Minggu, 08 April 2012

Kelemahan Riwayat Maalik Ad-Daar - Benarkah Ibnu Baaz Mengkafirkan Shahabat Bilal ?

Ini uraian ringkas tentang kelemahan riwayat Maalik Ad-Daar yang dipakai oleh sebagian quburiyyuun untuk melegal kan tindakkan tawassul mereka di kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan/atau orang shaalih. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (12/31) meriwayatkan sebagai berikut :

Telah menceritakan kepada kami : Abu
Mu’aawiyyah, dari Al-A’masy, dari Abu Shaalih, dari Maalik Ad-Daar, dan ia pernah menjabat bendahara gudang makanan Khalifah ‘Umar , ia berkata : “Orang-orang pernah ditimpa kemarau pada masa pemerintahan ‘Umar. Lalu datang seorang laki-laki ke kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam dan berkata : “Wahai Rasulullah, mintakanlah hujan untuk umatmu, karena mereka telah binasa”. Kemudian orang tersebut mimpi dalam tidurnya dan dikatakan kepadanya : “Datanglah ke ‘Umar dan ucapkanlah salam kepadanya.

Khabarkanlah kepadanya bahwa kalian adalah orang-orang yang sedang membutuhkan air (hujan)…”.

Riwayat tersebut juga dibawakan oleh Al-Baihaqy dalam Dalaailun-Nubuwwah (7/47) dengan sanad :

“Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Nashr bin Qataadah dan Abu Bakr Al-Faarisiy, mereka berdua berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Amr bin Mathar : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr bin ‘Aliy Adz-Dzuhliy : Telah mengkhabarkan kepada kami Yahya : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Mu’aawiyyah, dari Al-A’masy, dari Abu Shaalih, dari Maalik (Ad-Daar)”.

Juga Al-Khaliliy dalam Al-Irsyaad (1/313-314) dengan sanad :

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Hasan bin Al-Fath : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad Ali-aghawiy : Telah menceritakan kepada kami Abu Khaitsamah : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin KHaazim Adl-Dlariir : Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Abu Shaalih, dari Maalik Ad-Daar”.

Mengenai riwayat di atas, ada yang mengatakan bahwa orang yang mendatangi kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut adalah shahabat Bilal.

Al-Haafidh berkata dalam Al-Fath (2/496) :

“Saif telah meriwayatkan dalam kitab Al-Futuuh bahwasannya orang yang bermimpi tersebut adalah Bilaal bin Al-Haarits Al-Muzanniy, salah seorang shahabat”

Namun riwayat Saif tersebut adalah sangat lemah. Saif ini adalah Ibnu ‘Umar At-Tamiimiy adalah seorang yang disepakati kelemahannya. Ia seorang yang haditsnya ditinggalkan (matruk) pendusta lagi dituduh dengan kezindiqan”.

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata :

“Tidak ada hujjah padanya, karena pokok persoalannya terletak pada orang yang tidak disebutkan namanya, sehingga ia berstatus
majhul juga. Penamaannya dengan Bilaal dalam riwayat Saif tidak berarti sama sekali, karena Saif ini adalah Ibnu ‘Umar At-Tamiimiy seorang yang telah disepakati kelemahannya oleh para muhadditsiin (ahli hadits). Bahkan Ibnu Hibban berkata tentang nya : ‘Ia meriwayatkan khabar-khabar palsu dari al-atsbaat. Dan mereka berkata : Ia telah memalsukan hadits’. Maka orang yang seperti ini tidak diterima riwayatnya dan tidak ada kemuliaan padanya, khususnya
jika terdapat penyelisihan”

Ibnu Hajar menyebutkan biografinya dalam Tahdziibut-Tahdziib (2/466-467)

Oleh karena itu klaim bahwa orang yang bermimpi tersebut shahabat Bilaal tidak boleh ditoleh dan diperhati kan sama sekali.

Sebagian orang menyangka bahwa riwayat di atas adalah shahih berdasarkan perkataan Al-Haafidh Ibnu Hajar dalam Al-Fath (2/495) :

“Dan Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad shahih dari riwayat Abu Shaalih As-Sammaan, dari Maalik Ad-Daar - seorang yang pernah menjadi bendahara ‘Umar - ia berkata :…”.

Perkataan Al-Haafidh ini perlu ditinjau kembali, sebab riwayat itu mempunyai beberapa kelemahan/cacat, di antaranya :

1. ‘An’anah Al-A’masy dari Abu Shaalih As-Sammaan, dan ia (Al-A’masy) seorang mudallis.

2. Abu Shaalih Dzakwaan bin As-Sammaan tidak diketahui penyimakan haditsnya dari Maalik bin Ad-Daar dikarenakan tidak diketahuinya tahun wafatnya Maalik bin Ad-Daar (lihat biografi Malik Ad-Daar dalam Ath-
Thabaqaat oleh Ibnu Sa’d 5/6 dan Al-
Ishaabah oleh Ibnu Hajar 3/461).

Jika ada yang mengatakan bahwa Abu
Shaalih lahir pada masa kekhilafahan ‘Umar bin Al-Khaththab sebagaimana dijelaskan oleh Adz-Dzahabi dalam As-Siyar (3/65) sehingga kemungkinan besar Maalik Ad-Daar ini wafat pada waktu ia masih kecil (sehingga memungkinkan adanya pertemuan dan penyimakan hadits); maka ini pun juga tidak bisa diterima dalam pernyataan keshahihan riwayat. Karena Adz-Dzahabi sendiri tidak menukil tahun kematian Maalik Ad-Daar dari para ulama terdahulu sehingga tidak bisa dipastikan penyimakan hadits Abu Shaalih dari Maalik Ad-Daar – atau bahkan tidak bisa ditentukan apakah Abu Shaalih ini bertemu dengan Maalik ad-Daar. Apalagi Abu Shaalih membawakannya dengan ‘an’anah, sehingga ada kemungkinan bahwa riwayat
tersebut terputus (munqathi’). Ini adalah ‘illat yang menjatuhkan. Al-Khaliiliy (1/313) telah mengisyaratkan ‘illat ini sebagaimana perkataannya :

“Dikatakan bahwasannya Abu Shaalih bin As-Sammaan telah mendengar hadits ini dari Maalik Ad-Daar, dan yang lain mengatakan bahwa ia telah meng-irsal-kan nya"

Perkataan Al-Khaliiliy “dan yang lain
mengatakan bahwa ia telah meng-irsal-kannya” mengandung satu faedah bahwa penyimakan Abu Shaalih bin As-Sammaan tidaklah ma’ruf di kalangan muhadditsiin.

Dalil yang mengandung kemungkinan yang masing-masing tidak dapat diambil mana yang rajih (kuat) menyebabkan dalil tersebut tidak bisa dipakai untuk berdalil.

3. Orang yang mendatangi kubur Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam itu tidak
diketahui identitasnya (mubham).
Sisi kecacatan (wajhul-i’laal)-nya adalah bahwasannya kita tidak bisa mengetahui apakah Malik Ad-Daar melihat peristiwa tersebut atau ia hanya mengambilnya dari orang yang tidak diketahui identitasnya itu.

Selain itu, sangat naïf lagi sembrono jika ada orang yang mengklaim bahwa orang yang mubham itu termasuk shahabat. Oleh karena itu, ini termasuk ‘illat yang menjatuhkan kedudukan riwayat.

Catatan :
Sebagian orang menyangka bahwa Maalik Ad-Daar ini merupakan salah seorang shighaarush-shahaabah karena Al-Haafidh memasukkannya dalam kitabnya Al-Ishaabah (6/164). Ini satu kekeliruan !! Ibnu Hajar telah memasukkan Maalik Ad-Daar dalam thabaqah (tingkatan) yang ketiga,dimana beliau menjelaskan dalam muqaddimah-nya bahwa dalam thabaqah ini merupakan orang-orang yang mendapati masa Jahiliyyah dan masa Islam, namun tidak didapati satu pun khabar bahwa mereka pernah berkumpul bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ataupun sekedar melihatnya, sama saja apakah mereka memeluk Islam ketika beliau masih hidup atau setelah wafatnya – sehingga mereka ini bukanlah termasuk jajaran shahabat dengan kesepakatan para ulama” [lihat 1/4].

Oleh karena itu Asy-Syaikh Al-Albani menganggap Maalik Ad-Daar ini majhul serta tidak dikenal kejujuran dan kekuatan hapalan nya. Al-Haafidh Al-Mundziriy ketika menyebut kan kisah lain dalam At-Targhiib (2/41-42) dari riwayat Maalik Ad-Daar dari ‘Umar berkata : “Ath-Thabaraniy meriwayat kan nya dalam Al-Kabiir.

Para perawinya sampai Maalik Ad-Daar adalah terpercaya (tsiqaat). Namun Maalik Ad-Daar, aku tidak mengetahuinya” [lihat At-Tawassul Ahkaamuhu wa Anwaa’uhu, hal. 119].[1]

4. Bertentangan dengan syari’at Islam yang ma’ruf yang menganjurkan shalat istisqaa’ untuk meminta turunnya hujan. Bukan dengan mendatangi kuburan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam atau selainnya.

Tanbiih !!
Beberapa orang pendengki dakwah salaf dari kalangan pecinta khurafat dan kuburan telah menuduh Asy-Syaikh Ibnu Baaz bahwa beliau
mengkafirkan shahabat Bilaal dalam riwayat yang telah disebutkan di atas

[sebagaimana dituliskan oleh seorang jaahil pengelola blog http://salafytobat.wordpress.com/2009/03/22/wahaby-palsukan-kitab-fathul-bari-dan-kafirkan-sahabat-bilal-ra/ ].

Perkataan dan tuduhan ini paling tidak disebabkan oleh dua faktor mendasar :

a. Minimnya pengetahuannya akan ilmu riwayat (hadits) sehingga ia tidak mengetahui bahwa penyebutan Bilaal (bin Haarits Al-Muzaaniy) dalam riwayat tersebut berkualitas sangat lemah (dla’if jiddan).

Inilah yang diketahui oleh Asy-Syaikh Ibnu Baaz namun tidak diketahui oleh si jaahil.

b. Ketidakpaham si jaahil akan perkataan Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah ditambah dengan sifat dengki plus su’udhdhan yang berlebihan, sehingga menutup akal pikiran nya dalam mencerna perkataan beliau yang sebenarnya sangat mudah dipahami.

Hatta oleh orang awam sekalipun. Beliau rahimahullah berkata ketika mengomentari riwayat Abu Shaalih dari Maalik Ad-Daar dalam Al-Fath (2/495) :

“Atsar ini jika dianggap shahih sebagaimana dikatakan oleh syaarih (yaitu Ibnu Hajar), tetap saja tidak dapat dipakai sebagai hujjah
diperbolehkannya istisqaa’ (meminta hujan) dengan perantara Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam setelah wafatnya. Hal ini dikarenakan orang yang meminta (berdoa) tersebut
adalah majhul, dan juga dikarenakan
perbuatan para shahabat radliyallaahu ‘anhu menyelisihi apa yang dilakukannya itu.

Mereka (para shahabat) adalah orang-orang yang paling mengetahui (tentang ilmu syari’at). Tidak ada satu pun dari mereka yang mendatangi kuburan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta diturunkan nya hujan ataupun yang selainnya.

Bahkan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu telah mengkoreksi apa yang dilakukan oleh laki-laki itu, yaitu ketika musim kemarau tiba, beliau meminta hujan melalui perantaraan (do’a) Al-‘Abbas. Apa yang beliau perbuat itu tidak diingkari oleh satupun d antara
shahabat; yang dengan itu diketahui bahwa apa yang diperbuat ‘Umar adalah benar.

Apa yang dilakukan oleh laki-laki tersebut adalah munkar dan merupakan perantara menuju kesyirikan , Bahkan sebagian ulama
menganggap perbuatan tersebut merupakan bagian dari kesyirikan.

Adapun penamaan orang yang berdoa tersebut dalam riwayat Saif tersebut dengan Bilaal bin Al-Haarits, maka keshahihannya perlu dilihat kembali”

Silakan dicermati apa yang dikatakan Asy-Syaikh Ibnu Baaz di atas. Dimana letak bahwa beliau mengkafirkan Bilaal ? (padahal penisbatan nama laki-laki tersebut kepada Bilaal tidaklah shahih).

Dengan uraian di atas jelaslah bagi kita semoga bahwa riwayat Maalik Ad-Daar yang sering dipakai oleh para qubuuriyyun itu tidak shahih,tidak boleh dilirik, dan sudah sepantasnya dibuang di belakang punggung kita.

Semoga catatan kecil ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya.

Wal ‘ilmu ‘indallaah. Allaahu a’lam bish shawwaab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar