Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi
Telah sampai kepada kami beberapa usulan pembaca agar kami mengkritik
sebuah buku yang beredar akhir-akhir ini yang dipublikasikan secara
gencar dan mendapatkan sanjungan serta kata pengantar dari para tokoh.
Oleh karenanya, untuk menunaikan kewajiban kami dalam menasihati umat,
kami ingin memberikan studi kritis terhadap buku ini, sekalipun secara
global saja sebab tidak mungkin kita mengomentari seluruh isi buku rang
penuh dengan syubhat tersebut dalam majalah kita yang terbatas ini.
Semoga Alloh menampakkan kebenaran bagi kita dan melapangkan hati kita
untuk menerimanya.
JUDUL BUKU DAN PENULISNYA
Judul buku ini adalah Sejarah Berdarah Sekfe Salafi Wahabi, ditulis
oleh Syaikh Idahram, penerbit Pustaka Pesantren, Yogyakarta, cetakan
pertama, 2011. Buku ini mendapatkan rekomendasi tiga tokoh agama yang
populer namanva yaitu KH. Dr. Said Agil Siraj, KH. Dr. Ma’ruf Amin, dan
Muhammad Arifin Ilham.
AQIDAH WAHABI ADALAH TAJSIM?
Pada hlm. 234 penulis mengatakan:
Akidah Salafi Wahabi adalah aqidah Tajsim dan tasybih (menyerupakan
Allah dengan makhluk) yang sama persis dengan akidah orang-orang Yahudi.
Dalil-dalil mereka begitu rapuhnya, hanya mengandalkan hadits-hadits
ahad dalam hal akidah.
Jawaban:
Ini adalah tuduhan dusta, sebab aqidah mereka dalam asrna’ wa shifat
sangat jelas mengimani nama dan sifat Alloh yang telah disebutkan
al-Qur’an dan hadits yang shohih tanpa tahrif (pengubahan), ta’thil
(pengingkaran), takyif (menanyakan hal/kaifiat), maupun tamtsil
(penyerupaan).[1] Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah firman
Alloh:
“Tidak ada yang serupa dengan Dia. Dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. asy-Syuro [42]: 11)
Inilah aqidah ulama-ulama salaf, di antaranya al-Imam asy-Syafi’i, beliau pernah berkata:
“Kita menetapkan sifat-sifat ini yang disebutkan dalam al-Qur’an dan
as-Sunnah dan kita juga meniadakan penyerupaan sebagaimana Alloh
meniadakan penyerupaun tersebut dari diri Nya dalam firman-Nya (yang
artinya), ‘Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.’ (QS. Asy-Syuro
[42 : 11).[2]
Namun, jangan merasa aneh dengan tuduhan ini, karena demikianlah
perilaku ahli ahwa’ semenjak dulu. Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr berkata,
“Seluruh Ahlus Sunnah telah bersepakat untuk menetapkan sifat-sifat yang
terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah serta mengartikannya secara
zhohirnya. Akan tetapi, mereka tidak rnenggambarkan
bagaimananya/bentuknya sifat¬sifat tersebut. Adapun Jahmiyyah,
Mu’tazilah, dan Khowarij mengingkari sifat-sifat Alloh dan tidak
mengartikannya secara zhohirnya. Lucunya, mereka menyangka bahwa orang
yang menetapkannya termasuk Musyabbih (kaum yang menyerupakan Alloh
dengan makhluk).”[3]
Semoga Alloh merahmati al-Imam Abu Hatim ar-Rozi yang telah
mengatakan, “Tanda ahli bid’ah adalah mencela ahli atsar. Dan tanda
Jahmiyyah adalah menggelari Ahli Sunnah dengan Musyabbihah.”[4]
lshaq bin Rohawaih mengatakan, “Tanda Jahm dan pengikutnya adalah
menuduh Ahli Sunnah dengan penuh kebohongan dengan gelar Musyabbihah
padahal merekalah sebenarnya Mu’aththilah (menidakan/mengingkari sifat
bagi Alloh).”[5]
PEMBAGIAN TAUHID BID’AH?
Pada him. 236 penulis mengatakan:
Pembagian tauhid kepada tauhid Uluhiyah dan tauhid Rububiyah
diciptakan oleh Ibnu Taimiyyah al-Harroni (w. 728 H) setelah 8 abad
berlalu dari masa Rasulullah. Pernyataan yang seperti ini tidak pernah
ada di zaman Rasulullah, para sahabat, tabi’in, tabi’i tabi’in maupun
ulama-ulama salaf terdahulu, termasuk Imam Ahmad bin Hanbal, bahkan
tidak terdapat juga dalam karya murid-murid Imam Ahmad yang terkenal
seperti Ibnul Jauzi dan al-Hafizh Ibnu Katsir. Demikianlah Salafi Wahabi
mengklaim selalu mengikuti salaf shalih tetapi kenyataannya tidak ada
seorangpun dari Salaf Shalih yang membagi tauhid kepada pembagian
seperti ini. Lagi-lagi, Salafi Wahabi melempar Al-Qur’an, Sunnah dan
Salaf Shalih ke tong sampah.
Jawaban:
Pembagian para ulama bahwa tauhid terbagi menjadi tiga: Tauhid
Rububiyyah, Uluhiyyah, Asma’ wa Shifat adalah berdasarkan penelitian
yang saksama terhadap dalil-dalil al-Qur’an dan hadits Nabi Pembagian
ini bukanlah perkara baru (baca: bid’ah)[6], tetapi pembagian ini
berdasarkan penelitian terhadap dalil. Hal ini persis dengan perbuatan
para ulama ahli Bahasa yang membagi kalimat menjadi tiga: isim, fill,
dan huruf.[7]
Bahkan, banyak sekali ayat-ayat yang meng¬gabung tiga macam tauhid ini bagi prang yang mau mencermatinya, seperti firman Alloh:
“Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di
antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat
kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia
(yang patut disembah)?” (QS. Maryam [79]: 65)
Firman-Nya “Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi serta apa yang ada
di antara keduanya” menunjukkan tauhid rububiyyah. “Maka sembahlah Dia
dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya” menunjukkan tauhid
uluhiyyah. “Apakah kamu mengetahui sesuatu yang serupa denganNya”
menunjukkan tauhid asma’ wa shifat.[8]
Lebih dari itu -jika kita jeli- surah pertama dalam al-Qur’an
(al-Fatihah) mengandung tiga jenis tauhid ini, juga akhir surat dalam
al-Qur’an (an-Nas). Seakan-akan hal itu mengisyaratkan kepada kita bahwa
kandungan al-Qur’an adalah tiga jenis tauhid ini.[9] Syaikh Hammad
al-Anshori berkata, “Alloh membuka kitab-Nya dengan Surah aI-Fatihah
yang berisi tentang pentingnya tauhid dan menutup kitab-Nya dengan Surah
an-Nas yang berisi tentang pentingnya tauhid. Hikmahnya adalah wahai
sekalian manusia sebagaimana kalian hidup di atas tauhid maka wajib bagi
kalian mati di atas tauhid.”[10]
Demikian juga, banyak ucapan para ulama salaf yang menunjukkan
pembagian ini, seandainya kami menukilnya niscaya tidak akan termuat
dalam majalah ini. Dalam kitabnya al-Mukhtashorul Mufid fi’ Bayani
Dalail Aqsami Tauhid, Syaikh Dr. Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad
menukil ucapan-ucapan ulama salaf yang menetapkan klasifikasi tauhid
menjadi tiga ini, seperti al-Imam Abu Hanifah (w. 150 H), Ibnu Mandah
(182 H), Ibnu Jarir (310 H), ath-Thohawi (w. 321 H), Ibnu Hibban (354
H), Ibnu Baththoh (387 H), Ibnu Khuzaimah (395 H), ath-Thurtusi (520 H),
al-Qurthubi (671 H). Lantas, akankah setelah itu kita percaya dengan
ucapan orang yang mengatakan bahwa klasifikasi ini baru dimunculkan oleh
Ibnu Taimiyyah pada abad kedelapan Hijriah seperti pernyataan penulis?!
Pikirkanlah wahai orang yang berakal!!!
KAKAK SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB
Pada hlm. 34 penulis mengatakan:
Sebaliknya, karena keyakinan menyimpangnya itu, kakaknya yang bersama
Sulaiman ibnu Abdil Wahhab mengkritik fahamnya yang nyeleneh dengan
begitu pedas, melalui dua bukunya, ash-Shawaiq al-Ilahiyyah fi ar-Raddi
‘ala al-Wahhabiyah dan kitab Fashlu al-Khitab fi ar-Radi ‘ala Muhammad
bin Abdil Wahhab. Dua bukunya itu dirasa penting untuk di tulis, melihat
adiknya yang sudah jauh menyimpang dari ajaran Islam dan akidah umat
secara umum.
Jawaban:
Benar, kami tidak mengingkari bahwa Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab,
saudara Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab termasuk orang yang menentang
dakwah beliau. Namun, ada dua poin yang perlu diperhatikan bersama untuk
menanggapi hal ini:
Pertama: Antara Nasab dan Dakwah yang Benar
Kita harus ingat bahwa adanya beberapa kerabat atau keluarga yang
menentang dakwah tauhid bukanlah suatu alasan batilnya dakwah yang haq.
Tidakkah kita ingat bahwa para nabi, para sahabat, para ahli tauhid, dan
sebagainya, ada saja sebagian dari keluarga mereka baik bapak, anak,
saudara, atau lainnya yang memusuhi dakwah mereka?! Kisah Nabi Nuh
dengan anak dan istrinya, Nabi Ibrahim dan ayahnya, Nabi Muhammad dan
pamannya merupakan kisah yang populer di kalangan masyarakat. Apakah
semua itu menghalangi kebenaran dakwah tauhid, wahai hamba Alloh?!
Sungguh benar sabda Nabi :
“Barang siapa amalnya lambat, maka nasabnya tidak bisa mempercepatnya.”[11]
Kedua: Kembalinya Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab
Mayoritas ulama[12] mengatakan bahwa Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab
telah bertaubat dan menerima dakwah tauhid, sebagaimana disebutkan Ibnu
Ghonnam[13], Ibnu Bisyr[14], Syaikh Dr. Muhammad bin Sa’ad
as-Syuwa’ir[15], dan sebagainya. Apakah hal ini diketahui oleh
musuh-musuh dakwah?! Ataukah kebencian telah mengunci hati mereka?!
Alangkah bagusnya apa yang dikatakan oleh Syaikh Mas’ud an-Nadwi,
“Termasuk orang yang menentang dakwah beliau (Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab) adalah saudaranya sendiri, Sulaiman bin Abdul Wahhab (wafat 1208
H) yang menjadi qadhi di Huraimila’ sebagai pengganti ayahnya. Dia
menulis beberapa tulisan berisi bantahan kepada saudaranya, Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab, yang dipenuhi dengan kebohongan. Dan
sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Ghonnam bahwa dia menyelisihi saudaranya
hanya karena dengki dan cemburu saja. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
telah menulis bantahan terhadap tulisan-tulisannya, tetapi pada akhirnya
Alloh memberinya hidayah, (sehingga dia) bertaubat dan menemui
saudaranya di Dar’iyyah pada tahun 1190 H yang disambut baik dan
dimuliakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Ada buku Syaikh
Sulaiman bin Abdul Wahhab yang tercetak dengan judul ash-Showa’iq
IIahiyyah fi ar-,Roddi ‘ala Wahhabiyyah. Musuh-musuh tauhid sangat
gembira dengan buku ini, namun mereka sangat malu untuk menyebut
taubatnya Sulaiman.”[16]
MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB GEMAR MEMBACA KITAB NABI PALSU?
Pada him. 34 penulis mengatakan:
Selain itu, Ibnu Abdul Wahhab juga gemar membaca berita dan
kisah-kisah para pengaku kenabian seperti Musailamah al-Kadzdzab, Sajah,
Aswad al’Unsi dan Thulaihah al-Asadi.
Jawaban:
Syaikh Sulaiman bin Sahman berkata membantah tuduhan ini: “lni juga
termasuk kebohongan dan kedustaan. Yang benar, beliau gemar membaca
kitab-kitab tafsir dan hadits sebagaimana beliau katakan sendiri dalam
sebagian jawabannya, ‘Dalam memahami Kitabulloh, kita dibantu dengan
membaca kitab-kitab tafsir populer yang banyak beredar, yang paling
bagus menurut kami adalah tafsir Muhammad bin Jarir ath-Thobari dan
ringkasannya karya Ibnu Katsir asy-Syafi’i, demikian pula al-Baidhowi,
aI-Baghowi, Al-Khozin, al-Jalalain, dan sebagainya. Adapun tentang
hadits, kita dibantu dengan membaca syarah-syarah hadits seperti syarah
al-Qostholani dan al-Asqolani terhadap Shohih al-Bukhori, an-Nawawi
terhadap (Shohih) Muslim, al-Munawi terhadap al-jami’ ash-Shoghir, dan
kitab-kitab hadits lainnya, khususnya kutub sittah (enam kitab induk
hadits) beserta syarahnya, kita juga gemar menelaah seluruh kitab dalam
berbagai bidang, ushul dan kaidah, siroh, shorof, nahwu, dan semua ilmu
umat’.”[17]
PEMBUNUHAN DAN PENGKAFIRAN
Pada hlm. 61-138 penulis menguraikan panjang lebar bahwa Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab melakukan pembunuhan dan pengkafiran terhadap
kaum muslimin, termasuk ulama. Inilah yang menjadi inti buku tersebut.
Jawaban:
Demikian penulis artikel memuntahkan isi hatinya tanpa kendali!!
Aduhai alangkah murahnya dia mengobral kebohongan dan melempar tuduhan!!
Tidakkah dia sedikit takut akan adzab dan mengingat akibat para
pendusta yang akan memikul dosa?! Tidakkah dia menyadari bahwa dusta
adalah ciri utama orang-orang yang hina?!!
Tuduhan yang satu ini begitu laris-manis tersebar semenjak dahulu
hingga kini, padahal Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri telah
menepis tuduhan ini dalam banyak kesempatan. Terlalu panjang kalau saya
nukilkan seluruhnya,[18] maka kita cukupkan di sini sebagian saja:
Dalam suratnya kepada penduduk Qoshim, beliau memberikan isyarat
terhadap tuduhan musuh bebuyutannya (Ibnu Suhaim), dan berlepas diri
dari tuduhan keji yang dilontarkan kepada beliau. Beliau berkata, “Alloh
mengetahui bahwa orang tersebut telah menuduhku yang bukan-bukan,
bahkan tidak pernah terbetik dalam benakku, di antaranya dia mengatakan
bahwasanya aku mengatakan, ‘Manusia sejak 600 tahun silam tidak dalam
keislaman, aku mengkafirkan orang yang bertawassul kepada orang-orang
sholih, aku mengkafirkan al-Bushiri, aku mengkafirkan orang yang
bersumpah dengan selain Alloh….’ Jawabanku terhadap tuduhan ini, ‘Maha
Suci Engkau ya Robb kami, sesungguhnya ini kedu¬staan yang amat
besar.’”[19]
Demikian juga dalam suratnya kepada Syaikh Abdurrohman as-Suwaidi -salah
seorang ulama Irak- mengatakan bahwa semua tuduhan tersebut adalah
makar para musuh yang ingin menghalangi dakwah tauhid. Beliau berkata,
“Mereka mengerahkan Bala tentaranya yang berkuda dan berjalan kaki untuk
memusuhi kami, di antaranya dengan menyebarkan kebohongan yang
seharusnya orang berakaI pun malu untuk menceritakannya, apalagi
menyebarkannya, salah satunya adalah apa yang Anda sebutkan, yaitu bahwa
saya mengkafirkan seluruh manusia kecuali yang mengikuti saya, dan saya
menganggap bahwa pernikahan mereka tidak sah. Aduhai, bagaimana bisa
haI ini diterima oleh seorang yang berakal sehat? Adakah seorang muslim,
kafir, sadar maupun gila sekalipun yang berucap seperti itu?!”[20]
Syaikh Abdulloh bin Muhammad bin Abdul Wahhab membantah tuduhan di atas,
“Adapun tuduhan yang didustakan kepada kami dengan tujuan untuk
menutupi kebenaran dan menipu manusia bahwa kami mengkafirkan manusia
secara umum, manusia yang semasa dengan kami dan orang-orang yang hidup
setelah tahun enam ratusan kecuali yang sepaham dengan kami. Berekor
dari itu, bahwa kami tidak menerima bai’at seorang kecuali setelah dia
mengakui bahwa dirinya dahulu adalah musyrik, demikian pula kedua orang
tuanya mati dalam keadaan syirik kepada Alloh … semua ini hanyalah
khurofat yang jawaban kami seperti biasanya, ‘Maha Suci Engkau ya Alloh,
ini adalah kebohongan yang nyata.’ Barang siapa menceritakan dari kami
seperti itu atau menisbatkan kepada kami maka dia telah berdusta dan
berbohong tentang kami. Barang siapa menyaksikan keadaan kami dan
menghadiri majelis ilmu kami serta bergaul dengan kami, niscaya dia akan
mengetahui secara pasti bahwa semua itu adalah tuduhan palsu yang
dicetuskan oleh musuh-musuh agama dan saudara-saudara setan untuk
melarikan manusia dari ketundukan dan memurnikan tauhid hanya kepada
Alloh saja dengan ibadah dan meninggalkan seluruh jenis kesyirikan.”[21]
Syaikh Sulaiman bin Sahman berkata, “Sesungguhnya Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab meniti jalan yang ditempuh oleh Nabi para sahabat, dan para
imam pendahulu. Beliau tidak mengkafirkan kecuali orang yang telah
dikafirkan Allah dan Rosul-Nya dan disepakati kekufurannya oleh umat.
Beliau mencintai seluruh ahli Islam dan ulama mereka. Beliau beriman
dengan setiap kandungan al-Qur’an dan hadits shohih. Beliau juga
melarang keras dari menumpahkan darah kaum muslimin, merampas harta dan
kehormatan mereka. Barang siapa menisbatkan kepada beliau hal yang
berseberangan dengan Ahli Sunnah wal Jama’ah dari kalangan salaf umat
ini maka dia telah dusta serta berkata tanpa dasar ilmu.”[22]
BEKERJA SAMA DENGAN INGGRIS MERONGRONG KEKHOLIFAHAN TURKI UTSMANI
Pada hlm. 120 penulis membuat judul “Wahabi bekerja sama dengan inggris merongrong kekholifahan Turki Utsmani”.
Jawaban:
Demikianlah, mereka tidak memiliki modal dalam dialog ilmiah kecuali
hanya tuduhan dan ke-dustaan semata. Semoga Allah merahmati Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah tatkala mengatakan; “Semua bentuk kesyirikan dan
beragam corak kebid’ahan dibangun di atas kebohongan dan tuduhan dusta.
Oleh karenanya, setiap prang yang semakin jauh dari tauhid dan sunnah,
maka dia akan lehih dekat kepada kesyirikan, kebid’ahan, dan
kedustaan.”[23] Dan alangkah benarnya ucapan al-Hafizh Ibnul Qoyyim
Janganlah engkau takut akan tipu daya musuh
Karena senjata mereka hanyalah kedustaan[24]
Beberapa sosok setan berwujud manusia dari orang-orang Eropa berpikir
tentang akibat yang akan menimpa mereka jika dakwah Muhammad bin Abdul
Wahhab yang didukung pemerintahan Su’ud (Saud) pertama memperluas
pengaruhnya. Mereka melihat bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah
Su’ud akan mengancam kepentingan mereka di kawasan timur secara umum.
Oleh karma itu, tidak ada jalan lain kecuali menghancurkan
pemerintahan ini. Mereka pun menempuh berbagai daya dan upaya di dalam
menghancurkan dakwah salafiyyah ini, di anta-ranya adalah:
Pertama: Penebaran opini publik di tengah negeri Islam melawan dakwah
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Maka bangkitlah para penganut bid’ah
dan khurofat memerangi dakwah Syaikh. Mereka adalah golongan mayoritas
di saat itu, yang paham quburiyyun, khurofiyyun, bid’ah, dan syirik
telah mendarah daging di dalarn hati mereka, bahkan parahnya kesultanan
Ustmaniyyah generasi akhir adalah termasuk pemerintahan yang mendukung
kesyirikan dan kebid’ahan ini. Ini semua terjadi setelah Inggris dan
Francis menyebarkan fatwa yang mereka ambil dari ulama su’ (jahat) yang
memfatwakan bahwa apa yang didakwahkan oleh Syaikh al-Imam adalah
rusak.[25]
Kedua: Mereka menebarkan fitnah antara gerakan Syaikh al-Imam dengan
pemimpin kesul-tanan Utsmaniyyah. Orang-orang Inggris dan Francis
menebarkan racun ke dalam pikiran Sultan Mahmud II, bahwa gerakan Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab bertujuan untuk memerdekakan jazirah Arab dan
memisahkan diri dari kesultanan. Sultan pun merespons dan herupaya
memberangus gerakan Syaikh, padahal seharusnya beliau meragukan nasihat
dari kaum kuffar ini, lalu meneliti dan melakukan investigasi terhadap
berita ini.[26]
Sesungguhnya Inggris dan Francis mulai dari awal telah membenci
gerakan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, terlebih setelah pemerintah
Alu (KeIuarga) Su’ud beserta orang-orang Qowashim mampu melakukan
serangan telak terhadap Armada Inggris pada tahun 1860 M sehingga
perairan Teluk berada di bawah kekuasaannya.[27] Sesungguhnya asas-asas
Islam yang murni menjadi fondasi dasar pemerintahan Su’ud pertama, dan
tujuan utama didirikannya negara ini adalah untuk melawan kejahatan
orang-orang asing di kawasan itu.[28]
Sungguh sangat “jauh panggang dari api” apabila dikatakan bahwa
Muhammad bin Abdul Wahhab adalah dakwah boneka atau antek-antek Inggris,
padahal dengan menyebarnya dakwah yang diberkahi ini ke pelosok dunia
lain, melahirkan para pejuang-pejuang Islam. Di India, Syaikh Ahmad
Irfan dan para pengikutnya adalah gerakan yang pertama kali membongkar
kebobrokan Mirza GhuIam Ahmad al-Qodiyani (pendiri gerakan Ahmadiyah)
yang semua orang tahu bahwa Qodiyaniyah ini adalah kepanjangan tangan
dari kolonial Inggris. Mereka juga memekikkan jihad memerangi kolonial
Inggris saat itu di negeri mereka.[29] Di Indonesia, tercatat ada Tuanku
Imam Bonjol, Tuanku Nan Renceh, Tuanku Nan Gapuk, dan selainnya yang
memerangi bid’ah, khurofat, dan maksiat kaum adat sehingga meletuslah
Perang Padri, dan mereka semua ini adalah para pejuang Islam yang
memerangi kolonialisme Belanda.[30] Belum lagi di Mesir, Sudan, Afrika,
dan belahan negeri lainnya, yang mereka semua adalah para pejuang Islam
yang membenci kolonialisme kaum kuffar Eropa.”[31]
CIRI KHAS WAHABI CUKUR PLONTOS?
Pada hlm. 139-180 penulis membawakan judul hadits-hadits Rosululloh
tentang salafy wahabi, di antaranya pada hlm. 164 penulis mengatakan
ciri¬ciri mereka adalah cukur plontos; sehingga pada him. 167 penulis
mengatakan:
Ini adalah teks hadits yang sangat jelas tertuju kepada faham
Muhammad bin Abdul Wahhab. Semasa hidupnya dahulu, dia telah
memerintahkan setiap pengikutnya untuk mencukur habis rambut kepalanya
sebelum mengikuti fahamnya.
Jawaban:
Tuduhan ini sangat mentah, tujuan di balik itu sangat jelas, yaitu
melarikan manusia dari dakwah yang disebarkan Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab. Aduhai, alangkah beraninya penulis dalam memanipulasi hadits
Rosululloh dan menafsirkannya sesuai dengan selera hawa nafsunya
semata!! Seperti inikah cara Anda dalam beragumentasi wahai hamba
Alloh?!!
Syaikh Abdulloh bin Muhammad bin Abdul Wahhab berkata tatkala
membantah tuduhan bahwa ulama dakwah mengkafirkan orang yang tidak
mencukur rambut kepalanya, “Sesungguhnya ini adalah kedustaan dan
kebohongan tentang kami. Seorang yang beriman kepada Alloh dan hari
akhir tidak mungkin melakukan hal ini, sebab kekufuran dan kemurtadan
tidaklah terealisasikan kecuali dengan mengingkari perkara-perkara agama
yang ma’lum bi dhoruroh (diketahui oleh semua). Jenis-jenis kekufuran
baik berupa ucapan maupun perbuatan adalah perkara yang maklum bagi para
ahli ilmu. Tidak mencukur rambut kepala bukanlah termasuk di antaranya
(kekufuran atau kemurtadan), bahkan kami pun tidak berpendapat bahwa
mencukur rambut adalah sunnah, apalagi wajib, apalagi kufur keluar dari
Islam bila ditinggalkan.”[32]
NEJED, TEMPAT KELUARNYA TANDUK SETAN
Pada hlm. 151-152 penulis membawakan hadits bahwa sumber fitnah
berasal dari Nejed, dan dari Nejed muncul dua tanduk setan, sehingga
pada hlm. 156 penulis menukil ucapan Sayyid Alwi al-Haddad bahwa
sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dua tanduk setan itu tiada
lain adalah Musailamah al-Kadzdzab dan Muhammad bin Abdul Wahhab.
Jawaban: [33]
Sebenarnya apa yang dilontarkan oleh saudara penulis di atas bukanlah
suatu hal yang baru, melainkan hanyalah daur ulang dari para
pendahulunya yang mempromosikan kebohongan ini, dari orang-orang yang
hatinya disesatkan Alloh. Semuanya berkoar bahwa maksud “Nejed” dalam
hadits-hadits di atas adalah Hijaz dan maksud fitnah yang terjadi adalah
dakwahnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab!!!
Kebohongan ini sangat jelas sekali bagi orang yang dikaruniai hidayah
ilmu dan diselamatkan dari hawa nafsu, ditinjau dari beberapa segi:
1. Hadits itu saling menafsirkan
Bagi orang yang mau meneliti jalur-jalur hadits ini dan membandingkan
lafazh-lafazhnya, niscaya tidak samar lagi bagi dia penafsiran yang
benar tentang makna Nejed dalam hadits ini. Dalam lafazh yang
dikeluarkan al-Imam ath-Thobroni dalam al-Mu’jam al-Kabir: 12/384 no.
13422 dari jalur Ismail bin Mas’ud dengan sanad hasan: Menceritakan
kepada kami Ubaidulloh bin Abdillah bin Aun dari ayahnya dari Nafi’ dari
lbnu Umar dengan lafazh:
“Ya Alloh berkahilah kami dalam Syam kami, ya Alloh berkahilah kami
dalam Yaman kami.” Beliau mengulanginya beberapa kali, pada ketiga atau
keempat kalinya, para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah! Dalam Irak
kami?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya di sana terdapat kegoncangan dan
fitnah dan di sana pula muncul tanduk setan.”
Syaikh Hakim Muhammad Asyrof menulis buku khusus mengenai hadits ini
berjudul Akmal al-Bayan fl Syarhi Hadits Najd Qornu Syaithon. Dalam
kitab ini beliau mengumpulkan riwayat¬riwayat hadits ini dan menyebutkan
ucapan para ulama ahli hadits, ahli Bahasa, dan ahli geografi, yang
pada akhirnya beliau membuat kesimpulan bahwa maksud Nejed dalam hadits
ini adalah Irak. Berikut kami nukilkan sebagian ucapannya, “Maksud dari
hadits-hadits di muka bahwa negeri-negeri yang terletak di timur kota
Madinah Munawwaroh[34] ; adalah sumber fitnah dan kerusakan, markas
kekufuran dan penyelewengan, pusat kebid’ahan dan kesesatan. Lihatlah di
peta Arab dengan cermat, niscaya akan jelas bagi Anda bahwa negara yang
terletak di timur Madinah adalah Irak saja, tepatnya kota Kufah,
Bashrah, dan Baghdad.”[35]
Dalam tempat lainnya beliau mengatakan, “Ucapan para pensyarah
hadits, ahli Bahasa, dan pakar geografi dapat dikatakan satu kata bahwa
Nejed bukanlah nama suatu kota tertentu, namun setiap tanah yang lebih
tinggi dari sekitarnya maka ia disebut Nejed.”[36]
2. Sejarah dan fakta
Sejarah dan fakta lapangan membuktikan kebenaran hadits Nabi di atas
bahwa Irak adalah sumber fitnah[37] baik yang telah terjadi maupun yang
belum terjadi, seperti keluarnya Ya’juj dan Ma’juj, Perang jamaI, Penang
Shiffin, fitnah Karbala, tragedi Tatar. Demikian pula munculnya
kelompok-kelompok sesat seperti Khowarij yang muncul di kota Haruro’
(kota dekat Kufah), Rofidhoh (hingga sekarang masih kuat), Mu’tazilah,
jahmiyyah, dan Qodariyyah, awal munculnya mereka adalah di Irak
sebagaimana dalam hadits pertama Shohih Muslim.
3. Antara kota dan penghuninya
Anggaplah seandainya “Nejed” yang dimaksud oleh hadits di atas adalah
Nejed Hijaz, tetap saja tidak mendukung keinginan mereka, sebab hadits
tersebut hanya mengabarkan terjadinya fitnah di suatu tempat, tidak
memvonis perorangan seperti Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Terjadinya
fitnah di suatu tempat tidaklah mengharuskan tercelanya setiap orang
yang bertempat tinggal di tempat tersebut.
Demikianlah -wahai saudaraku seiman- keterangan para ulama ahli
hadits tentang hadits ini, maka cukuplah mereka sebagai sumber
tepercaya!
PENUTUP
Demikianlah sekelumit yang dapat kami bahas tentang buku ini.
Sebenarnya masih sangat banyak tuduhan-tuduhan dusta dan penyimpangan
yang ada dalam buku ini, namun semoga apa yang sudah kami paparkan dapat
mewakili lainnya.[38] Kesimpulannya, buku ini harus diwaspadai oleh
setiap orang dan sebagai gantinya hendaklah membaca buku-buku yang
bermanfaat. Wallohu A’lam
Sumber : Majalah Al-Furqon Edisi 12 Th. ke-10 Rojab 1432 H [Juni-Juli 2011]
————————————
Catatan kaki:
[1] Lihat Syarh Aqidah Imam Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab hlm.
22-24, bahkan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menegaskan dalam aqidah
beliau tersebut, “Saya tidak menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat
MakhlukNya karena tidak ada yang serupa denganNya.”
[2] Thobaqot Hanabilah Kar. Al-Qodhi Ibnu Abi Ya’la : 1/283-284,
Siyar A’lam Nubala’ Kar. Adz-Dzahabi: 3/3293, Manaqib Aimmah Arba’ah
kar. Ibnu Abdil Hadi hlm. 121, I’tiqad Imam Syafi’i kar. Al-Hakkari hlm
21.
[3] Mukhtashar Al-‘Uluw hal. 278-279
[4] Syarah Ushul I’tiqad Ahli Sunnal Wal Jama’ah kar. Al-Lalikai 1/204, Dzammul Kalam kar. Al-Harowi: 4/390
[5] Syarah ushul I’tiqad kar. Al-Lalikai: 937, Syarah Aqidah Ath-Thahawiyah kar. Ibnu Abi Izzi Al-Hanafi: 1/85
[6] Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Abbad menulis sebuah kitab
berjudul Al-Qaulus Sadid fir Roddi ‘ala Man Ankaro Taqsima Tauhid
(Bantahan Bagus Terhadap Para Pengingkar Pembagian Tauhid) Dalam kitab
tersebut, beliau menyebutkan dalil-dalil dan ucapan-ucapan ulama salaf
yang menegaskan adanya pembagian tauhid ini dan membantah sebagian
kalangan yang mengatakan bahwa pembagian tauhid ini termasuk perkara
bid’ah.
[7] Lihat At-Tahdzir min Mukhtashorot Ash-Shobuni fi Tafsir. Hlm 331
–Ar-Rudud- oleh Syaikh Bakr Abu Zaid dan Adhwaul Bayan kar. Imam
Asy-Syinqithi: 3/488-493.
[8] Lihat al-Mawahib ar-Rabbaniyyah min al-Ayat al-Qur’aniyyah kar. Syaikh Abdurrohman as-Sa’di him. 60.
[9] Min Kunuz al-Qur’an al-Karim kar. Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad: 1/149
[10] AI-Majmu’ fi Tarjamah Muhaddits Hammad al-Anshari: 2/531
[11] HR. Muslim: 2699
[12] Saya katakan “mayoritas” karena sebagian ulama mengatakan bahwa
Syaikh Sulaiman tetap dalam permusuhannya, di antaranya adalah Syaikh
Abdulloh al-Bassam dalam Ulama Nejed: 1/305 dan sepertinya Syaikh Abdul
Aziz bin Muhammad dalam Da’awi al Munawi’in hlm. 41-42 cenderung
menguatkan pendapat ini.
[13] Tarikh Nejed : 1/143
[14] Unwan Majd hlm. 65
[15] Dalam makalahnya “Sulaiman bin Abdul Wahhab Syaikh Muftaro
‘Alaihi” dimuat dalam Majalah Buhuts Islamiyyah, edisi 60/Tahun 1421 H
[16] Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlih Mazhlum hlm. 48-50
[17] Al-Asinnah Al-Haddad hlm. 12-13
[18] Lihat Majmu’ah Muallafat Syaikh: 5/25, 48, 100, 189 dan 3/11.
Lihat buku khusus masalah ini berjudul Manhaj Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab fi Takfir – kata pengantar Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-‘Aql
[19] Majmu’ah Muallafat Syaikh : 5/11, 12
[20] Ibid. 5/36
[21] Al-Hadiyyah As-Saniyyah hlm. 40
[22] Al-Asinnah Al-Haddad fi ar-Raddi ‘ala Alwi Al-Haddad hlm. 56-57 secara ringkas
[23] Iqtidho Siroth Mustaqim : 2/281
[24] Al-Kafiyah Asy-Syafiyah no. 198
[25] Lihat ad-Daulah al-Utsmaniyyah kar. Dr Jamal Abdul Hadi hlm. 94
sebagaimana dalam ad-Daulah al-Utsmaniyyah Awamilin wa Asbabis Suquth
kar. Dr. Ali Muhammad Ash-Sholabi (terj. Bangkit dan Runtuhnya Daulah
Khalifah Utsmaniyyah)
[26] Ibid. hlm. 95
[27] Ibid. hlm. 158
[28] Ibid. hlm. 156
[29] Lihat Al-A’lam Al-Arobi fi tarikh hadits dan Aqidah Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab wa Atsaruhu fi Alam Islami karya Dr. Shalih
Al-‘Abud
[30] Lihat Pusaka Indonesia Riwayat Hidup Orang-orang Besar Tanah Air
oleh Tamar Djaja cet. VI, 1965, Penerbit Bulan Bintang Jakarta, hlm.
339 dst.
[31] Dinukil dari tulisan Al-Ustadz Abu Salma berjudul “Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab di Mata Para Peneyesat Ummat” yang dimuat
dalam Majalah Adz-Dzakhiirah Edisi 17, Dzulqa’dah 1426 H.
[32] Ad-Durar As-Saniyyah : 10/275-276 cet. kelima
[33] Disadru dari kitab Al-Iroq Fi Ahadits Wa Atsar Al-Fitan oleh
Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Al Salman cet. Maktabah Al-Furqon.
[34] “Ungkapan yang populer di kalangan ahli sejarah dan ahli hadits
adalah Madinah Nabawiyyah. Adapun menyebutnya dengan Munawwaroh, maka
saya belum mengetahuinya kecuali dalam kitab-kitab orang belakangan.”
Demikian dikatakan Syaikh Dr. Bakr bin Abdillah Abu Zaid dalam Juz fi
Ziyaroh Nisa’ Lil Qubur hlm. 5.
[35] Akmal Bayan hlm 16-17 tahqiq Abdul Qadir As-Sindi, cet. Pertama , Pakistan 1402 H, dari Da’awi al-Munawi’in hlm. 190-191
[36] Ibid. hlm. 21
[37] Oleh karenanya para ulama menjadikan hadit ini sebagai salah
satu tanda-tanda kenabian Nabi Muhammad –shallallohu ‘alaihi wa sallam-.
Lihat Umdatul Qori kar. Al-‘Aini 24/200 dan Silsilah Ash-Shohihah :
5/655, Takhrij Hadits Fadhoil Syam kar. Al-Albani hlm. 26-27
[38] Bagi anda yang ingin mengetahui bantahan syubhat dan tuduhan
secara lebih lengkap, silakan membaca kitab Da’awi al-Munawi’in ‘an
Da’wati Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab kar. Dr. Abdul Aziz Abdul
Lathif dan buku kami Meluruskan Sejarah Wahhabi cet. Pustaka Al-Furqon