyin itu.
Tepat, ketika pedang orang-orang ghaib itu menyentuh kulit para tentara dan militan, ada getaran misterius yang mengingatkan mereka kepada sesuatu.
Mengingatkan mereka pada bunga putih kecil, yang pernah mereka tanam di masa kecil mereka, jauh di dalam hati.
Sangat-sangat jauh di dalam hati..
Bunga putih ukhrawi, yang ada di hati setiap mukmin. Kemunculan mereka, dan sabetan pedang yang lembut, menumbuhkan kembali bunga-bunga putih padang pasir. Yang ramah. Yang bermadu. Yang bergoyang pelan diterpa angin sahara.
Ya, Damaskus dan sekitarnya kini dipenuhi bunga putih kecil. Seperti ladang bunga tempat para gembala bermain bersama domba dan untanya. Bunga putih, yang mendaifkan wujud jasmiyah para tentara, militan, dan kolonel.
Imam Ali yang agung lalu berhenti, di sebuah jalan besar. Asap masih mengepul di sekitarnya. Namun dipenuhi bunga-bunga putih, yang menggambarkan keriangan.
Ia memetik satu bunga putih itu, dari pinggir jalan. Ia lalu menciumnya dalam-dalam, seperti menemukan sesuatu yang mungil namun ia rindukan.
“Pertempuran sudah berhenti! Sunni, Syiah, hanya sekelompok orang yang mencari kebenaran, namun dijadikan alat pembenaran oleh mereka yang sesat!”
“Tak ada perang kecuali Perang, tak ada cinta kecuali Cinta! Kota ini adalah kota tempat para raja-raja Umayyah dilahirkan dan berkuasa. Kota ini juga tempat Umar, kekasihku, mendapatkan kehormatannya. Juga Utsman Ibn Affan, Muawiyah, Shalahuddin!”
“Tak ada tepat buat darah mengalir di kota ini! tak ada darah kecuali Darah!” Imam Ali lantang berpidato. Yang hadir setengah menangis, bisa melihat wajah junjungannya ini.
“Manusia! Ayahmu satu. Sedangkan ia dari tanah: di tanah kita berperang, di tanah pula kita mati”
Angin menggerak-gerakkan bunga-bunga putih kecil. Harumnya mewarnai kota Damaskus. Tiba-tiba, Imam Ali seperti diliputi cahaya, dan ia membuka kafiyehnya:
“Akulah Bashar Al-Asad!”
Yang hadir terkejut, lalu memandang Imam Ali yang baru saja berkata secara mencengangkan itu.
“Aku juga syuhada yang mati digilas tentara Bashar!” sambungnya.
“Aku adalah tentara, yang mati ditembak para militan!”
“Aku adalah pasir dan debu-debu kota Damaskus, aku juga gedung yang hancur diterpa ledakan. Aku adalah Ali, Muawiyah, Ammar, Asytar, Ahnaf. Aku adalah orang-orang sipil yang tak tahu apa-apa”
“Aku adalah gunung-gunung yang menyaksikan pertempuran, selama ribuan tahun di dataran ini. aku adalah Golan. Aku adalah Syiria. Aku adalah Syam. Akulah yang kalian perebutkan!”
“pertempuran ini, sesungguhnya terjadi dalam pikiran kalian saja, tanah ini tetap dengan tenang berdiri. Dataran Tinggi Golan yang bijaksana tetap ada di tempatnya!”
“Maka, jangan berpikir tentang pertempuran! Sunni, syiah, aku Imam Ali telah mati. Lalu kalian mau mempertahankan apa kecuali tiada cinta kecuali Cinta? Pada masaku, perang hanya untuk menegakkan perjanjian damai antara Utusan Allah, manusia, dan juga antara masyarakat”
“Tiada cinta kecuali Cinta, tiada damai kecuali Damai! Bashar, para militan, pisau, peluru, senapan, bendera, darah, adalah satu kesatuan, semuanya dari bumi, dan tak pantas diantara anak cucu bumi saling membenturkan diri”
“Wahai Putra Air Langit, Bani Ma’isamaa! Hujan awal musim semi akan segera turun, menghapus jejak darah!”
Tubuh itu, seorang militan yang bangkit lagi menjadi Imam Ali, yang kini menahbiskan dirinya adalah saksi segalanya, memandang satu-satu sahabiyin yang bangkit mengikutinya.
Ia membayangkan masa kecil yang indah bersama mereka di Makkah. Ia membayangkan penyiksaan yang datang bertubi-tubi dari para penentang ketika sama-sama mempertahankan keyakinan. Ketika belum ada prasangka diantara mereka tentang siapa yang salah, dan siapa yang lebih salah.
Tetapi ini: darah keyakinan yang sama, mesti jatuh seperti gerimis ketika salah seorang dari mereka ingin mempertahankan umurnya lebih lama.
Mendadak, Imam Ali, diiringi ribuan tentara para shahabiyin mengangkat tangan kelangit dan terdengar suara dzikir yang membahana, memenuhi gurun dan lembah, memenuhi kota-kota, dan memenuhi segala ruang yang menjadi medan pertempuran. Memanggil-manggil nama Tuhan. Memanggil-manggil rahmat yang lama terhenti. Memanggil-manggil yang maha Penyayang.
Pisau, Peluru, dan Senapan hanya bisa diam. Mereka tetap hanya benda mati, yang dipengaruhi kehendak pemiliknya. Tanpa bisa berkata-kata lagi, mereka hanya saling menggumam dalam hati. Tentang perang. Tentang jalannya perang. Tentang Imam Ali yang tiba-tiba muncul, dan memberikan harapan baru bagi tegaknya kedamaian di Suriah, Iran, Iraq, Afghanistan, Sudan, Indonesia, dan segenap kantong-kantong perang lainnya yang terpendam namun menjadi bisul yang menyakitkan hati setiap orang.
Mereka akhirnya berhenti menggumam. Mereka memilih dengan syahdu mengikuti suara dzikir yang terbang di udara seperti kupu-kupu, dan satu-satu menghinggapi bunga-bunga putih kecil yang tumbuh memenuhi kota.
Seluruh kota, yang diselimuti bunga-bunga putih kecil, kini juga dipenuhi kupu-kupu dzikir para shabiyin itu, dipimpin Imam Ali. Seperti musim semi sehabis kemarau panjang yang diciptakan Bashar.
Bunga-bunga putih kecil, yang berasal dari para militan dan tentara, mekar dengan sempurna, dan menyambut matahari dengan lebih terbuka. Lalu ikut pula berdzikir, hingga dzikir itu kini aromanya seperti bunga putih kecil padang pasir.
Dan kupu-kupu terbang diantaranya, terus keatas, hingga jauh, jauh menuju ketinggian, tempat Tuhan betul-betul berada.
Dzikir mereka diikuti segenap orang-orang sipil yang hadir, dan dari menara putih Damaskus, menara sebuah masjid tua tempat di ibukota tempat Bashar mengatur jalannya perang. mendadak sebuah cahaya terang menyala lembut, lalu orang-orang berteriak:
“Isa Al-Masih Ibn Maryam, Rasulullah telah nuzul kembali!”