Minggu, 02 Desember 2018

KAMMI dan 212: Menanti Bangkitnya Fajar Pembebasan

Amar Ar-Risalah


Momen 212 ini menunjukkan sesuatu. Pertama, sebab awal kenapa orang berkumpul, adalah merebaknya kezaliman dan terutama dihinanya simbol yang bagi umat muslim adalah kehidupan mereka. Bagi mereka, Qur'an, ulama, jilbab, apalagi kalimat tauhid, adalah perlambang keadilan dan keselamatan.

Islam, bagi kita, adalah keselamatan dan keadilan mutlak. Jauh dalam hati kita. Dan, sekelompok ulama, baik dari FPI, HTI, maupun PKS secara simultan berdakwah, yang, muara dakwahnya, mengingatkan bahwa pangkal segala kezaliman adalah ditinggalkannya agama dalam pemerintahan.

Lalu, dihinanya simbol keadilan dan keselamatan ini, diperbesar dengan kezaliman-kezaliman yang terjadi berturut-turut. Naiknya harga-harga. Bodohnya pejabat-pejabat. Runtuhnya keadilan hukum. Itu semua entah mengapa sangat sesuai dengan tujuan kepemimpinan, dalam An-Nisa ayat 58.

Di satu sisi, ada sekelompok muslim yang memilih tak terpengaruh dan tenang di tempatnya. Mereka diwakili oleh fanatik NU dan fanatik Salafiyah-Wahhabiyah. Ironisnya, dua kelompok ini saling menyesat-nyesatkan lantaran fikih kesehariannya jauh berbeda.

Tapi, kembali pada dua penyebab 212 menjadi gerakan besar: baik golongan pertama, yaitu mereka yang mendakwahkan pentingnya agama dalam politik, maupun golongan kedua, yang bersikap tenang dan diam, maupun yang ketiga: yang memilih mendukung rezim dan memperbaiki apa adanya (insyaa Allah menjadi Rajul Mukmin dalam surat Ghafir), ketiganya punya beberapa kesamaan.

Pertama, di tengah-tengah mereka, ada pengikut-pengikut yang mulai sadar dan mencari jalan tengah. Mereka tidak lagi fanatik bendera dan organisasi, akan tetapi berpikir bijak, dengan pertanyaan kunci: apa yang menyebabkan saya bisa mendapatkan jawaban dari organisasi ini?

Akumulasinya, ada di 212. Mereka yang fanatik organisasinya, mampu datang tanpa membawa simbol apapun. Sekalipun itu gerakan mahasiswa seperti HMI, KAMMI, dan Gema Pembebasan.

Di antara golongan ini, barangkali ada yang pernah menganut paham fikih praktis khas kerajaan diktator yang tidak mau diskusi: demo haram, apalagi membicarakan kebijakan penguasa. Lebih dari haram.

Begitu juga mereka yang tidak menjadi anggota organisasi manapun, bergabung dalam reuni ini. Bisa jadi di antara mereka ada yang telah berazzam untuk golput. Bisa jadi pula pemilih paslon yang dianggap anti islam dalam pilpres.

Kedua, mereka akhirnya tanpa sadar memilah sendiri dalam benak: mana yang merupakan jawaban bagi keadilan dan kedamaian di negeri saya? Perbedaan fikih? Perbedaan manhaj? Perbedaan guru dan sanad? Perbedaan zikir dan pakaian?

Apa hakikat dari haramnya demo atau halalnya menyerukan kebenaran? Apa intisari dari mengaji kitab dan menghafal qur'an?

Mereka yang ikut 212 akhirnya menyadari sesuatu. Kesadaran itu adalah: itu semua tidak menjadi jawaban. Betul, penting mencari dalil dan contoh. Tapi sebagaimana muasalnya, islam harus dikembalikan sebagai cara pandang, bukan cuma prosedur ritual.

Mereka menemukan satu persamaan dari semua ustadz, ulama, dan organisasi: sama-sama mencari cara memperoleh keadilan dan jaminan keselamatan.

Akhirnya, muncul jenis massa, definisi umat, atau sederhanakan menjadi: generasi baru muslim di Indonesia. Titik tolak baru cara pandang Islam dan negara.

Yang masa bodoh dengan di mana tempat mengaji. Masa bodoh dengan perbedaan fikih. Masa bodoh juga dengan tinggi-tinggian sanad. Yang menemukan jawaban dari ketidakadilan, penindasan, kegagalan berpikir, dan bahkan dari ketidakpantasan dan kebiadaban orang.

Mereka tetap mengaji ke ustadz atau organisasi asal dan favoritnya. Tapi, hati kecil mereka sebagai muslim tak bisa dibohongi. Apapun organisasinya, mereka merasa diwakili oleh 212 ini.

Nah, di luar itu, saya mau bicara soal, bagaimana mujaddid atau Pembaru Zaman, muncul di tengah-tengah kita. Dalam bahasa Hasan Al-Banna, adalah Fajar Kebebasan. Sang Fajar Kebebasan ini bukanlah pejabat administratif. Bukan pula syaikh besar yang agung. Bukan pula sang Revolusioner.

Dia hanya perlu menyatukan dan membuat garis tengah dari semua kelompok umat yang dibedakan oleh organisasi mereka. Hal yang bisa menyatukan itu sudah ada. Yaitu, kesadaran agama dan politik (dalam hal ini, Hasan Al-Banna menyebutnya Syumuliatul Islam), dan pengalaman yang sama terhadap kezaliman. Sederhananya, kerinduan pada keadilan, dan mereka paham agama islamlah obatnya. Ia beyond fikih. Fikih, diserahkan pada pribadi-pribadi. Tapi, soal keadilan dan tujuan besar, harus dipimpin.

Siapakah mujaddid ini? Siapakah fajar kemenangan ini? Sudah dewasakah ia? Masih mudakah ia? Bersembunyikah ia di suatu tempat? Butuh serangkaian momentum yang ekstrim lagi untuk memunculkannya.

Apakah pembaru itu kini disembunyikan dalam istana Firaun oleh Allah, sebagaimana Firman-Nya dalam surat Al-Qasas, ayat 8:

Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir'aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir'aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah.

Atau adakah ia kini dari kejauhan, mengamati arah angin dengan luasan kulitnya, merasakan perubahan tekanan udara dengan sarafnya, dan sedang belajar memimpin umat ketika saatnya tiba?

Semua organisasi islam, semua gerakan harus bersiap. Sistem pengaderan harus diperbaiki. Sebab sang Pembaru, sang Fajar Kemenangan itu tidak datang dengan perbedaan hasil fikih atau datang dari hafalan hukum yang menumpuk di kepalanya. Ia akan datang, sebagaimana Umar bin Abdul Aziz, Imam Syafi'i, Imam Bukhari, dan seterusnya;

Dengan cara pandang baru kepada dunia, berdasarkan agama Islam.
*

Bagaimana dengan KAMMI? Apa yang bisa kita lakukan?

Jangan pernah sekadar jadi peserta aksi dan reuni. Kita harus tampil sebagai penyambut, pendamping, penyiap Mujaddid itu. Bahkan bilamana perlu, merekrut dan mendidik calon mujaddid itu untuk mempercepat datangnya.

Kini organisasi mahasiswa yang dianggap masih paling depan menyuarakan islam sebagai tawaran politik, adalah KAMMI. Begitu juga melihat kebatilan penyelenggaraan negara dari sudut pandang islam, tinggal KAMMI.

Lalu bagaimana cara KAMMI mempersiapkan mujaddid, sang Fajar Kemenangan dalam istilah Hasan Al-Banna itu?


Hasan Al-Banna menjelaskan istilah Fajar Kemenangan, atau tepatnya Fajar Pembebasan, Fajrul Hurriyat itu, saat menawarkan ulang surat Al-Qashash 1-5. Bahwa Rasulullah Musa diutus Allah sebagai jawaban atas kesewenang-wenangan dan pecah belahnya penduduk bumi.


Dauroh Marhalah 1 hingga 3 harus menjalankan tugasnya dengan baik. Komposisi materi dan cara penyampaiannya harus disusun ulang sebagai cara untuk menyadarkan orang bahwa kesewenang-wenangan dan penindasan sedang terjadi.

Begitu juga, rangkaian metode berpikir yang diberikan dalam Madrasah KAMMI. MK harus disikapi ulang sebagai alat membentuk kesamaan pola pikir kepada butuhnya orang pada islam, dan penyebab segala penindasan ini, adalah keadaan tanpa agama.

Bukan cuma kegiatan seminar dan pertemuan rutin dengan pembicara mentereng yang diikuti sambil main game online di gadget, dan pesertanya pun berduyun-duyun datang terlambat. Alih-alih mencerdaskan, MK malah membosankan dan paling banter jadi Ice Cream Party.

Bahwa Syahadatain sebagai titik tolak perubahan, kelak menuntun kader KAMMI pada suatu konsep Ummah, dan pada gilirannya, mampu membimbing umat islam ini kepada Tamkin, atau Kejayaan.


Manhaj harus didesain sebagai cara untuk membangkitkan orang paling bodoh dan tertindas sekalipun menjadi calon pembaru itu. Setidak-tidaknya, sebagian besar kita akan jadi pendukung sang Mujaddid, dan satu akan dipilih sebagai sang Mujaddid itu.


Sekarang, jangan lagi menyikapi materi dauroh sebagai alat pemuasan pemikiran para pengisi dauroh. Habis baca satu dua buku, bertemu satu dua tokoh, lalu menyampaikannya pada peserta dengan kebanggaan tiada tara.


Materi dauroh tidak boleh disampaikan sebagai hal yang membuat kita terjangkit virus pesimisme dan akhirnya turut campur dalam mafia politik dengan segala uang yang bisa didapatkan. Materi dauroh itu harus bisa memberikan gambaran tahapan kisah bangkitnya umat dalam Risalah Pegerakan Ikhwanul Muslimin:

Kelemahan umat, akan dijawab dengab datangnya seorang pemimpin, penuntun, yang digambarkan Hasan dengan "maka iapun pergi membawa diri dan kebebasannya, di mana kelak Allah menumbuhkannya sebagai pembawa Risalah-Nya, menjadikannya sebagai tumpuan harapan pembebasan bangsanya."

Lalu, terjadilah pertarungan dua gagasan itu. Yang, diperkuat dengan iman. Iman di sini barangkali adalah hasil dari pertarungan kebenaran dengan tirani dan kebatilan itu. Maka, akhirnya, akan terjadi kemenangan itu.



Materi DM 1 adalah persiapan. Materi DM 2, adalah panduan teknis, dan materi DM 3 adalah baiat untuk para calon pembaru itu. Maka bilamana ada alumni pengaderan KAMMI yang malah jadi bagian kebatilan itu, itu adalah residu yang tidak kita harapkan, tapi niscaya muncul. Abaikan saja mereka, fokuslah pada tujuan kita.


Akhirnya, tak perlu menanyakan apa peran KAMMI dalam 212. Tapi, apa yang dilakukan KAMMI setelah jelas kemana arah angin ini. Bersiap-siaplah!