Oleh Ustadz Ashim bin Musthafa
Majalah As-Sunnah http://almanhaj.or.id
بسم الله الرحمن الرحيم
Kota
Mekkah, dengan kemuliaan yang disandangnya, ia memiliki hukum-hukum
yang telah ditetapkan syari'at, sebagai bukti yang menunjukkan
kemuliaannya. Siapapun dilarang melakukan perbuatan maksiat. Meski
larangan ini telah jelas, ternyata dalam perjalanan sejarah kaum
Muslimin, khususnya kota Mekkah dan Ka'bah, pernah terjadi pelanggaran
yang sangat memilukan dan menodai Ka'bah secara khusus, yaitu terjadinya
penjarahan Hajar Aswad.
Hajar Aswad merupakan batu termulia. Dia berasal dari Jannah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
نَزَلَ الْحَجَرُ الْأَسْوَدُ مِنْ الْجَنَّةِ وَهُوَ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنْ اللَّبَنِ فَسَوَّدَتْهُ خَطَايَا بَنِي آدَمَ
"Hajar
Aswad turun dari Jannah, dalam kondisi berwarna lebih putih dari air
susu. Kemudian, dosa-dosa anak Adamlah yang membuatnya sampai berwarna
hitam" [1].
Tentang keutamaannya yang lain, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
ِإنَّ لِهَذَا الْحَجَرِ لِساَناً وَ شَفَتَيْنِ يَشْهَدُ لِمَنْ اسْتَلَمَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَقٍّ
"Sesungguhnya
batu ini akan punya lisan dan dua bibir akan bersaksi bagi orang yang
menyentuhnya di hari Kiamat dengan cara yang benar" [2].
Dari Ibnu ‘Umar, saya mendengar Rasulullah bersabda:
إِنَّ مَسْحَهُمَا يَحُطَّانِ الْخَطِيئَةَ
"Sesungguhnya mengusap keduanya (Hajar Aswad dan Rukun Yamani) akan menghapus dosa".[3]
Hajar
Aswad, dahulu berbentuk satu bongkahan. Namun setelah terjadinya
penjarahan yang terjadi pada tahun 317H, pada masa pemerintahan al Qahir
Billah Muhammad bin al Mu’tadhid dengan cara mencongkel dari tempatnya,
Hajar Aswad kini menjadi delapan bongkahan kecil. Batu yang berwarna
hitam ini berada di sisi selatan Ka’bah.
Adalah Abu Thahir,
Sulaiman bin Abu Said al Husain al Janabi, tokoh golongan Qaramithah
pada masanya, telah menggegerkan dunia Islam dengan melakukan kerusakan
dan peperangan terhadap kaum Muslimin. Kota yang suci, Mekkah dan
Masjidil Haram tidak luput dari kejahatannya. Dia dan pengikutnya
melakukan pembunuhan, perampokan dan merusak rumah-rumah. Bila terdengar
namanya, orang-orang akan berusaha lari untuk menyelamatkan diri.[4]
Kisahnya,
pada musim haji tahun 317H tersebut, rombongan haji dari Irak pimpinan
Manshur ad Dailami bertolak menuju Mekkah dan sampai dalam keadaan
selamat. Namun, tiba-tiba pada hari Tarwiyah (tanggal 8 Dzul Hijjah),
orang-orang Qaramithah (salah satu sekte Syiah Isma’iliyah) melakukan
huru-hara di tanah Haram. Mereka merampok harta-harta jamaah haji dan
menghalalkan untuk memeranginya. Banyak jamaah haji yang menjadi korban,
bahkan, meskipun berada di dekat Ka’bah.
Sementara itu,
pimpinan orang-orang Qaramithah ini, yaitu Abu Thahir –semoga
mendapatkan balasan yang sepadan dari Allah– berdiri di pintu Ka’bah
dengan pengawalan, menyaksikan pedang-pedang pengikutnya merajalela,
menyudahi nyawa-nyawa manusia. Dengan congkaknya ia berkata : "Saya
adalah Allah. Saya bersama Allah. Sayalah yang menciptakan
makhluk-makhluk. Dan sayalah yang akan membinasakan mereka".
Massa
berlarian menyelamatkan diri. Sebagian berpegangan dengan kelambu
Ka’bah. Namun, mereka tetap menjadi korban, pedang-pedang kaum Syi'ah
Qaramithah ini menebasnya. Begitu juga, orang-orang yang sedang thawaf,
tidak luput dari pedang-pedang mereka, termasuk di dalamnya sebagian
ahli hadits.
Usai menuntaskan kejahatannya yang tidak terkira
terhadap para jamaah haji, Abu Thahir memerintahkan pasukan untuk
mengubur jasad-jasad korban keganasannya tersebut ke dalam sumur Zam
Zam. Sebagian lainnya, di kubur di tanah Haram dan di lokasi Masjidil
Haram.
Kubah sumur Zam Zam ia hancurkan. Dia juga memerintahkan
agar pintu Ka’bah dicopot dan melepas kiswahnya. Selanjutnya, ia
merobek-robeknya di hadapan para pengikutnya. Dia meminta kepada salah
seorang pengikutnya untuk naik ke atas Ka’bah dan mencabut talang
Ka’bah. Namun tiba-tiba, orang tersebut terjatuh dan mati seketika. Abu
Thahir pun mengurungkan niatnya untuk mengambil talang Ka’bah. Kemudian,
ia memerintahkan untuk mencongkel Hajar Aswad dari tempatnya. Seorang
lelaki memukul dan mencongkelnya.
Dengan nada menantang, Abu Thahir sesumbar : "Mana burung-burung Ababil? Mana bebatuan dari Neraka Sijjil?"
Peristiwa
penjarahan Hajar Aswad ini, membuat Amir Mekkah dan keluarganya dengan
didukung sejumlah pasukan mengejar mereka. Amir Mekkah berusaha membujuk
Abu Thahir agar mau mengembalikan Hajar aswad ke tempat semula. Seluruh
harta yang dimiliki Sang Amir telah ia tawarkan untuk menebus Hajar
Aswad itu. Namun Abu Thahir tidak bergeming. Bahkan Sang Amir, anggota
keluarga dan pasukannya menjadi korban berikutnya. Abu Thahir pun
melenggang menuju daerahnya dengan membawa Hajar Aswad dan harta-harta
rampasan dari jamaah haji. Batu dari Jannah ini, ia bawa pulang ke
daerahnya, yaitu Hajr (Ahsa), dan berada di sana selama 22 tahun.
Menurut
Ibnu Katsir, golongan Qaramithah membabi buta semacam itu, karena
mereka sebenarnya kuffar zanadiqah. Mereka berafiliasi kepada regim
Fathimiyyun yang telah menancapkan hegemoninya pada tahun-tahun itu di
wilayah Afrika. Pemimpin mereka bergelar al Mahdi, yaitu Abu Muhammad
'Ubaidillah bin Maimun al Qadah. Sebelumnya ia seorang Yahudi, yang
berprofesi sebagai tukang emas. Lantas, mengaku telah masuk Islam, dan
mengklaim berasal dari kalangan syarif (keturunan Nabi Muhammad). Banyak
orang dari suku Barbar yang mempercayainya. Hingga pada akhirnya, ia
dapat memegang kekuasan sebagai kepala negara di wilayah tersebut.
Orang-orang Qaramtihah menjalin hubungan baik dengannya. Mereka
(Qaramithah) akhirnya menjadi semakin kuat dan terkenal.
Perbuatan
Abu Thahir al Qurmuthi, orang yang memerintahkan penjarahan Hajar Aswad
ini, oleh Ibnu Katsir dikatakan : "Dia telah melakukan ilhad
(kekufuran) di Masjidil Haram, yang tidak pernah dilakukan oleh orang
sebelumnya dan orang sesudahnya". [5]
Setelah masa 22 tahun Hajar Aswad dalam penguasaan Abu Thahir, ia kemudian dikembalikan. Tetapnya pada tahun 339H.
Pada
saat mengungkapkan kejadian tahun 339 H, Ibnu Katsir menyebutnya
sebagai tahun berkah, lantaran pada bulan Dzul Hijjah tahun tersebut,
Hajar Aswad dikembalikan ke tempat semula. Peristiwa kembalinya Hajar
Aswad sangat menggembirakan segenap kaum Muslimin.
Pasalnya,
berbagai usaha dan upaya untuk mengembalikannya sudah dilakukan. Amir
Bajkam at Turki pernah menawarkan 50 ribu Dinar sebagai tebusan Hajar
Aswad. Tetapi, tawaran ini tidak meluluhkan hati Abu Thahir, pimpinan
Qaramithah saat itu.
Kaum Qaramithah ini berkilah : "Kami
mengambil batu ini berdasarkan perintah, dan akan mengembalikannya
berdasarkan perintah orang yang bersangkutan".
Pada tahun 339 H,
sebelum mengembalikan ke Mekkah, orang-orang Qaramithah mengusung Hajar
Aswad ke Kufah, dan menggantungkannya pada tujuh tiang Masjid Kufah.
Agar, orang-orang dapat menyaksikannya. Lalu, saudara Abu Thahir menulis
ketetapan : "Kami dahulu mengambilnya dengan sebuah perintah. Dan
sekarang kami mengembalikannya dengan perintah juga, agar pelaksanaan
manasik haji umat menjadi lancar".
Akhirnya, Hajar Aswad dikirim
ke Mekkah di atas satu tunggangan tanpa ada halangan. Dan sampai di
Mekkah pada bulan Dzul Qa’dah tahun 339H.[6]
Dikisahkan oleh
sebagian orang, bahwa pada saat penjarahan Hajar Aswad, orang-orang
Qaramithah terpaksa mengangkut Hajar Aswad di atas beberapa onta.
Punuk-punuk onta sampai terluka dan mengeluarkan nanah. Tetapi, saat
dikembalikan hanya membutuhkan satu tunggangan saja, tanpa terjadi
hal-hal aneh dalam perjalanan. (Mas)
Maraji’ : - Shahih Bukhari,
al Imam al Bukhari, Darul Arqam, Beirut, tanpa tahun. - Shahih Muslim,
Syarhun-Nawawi, Darul Ma’rifah, Beirut, Cet. VI, Th. 1420 H. -
Ihkamil-Ahkam Syarhu ‘Umdatil-Ahkam, Ibnu Daqiqil ‘Id, tahqiq Hasan
Ahmad Dar Ibni Hazm Cet. I, Th. 1423 H. - Al Bidayah wan-Nihayah, al
Imam Imaduddin Abul Fida Isma’il Ibnu Katsir, Darul Ma’rifah, Cet. VI,
Th. 1422 H. - Wamdhul-‘Aqiq min Makkata wal-Baitil ‘Aqiq, Muhammad ‘Ali
Barnawi, Mekkah Mukaramah, Cet. I. Th. 1425 H. - Shahih Sunan
at-Tirmidzi, Muhammad Nashiruddin al Albani, Maktabah al Ma’arif. -
Shahih Sunan an-Nasai, Muhammad Nashiruddin al Albani Maktabah al
Ma’arif. - Shahihul-Jami' wa Ziyadatuhu, Muhammad Nashiruddin al
Albani, Maktab Islami, Cet. III, Th. 1408. - Taisiril Karimir-Rahman,
Abdur Rahman as Sa’di, Muassasah Risalah, Cet. I, Th. 1423H. - Al Jami’
li Ahkamil-Qur`an, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al Qurthubi, tahqiq
Abdur Razaq al Mahdi, Darul Kitabil-‘Arabi, Cet. II, Th. 1420 H.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun X/1427H/2006. Diterbitkan Yayasan
Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016] _________ Footnotes [1].
Hadits shahih riwayat at Tirmidzi. Dishahihkan oleh al Albani. Lihat
Shahih Sunan at Tirmidzi, no. 877. [2]. HR al Hakim dan Ibnu Hibban,
dan dishahihkan al Albani. Lihat Shahihul-Jami', no. 2184. [3]. Hadits
shahih riwayat an Nasaa-i. Dishahihkan oleh al Albani. Lihat Shahih
Sunan an Nasaa-i, no. 2919. [4]. Al Bidayah wan Nihayah, 11/187. [5]. Al
Bidayah wan Nihayah, 11/191. Ibnu Katsir mengisahkan peristiwa ini di
halaman 190-192. [6]. Al Bidayah wan Nihayah, 11/265.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar