Selasa, 19 November 2019

Cara Baru Memandang KAMMI

Kenapa KAMMI lahir?

Kenapa KAMMI segera hadir di puluhan kampus dan segera menjadi penguasa?

Kenapa KAMMI bertahan lama sekali, hingga 21 tahun lamanya?

Dua puluh satu tahun yang lalu, di negeri kita, penindasan dan ketidakadilan itu nyata sekali. Ia mewujudkan diri menjadi sosok: Soeharto namanya.

Ketidakadilan itu juga melembaga: Orde Baru namanya.

Saat itu orang gandrung mengaji. Orang senang dengan jilbab lebar, orang senang dengan wacana-wacana takbir jalanan.

Dan saat itu sebagai perias perjuangan, muncul satu genre musik legendaris. Nasyid namanya. Nasyid-nasyid itu mampu menengahi segala perdebatan haramnya musik, karena nyaris tanpa instrument apapun.

Nadanya menghentak. Keras. Menggetarkan jalanan. Mengguncang panggung-panggung politik dan memberikan semangat.

Puisi “Lautan Jilbab”Emha Ainun Nadjib menggambarkan kondisi saat itu. Orang-orang saling berjuang membebaskan diri dari belenggu larangan jilbab di seluruh negara. Aurat, adalah seruan utama di berbagai lembaga.

Sementara itu, di ranah politik, puluhan partai islam muncul: dari yang menang besar semacam PAN dan PKB maupun yang kalah telak semacam PK.

Sementara itu secara ekonomi, orang sadar bahaya modal asing yang masuk melalui IMF atau lembaga lain atas nama investasi. Soeharto hancur karena itu.

Semuanya berlomba tampil di garis depan perjuangan. Semuanya berlomba mengalahkan kebatilan dengan caranya sendiri. Mereka yang pragmatis, berakhir dengan lemparan celana dalam, atau dipukuli di sudut jalan.

Lalu di masa-masa itu, tampilah sekelompok orang. Cita-citanya jauh kedepan. Pandangannya tunduk, tapi mengerikan saat bertakbir. Mereka berjilbab lebar; atau berdahi hitam.

Dan di ikat kepala putih mereka, kadang darah mengalir memerahkannya. Di ikat kepala itu ada tulisan yang tegas berbunyi: “KAMMI”

Di bendera mereka yang juga dibasahi darah, bertuliskan kalimat besar: Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia.

Mereka keras menentang kebatilan di siang hari. Tapi di malam hari, mereka akan dengan teguh hati melingkar di sudut paling sepi di setiap kota, menghapal hadis, membaca Al-Quran dan saling memberi nasihat.

Kalau kita perhatikan filosofi gerakan KAMMI, kita akan dapati kalimat bernas yang akan membawa kita pada satu kenyataan, bahwa gerakan ini bukan gerakan cari panggung, atau gerakan kecil yang pura-pura besar.

Gerakan ini besar karena cita-citanya. Rekan-rekanku sekalian yang lupa kenapa kita berbaris bersama, kuundang kalian membaca kembali kredo gerakan kita.

Kepada orang-orang yang sekarang pragmatis, malu-malu, bergelimang jabatan dan mabuk pujian, kuundang kalian membaca kembali prinsip gerakan kita.

Itulah hari-hari awal gerakan kita!

*

Dua puluh satu tahun berlalu sejak kejadian itu. Orang mulai ramai membicarakan perubahan arah gerakan. Demonstrasi tak lagi jadi alat utama. Media social sangat mencolok membawa harapan baru.

Kader KAMMI, masih sama banyaknya dengan dahulu kala. Tapi, secara structural, jumlah pengurusnya sedikit. Kalau dulu belum ada manhaj, sekarang manhaj dan alur pengaderan akan memandu kita sampai tamat urusan dauroh.

Hari ini, kebatilan yang dihadapi masih sama. Penindasan. Ketidakadilan. Korupsi, masih menjadi musuh utama. Hadirnya Komisi Pemberantasan Korupsi malah menjadi korupsi yang baru.

APBN semakin besar. Rakyat yang ditanggung semakin banyak. Kinipun makin banyak pula menteri yang bergelar professor dan Ph. D. tetapi, kemiskinan, tidak disikapi sebagai sejumlah nyawa yang lapar atau sejumlah mata yang pedih.

Korporasi, masih mengangkangi berbagai kebijakan. Kalau di jaman Soeharto perusahaan milik Soekanto Tanoto menggilas hutan, maka pemain di jaman ini makin banyak. Bahkan semakin berani membakar hutan.

Partai politik, sebagaimana prediksi Al-Imam Hasan Al-Banna, menjadi sumber kebatilan tersendiri mana kala persekutuan mereka di parlemen malah menjerumuskan rakyat lebih jauh dalam kondisi amoral melalui RUU P-KS  dan lain sebagainya.


Kalau dulu melalui perbankan masuk modal asing yang menjerat, sekarang masuk pula modal asing itu lewat startup yang digadang-gadang sebagai pilar ekonomi kita. Presiden malah menyatakan kekalahan negara pada korporasi dengan focus pada manufaktur, bukan pembinaan Sumber Daya Alam.

Tapi di balik itu semua, ada, ada harapan besar yang dapat kita jadikan doa. Di mana-mana terjadi gelombang hijrah. Para pemuda menembus kebekuan gerakan itu dengan mendirikan komunitas hijrah. Kalau dulu jilbab, sekarang cadar. Kalau dulu baca qurán, sekarang menghafal.

Bahkan sekarang orang ramai-ramai menjadi hafizh qurán dengan harapan dapat memperbaiki kondisi umat. Dan di mana-mana orang masuk KAMMI lagi, dengan tujuan ingin belajar islam dan ikut memakmurkan bumi ini.

Di mana-mana orang malu bila auratnya terbuka. Gelombang jilbab berubah menjadi airbah. Al-Qurán berubah menjadi hujan yang menyuburkan negeri ini.

Angka pemuda-pemuda yang berjilbab lebar, menolak pacaran, dan memahami betul apa yang benar dan salah menurut AL-Quran dan Ash-Sunnah bertambah banyak. Melebihi angka yang kita kira!

Lalu di masa-masa semacam ini, mulai banyak yang berkata: apalah gunanya berorganisasi islam? Apalah gunanya memadukan saf, saat saf-saf yang ada malah mudah dibeli, imamnya adalah orang fasik yang terlihat saleh, atau para muazinnya adalah orang munafik yang pandai bicara?

Fenomena zaman masih sama. Kebatilannya masih sama. Tapi orang-orangnya sudah lain. Mereka bukan orang yang bisa dikibuli dengan gemerlap pembangunan, atau indahnya angka investasi. Maka kalau kita bicara tentang inovasi ber-KAMMI, marilah kita beranjak dari sini.

*

Orang sekarang itu unik. Mereka mengaji pada kelompok yang dinyatakan salafi, tapi ikut pula amalan-amalan kelompok tradisionalis. Mereka gabung halaqah, tapi turut menyerukan khilafah. Mereka ikut kajian hijrah, dan bersama-sama menolak terorisme.

Mereka memadati mabit. Ramai-ramai menggunakan cadar, ramai-ramai menolak pacaran. Mereka ikut dan membangun startup, tapi sadar bahayanya modal asing. Mereka memenuhi kelas-kelas pemikiran islam yang diadakan oleh para cendekiawan muda muslim.

Tapi mereka punya satu persamaan. Mereka sadar bahwa Al-Qurán adalah jawaban, Al-Qurán adalah solusi. Dan hal itu dapatlah kita rumuskan dengan enam kalimat tegas yang ada dalam prinsip gerakan KAMMI.

Lalu, inovasi apa yang kita butuhkan? Kenapa di mana-mana ada suara sumbang soal matinya gerakan, pudarnya semangat pengaderan, atau tumpulnya gagasan?

Karena sekarang memang kita hanya butuh kembali menyatakan dengan tegas, siapa kita. Di pihak manakah kita. Ketegasan terhadap kebatilan itulah yang dulu dirindukan orang pada masa reformasi, dan kini dirindukan lagi sebagai jawaban.

Kita  mau mengubah apapun, akan percuma bila ketegasan itu hilang. Kita adalah orang-orangan plastic yang gampang letoi kena panas sedikit. Kita adalah manusia selebgram yang gampang sakit hati karena tidak disukai publik. Apakah kita mau begitu?

Kalau ada inovasi yang kita butuhkan, sekarang saya akan tegas berkata: kitalah barisan yang akan membongkar kebatilan sampai ke akar-akarnya. Kajian kita, hari-hari kedepan, akan berlangsung untuk melacak sejauh mana kebatilan bekerja.

Rakyat sudah merasakan, tapi belum mengerti kebatilan apa yang membelit mereka. Rakyat menangis, tapi belum paham kenapa mereka menangis. Kita hadir di sana. Kita hadir dengan jelas untuk menjawab airmata rakyat itu.

*

Madrasah KAMMI adalah kelas-kelas yang memberikan jawaban itu. Kalau di satu komisariat atau KAMMDA mengalami kematian gagasan, maka ada masalah pada kualitas Madrasah mereka.

Urutan-urutan materi yang ada dalam dauroh pertama maupun kedua, sudah sangat rapi membawa pola pikir kita pada jawaban apa yang pantas kita berikan bagi umat ini. Akan tetapi, di mana-mana instruktur tidak memahami apa yang hendak mereka sampaikan pada dauroh itu.

Kelas-kelas pemikiran itu akan kita buka. Di suatu pekan kita akan membahas macam aliran politik di dunia ini. Di pekan yang lain, kita akan bedah apa saja aliran ekonomi di dunia ini.

Di pekan yang lain, kita buka kelas siroh dan kelas sejarah, dari Nabi Muhammad hingga Sultan Abdul Hamid II di Turki. Dari Purnawarman di Tarumanegara hingga Joko Widodo.

Kelas-kelas lain akan kita masukkan dalam lokus yang jelas: bisnis, sastra, guru , buruh, digital, dan lain sebagainya. Tapi tak perlu KAMMI berubah menjadi komunitas. Ia hanya cukup menaungi itu. Akan lahir ribuan komunitas yang didirikan kader KAMMI dengan semangat zaman yang tak lekang itu!

Barangkali, inovasi ini harus dipuncaki dengan itikad baik para pengurus: jangan biasakan bicara sebagai banci. Yang bersayap, yang pragmatis, yang menunggu dibayar oleh pelanggan lalu pergi. Atau kalau tidak dibayar, maka si banci akan keras sekali tinjunya!

Jangan takut kehilangan kader. Kader pergi dari gerakan ini karena alamat perjuangan kita yang mulai tak jelas. Karena kita tak lagi memperjuangkan syumuliatul islam, tapi ambisi para pengurusnya semata.

Terakhir, marilah berbaris kembali. Kita penuhi hak dan kewajiban kita sebagai mahasiswa muslim Indonesia dan berbarislah dalam kesatuan aksi!

Senin, 21 Oktober 2019

Mau Ke Mana Transformasi Gerakan KAMMI?



Hasil Rapimnas baru sempat saya renungkan. Di tengah kejaran analisis berbagai isu yang mesti saya renungkan, dan ingar bingar berita politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain sebagainya:

Ijinkan saya memberikan pandangan tentang hasil rapimnas. Pandangan ini tak mewakili posisi saya di Pusat, tetapi bentuk adu gagasan semata.

Mari dengan tegas katakan: bentuk transformasi gerakan yang ditawarkan Rapimnas, adalah transformasi yang gagal paham pada kondisi lapangan, cacat sejarah, dan tak berdasar analisis yang cermat pada kondisi KAMMI di lapangan.


Transformasi ini mengajak kita menjadi gerakan pengkaryaan; yang tampak betul didasari kekaguman pada gemerlapnya jaman ekonomi digital. Era Startup dan ekonomi digital yang dibuka Presiden Joko Widodo adalah euforia negara berkembang.

Jujurlah pada diri sendiri. Masalah utama pada gerakan kita adalah, tumpulnya analisis dan beloknya orientasi dakwah.

Desain produk dauroh dan MK, sejak DM 1 hingga DM 3, menghasilkan orang-orang yang dapat memberi solusi dan kepemimpinan pada segala bidang, bukan terkhusus pada bidang startup dan ekonomi digital.

Susunan pencerdasan dari materi yang disajikan, harusnya membuat kader paham cara memperbaiki kondisi negara yang rusak parah.


Bukan malah bertransformasi menjadi rumah besar stratup. Ingat! Kita bukan organisasi yang mampu mendatangkan investasi besar. Sedangkan ribuan startup mati karena gagal menghadapi fase bakar duit di empat tahun pertama.

KAMMI yang masih menghadapi sulitnya dana dauroh jangan sombong berpura-pura mampu mencetak pelaku startup, yang desainnya dari investasi.

Kedua. Saya bukan ekonom. Tapi saya bukan orang yang buta berita. Era startup dan ekonomi digital, adalah bentuk lain kapitalisme yang menjerat negeri ini. Sebab, pola ini telah kita temukan di tiga puluh tahun lalu, saat Presiden Soeharto membuka Era Perbankan melalui Pakto 88.

Saat itu, persyaratan membuka sebuah bank dipermudah. Tujuannya: investasi lokal maupun asing akan diserap ribuan bank kecil itu, lalu disalurkan lagi kepada unit usaha yang membutuhkan dengan skema tertentu.


Hasilnya? Investasi asing menjebak kita semua. Hanya 10 tahun setelah Pakto 88 dideklarasikan, terjadi bencana ekonomi:  krisis moneter, dan jatuhnya rupiah, serta bengkaknya utang korporasi yang segera mengoyak ekonomi negara kita.

Ribuan bank itu binasa. Berikut ratusan ribu unit usaha yang mendapat investasi dari bank-bank itu dalam tahun-tahun krismon.

Kalau kita mau jeli; bahaya terselubung era ekonomi digital ini yang harusnya jadi perhatian Bidang Kebijakan Publik dua tahun kedepan.

Ke mana investasi asing dilabuhkan? Mengapa mereka bersemangat memberikan dana besar kepada model bisnis yang sangat spekulatif ini?

Apalagi, ada satu hal yang masih belum jadi perhatian pengguna jasa ekonomi digital. Privasi data. Privasi data ini pernah jadi isu besar saat Xiaomi dan Huawei disinyalir melakukan penyadapan data:

Atas tuduhan Amerika Serikat. Berita ini memang tak sampai ke negeri kita; karena memang media adalah alat opini pasar yang paling baik.

Rangkaian aturan yang diluncurkan pads 2017 berkaitan cara baru berbisnis ini, masih belum diiringi dengan jaminan privasi dan hadirnya keadilan di tengah pasar.

Hadirnua startup di bidang transportasi membuat sektor ini hancur berantakan. Tata aturan transportasi darat kacau balau: akhirnya rakyat main hakim sendiri karena negara tak memberi jalan tengah, tapi melindungi yang modalnya besar.


Ini terjadi pada gojek dan grab. Ketidakadilan negara pada pelaku pasar di jalan raya; malah disikapi secara neolib oleh generasi milenial: Organda telat berubah; dan lain sebagainya.

Padahal ini semua tentang negara yang tak memberi keadilan yang sama. Akses yang sama pada sumber dana, kepada semua pelaku pasar.

Bisnis pendidikan, menjadi masalah saat tata krama dan moral yang diajarkan di sekolah; serta sakralisasi guru melalui UU Guru dan Dosen habis diterjang startup berbasis pendidikan.

Munculnya kasus kekerasan pada guru dan penistaan pada sekolah, jelas merupakan dampak dari desakralisasi pendidikan, sebab orientasi pendidikan kini bukan lagi dakwah:

Tapi bisnis.  "Oh sir, i am hired you, you are'nt my teacher. You are knowledge-seller!" kondisi anomie semacam itukah yang mau diraih KAMMI?

kewaspadaan jangan sampai hilang! Janganlah kekaguman kita pada perhiasan dunia mengakibatkan hilangnya nalar kritis dalam membaca ke mana zaman akan beredar.

Saya ramalkan: akhir pemerintahan Jokowi periode dua akan diwarnai kolapsnya sejumlah raksasa startup dan beralihnya bentuk bisnis, karena perubahan peta ekonomi global yang merusak skema dan mood investasi.


Ketiga. Apakah para perumus transformasi gerakan tidak berasal dari kalangan pengkader yang dari padi di tanam, mau berkotor-kotor di sawah?

Semua orang saat rekrutmen awal, punya satu harapan. Mereka melihat KAMMI dengan satu cara: "ingin belajar islam lebih dalam."

Sebab itu, desain materi MK Khos dibuat memenuhi dasar-dasar keislaman itu. Harga diri dan jati diri seorang muslim dididik, diasuh, dibina pelan-pelan sampai berubah menjadi prinsip hidup yang tak lekang oleh waktu.


Sang kader akan dicobai dengan kerasnya tembakan water cannon, dan derasnya uang dari kejahatan-kejahatan terselubung yang hendak ditutupi.

Setelah itu; pilihan menjadi pelaku startup hanyalah satu di antara banyak pilihan dari mana kita akan berjihad memerangi kebatilan.


Untuk itu, perlu ada sebuah rencana taktis, kuat, dan cerdas untuk menguatkan sistem kaderisasi. Tapi saya tak melihat itu dalam hasil Rapimnas, terkhusus pada proses transformasi gerakan.

Skema transformasi gerakan ini--dalam pembacaan saya--akan mengubah besar-besaran citra dan cara pandang KAMMI kepada dunia.

Ada beberapa resiko yang harus kita tanggung berkaitan dengan perubahan ini.


Satu. Jelas dan tegas; saat ini ada satu generasi muslim yang jiwanya sedang haus pada solusi konkret penindasan pada bangsa ini.

Baik penindasan investasi, penindasan budaya, penindasan politik, dan juga penindasan militer.

Momentum yang ada membuat generasi ini semakin cinta kepada agamanya. Simbol-simbol islam: cadar, jilbab, kaus kaki, bendera tauhid, takbir, dan al-Qur'an sekarang menjadi alat unjuk jatidiri generasi itu.


Dan di gerakan ini, jati diri kader berdasarkan manhaj, sangat menjawab kehausan generasi itu. Kalau KAMMI tak ingin mengambil generasi itu sebagai bagian dari umat yang hendak dibina:

Lalu mereka akan mengambil generasi yang mana? Startup, adalah monopoli sedikit orang. Yang dibesarkan dari kultur kampus para pengusaha, atau keluarga para pialang. Apa mau ambil dana dari alumni?

Jaringan alumni kita masih pragmatis. Belum mikirin kita. Mereka masih senang rebutan hal-hal yang belum jadi bahan rebutan kita.

Silakan periksa puluhan survei mengenai milenial islam yang bertebaran. Fakta yang didapat mudah kita sederhanakan bahwa:

Ada satu generasi, yang jumlahnya besar, sedang sangat tergila-gila pada islamisasi kehidupan, bukan startup-isasi.

Ayo turun ke dauroh. Saksikan generasi itu saat ini berbondong-bondong bergabung bukan karena ingin jadi pengusaha, tapi ingin menjadi orang yang dimaksud dalam kredo gerakan KAMMI. Yang mewah itu.

Marilah jujur kepada diri sendiri:

Yang diperlukan adalah pemulihan unsur-unsur dan alat kaderisasi. Jumlah instruktur kurang. Sementara dauroh digenjot atas nama rekrutmen 100.000 kader.

Selepas dauroh, ada perkara MK, sebagai alat pencerdasan utama kita. Tapi alat pencerdasan ini rusak, maka kita masih hobi nitip kader ke sistem pengaderan di luar KAMMI. Kualitas pemandu masih minim.

Mereka perlu kehadiran orang-orang pusat dan wilayah untuk sekadar transfer ilmu. Transfer cara-cara teknis mengkader.

Kalau alatnya sudah diperbaiki, transformasi gerakan KAMMI tak perlu diarahkan jadi organisasi pencetak startup baru. Semua lini harus kita garap.


Jangan kagum pada fenomena zaman. Di hadapan kita, betul startup juga bagian dari problematika umat. Tapi politik, sosial, ekonomi, budaya, juga masalah umat.


Itu!

Senin, 05 Agustus 2019

Islam dan Soal-soal Razia Buku



Sebuah buku tak akan berbunyi apa-apa, kalau tak ada yang membacanya, mendiskusikannya, lalu menghasilkan sebuah ide baru dari buku itu.

Dan sebuah ide yang bagus, yang membangun, yang sehat, tak mesti lahir dari buku yang bagus, atau lolos razia.

Di perpustakaan saya, bertengger Das Kapital. Terbitan Moskow, 1959. Ya, buku ini adalah Risalah Pergerakan Ikhwanul Komunis di seluruh dunia. Tetapi, ada dua stempel dalam buku yang ada di rumah saya ini.


Stempel pertama, yang lebih tua, tertanda Brigjend. H. M. Bachrun. Tintanya berwarna hijau pucat. Nama ini, orang hanya mengetahui sebagai nama jalan di banyak tempat. Tapi siapa yang tahu kalau dia adalah Ketua Gerakan Ahmadiyah Indonesia di era Orde Baru?


Mungkin buku ini didapatnya semasa menjadi asisten pribadi Presiden Soekarno. Atau juga dalam lawatannya ke berbagai tempat, sebagai cara untuk memahami gerakan komunisme. Dan buku ini tidak musnah.

Tapi, bukan itu saja. Tampaknya buku ini berpindah tangan lagi. Di bagian bawah halaman pertama buku Das Kapital itu, ada sebuah stempel lain berwarna ungu yang menunjukkan dari zaman lebih baru.

Stempel itu, bertulis Perpustakaan Asrama Pelajar Islam: Prawoto Mangkusasmito. Kalau kita masih ingat, Prawoto, adalah ketua terakhir dari Masyumi. Sebuah partai yang hadir sebagai lawan paling keras dari PKI.

Ya; saya sendiri mulanya terperangah. Di masa Prawoto, perjuangan Masyumi di parlemen maupun di jalan-jalan mencapai puncaknya. Tapi, ia tetap ingin perlawanan itu berdasar.

Ia tidak melarang anak-anak didiknya di asrama pelajar yang ia bina itu, untuk membaca buku ini. Bahkan meletakkannya di perpustakaan. Saya tidak tahu, adakah Brigjend Bachrun  menghadiahkannya pada Prawoto ataupun ia mendapatkannya dari toko buku bekas.

Tapi, sebuah buku, betapapun itu, tetaplah layak dibaca. Selain buku ini, saya menemukan pula di tepi toko-toko buku loak, sebuah naskah legendaris: "Masyahid Al-Qiyamah fil Qur'an". Atau, " Hari Akhir Menurut Qur'an". Buku ini adalah karya orang yang sama yang menulis buku-buku keras, semacam 'Petunjuk Jalan'.


Sayyid Quthb. Ketua Harian Ikhwanul Muslimin di masa krisis 1960-an, yang dianggap 'berjasa' memberikan ruang dialektika lahirnya gerakan-gerakan jihad islam di abad modern dengan buku-bukunya.

Dan, penerjemah penyunting buku ini, yang terbit tahun 1986 di Indonesia, adalah Masdar F Mas'udi.

Ya. Tokoh besar Jamaah Islam Liberal, yang hari ini menjadi salah satu petinggi dari PBNU. Dia adalah tokoh yang dianggap membuat wajah islam Indonesia semakin bebas dan liberal. Jauh dari pemikiran Sayyid Quthb.

Dua kasus di atas membuat saya terpaksa menyimpulkan begini: sebuah buku belum tentu bisa mengendalikan pikiran pembacanya. Seorang pembaca, belum tentu juga bisa mengetahui maksud asli bukunya.

Bulan-bulan belakangan, saya banyak ditanya: bahwa sejumlah besar buku tengah dilarang. Kiri dan kanan. Oleh BNPT dan densus, buku-buku bercorak islam kerap disita sebagai barang bukti penangkapan terorisme.

Sementara oleh pasukan yang loreng-loreng itu, buku-buku dengan kata kunci komunis, meskipun itu anti komunis, akan diambil dan dibakar.

Bahkan terakhir saya dengar, buku belajar bahasa Arab yang populer itu, Durusul Lughoh, disita.

Ah. Ada banyak orang tak pernah baca buku, lalu menghadapi buku sebagai barang menakutkan. Islam tak pernah mengajarkan kita untuk menyita buku-buku.

Justru kelindan pemikiran islam berkembang dengan saling berbalas buku: belum lekas dari ingatan, betapa Imam Ghazali mengkritik para Filsuf dengan Tahafut Al-Falasifah.


Lalu, ternyata buku itu tak luput dari kritik dengan munculnya sanggahan dari Ibnu Rusyd: Tahafut min Tahafut Al-Falasifah. Begitu juga yang terjadi sepanjang zaman.

Sebab begitulah cara kita dididik untuk berpikir dan saling menyanggah. Razia buku adalah tindakan orang yang tak pernah membaca buku tapi mengetahui betapa berbahayanya orang yang bergerak karena buku. Persis, sebagaimana dulu Belanda merazia majalah Al-Manar dari Muhammad Rasyid Ridha yang masuk ke Indonesia, dan dengan itu, KH. Ahmad Dahlan terpaksa menyobek-nyobeknya hingga tampak seperti pembungkus pakaian, agar lolos dari razia di pelabuhan.

Belanda tak ingin bangsa kita tahu sedang ada apa di dunia ini. Belanda tak ingin negeri kita punya alasan melawan. Memang, selain majalah Al-Manar itu, dirazia pula buku-buku komunisme.


Saya tak tahu, pihak yang merampas buku itu ingin melarang kita dari berbuat apa atau berpikir seperti apa. Tetapi islam tak mengajarkan kita menjadi manusia nirbaca.

Sebagai muslim, kita dituntut memahami perbandingan segala ideologi yang kita temui dalam perjalanan hidup, dan mampu menjelaskannya dengan baik, lalu membandingkannya dengan islam.

Agar, islam semakin kuat dan semakin punya alasan untuk diyakini penganutnya. Agar ada kedewasaan berpikir dan titik tengah dalam perjuangan bersama orang lain, yang juga kebetulan punya musuh yang sama, tapi ideologi berbeda.

Mari sebagai muslim, kita melindungi pikiran kita dari ancaman razia buku. Mari lindungi buku-buku dari tangan orang yang keras hatinya dan tak pernah membaca buku, dan mudah menghancurkan buku-buku itu.


Marilah melindungi para pembaca buku dari kebekuan ide serta kegagalan pikir dengan menyediakan ruang-ruang diskusi: di taman, di sekolah, di restoran, di sungai, di kantor polisi, di istana Presiden, di Masjid, atau di mana saja.


Sebab islam dibangun atas dasar pemahaman. Agar hal-hal baik dalam buku-buku tetap dapat ruang, tetap punya hak untuk dikembangkan, sementara hal-hal buruk dari sebuah buku dapat didiskusikan dengan aman. Sebagaimana, saat Hasan Al-Banna, di musim semi 1935, menulis saat ditanya mengenai sikapnya terhadap berbagai isme:

"Tidak ada sisi yang baik dalam sebuah isme apapun itu, melainkan ia juga ada pada dakwah kami, dan kamipun menyeru kepadanya..."

Rabu, 31 Juli 2019

Saat Para Profesional Gabung KAMMI

Di musim-musim perang itu, Hasan Al-Banna dengan dua matanya yang teduh, terus memandang negerinya. Mesir. Yang tak pernah sederhana.

1930-an itu, telah puluhan ribu orang bergabung bersamanya untuk menegakkan apa yang disebutnya sebagai kebangkitan umat.

Ia merenungkan kembali Khilafah, yang telah bertahun lamanya runtuh. Ia juga memandang, bahwa sekarang, negara demokrasi adalah apa yang dimiliki umat islam.

Risalah Manhaj ditulisnya dengan tajam. Ia mulai memahami, apa saja elemen-elemen kebangkitan itu. Ia harus membangkitkan keterampilan-keterampilan penting dari orang per orang, agar setiap sudut kehidupan memiliki pakarnya sendiri.

Kelak, kita akan mengenal ini, sebagai masa-masa Mihwar Mihani. Saat para pakar dan profesional bergabung kedalam gerakan Ikhwanul Muslimin.

Hasan Al-Banna sendiri adalah seorang pendidik. Ia seorang guru pegawai negeri. Di tahun 30-an itu, cabang-cabang kerja dari Ikhwan didirikan:


Aneka himpunan dagang, guru, buruh, petani, nelayan, mahasiswa, dan para insinyur diberinya ruang dialektika dalam kerangka "Ta'lim" yang sama: Arkanul Bai'ah dan  Ushul Isyrin, serta 10 Muwashafat yang mengikat mereka.

Untuk mengikat ideologi para profesional itu, Hasan Al-Banna membuat sebuah metode ideologisasi: Katibah namanya. Pertemuan malam dengan 40 orang hadirin, yang mendengarkan uraian dari da'i yang dipilih untuk mengisinya.

Dan di salah satu katibah itu, Hasan Al-Banna menggagas keinginan untuk mengajak segenap profesional yang punya kekhawatiran yang sama: kemerosotan umat.

Lembaga-lembaga pendidikan, pabrik, restoran, bahkan pusat perbelanjaan milik kader Ikhwan merajai Mesir. Seiring besarnya pengaruh politik Ikhwan dan juga jumlah pengikut, Pemerintah Mesir saat itu menganggap Hasan Al-Banna dan gerakannya sebagai "bahaya".


Berbagai muslihat diadakan. Tapi Hasan Al-Banna tak gentar. Sampai akhirnya, pemerintah sadar: para profesional itu telah mengakar, bahkan menguasai sebagian perekonomian, budaya, dan bahkan pemerintahan Mesir sendiri.


Ikhwanul Muslimin pun, di detik-detik akhir hidup Hasan Al-Banna, dibubarkan. Beliau sendiri ditembak mati. Dengan tangan-tangan gelap yang entah dari mana.

Tapi, jaringan profesional itu, tidaklah bisa dibunuh. Mereka terus menghidupi napas umat, dengan mengisi ceruk-ceruk kehidupan itu.

Kepemimpinan Ikhwan terus berlanjut, 70 tahun setelah Hasan Al-Banna tiada. Orang boleh bilang, inilah keberhasilan sesungguhnya dari Ikhwanul Muslimin.


" memberikan para profesional itu, alasan untuk membela agama Allah." dan, "memberikan penjelasan kepada umat, betapa kekuasaan sangatlah berbeda dengan jabatan".
*

70 tahun setelah Ikhwanul Muslimin diserukan Hasan Al-Banna di Isma'iliyyah, KAMMI dideklarasikan. Hadirnya disambut oleh ratusan Majelis Syuro LDK yang saat itu bergerak di bawah tanah, menajamkan keimanan untuk berhadapan dengan urusan-urusan politik islam.

KAMMI segera menarik hati siapa saja yang kebetulan ada di masjid. Sosok sederhana, berjanggut tipis, celana bahan, dan wajah yang serius tetapi memancarkan senyum, tapi begitu berapi-api saat berorasi: orang-orang semacam ini memenuhi masjid kampus saat itu. Membawa bendera dan seruan aksi.

Tak ketinggalan, semua presiden berkuasa selalu mendapatkan limpahan pengeras suara untuk mundur dari KAMMI. Jalan-jalan protokol Ibukota di ring 1 istana, adalah medan jihad yang biasa dilangkahi.

Tapi, telah lewat 20 tahun dari hari itu. Kini umat butuh jawaban baru. Presiden Joko Widodo membuka era e-commerce. Sementara, kampus dan sekolah kini tinggal fatamorgana di kota-kota besar.

Orang cuma punya dua pilihan: jadi ahli akademik sekalian, atau jadi pedagang dengan rupa-rupa bentuknya. Umat butuh jawaban KAMMI. Apa jawaban KAMMI?

Saat nanti Daulah telah tegak, adakah orang-orang yang mewarisi ideologi itu, di setiap lini kehidupan umat? Bilamana jutaan orang mengikuti DM 1, lalu akan jadi apa mereka itu?

Apa jawaban KAMMI pada para profesional yang kini memilih berbisnis, atau membangun dunianya sendiri, gerakannya sendiri, dan bahkan perusahaannya sendiri di usia belasan tahun?

Katibah harus tetap berjalan. Artinya, KAMMI harus punya tempat membersihkan kotoran-kotoran sekular umat di dalam sarana pengaderannya. Lalu, setelah kotoran itu lenyap, para profesional itu haruslah punya saluran di KAMMI.

Di titik inilah, KAMMI musti menyempurnakan dirinya. Ia harus punya saluran itu. Mekanisme pengaderan biarlah berjalan di relnya. Tapi, sebagaimana jawaban Hasan Al-Banna, di tahun 30-an itu, para profesional musti punya tempat mengembangkan dirinya.


Lokus-lokus karya itu, harus diisi mereka yang sangat pakar. Lokus jurnalisme dan sastra, dulu diisi sastrawan besar semacam Sayyid Quthb, yang juga jadi Pemred Buletin Al-Ikhwanul Muslimun.

Lokus-lokus kajian fikih secara kultural,  diwakili oleh Sayyid Sabiq dan juga Syaikh Yusuf Qardhawi. Lokus hukum, tentu saja, kita punya Umar Tilmisani sang pengacara ulung.

Masih ada belasan lokus lain, baik yang tertubuhkan maupun tidak. Ushul Isyrin, dan Muwashafat sangatlah membebaskan kita menciptakan apapun di dalam tubuh Jamaah, dan apalagi, di tengah-tengah umat ini.

Itulah jawaban kita!

*
Tapi, memasuki masa Mihwar Mihani ini, orang perlu batasnya. Kini orang mulai bertanya-tanya:

Profesional bertebaran di KAMMI. Ada artis pilem. Ada seniman. Ada filantrop. Ada pengusaha besar. Ada newcomer startup. Dan lain-lain. Tapi hadirnya mereka dalam jumlah besar juga diiringi pertanyaan yang sering masuk kedalam pesan chat saya:


Apa yang ditawarkan KAMMI? Mengapa saya harus mengajak orang gabung KAMMI?


Ikhwan menjawabnya dengan risalah-risalah bernas. "Kepada Apa Kami Menyeru Manusia".  "Risalah Manhaj", " Risalah Ta'lim", "Menuju Cahaya", dan lain-lain.

Isinya: memberikan alasan orang, mengapa mereka masih harus menjadi islam. Mengapa saya harus salat? Bukankah mendingan berdagang atau ikut rebutan jabatan di negara demokrasi?

Sarana pengaderan, seiring masuknya para profesional itu kedalam tubuh jama'ah, harus dikuatkan. Hasan Al-Banna merumuskan Katibah dengan kuat.

Setelah tubuh jamaah diancam pemerintahan, Hasan Al-Banna bahkan terus berpikir dan menciptakan Usroh, atau Halaqah yang kita kenal sekarang.

Lalu, mau apa di sana? Tak lain tak bukan, ikatan ukhuwwah. Sebab, titik utama dari Nizhamul Usar, hanyalah ukhuwwah.

Atas dasar, persamaan ideologi. Ayo! Jangan ragu-ragu. Tanyakan lagi, apa alasan kita harus mengajak orang gabung KAMMI.

Sebab orang menunggu jawaban KAMMI itu!

Jumat, 01 Februari 2019

Prediksi: 5 Tahun Lagi KAMMI Akan Mati




Amar Ar-Risalah

Sebuah gerakan, ada karena ada reaksi dari kebatilan yang mendahuluinya. Ia lahir akibat peristiwa kezaliman dan ketidaksesuaian antara konsep yang "benar" dengan "yang terjadi" di dunia nyata.

Setelah Adam turun dari surga, Allah berkata: "sebagian dari kalian akan menjadi musuh bagi sebagian yang lain."


Dan, seolah-olah ayat inilah yang menjawab pertanyaan malaikat. Bahwa akibat adanya kezaliman dan permusuhan itu, bangkit sekelompok manusia melawan kezaliman itu.


Ranahnya, jelas ideologi. Ide untuk menganalisis, mana kezaliman dan permusuhan, mana perbaikan dan kebaikan, sesuai fungsi asli Khalifah di Bumi.


"Siapa yang mengikuti petunjuk-Ku," kata Allah, "tidak ada ketakutan pada mereka, dan tidak juga mereka ditimpa kesedihan."


*

Berangkat dari ayat 30-an Al-Baqarah itu, di masa sebelum kenabian sedang ada tren cara baru berdagang. Tren ini bahkan diabadikan dalam Qur'an:


"Perdagangan Quraisy, perjalanan mereka saat musim panas dan musim dingin."


Cara dagang ini melampaui tren sebab betul-betul menjadi penyangga ekonomi Makkah, bahkan segenap Arab!


Konflik berkepanjangan antara Romawi dan Persia membuat perdagangan keduanya terputus. Quraisy hadir sebagai pihak ketiga penyambung jalur dagang yang rusak itu.


Bagaikan salib raksasa, empat titik utama jalur dagang berpusat di Makkah: Yaman di selatan, Persia di timur, Afrika di Barat, dan Romawi di Utara.


Tapi ada satu hal yang kurang: kezaliman tetap ada. Perdagangan itu tak serta merta mengangkat harkat hidup segenap manusia. Hanya sebagian manusia!


Sebab kasta-kasta dan perbudakan muncul. Harta hanya mengalir pada sebagian orang. Parahnya lagi, muncul kongsi dagang berbasis kesukuan: Hilful Ahlaf.


Hilful Ahlaf ini mencari keuntungan dengan bertindak curang. Selain itu, lebih dari kongsi dagang, mereka juga berkongsi politik ubtuk menjatuhkan suku lain.

Akhirnya, genaplah kejahiliyahan itu. Dari kekayaan besar itu, mereka meniadakan peran Tuhan. Ideologi tak penting.


Para pemimpin Makkah menetapkan kebijakan keagamaan berdasarkan profit dan potensi bisnisnya.


Segenap kabilah meletakkan berhala di Ka'bah, hingga ada 360 berhala, agar setiap kabilah menganggap kesucian Ka'bah sebagai mana Tuhan mereka, dan memuliakan Quraisy:

Sebagai penjaga Ka'bah. Sebab itulah mereka aman berdagang, bebas dari rampok di gurun pasir. Sebabnya memang tuhan para rampok itu mereka yang jaga. Itulah kapitalisme, itulah peradaban tanpa ideologi!

Sebut saja tren dagang itu sebagai "Revolusi Ekonomi 1.0" dan banyak orang meninggalkan "etika dagang" dan "ideologi" dari agama Ibrahim.



"Sebagian, menjadi musuh bagi sebagian yang lain."

*

Di titik puncak kejahiliyahan itu, Nabi Muhammad muncul membawa risalah. Ia datang dengan sebuah ideologi.


"Iqra," kata surat Al-Alaq. "Berpikirlah! Yang kritis, yang banyak yang dalam, bacalah buku-buku. Carilah alasan peradaban kalian!" begitu tafsirnya.


Slogannya, "La ilaha illallah". Tiada Tuhan, selain Allah. Ini bicara ideologi.

Sebab dagang sekadar dagang, orang kafir juga dagang. Tapi apa beda muslim dengan kafir? Ideologinya.


Hatinya jadi peka pada penindasan akibat tren bisnis itu. Ia jadi punya etika dagang. Ia jadi punya landasan berpikir yang tak hanya cari keuntungan.


Saat itu, di Makkah memang lagi musim startup. Anak-anak muda dagang tanpa barang, mereka hanya tinggal ikuti jalur dagang dunia yang ada dan ambil barang dari sebuah kota.


"Siapa Tuhanmu itu tidak penting," kata sebagian mereka. "Bisa nggak ganti Tuhan itu dimonetisasi, diubah jadi peluang bisnis?"


"Kalau enggak, ya ngapain ngikutin ente!" kata mereka. "Ente nggaj punya tentara yang kuat. Nggak punya juga harta yang banyak. Ini jaman bisnis bos!"


Rupanya, kepada mereka, turun surat yang panjang,  surat Hud ayat 12: "maka boleh jadi engkau hebdak meninggalkan sebagian apa yang diwahyukan padamu, dan dadamu menjadi sempit karena mereka mengatakan: mengapa tidak diturunkan kepadanya harta kekayaan atau datang bersamanya para malaikat?"


Ayat ini disambung sampai ayat 24: "seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan mendengar. Samakah kedua golongan itu?"


Sebab, ideologi dan seruan Nabi, berfungsi sebagai pengarah, agar para pedagang, para pemilik startup, para pemangku kebijakan dagang, dan para konsumen tidak buta dan tuli:

Sehingga muncul kezaliman. "Sebagian, menjadi musuh bagi sebagian yang lain!"


*

Kisah panjang ini berakhir dengan jatuhnya hegemoni dagang Makkah, dan bergeser ke Madinah tak sampai 20 tahun kemudian.

Para ideolog menang atas para pemilik startup tanpa ideologi. Lalu bagaimana dengan KAMMI?


Saya sering sudah jumpai dalam episode "khuruj" untuk dauroh ke berbagai kota, orang yang bilang "ideologi itu sudah tidak penting."


Mereka biasanya melengkapi diri mereka dengan pelatihan bisnis, startup, dan lain sebagainya. Lalu kembali kepada kita dengan petantang petenteng:


Ayo bisnis! Buka pandangan kalian! Jangan lagi ngurusi ideologi! Dakwah enggak pakai duit enggak bakal jalan!


Mereka tambah dengan dalil, "Cina sedang bangkit. Arus ekspor impor berpihak pada negeri kita." juga, "Industri berbasis teknologi, 4,0, tengah tren. Ayo monetisasi dakwah digital!"


Padahal tren itu sementara. Dakwah Nabi, sang Ideolog berhasil menggeser jalur dagang dan mengubah tren menuju Madinah. Bahkan Romawi diancam, dan pintu-pintu negeri itu dijepit dengan kekuatan militer.

Para pedagang Makkah gigit jari! Sebab tren itu sementara. Selamanya orang yang ikut tren akan terombang ambing, dan hanya bisa menunggu.


Sedangkan para ideolog, menciptakan tren melalui pencerdasan di tengah masyarakat. Industri 4,0 dan One Belt One Road, semuanya dibentuk dari penindasan pada negara berkembang.


Dampak kezaliman itu telah ada. Perdagangan sawit hancur pada tahun 2018. Menyusul, bisnis properti yang anjlok. Mengapa? Kuasa negara besar mengatur-atur negara ambyar dunia ketiga seperti Indonesia.


Kalau kader KAMMI cuma cari celah di ketiak jalur-jalur dagang itu tanpa tindakan ideologis, mereka hanya akan ulangi fase yang terjadi di Amerika di masa akhir Barrack Obama:

40 juta orang miskin mendadak karena pasang surut ekonomi.

Perang Dagang telah kelihatan arahnya. Uni Eropa tak mau diam dengan buat rupa-rupa regulasi. Trump bukan presiden biasa. Dia raja pedagang.

Dan Indonesia cuma sedang berjuang pura-pura jadi pedagang besar. Dan kita ikut-ikutan.

Sudah begitu, rupanya yang dimaksud era startup di Indonesia itu cuma jualan skala kecil dan ngikut pengusaha atau tokoh politik besar untuk minta duitnya.


KAMMI akan jatuh. Kegiatan ideologis sudab pudar. Sekarang kita didikte tren, bagai orang buta dan tuli ikut arahan orang lain.

Manhaj Pengaderan KAMMI alkisah hanya dipakai untuk gagah-gagahan. Sisanya, dauroh harus ikut tren, acara KAMMI harus ikut tren.

Anak-anak yang dambakan cari ideologi di KAMMI pun pergi ke kajian sunnah, minggir ke PKS sekalian, atau jadi anggota FPI.

Tren dagang akan berubah 5 tahun kedepan. Kalau yang menang Jokowi, ia dijepit  utang Cina. Kalau yang menang Prabowo, kongsi liberal sudah mengintai.

Di tengah gelora rekrutmen 100.000 kader, para perekrutnya malah keluar dan habis. KAMMI cuma bantalan buat bisnis dan kenalan tokoh berduit.

Ideologi ada untuk mencerdaskan orang. Dua orang sama-sama dagang, satynya progresif karena punya tujuan jangka panjang. Satunya akan punah karena ikut tren bisnis temporal.

"Ideologi itu enggak penting!"

Selasa, 01 Januari 2019

Catatan Awal Tahun Negeri Buku: Soal Karya dan Kepengarangan




Tahun 2018, cukup bising untuk ukuran tahun literasi. Warga Negeri Buku mengamati apa yang terjadi di Negeri Tetangga, ternyata belum begitu baik bagi perkembangan sastra kedepan.


Bulan Februari. Yang basah. Orang dikejutkan dengan pengumuman lahirnya angkatan puisi esai. Bagi beberapa orang, katanya, "syaratnya sudah terpenuhi", dan lagi, " dunia puisi sudah berubah."

Cara pemunculannya, seperti yang disoroti para sastrawan, tidak dengan cara yang baik. Denny JA memberikan hadiah besar bagi sayembara, dan membayar sejumlah kritikus sastra untuk memoles-moles "indahnya" puisi Esai, dan agar jumlah penulisnya mencapai "angka cukup masif" untuk dikatakan sebagai sebuah angkatan.

Publik, di generasi selanjutnya, akan mengambil kesimpulan instan: terkenallah, lalu menulislah. Kau akan disebut penyair dan sastrawan.

Di luar itu. Kami juga mendapati pada awal tahun lalu, gelombang penulis-penulis wattpad. Mereka yang, agaknya, mewarisi genre paling baru di dunia kepenulisan kita: Fiksi Metropop. Cara menulisnya sama. Isi ceritanya sama. Yang berbeda, cara publik membacanya dan cara penulis memilih medianya.

Menyambung di tahun 2016 dan 2017, yang mana, kita juga melihat betapa banyak buku-buku baru yang muncul dari dokumentasi status dan unggahan instagram seseorang, agaknya, di tahun 2018 hal ini semakin kental dan semakin terjadi.

Apa pasalnya? Dua hal ini punya sebuah persamaan. Keduanya, tidak menawarkan cara pandang baru kepada makna kemanusiaan, kebudayaan, atau juga kehidupan.

Sebab, kedua peristiwa itu muaranya pada satu hal: festivalisasi karya. Orang cuma dididik agar membeli karya yang terkenal, besar, dan populer. Soal isi, bisa diurus belakangan.

Puisi Esai misalnya, memang dibuat secara masif. Tapi, justru itulah masalahnya. Orang ternyata masih mudah termakan iklan.

Bahwa sesuatu yang populer, masif, dilakukan banyak orang, dan dipujapuji orang, dianggap sebagai sesuatu yang baik tanpa melihat esensinya.

Angkatan sastra, sebelumnya selalu lahir dengan nilai perjuangan yang sama. Angkatan 45 misalnya, jelas menawarkan cara pandang kepada kemerdekaan bangsa Indonesia. Sedangkan sekarang, orang cukup jadi terkenal, dan pura-pura memperjuangkan sesuatu yang tidak perlu berat-berat dan mendasar.

Sebab, mereka percaya pada postulat generasi: generasi  Y dan Z toh tak suka bicara urusan filsafat, agama, atau hal-hal mendasar soal kebudayaan. Terkenal saja melalui media sosial, sudah cukup.

Dongkrak saja statistik dan survei, dan buat sebuah festival. Generasi Y dan Z, seolah digambarkan sebagai generasi beringas, robot, dan bisa ditafsirkan bagai menafsir deret angka-angka yang bukan menunjukkan manusia.

Menjamurnya buku-buku dari wattpad yang menawarkan atraksi narasi--bahkan beberapa di antaranya secara ekstrim--tidak diiringi dengan pencarian jati diri kemanusiaan para penulisnya.


Karya-karya itu, sepenuhnya seperti karya terjemahan--meskipun tidak semua. Nama-nama tokohnya, sangat tidak Asia. Sangat tidak Indonesia.

Pola penyelesaian konflik dalam cerita selalu menjiplak pola-pola penyelesaian konflik instan a la kota besar. Di mana, perempuan selalu jadi korban, atau secara ekstrim, laki-laki dipaksakan menyelesaikan konflik secara perempuan.

Dalam karya-karya itu, Tuhan cuma dianggap jalan pintas. Adegan berdoa, atau tindak tanduk tokohnya, tidak terlalu intens. Nama Tuhan baru disebut bilamana cerita itu bersentuhan dengan alam gaib. Atau kadang, demi memuaskan atraksi narasi, alam gaib dikonstruk ulang, untuk menyiasati keringnya makna sebuah karya.

Nama-nama tokoh dan ciri kebiasaan sehari-hari para tokoh dalam karya-karya yang muncul di karya-karya yang jamak ada, ternyata menunjukkan bangsa kita yang masih menganggap dunia Barat, Jepang, atau Korea: yang sebut saja negara asing, lebih baik dan lebih luar biasa dari negara kita.


Kalau di tahun-tahun sebelumnya nama-nama timur tengah atau latar Mesir serta Hijaz dianggap baik, kini bergeser. Barangkali penulisnya ingin mengatakan bahwa kota-kota kita tak cukup mengandung kehidupan untuk ditulis dalam sebuah karya.



Artinya, untuk menjadi bagus, indah, terkenal, dan hebat, orang--para penulis--ternyata tak bisa memilih jati diri bangsanya sendiri, tapi musti meminjam jatidiri bangsa lain.

Inilah yang disebut orang sebagai fenomena pos kolonial. Saat sebuah bangsa belum bisa melupakan keterjajahan, dan menganggap bangsa lain lebih superior. Ajaibnya, para pembaca kita pun menikmatinya!

Barangkali, catatan bagian satu ini mesti ditutup dengan obituari. Pengarang Danarto pada bulan April dan NH Dini pada bulan Desember, meninggalkan kita. Keduanya secara simbolik mengubah bentuk karya orang pada zamannya.

Berkunjunglah ke Negeri Buku. Kami berharap, menjamurnya taman baca dan perpustakaan pribadi, akan membuat selera baca orang naik. Pada gilirannya, kita akan kembali menemukan kemanusiaan di dalamnya.


Amar Ar-Risalah
Warga Negeri Buku