Selasa, 19 November 2019

Cara Baru Memandang KAMMI

Kenapa KAMMI lahir?

Kenapa KAMMI segera hadir di puluhan kampus dan segera menjadi penguasa?

Kenapa KAMMI bertahan lama sekali, hingga 21 tahun lamanya?

Dua puluh satu tahun yang lalu, di negeri kita, penindasan dan ketidakadilan itu nyata sekali. Ia mewujudkan diri menjadi sosok: Soeharto namanya.

Ketidakadilan itu juga melembaga: Orde Baru namanya.

Saat itu orang gandrung mengaji. Orang senang dengan jilbab lebar, orang senang dengan wacana-wacana takbir jalanan.

Dan saat itu sebagai perias perjuangan, muncul satu genre musik legendaris. Nasyid namanya. Nasyid-nasyid itu mampu menengahi segala perdebatan haramnya musik, karena nyaris tanpa instrument apapun.

Nadanya menghentak. Keras. Menggetarkan jalanan. Mengguncang panggung-panggung politik dan memberikan semangat.

Puisi “Lautan Jilbab”Emha Ainun Nadjib menggambarkan kondisi saat itu. Orang-orang saling berjuang membebaskan diri dari belenggu larangan jilbab di seluruh negara. Aurat, adalah seruan utama di berbagai lembaga.

Sementara itu, di ranah politik, puluhan partai islam muncul: dari yang menang besar semacam PAN dan PKB maupun yang kalah telak semacam PK.

Sementara itu secara ekonomi, orang sadar bahaya modal asing yang masuk melalui IMF atau lembaga lain atas nama investasi. Soeharto hancur karena itu.

Semuanya berlomba tampil di garis depan perjuangan. Semuanya berlomba mengalahkan kebatilan dengan caranya sendiri. Mereka yang pragmatis, berakhir dengan lemparan celana dalam, atau dipukuli di sudut jalan.

Lalu di masa-masa itu, tampilah sekelompok orang. Cita-citanya jauh kedepan. Pandangannya tunduk, tapi mengerikan saat bertakbir. Mereka berjilbab lebar; atau berdahi hitam.

Dan di ikat kepala putih mereka, kadang darah mengalir memerahkannya. Di ikat kepala itu ada tulisan yang tegas berbunyi: “KAMMI”

Di bendera mereka yang juga dibasahi darah, bertuliskan kalimat besar: Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia.

Mereka keras menentang kebatilan di siang hari. Tapi di malam hari, mereka akan dengan teguh hati melingkar di sudut paling sepi di setiap kota, menghapal hadis, membaca Al-Quran dan saling memberi nasihat.

Kalau kita perhatikan filosofi gerakan KAMMI, kita akan dapati kalimat bernas yang akan membawa kita pada satu kenyataan, bahwa gerakan ini bukan gerakan cari panggung, atau gerakan kecil yang pura-pura besar.

Gerakan ini besar karena cita-citanya. Rekan-rekanku sekalian yang lupa kenapa kita berbaris bersama, kuundang kalian membaca kembali kredo gerakan kita.

Kepada orang-orang yang sekarang pragmatis, malu-malu, bergelimang jabatan dan mabuk pujian, kuundang kalian membaca kembali prinsip gerakan kita.

Itulah hari-hari awal gerakan kita!

*

Dua puluh satu tahun berlalu sejak kejadian itu. Orang mulai ramai membicarakan perubahan arah gerakan. Demonstrasi tak lagi jadi alat utama. Media social sangat mencolok membawa harapan baru.

Kader KAMMI, masih sama banyaknya dengan dahulu kala. Tapi, secara structural, jumlah pengurusnya sedikit. Kalau dulu belum ada manhaj, sekarang manhaj dan alur pengaderan akan memandu kita sampai tamat urusan dauroh.

Hari ini, kebatilan yang dihadapi masih sama. Penindasan. Ketidakadilan. Korupsi, masih menjadi musuh utama. Hadirnya Komisi Pemberantasan Korupsi malah menjadi korupsi yang baru.

APBN semakin besar. Rakyat yang ditanggung semakin banyak. Kinipun makin banyak pula menteri yang bergelar professor dan Ph. D. tetapi, kemiskinan, tidak disikapi sebagai sejumlah nyawa yang lapar atau sejumlah mata yang pedih.

Korporasi, masih mengangkangi berbagai kebijakan. Kalau di jaman Soeharto perusahaan milik Soekanto Tanoto menggilas hutan, maka pemain di jaman ini makin banyak. Bahkan semakin berani membakar hutan.

Partai politik, sebagaimana prediksi Al-Imam Hasan Al-Banna, menjadi sumber kebatilan tersendiri mana kala persekutuan mereka di parlemen malah menjerumuskan rakyat lebih jauh dalam kondisi amoral melalui RUU P-KS  dan lain sebagainya.


Kalau dulu melalui perbankan masuk modal asing yang menjerat, sekarang masuk pula modal asing itu lewat startup yang digadang-gadang sebagai pilar ekonomi kita. Presiden malah menyatakan kekalahan negara pada korporasi dengan focus pada manufaktur, bukan pembinaan Sumber Daya Alam.

Tapi di balik itu semua, ada, ada harapan besar yang dapat kita jadikan doa. Di mana-mana terjadi gelombang hijrah. Para pemuda menembus kebekuan gerakan itu dengan mendirikan komunitas hijrah. Kalau dulu jilbab, sekarang cadar. Kalau dulu baca qurán, sekarang menghafal.

Bahkan sekarang orang ramai-ramai menjadi hafizh qurán dengan harapan dapat memperbaiki kondisi umat. Dan di mana-mana orang masuk KAMMI lagi, dengan tujuan ingin belajar islam dan ikut memakmurkan bumi ini.

Di mana-mana orang malu bila auratnya terbuka. Gelombang jilbab berubah menjadi airbah. Al-Qurán berubah menjadi hujan yang menyuburkan negeri ini.

Angka pemuda-pemuda yang berjilbab lebar, menolak pacaran, dan memahami betul apa yang benar dan salah menurut AL-Quran dan Ash-Sunnah bertambah banyak. Melebihi angka yang kita kira!

Lalu di masa-masa semacam ini, mulai banyak yang berkata: apalah gunanya berorganisasi islam? Apalah gunanya memadukan saf, saat saf-saf yang ada malah mudah dibeli, imamnya adalah orang fasik yang terlihat saleh, atau para muazinnya adalah orang munafik yang pandai bicara?

Fenomena zaman masih sama. Kebatilannya masih sama. Tapi orang-orangnya sudah lain. Mereka bukan orang yang bisa dikibuli dengan gemerlap pembangunan, atau indahnya angka investasi. Maka kalau kita bicara tentang inovasi ber-KAMMI, marilah kita beranjak dari sini.

*

Orang sekarang itu unik. Mereka mengaji pada kelompok yang dinyatakan salafi, tapi ikut pula amalan-amalan kelompok tradisionalis. Mereka gabung halaqah, tapi turut menyerukan khilafah. Mereka ikut kajian hijrah, dan bersama-sama menolak terorisme.

Mereka memadati mabit. Ramai-ramai menggunakan cadar, ramai-ramai menolak pacaran. Mereka ikut dan membangun startup, tapi sadar bahayanya modal asing. Mereka memenuhi kelas-kelas pemikiran islam yang diadakan oleh para cendekiawan muda muslim.

Tapi mereka punya satu persamaan. Mereka sadar bahwa Al-Qurán adalah jawaban, Al-Qurán adalah solusi. Dan hal itu dapatlah kita rumuskan dengan enam kalimat tegas yang ada dalam prinsip gerakan KAMMI.

Lalu, inovasi apa yang kita butuhkan? Kenapa di mana-mana ada suara sumbang soal matinya gerakan, pudarnya semangat pengaderan, atau tumpulnya gagasan?

Karena sekarang memang kita hanya butuh kembali menyatakan dengan tegas, siapa kita. Di pihak manakah kita. Ketegasan terhadap kebatilan itulah yang dulu dirindukan orang pada masa reformasi, dan kini dirindukan lagi sebagai jawaban.

Kita  mau mengubah apapun, akan percuma bila ketegasan itu hilang. Kita adalah orang-orangan plastic yang gampang letoi kena panas sedikit. Kita adalah manusia selebgram yang gampang sakit hati karena tidak disukai publik. Apakah kita mau begitu?

Kalau ada inovasi yang kita butuhkan, sekarang saya akan tegas berkata: kitalah barisan yang akan membongkar kebatilan sampai ke akar-akarnya. Kajian kita, hari-hari kedepan, akan berlangsung untuk melacak sejauh mana kebatilan bekerja.

Rakyat sudah merasakan, tapi belum mengerti kebatilan apa yang membelit mereka. Rakyat menangis, tapi belum paham kenapa mereka menangis. Kita hadir di sana. Kita hadir dengan jelas untuk menjawab airmata rakyat itu.

*

Madrasah KAMMI adalah kelas-kelas yang memberikan jawaban itu. Kalau di satu komisariat atau KAMMDA mengalami kematian gagasan, maka ada masalah pada kualitas Madrasah mereka.

Urutan-urutan materi yang ada dalam dauroh pertama maupun kedua, sudah sangat rapi membawa pola pikir kita pada jawaban apa yang pantas kita berikan bagi umat ini. Akan tetapi, di mana-mana instruktur tidak memahami apa yang hendak mereka sampaikan pada dauroh itu.

Kelas-kelas pemikiran itu akan kita buka. Di suatu pekan kita akan membahas macam aliran politik di dunia ini. Di pekan yang lain, kita akan bedah apa saja aliran ekonomi di dunia ini.

Di pekan yang lain, kita buka kelas siroh dan kelas sejarah, dari Nabi Muhammad hingga Sultan Abdul Hamid II di Turki. Dari Purnawarman di Tarumanegara hingga Joko Widodo.

Kelas-kelas lain akan kita masukkan dalam lokus yang jelas: bisnis, sastra, guru , buruh, digital, dan lain sebagainya. Tapi tak perlu KAMMI berubah menjadi komunitas. Ia hanya cukup menaungi itu. Akan lahir ribuan komunitas yang didirikan kader KAMMI dengan semangat zaman yang tak lekang itu!

Barangkali, inovasi ini harus dipuncaki dengan itikad baik para pengurus: jangan biasakan bicara sebagai banci. Yang bersayap, yang pragmatis, yang menunggu dibayar oleh pelanggan lalu pergi. Atau kalau tidak dibayar, maka si banci akan keras sekali tinjunya!

Jangan takut kehilangan kader. Kader pergi dari gerakan ini karena alamat perjuangan kita yang mulai tak jelas. Karena kita tak lagi memperjuangkan syumuliatul islam, tapi ambisi para pengurusnya semata.

Terakhir, marilah berbaris kembali. Kita penuhi hak dan kewajiban kita sebagai mahasiswa muslim Indonesia dan berbarislah dalam kesatuan aksi!