Senin, 09 April 2012

Cara Menafsirkan Al-Qur'an

Ibnu Mas'ud r.a. berkata, "Jika kita ingin memperoleh ilmu, pikirkanlah dan renungkanlah makna-makna Al-

Qur'an, karena di dalamnya terkandung ilmu-ilmu orang-orang terdahulu dan sekarang. Namun untuk

memahaminya, kita mesti menunaikan syarat dan adabnya terlebih dahulu". Jangan seperti pada zaman kita

sekarang ini. Hanya bermodalkan pengetahuan tentang bebrapa lafazh bahasa Arab, bahkan sekarang melihat

terjemahan Al-Qur'an, seseorang berani berpendapat mengenai Al-Qur'an.

Syarat yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, antara lain:

1. Sehat Aqidah

Seorang yang beraqidah menyimpang dari aqidah yang benar tentu tidak dibenarkan untuk menjadi mufassir.

Sebab ujung-ujungnya dia akan memperkosa ayat-ayat Al-Quran demi kepentingan penyelewengan aqidahnya.

Maka kitab-kitab yang diklaim sebagai tafsir sedangkan penulisnya dikenal sebagai orang yang menyimpang

dari aqidah ahlusunnah wal jamaah, tidak diakui sebagai kitab tafsir.

2. Terbebas dari Hawa Nafsu

Seorang mufassir diharamkan menggunakan hawa nafsu dan kepentingan pribadi, kelompok dan jamaah

ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Quran. Juga tidak terdorong oleh ikatan nafsu, dendam, cemburu, trauma dan

perasaan-perasaan yang membuatnya menjadi tidak objektif.

Dia harus betul-betul meninggalkan subjektifitas pribadi dan golongan serta memastikan objektifitas,

profesionalisme dan kaidah yang baku dalam menafsirkan.

3. Menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran

Karena Al-Quran turun dari satu sumber, maka tiap ayat menjadi penjelas dari ayat lainnya, dan tidak saling

bertentangan. Sebelum mencari penjelasan dari keterangan lain, maka yang pertama kali harus dirujuk dalam

menafsirkan Al-Quran adalah ayat Al-Quran sendiri.

Seorang mufassir tidak boleh sembarangan membuat penjelasan apa pun dari ayat yang ditafsrikannya,

kecuali setelah melakukan pengecekan kepada ayat lainnya.

Hal itu berarti juga bahwa seorang mufassir harus membaca, mengerti dan meneliti terlebih dahulu

seluruhayat Al-Quran secara lengkap, baru kemudian boleh berkomentar atas suatu ayat. Sebab boleh jadi

penjelasan atas suatu ayat sudah terdapat di ayat lain, tetapi dia belum membacanya.

4. Menafsirkan Al-Quran dengan As-Sunnah

Berikutnya dia juga harus membaca semua hadits nabi secara lengkap, dengan memilah dan memmilih

hanya pada hadits yang maqbul saja. Tidak perlu menggunakan hadits yang mardud seperti hadits palsu dan

sejenisnya.

Tentang kekuatan dan kedudukan hadits nabi, pada hakikatnya berasal dari Allah juga. Jadi boleh dibilang bahwa

hadits nabi sebenarnya merupakan wahyu yang turun dari langit. Sehingga kebenarannya juga mutlak dan qath'i

sebagaimana ayat Al-Quran juga.

5. Merujuk kepada Perkataan Shahabat

Para shahabat nabi adalah orang yang meyaksikan langsung bagaimana tiap ayat turun ke bumi. Bahkan tidak

sedikit dari mereka yang justru menjadi objek sasaran diturunkannnya ayat Al-Quran.

Maka boleh dibilang bahwa orang yang paling mengerti dan tahu tentang suatu ayat yang turun setelah

Rasulullah SAW adalah para shahabat nabi SAW.

Maka tidak ada kamusnya bagi mufassir untuk meninggalkan komentar, perkataan, penjelasan dan penafsiran

dari para shahabat Nabi SAW atas suatu ayat. Musaffri yang benar adalah yang tidak lepas rujukannya dari para

shahabat Nabi SAW.

6. Merujuk kepada Perkataan Tabi'in

Para tabi'in adalah orang yang pernah bertemu dengan para shahabat Nabi SAW dalam keadaan muslim dan

meninggal dalam keadaan muslim pula. Mereka adalah generasi langsung yang telah bertemu dengan generasi para

shahabat.

Maka rujukan berikutnya buat para mufassir atas rahasia dan pengertian tiap ayat di Al-Quran adalah para

tabi'in.

7. Menguasai Bahasa Arab, Ilmu dan Cabang-cabangnya

Karena Al-Quran diturunkan di negeri Arab dan merupakan dialog kepada kepada orang Arab, maka bahasanya

adalah bahasa Arab. Walaupun isi dan esensinya tidak terbatas hanya untuk orang Arab tetapi untuk seluruh

manusia.

Namun kedudukan Arab sebagai transformator dan komunikator antara Allah dan manusia, yaituAl-Quran

menjadi mutlak dan absolut.Kearaban bukan hanya terbatas dari segi bahasa, tetapi juga semua elemen yang terkait

dengan sebuah bahasa. Misalnya budaya, adat, 'urf, kebiasaan, logika, gaya, etika dan karakter.

Seorang mufassir bukan hanya wajib mengerti bahasa Arab, tetapi harus paham dan mengerti betul budaya

Arab, idiom, pola pikir dan logika yang diberkembang di negeri Arab. Karena Al-Quran turun di tengah kebudayaan

mereka. Pesan-pesan di dalam Al-Quran tidak akan bisa dipahami kecuali oleh bangsa Arab.

Tidak ada cerita seorang mufassir buta bahasa dan budaya Arab. Sebab bahasa terkait dengan budaya,

budaya juga terkait dengan 'urf, etika, tata kehidupan dan seterusnya.

Dan kalau dibreak-down, bahasa Arab mengandung beberapa cabang ilmu seperti adab (sastra), ilmu bayan,

ilmu balaghah, ilmul-'arudh, ilmu mantiq, dan lainnya. Semua itu menjadi syarat mutlak yang harus ada di kepala

seorang mufassir.

8. Menguasai Cabang-cabang Ilmu yang Terkait dengan Ilmu Tafsir

Kita sering menyebutnya dengan 'Ulumul Quran. Di antara cabang-cabangnya antara lainilmu asbabunnuzul,

ilmu nasakh-manskukh, ilmu tentang al-'aam wal khash, ilmu tentang Al-Mujmal dan Mubayyan, dan seterusnya.

Tidak pernah ada seorang mufassir yang kitab tafsirnya diakui oleh dunia Islam, kecuali mereka adalah pakar

dalam semua ilmu tersebut.

Alim ulama berkata, "Dalam menafsirkan Al-Qur'an diperlukan keahlian dalam lima belas bidang ilmu".

1.
Lughat (fitologi), yaitu ilmu untuk mengetahui setiap arti kata Al-Qur'an. Mujahid rah.a., berkata, "Barangsiapa

beriman kepada Allah dan hari akhirat, ia tidak layak berkomentar tentang ayat-ayat Al-Qur'an tanpa mengetahui ilmu

lughat. Sedikit pengetahuan tentang ilmu lughat tidak cukup karena kadangkala satu kata mengandung berbagai arti.

Jadi hanya mengetahui satu atau dua arti, tidaklah cukup. Dapat terjadi, yang dimaksud kata tersebut adalah arti

yang berbeda.
berubah akan mengubah arti kata tersebut. Sedangkan pengetahuan tentang i'rab (bacaan akhir kata) berubah akan

mengubah arti kata tersebut. Sedangkan pengetahuan tentang i'rab hanya di dapat dalam ilmu nahwu.
3. Sharaf (perubahan bentuk kata)
4. Isytiqaq (akar kata)
5. Ma'ani (susunan)
6. Bayaan
7. Badi'
8. Qira'at
9. Aqa'id
10. Ushul Fiqih
11. Asbabun Nuzul. Asbabunnuzul adalah sebuah ilmu yang menerangkan tentang latar belakang turunnya suatu

ayat. Atau bisa juga keterangan yang menjelaskan tentang keadaan atau kejadian pada saat suatu ayat diturunkan,

meski tidak ada kaitan langsung dengan turunnya ayat. Tetapi ada konsideran dan benang merah antara keduanya.

Seringkali peristiwa yang terkait dengan turunnya suatu ayat bukan hanya satu, bisa saja ada beberapa peristiwa

sekaligus yang menyertai turunnya suatu ayat. Atau bisa juga ada ayat-ayat tertentu yang turun beberapa kali,

dengan motivasi kejadian yang berbeda.
12. Nasikh Mansukh
13. Fiqih
14. Hadits
15. Wahbi

9. Pemahaman yang Mendalam

Syarat terakhir seorang mufassir adalah dia harus merupakan orang yang paling paham dan mengerti tentang

seluk belum agama Islam, yaitu hukum dan syariat Islam. Sehingga dia tidak tersesat ketika menafsirkan tiap ayat

Al-Quran.

Dia juga harus merupakan seorang yang punya logika yang kuat, cerdas, berwawasan, punya pengalaman,

serta berkapasitas seorang ilmuwan.

Demikian sekelumit syarat mendasar bagi seorang mufassir sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh Manna'

Al-Qaththan dalam kitabnya, Mabahits fi 'Ulumil Quran. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan.


Orang yang Tidak Akan Mampu Menafsirkan Al Qur'an

Tertulis dalam Kimiatus-Sa'adah bahwa ada tiga orang yang tidak akan mampu menafsirkan Al-Qur'an:

1. Orang yang tidak memahami bahasa Arab,
2. Pelaku dosa besar atau ahli bid'ah, yang dengan perbuatannya itu menjadikan hatinya gelap dan menutupi

pemahamannya terhadap Al-Qur'an,
3. Orang yang dalam akidahnya hanya mengakui makna zhahir nash. Jika ia membaca ayat-ayat Al-Qur'an yang

tidak sesuai dengan pola pikirnya, ia akan gelisah. Orang seperti ini tidak akan mampu memahami Al-Qur'an dengan

benar.

Banyak sekali kaum kafir yang mencoba memutar balikkan isi kandungan Al Qur'an yang tujuannya untuk

menjauhkan umat Islam dari Islamnya, Apalagi, akidahnya saja sudah tidak tepat. Mau mencoba menafsirkan.

Mereka hanya mencoba mengolok-olok saja.

Sumber:

Maulana Muhammad Zakariya, Al Kandahlawi Rah. A., Himpunan Fadhilah Amal, hal 19, Penerbit Ash-Shaff.

Yogyakarta.

www.eramuslim.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar