Sebuah desa permai,
Jatijajar namanya, sebagaimana kesederhanaan orang-orang Sunda menamai sebuah
tempat dengan ciri yang juga sederhana. Hanya ada tiga ekor kucing dan sepuluh
rumah penduduk, sepuluh tahun yang lalu. Alkisah, ketiga kucing ini
terus-menerus melahirkan. Kemampuan bunting mereka luar biasa; enam kali
setahun dan enam anak setiap melahirkan. Mutan? Tidak diketahui dengan pasti.
Yang terjadi berikutnya adalah kepindahan orang-orang Jawa, yang mayoritas dari
Wonogiri lalu menetap.
Penduduk asli yang
beranak pinak bersimbiosis, dan membentuk pola pemukiman menyusur mengikuti
alur jalan raya. Tiga ekor kucing yang tadi, telah menjelma menjadi puluhan
kucing jenis baru yang masih bisa dilacak silsilahnya melalui belangnya, tetapi
tidak doyan tikus.
Di selatannya, ada
danau besar dengan hutan seluas 10 hektar, dan berpohon sangat besar. Di utara,
juga sebuah danau besar dengan kebun karet. Di barat, Jalan Raya Bogor. Di
timur, rawa-rawa tempat memancing. Lahan utamanya dimanfaatkan sebagai sawah
dan palawija. Sereh. Jahe. Kunyit.
Seiring memadatnya
perumahan spesies manusia, maka spesies kucing kehilangan insting berburunya.
Spesies baru kucing ini tak mau lagi mengejar tikus, dan memilih diam di depan
pintu-pintu rumah penduduk, menunggu belas kasih dan kepala ikan yang kerap
dilemparkan.
Spesies tikus jenis
baru, yang belum pernah ada sebelumnya, juga terlahir. Mereka bukan tikus
hutan, bukan juga tikus sawah. Mereka mendiami gorong-gorong kumuh, parit-parit
sempit, dan sela-sela pohonan. Ukurannya menakjubkan, setengah ukuran spesies
kucing.
Spesies manusia hanya
bisa terbengong-bengong melihat seekor kucing yang takut ketika kakinya
ditabrak tikus ketakutan yang dikejar anak-anak manusia. sementara si Desa, Jatijajar,
tumbuh menjadi pemukiman padat. Rumah yang sebelumnya sangat luas, dengan
halaman yang cukup untuk bermain bola besar, kini diganti rumah-rumah murah dan
sempit—bahkan berebut lahan menjemur pakaian—lantas muncul juga masalah-masalah
yang belum pernah muncul sebelumnya.
Got yang mampet, lantas
beberapa tikus menggali dan menumpukkan tanah disana. Air hujan yang tidak bisa
meresap, lantas mengaliri jalan-jalan kecil dan menggenang. Nyamuk, Aedes
Aegypti, yang di buku-buku kelas 4 SD biasa diceritakan hanya muncul pukul 7
pagi dan 4 sore, serta ghaib pada saat panas matahari atau dingin malam, ini
memiliki kemampun bertahan hidup di siang hari dan menghisap darah pada malam
hari.
Wabah demam berdarah
meluas, orang-orang pinisepuh yang masih paham herbal daun-daunan tradisional
tak bisa berbuat apa-apa; sudah tak ada tanah yang bisa ditanami; sudah tak ada
perdu-perdu yang diberkahi itu untuk mengobati si sakit.
Akhirnya mereka pergi
ke rumah sakit, mesti menjual tanah-tanahnya. Di tempat lain, kucing-kucing
semakin banyak, kurus-kurus, berpenyakit, dan membiarkan tikus juga semakin
banyak dan tak takut manusia. kucing-kucing hanya bisa mencakar-cakar di tempat
sampah, mengoyak kantong-kantong busuk dan menjilati sisa tulang busuk.
Tikus-tikus semakin terorganisir
dan teratur, beberapa rumah mengalami amblas lantai karena ada lorong tikus
dibawahnya. Semua got mampet. Kucing semakin banyak dan semakin malas. Nyamuk
semakin meruah, ia mampu membuat bengkak, sebuah istilah yang berbeda dari
sekedar bentol.
Akhirnya desa yang permai itu berubah menjadi selokan
maut, tempat sampah-sampah perumahan besar yang membangun Tembok Pembatas
Peradaban dibuang. Terjadi hal-hal yang tak pernah dikhayalkan bisa terjadi,
duapuluh tahun lalu tetapi terjadi saat ini: banjir. Penyakit mematikan.
Kematian unggas secara massal. Serbuan tikus yang tak bisa dibasmi. Setengah
desa yang dijual untuk mendirikan Real Estate; nama feodal dari perumahan
berpagar tinggi.
Warga yang menjual tanahnya lupa belajar untuk hidup tanpa
bertani; mereka—yang tadinya tuan-tuan tanah kaya dan petani terbaik, mesti
meringkuk di pojok-pojok perumahan. Jadi anjing penjaga yang diimpit upah
rendah serta kesenjangan sosial. Mobil-mobil angkuh lewat di depan mereka.
Anak-anak pecinan yang sangat cantik dan seksi, jauh dibandingkan generasi di
desanya yang korengan, dekil, lusuh dan miskin.
Yang lain terpuruk di pabrik-pabrik Jalan Raya Bogor.
Mesti memantau berita PHK setiap hari seperti pialang saham yang betah
berjam-jam di depan layar. Upah rendah. Jam kerja tidak manusiawi, 24 jam
dengan sistem sif.
Si kucing, menunggu di depan rumah, menyusui 3 anaknya
ketika seekor tikus besar lewat dan menggeret sekantong beras. Manja. Hujan
turun; besar sekali. menggenangi jalan-jalan sempit tanpa pernah bisa mengalir.
Menjadi potongan-potongan kisah yang memiliki detil
tersendiri di setiap lekuk-lekuk jalan sempit desa, yang dulunya adalah
pematang kebun dan tegalan pohon pepaya. Rumah-rumah kecil, diisi pengontrak
sementara namun menimbulkan keresahan; karena diduga disana bersembunyi si
maling.
Setiap minggu, sebuah motor akan hilang. Sebuah kejadian,
dilaporkan bahwa si maling mengambil motor yang hanya berjarak 10 meter dari
pemiliknya dalam waktu 10 detik setelah pemiliknya turun dari motor. Tapi si
pengontrak; tak pernah bisa ditangkap.
Desa yang permai itu, dikorbankan demi membangun yang
megah-megah dan yang kompleks-kompleks. Desa yang sejuk itu dikorbankan untuk
membangun yang aspal-aspal dan yang taman-taman.
Di selatan; danau besar dan hutan yang kini dilindungi
Pemkot; akan dikorbankan. Walikota yang mantan Menteri Kehutanan itu gagal
mencegah pendirian terminal bus besar yang baru. generasi yang belum lahir di
Jatijajar akan menjadi generasi terminal yang kehilangan hutan tempat main.
Kita sama-sama
prihatin; Jatijajar Cuma sedikit dari Kecamatan Cimanggis. Cuma sedikit dari
Kota Depok. Bagian kutu dari Provinsi Jawa Barat, tak pernah disebut di Istana
Negara Indonesia. Kisah itu, bagaimana cara indah mengakhirinya?
Hmm, si Kucing
lagi-lagi Cuma menunggu dan diam saja ketika seekor anak tikus lewat,
menatapnya sebentar, mengendus-endus, lalu pergi...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar