Selasa, 27 Agustus 2013

Risalah Amar: Kisah Jatijajar

Sebuah desa permai, Jatijajar namanya, sebagaimana kesederhanaan orang-orang Sunda menamai sebuah tempat dengan ciri yang juga sederhana. Hanya ada tiga ekor kucing dan sepuluh rumah penduduk, sepuluh tahun yang lalu. Alkisah, ketiga kucing ini terus-menerus melahirkan. Kemampuan bunting mereka luar biasa; enam kali setahun dan enam anak setiap melahirkan. Mutan? Tidak diketahui dengan pasti. Yang terjadi berikutnya adalah kepindahan orang-orang Jawa, yang mayoritas dari Wonogiri lalu menetap.

Penduduk asli yang beranak pinak bersimbiosis, dan membentuk pola pemukiman menyusur mengikuti alur jalan raya. Tiga ekor kucing yang tadi, telah menjelma menjadi puluhan kucing jenis baru yang masih bisa dilacak silsilahnya melalui belangnya, tetapi tidak doyan tikus.

Di selatannya, ada danau besar dengan hutan seluas 10 hektar, dan berpohon sangat besar. Di utara, juga sebuah danau besar dengan kebun karet. Di barat, Jalan Raya Bogor. Di timur, rawa-rawa tempat memancing. Lahan utamanya dimanfaatkan sebagai sawah dan palawija. Sereh. Jahe. Kunyit.

Seiring memadatnya perumahan spesies manusia, maka spesies kucing kehilangan insting berburunya. Spesies baru kucing ini tak mau lagi mengejar tikus, dan memilih diam di depan pintu-pintu rumah penduduk, menunggu belas kasih dan kepala ikan yang kerap dilemparkan.

Spesies tikus jenis baru, yang belum pernah ada sebelumnya, juga terlahir. Mereka bukan tikus hutan, bukan juga tikus sawah. Mereka mendiami gorong-gorong kumuh, parit-parit sempit, dan sela-sela pohonan. Ukurannya menakjubkan, setengah ukuran spesies kucing.

Spesies manusia hanya bisa terbengong-bengong melihat seekor kucing yang takut ketika kakinya ditabrak tikus ketakutan yang dikejar anak-anak manusia. sementara si Desa, Jatijajar, tumbuh menjadi pemukiman padat. Rumah yang sebelumnya sangat luas, dengan halaman yang cukup untuk bermain bola besar, kini diganti rumah-rumah murah dan sempit—bahkan berebut lahan menjemur pakaian—lantas muncul juga masalah-masalah yang belum pernah muncul sebelumnya.

Got yang mampet, lantas beberapa tikus menggali dan menumpukkan tanah disana. Air hujan yang tidak bisa meresap, lantas mengaliri jalan-jalan kecil dan menggenang. Nyamuk, Aedes Aegypti, yang di buku-buku kelas 4 SD biasa diceritakan hanya muncul pukul 7 pagi dan 4 sore, serta ghaib pada saat panas matahari atau dingin malam, ini memiliki kemampun bertahan hidup di siang hari dan menghisap darah pada malam hari.

Wabah demam berdarah meluas, orang-orang pinisepuh yang masih paham herbal daun-daunan tradisional tak bisa berbuat apa-apa; sudah tak ada tanah yang bisa ditanami; sudah tak ada perdu-perdu yang diberkahi itu untuk mengobati si sakit.

Akhirnya mereka pergi ke rumah sakit, mesti menjual tanah-tanahnya. Di tempat lain, kucing-kucing semakin banyak, kurus-kurus, berpenyakit, dan membiarkan tikus juga semakin banyak dan tak takut manusia. kucing-kucing hanya bisa mencakar-cakar di tempat sampah, mengoyak kantong-kantong busuk dan menjilati sisa tulang busuk.

Tikus-tikus semakin terorganisir dan teratur, beberapa rumah mengalami amblas lantai karena ada lorong tikus dibawahnya. Semua got mampet. Kucing semakin banyak dan semakin malas. Nyamuk semakin meruah, ia mampu membuat bengkak, sebuah istilah yang berbeda dari sekedar bentol.

Akhirnya desa yang permai itu berubah menjadi selokan maut, tempat sampah-sampah perumahan besar yang membangun Tembok Pembatas Peradaban dibuang. Terjadi hal-hal yang tak pernah dikhayalkan bisa terjadi, duapuluh tahun lalu tetapi terjadi saat ini: banjir. Penyakit mematikan. Kematian unggas secara massal. Serbuan tikus yang tak bisa dibasmi. Setengah desa yang dijual untuk mendirikan Real Estate; nama feodal dari perumahan berpagar tinggi.

Warga yang menjual tanahnya lupa belajar untuk hidup tanpa bertani; mereka—yang tadinya tuan-tuan tanah kaya dan petani terbaik, mesti meringkuk di pojok-pojok perumahan. Jadi anjing penjaga yang diimpit upah rendah serta kesenjangan sosial. Mobil-mobil angkuh lewat di depan mereka. Anak-anak pecinan yang sangat cantik dan seksi, jauh dibandingkan generasi di desanya yang korengan, dekil, lusuh dan miskin.
Yang lain terpuruk di pabrik-pabrik Jalan Raya Bogor. Mesti memantau berita PHK setiap hari seperti pialang saham yang betah berjam-jam di depan layar. Upah rendah. Jam kerja tidak manusiawi, 24 jam dengan sistem sif.

Si kucing, menunggu di depan rumah, menyusui 3 anaknya ketika seekor tikus besar lewat dan menggeret sekantong beras. Manja. Hujan turun; besar sekali. menggenangi jalan-jalan sempit tanpa pernah bisa mengalir.

Menjadi potongan-potongan kisah yang memiliki detil tersendiri di setiap lekuk-lekuk jalan sempit desa, yang dulunya adalah pematang kebun dan tegalan pohon pepaya. Rumah-rumah kecil, diisi pengontrak sementara namun menimbulkan keresahan; karena diduga disana bersembunyi si maling.

Setiap minggu, sebuah motor akan hilang. Sebuah kejadian, dilaporkan bahwa si maling mengambil motor yang hanya berjarak 10 meter dari pemiliknya dalam waktu 10 detik setelah pemiliknya turun dari motor. Tapi si pengontrak; tak pernah bisa ditangkap.

Desa yang permai itu, dikorbankan demi membangun yang megah-megah dan yang kompleks-kompleks. Desa yang sejuk itu dikorbankan untuk membangun yang aspal-aspal dan yang taman-taman.  

Di selatan; danau besar dan hutan yang kini dilindungi Pemkot; akan dikorbankan. Walikota yang mantan Menteri Kehutanan itu gagal mencegah pendirian terminal bus besar yang baru. generasi yang belum lahir di Jatijajar akan menjadi generasi terminal yang kehilangan hutan tempat main.

Kita sama-sama prihatin; Jatijajar Cuma sedikit dari Kecamatan Cimanggis. Cuma sedikit dari Kota Depok. Bagian kutu dari Provinsi Jawa Barat, tak pernah disebut di Istana Negara Indonesia. Kisah itu, bagaimana cara indah mengakhirinya?


Hmm, si Kucing lagi-lagi Cuma menunggu dan diam saja ketika seekor anak tikus lewat, menatapnya sebentar, mengendus-endus, lalu pergi...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar