Selasa, 19 Februari 2013

Hutan Kupu-Ku



Ranying Ratalla Langit, Sang Maha Tunggal, menata hutan demikian indahnya. Dedaunan tersusun seperti sayap burung-burung rangkong yang beterbangan mencari pasangannya. Ranting-ranting terjulur lembut, dan sinar gading matahari menembus sela-selanya. Beragam anggrek tumbuh dan kerap kali menyapa burung-burung yang berkunjung.
Pepohonan di hutan ini telah amat tinggi, mereka sudah tua. Memahami seluk-beluk manusia dan lingkungannya. Mereka menyaksikan manusia mati, lahir, mati, kemudian lahir lagi. Peperangan antar suku terjadi silih berganti, dan banyak yang mati. Darahnya menyuburkan lantai hutan, lalu embun pagi mengurainya menjadi hara.
Segala pohon yang telah diciptakan Ranying Ratalla Langit, diberi anugerah dan kutukan secara bersamaan. Mereka memiliki jiwa; namun disaat yang sama jiwa mereka membatu dan terendap menjadi lapisan-lapisan tahunan kayu. Itulah sebabnya, dimasa kita sekarang, jika kita menajamkan pendengaran akan terdengar melalui angin pohon-pohon bernyanyi. Menari. Menyenandungkan lagu-lagu kesegaran dan wangi rimba raya. Wangi surga.
Kupu-kupu adalah lambang jiwa. Jiwa pohon, jiwa bumi, jiwa manusia. jiwa yang belajar dari masa lalunya dan melalui saat-saat perenungan menuju kedewasaan. Kupu-kupu bisa terbang kesana-kemari karena terbebas dari pengaruh hawa nafsu, baik makanan, minuman, suami-istri, maupun kelelahan.
Ia hanya akan mati jika tugasnya selesai: membuat keturunan atau mati diterkam masa.
Bagi suku-suku yang ada sekarang, kupu-kupu adalah lambang jiwa suci yang terbebas dari segalanya, dan jika salah seorang diantara mereka mati, entah karena perang, penyakit, atau celaka, mereka akan berubah menjadi kupu-kupu. Semakin baik hidupnya, semakin putih warna sayapnya dan memendarkan cahaya yang menuntun kita yang masih hidup, jika tersesat dalam hutan maha indah itu.
Segala macam pohonan dan kupu-kupu, lalu dihimpun oleh leluhur pertama manusia, Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut. Ia menciptakan taman yang luar biasa indah di tengah hutan, sebagai rasa syukurnya pada Ranying Hattala Langit, yang oleh beberapa klan dayak juga dipuja dengan nama Mahatara, karena telah mempertemukannya dengan perempuan, istrinya. Cinta yang diabadikan menjadi hutan yang hidup dan bernafas, bukan benda-benda mati. Taman itu kini ada di Meratus, Hutan Kupu-kupu.
Setiap hari, ia menyapa kupu-kupu, yang nantinya menjadi jiwa bagi anak-anaknya dalam kehidupan selanjutnya. Ia mengumpulkan segala jenis kupu-kupu yang menjadi perlambang jiwa.
Hingga pada suatu hari, keturunan Manyamei telah memenuhi hutan. Ia melakukan tapa moksa. Menghilang dalam perenungannya di tengah taman. Ia mencapai tingkatan bersama Mahatara.
Kini, keturunannya menetap di berbagai sudut hutan itu. Anak-anak ini tak ada lagi yang mengetahui keberadaan Hutan Taman yang dibangun oleh leluhur mereka.
Raja Sangen menjadi kepala sukubesar itu, dan ratusan orang berlindung kepadanya. Demikian kehidupan berjalan seperti biasa, setiap hari. Sepanjang siang. Anaknya, seorang putri yang cantik jelita, menjadi buah bibir segala isi desa. Tua muda. Kecantikannya dijaga betul-betul oleh Raja Sangen, sang putri dipingit begitu tersembunyi, hingga kecantikannya seperti anggrek hutan yang tersembunyi di puncak-puncak pohonan. Agung, putihnya memancarkan cahaya gading.
Sampai satu ketika, Suku Sungai, yang menjadi tetangga suku Batu, mulai memicu perkelahian dengan menghina dan mengganggu di perbatasan ladang antara Suku Sungai dan Suku Batu. Awal mulanya, perseteruan biasa.
Lama-kelamaan, orang-orang dayak ini lupa Adat Kaharingan mereka. Mereka saling membunuh dalam pertempuran besar, dua orang ksatria Batu terbunuh. Akhirnya semua menghentikan pertempuran setelah terdengar kabar Kepala Suku mereka, yang tidak mengikuti pertempuran, wafat terkena tulah yang disisipkan orang-orang Batu kedalam minumannya.
Untuk beberapa lama, keadaan hutan tempat mereka dibesarkan amatlah mencekam, bau darah bersahutan dengan teriakan jiwa pohon-pohon. Kupu-kupu beterbangan, seperti menaburkan melati perpisahan bagi pahlawan-pahlawan perang yang gugur dalam pertempuran ini, tetapi sebenarnya, kupu-kupu itu adalah jiwa mereka sendiri yang meratapi raganya, hancur sia-sia dalam pertempuran.
Dayak Sungai dan Dayak Batu sebetulnya memiliki watak asli yang sangat pemurah dan lembut. Hanya saja, ketika mereka lupa bahwa mereka berasal dari keturunan yang sama, mereka menjadi tak saling kenal dan lupa.
Raja Sangen, akhirnya mengadakan upacara besar untuk mengumpulkan para tetua-tetua, Dato, dan ksatria yang tersisa untuk membicarakan pemindahan kampung. Mereka memilih mengalah, demi terjaganya hutan dari bau darah, dan agar kupu-kupu bisa beterbangan dengan bebas.
Ada seorang ksatria, Mahin namanya. Ia berwajah tampan. Berdada bidang, dan tubuhnya tegap berisi. Kecerdasannya melebihi yang lain. Itu sebabnya Raja Sangen mempercayainya untuk mencari tanah yang baru, untuk ditempati. Di pipinya, ada goresan tato bergambar kupu-kupu, sebagai lambang ksatria utama. Namun, karena ia biasa mengenakan topeng, maka jarang yang mengetahui tato jenis apa yang ia punya, kupu-kupu Dato kah? Kupu-kupu ksatria kah? Atau kupu-kupu tanah-lambang anggota bawahan suku Batu?
Sang Putri, yang sempat mengamat-amati tato ini, berkesimpulan bahwa tatonya cukup aneh, gabungan antara Dato dan Ksatria. Tetapi, dia tampan juga.
Memang, di kalangan Suku Batu dan juga suku-suku lainnya, tato dianggap mewakili kekastaan tertentu, dan tato ini mutlak bergambar kupu-kupu sebagai simbol jiwa manusia.
Putri Raja Sangen juga ikut menemui para Tetua sebagai keluarga Kepala Suku. Mahin, yang masih berusia muda, merasakan sinar gading sang putri meresap jauh kedalam hatinya. Suaranya, entah kenapa tiba-tiba menjadi suara serunai terindah dalam hutan. Ah, ia mengingatkan Mahin pada Hutan Perenungan tempat para Dato bertapa, melepaskan segala nafsu. Menyayangi Ratalla Langit lebih dalam pada pertapaannya.
Mahin jatuh cinta. Ya, kupu-kupu nampak lebih indah dari seharusnya.
Disaat yang sama, Suku Sungai mengirimkan duta. Mereka ternyata ingin berdamai dan hidup seperti sedia kala, tak harus berperang dan melupakan sanak saudara. Mereka datang bertepatan dengan upacara berlangsung, dan diterima oleh seluruh pemimpin suku Batu.
Setelah beragam Kaba dibacakan, pantun dan lain-lain juga selesai sebagai tanda ramah tamah, mulailah Suku Sungai menceritakan niatnya.
Perdamaian mereka, ternyata menuntut syarat persembahan.
Sang putri, yang kecantikannya menjadi cahaya gading hutan mereka.
Raja Sangen terang saja menolak, Putri adalah juga lambang kehormatan suku. Jika Sungai menuntut persembahan, itu sama saja dengan merendahkan martabat Batu!
Ya, manusia. dengan segala nafsunya, melupakan hasil petapaan mereka dalam kepompong, dan kembali menjadi ulat yang memakan segalanya. Kehilangan sayap kupu-kupu.
Duta Sungai kembali dengan emosi yang tertahan, dan segera menyarankan agar sukunya mengadakan persiapan perang, karena melihat, apa yang dilakukan Sangen dan Batu adalah sebuah pelecehan juga.
Perang, akan segera dimulai diantara para kupu-kupu. Kupu-kupu amarah manusia.
Suatu malam, Sangen dan keluarga besar Suku Batu mengadakan perkemahan besar sebagai tanda mereka bersiap pindah pada esok harinya. Mahin telah berhasil menemukan dataran indah yang ditumbuhi makanan dan landai untuk ditempati, namun ia hanya mengirim utusan semata.
Ada yang tertahan dalam hatinya: ia merenung-renung saja.
Sang Putri.
Mahin melihat dengan mata batinnya, bagaimana kupu-kupu tercipta melalui telur dari induknya, lalu ia menetas. Ini mengingatkannya pada masa kecil yang sungguh bahagia: belum mengenal perang.
Ulat itu lalu memakan daun-daunan, dengan lahap. Tanpa henti. Hingga badannya membesar berkali-kali lipat. Berbahaya, ada yang beracun dan bisa menyengat. Sebelum manusia dewasa, memang egonya bertambah besar. Ini yang terjadi pada kedua suku, yang sebetulnya masih bersaudara itu.
Kepompong lalu tercipta, ulat itu berhenti memakan dedaunan. Ia menjauhkan diri dari hawa nafsu. Bersembunyi jauh dibalik daun-daun tertinggi di hutan. Tiga minggu lamanya, kepompong siap mengeluarkan manusia sempurna, sebagai perujudan kupu-kupu.
Hingga akhirnya, tanpa mengenal perang, kupu-kupu itu terbang kesana-kemari. Hinggap memperindah bunga-bunga.
Seekor kupu-kupu lainnya mendekati, dengan warna yang tak jauh berbeda. Mereka memadu sayapnya, dan tercipta tarian-tarian indah cinta kupu-kupu di udara. Begitu seterusnya.
Sang putri, ternyata demikian pula. Ia dengan kelembutan hati hutannya, terus mengamati perkembangan sukunya. Kabar Mahin, dan segala tindakannya.
Kupu-kupu terbang di hadapannya, lalu hinggap di sebuah tangkai mati: narasi-narasi daam benaknya mengalir, merindukan Mahin sebagai kupu-kupu yang jauh lebih dewasa darinya.
Beberapa hari kemudian, Suku Batu mempersiapkan perkemahan untuk berganti tempat dan kampung, sesuai dengan petunjuk yang diberikan Mahin. Hutan Utara. Raja Sangen memahami, bukan orang sembarangan yang bisa menembus hutan Utara, karena itu ia mengutus Mahin. Ada sesuatu dalam silsilahnya.
Perkemahan rombongan Suku Batu berhenti di sebuah lembah untuk bermalam, dan mereka menyusun-nyusun bekal untuk esok hari. Perjalanan terasa amat panjang, namun setidaknya mereka tak perlu lagi berseteru dengan Dayak Sungai.
****
Tiba-tiba malam menjadi mencekam, berkabut merah. Perkemahan Batu, entah dari mana asalnya dilempari bara api, sehingga keadaan menjadi genting. Mendadak, sumpit berlesatan seperti elang, menembus leher orang-orang Batu.
Di tengah kegaduhan, Raja Sangen terbata-bata mengatur sukunya dalam formasi perang. Namun percuma; serangan mendadak ini telah menghabisi sebagian besar laki-laki Batu. Tinggal puluhan orang saja yang siap memegang senjata, dan pertempuran berlangsung.
Apa daya jika Suku Sungai yang merencanakan peperangan ini terlanjur menemukan tenda Raja Sangen, dan pergumulan terjadi. Segala macam ajian dikerahkan Sangen untuk mengalahkan penyusup bertopeng perang yang memasuki tendanya, namun dari belakang sebuah tombak menembus tenda dan langsung merobek lambung Raja Sangen.
Malang, Raja Sangen yang tak sempat mengelak: racun menjalari darahnya. Giliran si pria bertopeng mencari tenda sang putri sebagai persembahan kepada kepala suku Sungai. Ketika tenda sang putri telah ditemukan, pria bertopeng itu seketika merobek-robek kain tenda, dan kini sang putri terduduk di tanah dengan ketakutan.
Apa yang ia alami kini, adalah sebuah perang buta, yang tak pernah ia bayangkan.
Ayahnya gugur.
Pria bertopeng bersegera meraih tubuh sang Putri, namun mendadak pria bertopeng ditendang oleh pria bertopeng lain yang memegang mandau, mandaunya khas berhiasan ksatria Dayak Batu.
Siapa dia? Sang Putri seolah mengenalnya.
Di tengah keributan yang mencekam, kedua pria bertopeng bertempur mati-matian. Segala bentuk mantra mereka ternyata imbang, bahkan cahayanya kadang terlontar kesegala arah.
Satu ketika, penyelamat putri ini lengah. Dadanya tertembus sumpit beracun yang melesat dari arah depan, seorang Sungai bersembunyi dibalik semak-semak, mengintai sejak tadi.
Pagi hampir tiba, sudah remang-remang. Pria Bertopeng yang menyelamatkan sang putri masih bergeming, seperti tembok Batu.
“Pergilah, putri! Larilah!”
“Ke utara!”
Putri bimbang, dalam pengetahuannya, Hutan Utara adalah hutan larangan, karena dipercaya disanalah ruh orang-orang mati bersemayam bersama leluhurnya.
Ia terus menyerang lawannya meski hampir kehabisan darah. Satu ketika, tinju petir penyerangnya menghantam topeng penyelamat, sekaligus melemparnya keudara. Ia terbanting dengan keras.
“Cepatlah! Akan ada yang menunggumu di sana!”
Mendadak, penyerang memanggil kalajengking dan kelabang dari dalam tanah, untuk memakan daging-daging pria bertopeng penyelamat itu. Berpencaran kesegala penjuru, memenuhi arena pertempuran. Sang putri, sempat melihat tato dari balik topeng sang penolong yang pecah: kupu-kupu ksatria yang sangat ia kenal, dan mata yang pernah beradu pandang dengannya. Tetapi siapa?
Pria penyelamat lengah, ia tertebas mandau tepat di lambungnya. Terjatuhlah ia, lalu ia seperti akan mati. Ia melihat kupu-kupu putih pucat di penjuru arena pertempuran.
Jiwanya seperti ditarik ke alam para dewa, namun tiba-tiba perasaannya menjadi tenang, entah kenapa seperti ada zat penenang yang mengaliri darahnya.
Ia melihat leluhurnya hadir di arena pertempuran, namun tak seorangpun bisa melukai mereka karena mereka hadir dalam bentuk gaib. Semua bersayap kupu-kupu putih.
Dalam kegaiban itu, hadir pula ayahnya. Seorang tua, dengan kewibawaan tiada tara.
“Anakku” Katanya tenang.
“Ayah?” ia terpana.
“ Ini dimana? Apakah aku sudah mati?”
“Kau tidak mati. Kami membawamu ke persemayaman para dewa, alam kupu-kupu yang telah menemui kebijaksanaan sejati. Lihatlah ke bumi”
“Dipenuhi darah, ayah”
“Bagaimana aku menyelamatkan sang putri?”
“Sadarilah, segala jenis hikmat yang kau dapatkan selama perenunganmu sedang diuji. Kau adalah kupu-kupu diantara banyak kupu-kupu milik Mahatara. Kini, aku akan menyatu dengan ragamu, dan menyelesaikan pertempuran ini”
“Anakku, kau mencintai putri Sangen, aku memahami itu, tetapi kini, kau harus pergi menuju hutan yang dibangun leluhur kita, Hutan Kupu-kupu”
“Relakanlah hatimu, anakku. Aku akan menyatu denganmu”
Pikirannya mengawang-awang. Tetapi, penyerangnya melihat pelan-pelan raga sang penolong ini berubah menjadi ribuan kupu-kupu, dan menyerangnya dengan kibasan sayap.
Ribuan kupu-kupu coklat ini lalu berkumpul, membentuk sesosok tubuh lain, yang telah menjadi legenda: Raja Sangui. Dato terbesar suku Batu yang moksa dalam petapaannya puluhan tahun lalu. Matanya tajam, namun bercahaya. Tangannya besar.
Ia merapalkan mantra dengan keras, lalu mendadak keajaiban terjadi. Ruh para penyerang, yang berbentuk kupu-kupu dilepaskan dengan isyarat; keluar dari mulut para penyerang. Bercahaya biru, lalu terbang mengitari arena pertempuran.
Penyerang yang mati bergelimpangan, lunglai dan mati seketika. Dengan keajaiban lagi, kupu-kupu biru lalu mengikuti sang Raja Sangui ke udara, ke langit tanpa batas.
Seekor kupu-kupu putih, bersinar pucat, memisahkan diri dari tubuh Raja Sangui. Tepat dari arah hatinya.
Kupu-kupu ini lalu kembali ke bumi, namun menuju Hutan Utara. Tempat persemayaman para dewa.
****
Sang putri, yang lari ke Utara, ketakutan, karena siang tetap seperti malam di Hutan Utara. Hening dan beku, tetapi dipenuhi suara-suara makhluk yang tak terlihat bentuknya.
Mencekam.
Bau darah menyeruak.
Putri melihat wajah-wajah yang ia kenal semasa kecil, yang mati ketika Putri mendewasakan diri, muncul dan menyatu di batang-batang pohon. Ya, pohon-pohon di hutan utara dipenuhi wajah. Dan hanya wajah orang yang kita kenallah yang bisa kita lihat.
Ia melihat wajah ayahnya yang masih segar muncul di sana. Ia juga melihat wajah kakaknya yang tewas dalam pencegatan beberapa tahun lalu. Mengeras, menjadi kulit pohon dan kayu.
Putri hanya bisa menangis, lalu dengan magis, tangisannya menggema ke seluruh hutan seperti bersahut-sahutan. Wajah-wajah yang ada di pohonan juga ikut menitikkan air mata, namun dengan suara lirih.
Mereka mengingatkan sang putri tentang perang, tentang kematian ayahnya. Tiba-tiba, seekor kupu-kupu putih muncul dari selatan. Cahayanya berpendar lembut, mengalahkan malam.
Kupu-kupu ini seperti ia kenal. Putri lalu mengikuti kupu-kupu ini, ia ingin bersegera meninggalkan hutan yang menyedihkan ini, yang dipenuhi wajah korban-korban pertempuran.
Ia setengah berlari, begitu takut kehilangan kupu-kupu putih ini. Putri menerobos duri-duri, sampai suatu ketika ia sampai di sebuah daratan luas, lalu ia melihat hutan yang dipenuhi kupu-kupu aneka warna.
Ditengah hutan yang dipenuhi kupu-kupu itu, ia merasa luka-lukanya sembuh seketika. Tak lama kemudian, ia melihat kupu-kupu putih yang tadi membantunya terbang ke sudut hutan.
Berkumpul dengan kupu-kupu lainnya. Membentuk sebuah raga, raga yang sangat ia kenal: Ksatria Mahin. Wajahnya bercahaya. Ia muncul dalam rupa seorang Dato.
“Kanda?”
“Selamat datang, Dinda”
“Ini Hutan Kupu-Kupu milik leluhur kita”
“Bagaimana kanda bisa sampai di...”
“Ah! Bukankah Kanda yang menolongku di peperangan malam itu?” Tiba-tiba Putri teringat sesuatu. Tato, yang terpampang di pipi Mahin.
“Dinda,” Sela Mahin.
“Dalam kehidupan, ada perputaran. Ulat, kepompong, lalu kupu-kupu”
“Bukankah kanda telah gugur?”
“Aku adalah kupu-kupu, gugur hanya salah satu perputaran kehidupan. Bukankah dinda juga kupu-kupu? Kesedihan akan berganti. Sang Mahatara telah mempersiapkan segalanya”
“Maksud kanda?”
“Para leluhur menyelamatkanku, dan tanah yang kutemukan bagi kampung kita yang baru adalah Hutan Kupu-Kupu, yang hanya bisa ditemukan jika seorang laki-laki mencintai dengan tulus perempuan dari bangsanya” Angin mengusap-usap bunga.
Perenungan Mahin menjadikannya lebih tulus mencintai Sang Putri, lebih dari sekedar mencintai perempuan jelita. Tetapi kupu-kupu: harus tetap mewarnai hutannya, hutan Pegunungan Meratus yang lugu.
Perenungannya juga yang kini menjadikannya setaraf dengan ayahnya: seorang Dato, penghubung dunia Mahatara dengan dunia manusia dan kupu-kupu.
“Kanda...”
“Ini negeri yang diwariskan pada kita berdua, Dinda” cahaya gading sang putri meruah.
“Hutan Kupu-Kupu, Sebagai perlambang baru Suku kita, Suku Anak Kupu-Kupu”