Rabu, 26 Desember 2012

Kampung: Subagyo Sastrowardoyo


Negeri Kampung(an) Halaman: Kajian Semiotik
Kampung
Subagyo Sastrowardoyo
Kalau aku pergi ke luar negeri, dik
karena hawa di sini sudah pengap oleh
pikiran-pikiran beku.

Hidup di negeri ini seperti di dalam kampung
di mana setiap orang ingin bikin peraturan
mengenai lalu lintas di gang, jaga malam dan
daftar diri di kemantren.

Di mana setiap orang ingin jadi hakim
dan berbincang tentang susila, politik dan agama
seperti soal-soal yang dikuasai.

Di mana setiap tukang jamu disambut dengan hangat
dengan perhatian dan tawanya.

Di mana ocehan di jalan lebih berharga
dari renungan tenang di kamar.

Di mana curiga lebih mendalam dari cinta dan percaya.

Kalau aku pergi ke luar negeri, dik
karena aku ingin merdeka dan menemukan diri.
Menarik, apabila kita mencoba mengambil sudut pandang semiotik terhadap karya-karya Subagyo. Semiotik mencoba mengungkap tanda-tanda, simbol, dan lambang yang digunakan pada sebuah karya. Lebih jauh lagi apa efek tanda-tanda ini terhadap pemaknaannya. Tahap untuk mengungkapnya, secara ringkas dapat dibagi menjadi tahap pengungkapan makna, pengungkapan hubungan makna sistem puisi dengan diluar sistem puisi (masyarakat atau realita), dan penghargaan terhadap sebuah karya dan pengarangnya.
Puisi  Kampung ini secara umum bermakna keresahan, kekecewaan dan pemendaman perasaan yang berakibat pilihan untuk pergi dari kampung halamannya, yang merupakan simbol dari negerinya sendiri. Secara tersirat, meski tidak menyebutkan kata Indonesia, namun melihat latar belakang penulis, jelas puisi ini dialamatkan pada Indonesia. Sebuah krtitikan pedas, yang datang dari kekecewaan sang penyair terhadap kampung halamannya. Lantas, pada bait-bait yang ia susun, ia memaparkan secara halus apa yang menjadi kekecewaanya.
Simbol Kampung yang ia gunakan, memiliki arti tempat yang sangat desa. Bagi masyarakat urban dewasa ini, kampung adalah tempat mereka dilahirkan, dibesarkan, dan mengenyam asuhan dari orang tua. Tempat mengambil hikmah-hikmah hidup yang nantinya menjadi sifat-sifat orang tersebut. Menilik isi pada bagian sajaknya, Kampung sebagai tempat kelahiran bermakna lebih luas lagi, yaitu Indonesia. Bukan sekedar kampung dalam pengertian kampung masa kecil.
Diksi Kalau aku pergi ke luar negeri, dik/ karena hawa di sini sudah pengap oleh/pikiran-pikiran beku menunjukkan keresahan tentang yang terjadi di kampungnya. Hawa dan pengap, adalah kata-kata yang digunakan untuk menjelaskan sifat udara. Dengan jelas, penyair menjelaskan bahwa kejenuhan dan kebekuan pikiran telah memenuhi udara di kampungnya, memenuhi pola pikir keseluruhan orang Indonesia. Pemerintah Indonesia. Hingga pengap. Ini yang membuat penyairnya ingin pergi ke luar negeri. Mencari udara segar, mencari pikiran-pikiran yang bebas, dan tidak mengekangnya.
Diksi dik  yang dipakai mengesankan ia sedang bicara dengan orang yang lebih muda. Mungkin, bicara pada generasi muda. Memberikan alasan kenapa ia pergi. Yang berarti, ia memberikan semacam tugas secara tak langsung bagi ”adik” yang tinggal di kampungnya: perbaiki apa yang aku tinggalkan. Generasi mudalah yang diharapkan memahami keresahan ini, dan memperbaikinya.
Kampung, juga diartikan sebagai tempat yang tidak maju. Terbelakang. Hidup di negeri ini seperti di dalam kampung/di mana setiap orang ingin bikin peraturan. Sudah jelas, di tempat asalnya, kepengapan hawa berasal dari perilaku semena-mena dan ego. Setiap orang membuat peraturan, yang tak padu. Tidak untuk kepentingan umum. Saling bentur. Di kampung, yang udik, tak ada yang berkuasa kecuali ego masing-masing pribadi.
mengenai lalu lintas di gang, jaga malam dan/daftar diri di kemantren. Untuk hal-hal sepele, bahkan hal ini menjadi bahan peraturan orang-orang dalam sajaknya. Gang, adalah hal yang sangat sepele. Simbol lalu lintas gang, jaga (ronda) malam, dan registrasi ini juga memiliki arti betapa rumitnya peraturan di negeri itu. Namun, apabila dikaitkan dengan larik diatasnya, berarti setiap orang ingin membuat peraturan  tentang hal sekecil ini, yang artinya, semakin rumit saja.
Di mana setiap orang ingin jadi hakim/dan berbincang tentang susila, politik dan agama/seperti soal-soal yang dikuasai. Simbol hakim, memiliki arti orang yang memiliki hak untuk menentukan secara hukum mana yang benar dan salah. Setiap orang ingin menetukan mana yang benar dan salah, sesuai keinginannya sendiri.
Perbincangan tentang susila, politik, dan agama, yang ramai diperbincangkan orang, mengingatkan kita pada simbol perdebatan tiada henti di televisi. Setiap ada kasus besar muncul terkait tiga hal tadi, teve berlomba-lomba menghadirkan orang-orang yang dianggap mampu untuk berdebat, adu pendapat, dan saling tuduh dalam forum dialog dan debat. Tetapi, penyair dengan baik menangkap kepalsuan mereka: seperti soal-soal yang dikuasai.
Makna sebenarnya, justru penyair menegasikan kemampuan mereka. Bahwa orang-orang itu tidak menguasai soal-soal yang diperdebatkan dan terjadi. Bahwa orang-orang itu hanya mengedepankan egoisme pribadi. Di negeri itu, setiap orang mengedepankan keinginan pribadi.
Ideologi-ideologi baru dengan bebas diwartakan dan dibincangkan diruang-ruang publik, seolah mereka sudah sangat mengerti tentang persoalan ini. Agama-agama baru muncul, berawal dari tafsir-tafsir yang mereka anggap benar. Para politisi, main hakim dan main jotos. Semuanya merasa paling benar seperti sudah menguasai benar soal-soal semacam ini.
Di mana setiap tukang jamu disambut dengan hangat/dengan perhatian dan tawanya memiliki makna unik. Tukang Jamu, berasosiasi dengan tukang obat. Tukang obat yang ia gambarkan disini, berarti orang yang menawarkan barang-barangnya dengan segudang khasiat dan manfaat. Apa artinya? Berkaitan dengan kondisi negeri, pihak yang memberikan penawaran adalah pejabat yang sedang berkampanye. Menawarkan programnya dengan segudang manfaat. Namun, seringkali jamu-jamunya ini justru membuat penyakit baru.
Masalahnya, entah kenapa setiap calon pembelinya seperti terhipnotis dan percaya: disambut dengan hangat/dengan perhatian dan tawanya. Itulah masyarakat. Mereka lebih mudah dibuai janji-janji. Sebuah negeri, dimana juru kampanye disambut dengan hangat diberi perhatian. Lantas, setelah berhasil mengelabui masyarakat, mereka tertawa riang, membayangkan kemenangan-kemenangan. Baik secara perolehan suara, atau barganing position  di mata masyarakat.
Kondisi ini, yang dijelaskan luas dalam puisi ini, bisa jadi berkaitan dengan ideologi negara yang bersangkutan. Tempat dimana orang-orang dalam sebuah sistem kenegaraan dapat bicara seenaknya dan sebebasnya, adalah liberal. Setiap orang memiliki kebebasannya sendiri.
Keseluruhan ikon-ikon dalam puisi ini  menggiring pemahaman bahwa: kebebasan bicara itu pengap! Kebebasan bicara, hanya menjadi udara segar jika setiap orang sudah meninggalkan ego, tidak lagi bicara semaunya sendiri tentang aturan sepele tapi berpotensi konflik. Ketika, tak ada lagi tukang jamu. Yang ada adalah obat-obatan yang betul-betul berkhasiat buat masyarakat.
Sistem politik multi partai, memiliki konsekuensi setiap partai membawa ideologinya sendiri yang pasti, mereka anggap paling benar. Dan konsekuensi lanjutannya, setiap partai menganggap ideologi partai lain tidak tepat diterapkan. Maka jadilah: seperti soal-soal yang dikuasai./ Di mana setiap tukang jamu disambut dengan hangat/dengan perhatian dan tawanya. Situasi kalut dan bising, membuat hawa di sini sudah pengap oleh/pikiran-pikiran beku. Simbol-simbol ini, mau tak mau membuat ita bertanya: apakah puisi ini anti liberal, atau sebaliknya, mencoba menyempurnakan konsep liberal dan pancasila?
Kembali ke soal puisi ini. bait-bait selanjutnya, Di mana ocehan di jalan lebih berharga/dari renungan tenang di kamar. Ini merupakan simbol negeri dalam puisi ini, yang mengutamakan obrolan sepintas lalu. Di jalan, adalah tempat orang berinteraksi sekedarnya. Andaipun mereka membicarakan soal politik, hukum, dan agama serta susila, tidak menggunakan dasar-dasar yang bisa dipertanggungjawabkan. Malahan biasa membuat pertengkaran kecil. Ujungnya adalah tawuran masal. Tak ada lagi yang suka merenung-renung, memikirkan nasib masyarakat. Merenungkan konsep-konsep dan pergerakan. Sudah tak ada harga dari renungan ini. lebih jauh, konsep-konsep sudah tak berharga, yang ada obrolan jalanan.
Di mana curiga lebih mendalam dari cinta dan percaya. Ini adalah simbol dari keadaan negeri dalam puisi, tempat kecurigaan pasti mengintai siapa saja. orang yang diterkam rasa curiga, pasti tidak memiliki ketenangan. Sekecil apapun kecurigaan itu. Rasa cinta dan percaya sudah hilang dari masyarakat negeri itu. Simbol curiga, adalah peristiwa hilangnya kepercayaan terhadap lainnya. Terhadap orang-orang disekitarnya.
Cinta dan percaya, adalah aspek utama untuk membangun solidaritas dan persatuan. Ia adalah simbol keterikatan antar anggota masyarakat.  Jelasnya, ia menggambarkan betapa rapuhnya negeri ini, ketika dibangun dengan rasa curiga.
Rangkuman dari segala peristiwa yang ia gambarkan diatas, sebetulnya adalah negeri yang dibangun dengan rasa curiga, paska reformasi. Tempat setiap orang membangun gagasannya sendiri.  Tempat cinta dan percaya bukan lagi hal yang penting.
Kalau aku pergi ke luar negeri, dik
karena aku ingin merdeka dan menemukan diri
.
Amat halus, penyair menyindir negerinya sendiri, yang tidak menjamin kemerdekaan pribadi. Justru, ketika setiap orang bebas bicara seenaknya. Ketika setiap orang bisa memperbincangkan susila, politik, dan agama, kita kehilangan kebebasan yang sejati.
Di negerinya sendiri, negeri dalam puisi, penyair kehilangan rasa merdeka. Rasa dihormati dan mendapatkan pengakuan. Penghargaan. Ia kehilangan eksistensi ditengah masyarakat, yang lebih suka bicara dan merenung. Liberalisme yang tergambar melalui simbol-simbol kekampungan diatas malahan merampas kemerdekaan individu. Menjadi tak terarah, dan berujung pada main hakim sendiri.
Ia ingin menemukan diri, ia ingin dihargai dan menemukan eksistensinya sebagai anggota masyarakat yang menghargai pola pikir dan gagasan, bukan omong besar tukang jamu dan dialog televisi. Ia ingin mendapatkan masyarakat yang teratur.
Agaknya, kaitan puisi ini dengan anti liberalisme yang keras digaungkan ditengah masyarakat perlu dikaji lebih lanjut. Bahwa kebebasan bicara malah merampas kemerdekaan individu yang lain. Bahwa kondisi negeri ini, yang setelah reformasi katanya menjamin kebebasan individu, malah menghasilkan masalah baru. banyak sekali masalah baru. masalah, yang membuat kita tak betah di negeri sendiri. Negeri yang menjadi kampung. Dan sekali lagi:
Kalau aku pergi ke luar negeri, dik
karena aku ingin merdeka dan menemukan diri
.