Rabu, 26 Desember 2012

Kampung: Subagyo Sastrowardoyo


Negeri Kampung(an) Halaman: Kajian Semiotik
Kampung
Subagyo Sastrowardoyo
Kalau aku pergi ke luar negeri, dik
karena hawa di sini sudah pengap oleh
pikiran-pikiran beku.

Hidup di negeri ini seperti di dalam kampung
di mana setiap orang ingin bikin peraturan
mengenai lalu lintas di gang, jaga malam dan
daftar diri di kemantren.

Di mana setiap orang ingin jadi hakim
dan berbincang tentang susila, politik dan agama
seperti soal-soal yang dikuasai.

Di mana setiap tukang jamu disambut dengan hangat
dengan perhatian dan tawanya.

Di mana ocehan di jalan lebih berharga
dari renungan tenang di kamar.

Di mana curiga lebih mendalam dari cinta dan percaya.

Kalau aku pergi ke luar negeri, dik
karena aku ingin merdeka dan menemukan diri.
Menarik, apabila kita mencoba mengambil sudut pandang semiotik terhadap karya-karya Subagyo. Semiotik mencoba mengungkap tanda-tanda, simbol, dan lambang yang digunakan pada sebuah karya. Lebih jauh lagi apa efek tanda-tanda ini terhadap pemaknaannya. Tahap untuk mengungkapnya, secara ringkas dapat dibagi menjadi tahap pengungkapan makna, pengungkapan hubungan makna sistem puisi dengan diluar sistem puisi (masyarakat atau realita), dan penghargaan terhadap sebuah karya dan pengarangnya.
Puisi  Kampung ini secara umum bermakna keresahan, kekecewaan dan pemendaman perasaan yang berakibat pilihan untuk pergi dari kampung halamannya, yang merupakan simbol dari negerinya sendiri. Secara tersirat, meski tidak menyebutkan kata Indonesia, namun melihat latar belakang penulis, jelas puisi ini dialamatkan pada Indonesia. Sebuah krtitikan pedas, yang datang dari kekecewaan sang penyair terhadap kampung halamannya. Lantas, pada bait-bait yang ia susun, ia memaparkan secara halus apa yang menjadi kekecewaanya.
Simbol Kampung yang ia gunakan, memiliki arti tempat yang sangat desa. Bagi masyarakat urban dewasa ini, kampung adalah tempat mereka dilahirkan, dibesarkan, dan mengenyam asuhan dari orang tua. Tempat mengambil hikmah-hikmah hidup yang nantinya menjadi sifat-sifat orang tersebut. Menilik isi pada bagian sajaknya, Kampung sebagai tempat kelahiran bermakna lebih luas lagi, yaitu Indonesia. Bukan sekedar kampung dalam pengertian kampung masa kecil.
Diksi Kalau aku pergi ke luar negeri, dik/ karena hawa di sini sudah pengap oleh/pikiran-pikiran beku menunjukkan keresahan tentang yang terjadi di kampungnya. Hawa dan pengap, adalah kata-kata yang digunakan untuk menjelaskan sifat udara. Dengan jelas, penyair menjelaskan bahwa kejenuhan dan kebekuan pikiran telah memenuhi udara di kampungnya, memenuhi pola pikir keseluruhan orang Indonesia. Pemerintah Indonesia. Hingga pengap. Ini yang membuat penyairnya ingin pergi ke luar negeri. Mencari udara segar, mencari pikiran-pikiran yang bebas, dan tidak mengekangnya.
Diksi dik  yang dipakai mengesankan ia sedang bicara dengan orang yang lebih muda. Mungkin, bicara pada generasi muda. Memberikan alasan kenapa ia pergi. Yang berarti, ia memberikan semacam tugas secara tak langsung bagi ”adik” yang tinggal di kampungnya: perbaiki apa yang aku tinggalkan. Generasi mudalah yang diharapkan memahami keresahan ini, dan memperbaikinya.
Kampung, juga diartikan sebagai tempat yang tidak maju. Terbelakang. Hidup di negeri ini seperti di dalam kampung/di mana setiap orang ingin bikin peraturan. Sudah jelas, di tempat asalnya, kepengapan hawa berasal dari perilaku semena-mena dan ego. Setiap orang membuat peraturan, yang tak padu. Tidak untuk kepentingan umum. Saling bentur. Di kampung, yang udik, tak ada yang berkuasa kecuali ego masing-masing pribadi.
mengenai lalu lintas di gang, jaga malam dan/daftar diri di kemantren. Untuk hal-hal sepele, bahkan hal ini menjadi bahan peraturan orang-orang dalam sajaknya. Gang, adalah hal yang sangat sepele. Simbol lalu lintas gang, jaga (ronda) malam, dan registrasi ini juga memiliki arti betapa rumitnya peraturan di negeri itu. Namun, apabila dikaitkan dengan larik diatasnya, berarti setiap orang ingin membuat peraturan  tentang hal sekecil ini, yang artinya, semakin rumit saja.
Di mana setiap orang ingin jadi hakim/dan berbincang tentang susila, politik dan agama/seperti soal-soal yang dikuasai. Simbol hakim, memiliki arti orang yang memiliki hak untuk menentukan secara hukum mana yang benar dan salah. Setiap orang ingin menetukan mana yang benar dan salah, sesuai keinginannya sendiri.
Perbincangan tentang susila, politik, dan agama, yang ramai diperbincangkan orang, mengingatkan kita pada simbol perdebatan tiada henti di televisi. Setiap ada kasus besar muncul terkait tiga hal tadi, teve berlomba-lomba menghadirkan orang-orang yang dianggap mampu untuk berdebat, adu pendapat, dan saling tuduh dalam forum dialog dan debat. Tetapi, penyair dengan baik menangkap kepalsuan mereka: seperti soal-soal yang dikuasai.
Makna sebenarnya, justru penyair menegasikan kemampuan mereka. Bahwa orang-orang itu tidak menguasai soal-soal yang diperdebatkan dan terjadi. Bahwa orang-orang itu hanya mengedepankan egoisme pribadi. Di negeri itu, setiap orang mengedepankan keinginan pribadi.
Ideologi-ideologi baru dengan bebas diwartakan dan dibincangkan diruang-ruang publik, seolah mereka sudah sangat mengerti tentang persoalan ini. Agama-agama baru muncul, berawal dari tafsir-tafsir yang mereka anggap benar. Para politisi, main hakim dan main jotos. Semuanya merasa paling benar seperti sudah menguasai benar soal-soal semacam ini.
Di mana setiap tukang jamu disambut dengan hangat/dengan perhatian dan tawanya memiliki makna unik. Tukang Jamu, berasosiasi dengan tukang obat. Tukang obat yang ia gambarkan disini, berarti orang yang menawarkan barang-barangnya dengan segudang khasiat dan manfaat. Apa artinya? Berkaitan dengan kondisi negeri, pihak yang memberikan penawaran adalah pejabat yang sedang berkampanye. Menawarkan programnya dengan segudang manfaat. Namun, seringkali jamu-jamunya ini justru membuat penyakit baru.
Masalahnya, entah kenapa setiap calon pembelinya seperti terhipnotis dan percaya: disambut dengan hangat/dengan perhatian dan tawanya. Itulah masyarakat. Mereka lebih mudah dibuai janji-janji. Sebuah negeri, dimana juru kampanye disambut dengan hangat diberi perhatian. Lantas, setelah berhasil mengelabui masyarakat, mereka tertawa riang, membayangkan kemenangan-kemenangan. Baik secara perolehan suara, atau barganing position  di mata masyarakat.
Kondisi ini, yang dijelaskan luas dalam puisi ini, bisa jadi berkaitan dengan ideologi negara yang bersangkutan. Tempat dimana orang-orang dalam sebuah sistem kenegaraan dapat bicara seenaknya dan sebebasnya, adalah liberal. Setiap orang memiliki kebebasannya sendiri.
Keseluruhan ikon-ikon dalam puisi ini  menggiring pemahaman bahwa: kebebasan bicara itu pengap! Kebebasan bicara, hanya menjadi udara segar jika setiap orang sudah meninggalkan ego, tidak lagi bicara semaunya sendiri tentang aturan sepele tapi berpotensi konflik. Ketika, tak ada lagi tukang jamu. Yang ada adalah obat-obatan yang betul-betul berkhasiat buat masyarakat.
Sistem politik multi partai, memiliki konsekuensi setiap partai membawa ideologinya sendiri yang pasti, mereka anggap paling benar. Dan konsekuensi lanjutannya, setiap partai menganggap ideologi partai lain tidak tepat diterapkan. Maka jadilah: seperti soal-soal yang dikuasai./ Di mana setiap tukang jamu disambut dengan hangat/dengan perhatian dan tawanya. Situasi kalut dan bising, membuat hawa di sini sudah pengap oleh/pikiran-pikiran beku. Simbol-simbol ini, mau tak mau membuat ita bertanya: apakah puisi ini anti liberal, atau sebaliknya, mencoba menyempurnakan konsep liberal dan pancasila?
Kembali ke soal puisi ini. bait-bait selanjutnya, Di mana ocehan di jalan lebih berharga/dari renungan tenang di kamar. Ini merupakan simbol negeri dalam puisi ini, yang mengutamakan obrolan sepintas lalu. Di jalan, adalah tempat orang berinteraksi sekedarnya. Andaipun mereka membicarakan soal politik, hukum, dan agama serta susila, tidak menggunakan dasar-dasar yang bisa dipertanggungjawabkan. Malahan biasa membuat pertengkaran kecil. Ujungnya adalah tawuran masal. Tak ada lagi yang suka merenung-renung, memikirkan nasib masyarakat. Merenungkan konsep-konsep dan pergerakan. Sudah tak ada harga dari renungan ini. lebih jauh, konsep-konsep sudah tak berharga, yang ada obrolan jalanan.
Di mana curiga lebih mendalam dari cinta dan percaya. Ini adalah simbol dari keadaan negeri dalam puisi, tempat kecurigaan pasti mengintai siapa saja. orang yang diterkam rasa curiga, pasti tidak memiliki ketenangan. Sekecil apapun kecurigaan itu. Rasa cinta dan percaya sudah hilang dari masyarakat negeri itu. Simbol curiga, adalah peristiwa hilangnya kepercayaan terhadap lainnya. Terhadap orang-orang disekitarnya.
Cinta dan percaya, adalah aspek utama untuk membangun solidaritas dan persatuan. Ia adalah simbol keterikatan antar anggota masyarakat.  Jelasnya, ia menggambarkan betapa rapuhnya negeri ini, ketika dibangun dengan rasa curiga.
Rangkuman dari segala peristiwa yang ia gambarkan diatas, sebetulnya adalah negeri yang dibangun dengan rasa curiga, paska reformasi. Tempat setiap orang membangun gagasannya sendiri.  Tempat cinta dan percaya bukan lagi hal yang penting.
Kalau aku pergi ke luar negeri, dik
karena aku ingin merdeka dan menemukan diri
.
Amat halus, penyair menyindir negerinya sendiri, yang tidak menjamin kemerdekaan pribadi. Justru, ketika setiap orang bebas bicara seenaknya. Ketika setiap orang bisa memperbincangkan susila, politik, dan agama, kita kehilangan kebebasan yang sejati.
Di negerinya sendiri, negeri dalam puisi, penyair kehilangan rasa merdeka. Rasa dihormati dan mendapatkan pengakuan. Penghargaan. Ia kehilangan eksistensi ditengah masyarakat, yang lebih suka bicara dan merenung. Liberalisme yang tergambar melalui simbol-simbol kekampungan diatas malahan merampas kemerdekaan individu. Menjadi tak terarah, dan berujung pada main hakim sendiri.
Ia ingin menemukan diri, ia ingin dihargai dan menemukan eksistensinya sebagai anggota masyarakat yang menghargai pola pikir dan gagasan, bukan omong besar tukang jamu dan dialog televisi. Ia ingin mendapatkan masyarakat yang teratur.
Agaknya, kaitan puisi ini dengan anti liberalisme yang keras digaungkan ditengah masyarakat perlu dikaji lebih lanjut. Bahwa kebebasan bicara malah merampas kemerdekaan individu yang lain. Bahwa kondisi negeri ini, yang setelah reformasi katanya menjamin kebebasan individu, malah menghasilkan masalah baru. banyak sekali masalah baru. masalah, yang membuat kita tak betah di negeri sendiri. Negeri yang menjadi kampung. Dan sekali lagi:
Kalau aku pergi ke luar negeri, dik
karena aku ingin merdeka dan menemukan diri
.

Rabu, 12 Desember 2012

Bathara Kala: Sang Waktu yang Memangsa Manusia Sukerta dalam Perspektif Islam


 Bathara Kala: Sang Waktu yang Memangsa Manusia Sukerta dalam Perspektif Islam
“... Ayub ing ususku mangke/Nabi Nuh ing jejantung/Nabi Yunus ing otot mami/Netraku ya Mukhamad/Pamuluku rosul/Pinayungan Adam sarak/Sampun pepek sakatahing para nabi/Dadiya sarira tunggal/Siji sawiji mulane dadi...”
Bait-bait tembang diatas, adalah bagian dari Ruwatan Bathara Kala yang disarikan dari naskah Ruwatan Ki Dalang Marta (Safari: 2010). Kental terlihat unsur-unsur agama samawi dengan penyebutan para Nabi dan Rasul sebagai anggota tubuh, untuk perlindungan dari Sang Bathara Kala. Secara khusus, agama rujukan adalah agama islam.
Tulisan ini mencoba mengangkat bagaimana surat Al-‘Ashr digunakan sebagai media dakwah, namun tetap mengakomodir kearifan lokal mengenai sosok-sosok mistik dan supranatural disekitar mereka, sebagai akibat pemujaan beraliran dinamisme kala itu. Bathara Kala hanya muncul pada lakon wayang Ruwatan Murwakala, yang dikenal di wilayah Cirebonan, Sunda, Jawa Tengah, Jogjakarta, Jawa Timur, Jakarta, dan Banten Barat. Juga, mencoba menyegarkan ingatan mengenai makna lakon wayang yang  ada ditengah isu terancam diambil bangsa lain.
Ruwatan Murwakala, digunakan masyarakat Jawa dan Sunda untuk menetralisir kutukan-kutukan dan energi negatif dari manusia penderita (Sukerta) menggunakan pementasan wayang lakon Bathara Kala. Dalang yang mementaskannya disebut Dalang Karungrungan. Ruwatan ini digunakan pada anak-anak, peristiwa alam, peristiwa sosial-politik  yang khas, atau memohon kemuliaan dan perlindungan semata tanpa kasus tertentu.
Menurut Purwadarminta (dalam Kustono: 2006) Ruwatan dalam bahasa Jawa berarti melepaskan. Menurut istilah dapat berarti melepaskan dan menyucikan diri seseorang dari dosa. Memang pada prakteknya, ruwatan juga digunakan untuk membersihkan diri dari kesalahan tertentu yang bukan bawaan (pelanggaran adab, adat, etika, dan nilai).
Murwakala berati Purwa dan Kala. Mendahului, memurbai waktu. Secara penamaan berarti mengalahkan Bathara Kala. Secara istilah, berati mendisiplikan diri, mengatur waktu sedemikian rupa hingga memiliki kemampuan menaklukkan waktu. Ruwatan Murwakala diartikan sebagai pembersihan untuk mengalahkan Sang Bathara Kala. Menuju pribadi yang mantap, memahami perlambang-perlambang waktu dan kutukan dalam ruwatan, serta menyadari betul sebagai manusia yang terbatasi waktu hingga harus mengaturnya sedemikian rupa.
Lebih lanjut, Kustono (2006) mengungkapkan bahwa manusia Sukerta berarti suker karta. Suker, dalam bahasa kawi berarti sulit, sedih, sial. Karta, berarti kejayaan, sukses. Sulit menjadi sukses. Untuk menghilangkan sifat sukarta inilah, perlu adanya ruwatan.
Secara ringkas, lakon Bathara Kala dimulai saat Bathara Guru menumpahkan syahwat saat melihat Dewi Trenana (Wayang Betawi) atau Dewi Tanana (Wayang Sunda-Cirebon). Syahwatnya ini mengalir di laut (Jawa) atau batang kayu yang berlubang (Betawi-Sunda), lalu bangkit menjadi raksasa karena syahwat yang tidak pada tempatnya. Raksasa ini diberi nama Kamasalah. Raksasa ini selanjutnya menghadap Bathara Guru untuk meminta busana dan pengesahan sebagai anaknya.
Dalam perjalanan kembali, ia bertempur melawan kerajaan Kala (versi Wayang Betawi) pimpinan Kalabaka. Tentaranya (masih menggunakan Kala dalam makna waktu) adalah Kala Maghrib, Kala Maruta, Kala Tremala, Kala Tirta, dan lain-lain. Semuanya berhasil dikalahkan. Untuk memperkuat kerajaannya, ia membuat dua hewan mematikan, kalajengking dan kalabang. Sejak itu, ia dikenal sebagai Bathara Kala. Bathara diambil dari trahnya terhadap Bathara Guru.
Satu ketika, ia mempunyai kebiasaan berburu. Ketika embannya tanpa sengaja tergores ketika meracik bumbu, darahnya masuk dan menjadi satu dengan adukan bumbu. Bathara Kala menyukai rasa darah emban. Sejak itu, ia bersumpah memakan manusia. Satu ketika, Bathara Guru mengunjungi bumi bertudunng kain merah dan putih. Ketika tertangkap Bathara Kala, ia mengajukan tekateki yang tak bisa dijawab dan Bathara Kala, sedangkan waktunya memakan manusia (pertemuan sebelumnya dengan Bathara Guru menghasilkan beberapa syarat pemangsaan manusia berdasarkan waktunya) telah habis.
Untuk menghilangkan nafsunya memakan manusia, Bathara Kala disarankan memakan matahari dan bulan. Namun matahari ternyata panas, dan bulan teramat keras. Ia memuntahkan kembali kedua benda langit ini. Ini menjadi asal-usul gerhana matahari dan bulan. Bathara Kala merasa dipecundangi, dan untuk meredakan amarahnya, akhirnya Bathara Guru menawarkan beberapa jenis manusia sial (Sukerta) untuk dimangsa. Mulai dari sial secara keturunan, sial secara pekerjaan, hingga sial karena kesalahan sikap. Jika yang bersangkutan telah diruwat langsung oleh Dewa Wisnu (dalam teks lain Bathara Guru sendiri) maka ia bebas dari pemangsaan ini.
‘Ashr, dalam tafsir Ibnu Katsier Jilid 9, berarti masa. Waktu. Kala. Demi Kala. Demi perhatikanlah kala, yakni sepanjang hidupmu dan umat-umat sebelummu, perhatikan segala kejadian sepanjang masa yang tidak terbatas sejak dahulu hingga kini (Al-‘Ashr, 1). Kala diartikan sebagai rentang waktu yang panjang dalam sejarah manusia. dapat dikaitkan, Bathara Kala adalah masa lalu manusia, dan perjalanan waktu dari masa lalu hingga masa kini.
Pertanyaan yang menarik adalah, mengapa Bathara Kala dalam kaitannya dengan Al-‘Ashr tidak berpengaruh pada masa depan? Bukankah Bathara Kala adalah Waktu itu sendiri, dan menjadi kutukan bagi siapa saja? Jika Al-‘Ashr yang nyata-nyata dibubuhkan dalam mantra-mantra ruwatan islam, mengapa yang diruwat hanya masa lalu dan masa kini?
Jawaban yang menarik timbul dari keyakinan tasawuf tentang takdir, qadha dan qadhar, bahwa kita, manusia, bisa mengubah masa depan. Ruwatan, upaya pengalahan dan penaklukan Bathara Kala hanya simbol optimisasi kepada masa depan. Juga secara langsung berarti upaya pertaubatan dan pemaafan terhadap masa lalu dan kesalahan-kesalahan yang mungkin timbul, terlepas dari takhyul atau tidaknya.
Sesungguhnya manusia selalu dalam keadaan merugi (Al-‘Ashr, 2). Sukerta. Susah, sedih, becek, sulit. Unsur yang kedua dalam pementasan lakon Ruwatan Murwakala adalah manusia Sukerta, yang menjadi subyek ruwatan. Rugi yang bagaimana?
Kecuali orang-orang yang beriman, beramal shaleh, berpesan nasihat yang satu pada yang lain, supaya tetap mengikuti yang hak, dan berpesan satu sama lain supaya tabah-sabar dalam beriman, beramal shaleh, dan mempertahankan hak-kebenaran (Al-‘Ashr: 3)
Sukerta dengan kaitan antara dua ayat ini, berarti orang yang tidak beriman, beramal shaleh, berpesan nasihat, dan sabar. Tegasnya, sukerta bukan hanya masalah keturunan atau kesalahan kerja. Tetapi, lebih dikarenakan ketidakimanan individu tersebut.
Lalu, apabila masalah ketidakimanan, bukankah iman itu bukan masalah keturunan? Masalah baru yang timbul dari pemaknaan ini adalah, jika memang ruwatan hanya berisi penyucian dari dosa yang terjadi akibat ulah individu itu sendiri, mengapa manusia sukerta dalam naskah Kidung Bathara Kala, juga adalah yang sial secara keturunan dan silsilah?
Ternyata, kuncinya berada pada tafsir ayat ketiga, yang berisi anjuran untuk saling menasihati. Agar tetap kokoh dalam kebenaran dan keimanan. Inilah ajaran luhur dari ruwatan yang sesungguhnya, bagaimana dalang karungrungan menggunakan kesempatan ini untuk berpesan kebaikan kepada si sukerta. Kebaikan yang dimaksud, tentu saja secara sosial dan religius, dengan memandang keperluan orang yang meminta diruwat tersebut. Tidak sekedar menyucikan, mendoakan, dan memaafkan kesalahan-kesalahan masa lalu.
Hal ini wajar dilakukan, mengingat dalang pada masyarakat pulau Jawa memegang peranan sebagai teladan, dan guru spiritual untuk memberikan contoh-contoh baik kepada masyarakat. Yang diceritakan juga berisi wejangan (Purwadi: 2008). Menjadi wajar, bila dalang memegang domino pertama dari mata rantai nasihat kepada masyarakat pulau Jawa.
Kunci selanjutnya, Safari (2010) mengemukakan bahwa yang dimaksud dalang karungrungan adalah orang yang menjadi rujukan dari ayat ketiga ini. Tegasnya, dalang karungrungan, atau Sang Bathara Guru yang menjelma menjadi dalang ini adalah orang yang beriman dan beramal shaleh. Hanya orang beriman dan beramal shaleh yang mampu murwakala. Mengalahkan sang Waktu, yang disimbolkan dengan mengalahkan Bathara Kala, melalui perlindungan terhadap sukerta, disertai nasihat untuk menjadi orang yang baik seperti dalam ayat ketiga ini.
Perhatikan juga bagaimana simbolisasi orang beriman (karungrungan) mampu mendahului waktu (murwakala) dan membebaskan orang yang kesulitan (sukerta) dari bencana dan ketertekanan terhadap waktu (Bathara Kala). Waktu memegang peranan penting dalam dimensi kehidupan manusia, selain ruang, akal, dan ruh, yang semuanya tunduk pada qadha dan qadhar (Mutahhari, 1985).
Bathara Kala hanya personifikasi dari sosok waktu yang tak pernah bisa disentuh, ditaklukkan secara fisik, atau dikalahkan. Dia hanya bisa dihindari (bukan dihentikan) dengan menjadikan diri kita Dalang Karungrungan Murwakala, sosok Manusia beriman dan beramal shaleh, serta disiplin hingga bisa mendahului waktu.
Bathara Kala hanya salah satu cara memanusiakan waktu, sehingga perlambang yang ada didalamnya dapat dipahami masyarakat Jawa kala itu tanpa menggurui. Terlebih, proses masuknya agama islam oleh para wali tidak serta merta, tetapi melewati akulturasi yang kompleks. Juga, jangan sampai pemaknaan tinggi terhadap produk budaya ini hanya sekedar rekaman dalam musium, seiring wayang itu sendiri yang teronggok lemah dalam musium, berjajar dengan keramik dan belulang manusia purba, dan baru akan disanjung-sanjung ketika diculik bangsa lain.
Daftar Pustaka:
Mutahhari, Murtadha. 1985. Manusia dan Agama. Bandung: Penerbit Mizan
Purwadi. 2008. Seni Pedhalangan Wayang Purwa. Jogjakarta: Panji Pustaka
Sumber referensi lain:
Makalah Hari Kustono, 2006,  Fakultas Theologi UNSADHA Jogjakarta berjudul “Ruwatan: Tinjauan Alkitabiah”.
Makalah Ahmad Opan Safari, 2010, Universitas Padjajaran, yang diunggah pada blog Abdiredja pada 22 Februari 2010, berjudul “Ruwatan Murwakala Cirebon”.

Membuka Kotak Wayang dalam Musium


Membuka Kotak Wayang dalam Musium
Pelestarian warisan dunia kini memasuki era yang memprihatinkan. Bukan secara fisik atau biaya, melainkan terdegradasinya nilai warisan dunia tersebut, menjadi sekedar unik dan objek wisata semata. Jika kita diajak berikir tentang warisan dunia, tentu yang terpikir adalah besar, unik, indah, wisata, dan tradisi.
Kita tak lagi melihat warisan dunia itu sebagai warisan nilai masa lampau yang dapat kita jadikan hikmah. Dalam hal ini, warisan budaya dunia, satu contoh yang sangat nyata ada pada Wayang Purwa, atau lebih dikenal dengan Wayang Kulit.
Kini kita hanya mengenal wayang purwa dari tatahan bentuknya, pradanya, tembangnya, atau durasinya yang semalam suntuk. Kita hanya mengenal fisik dalangnya, tanpa mengetahui makna dibalik dalang itu sendiri. Kita hanya mengenal ceritanya, sebagaimana kita mengenal cerita yang ada sekarang seperti sinetron dan komik.
Tulisan ini akan mencoba membuka sisi lain, mengapa wayang kulit dijadikan warisan budaya dunia, dan betapa rendahnya pemahaman kita tentangnya. Kita harus malu, membanggakan fisik wayang kulit tanpa mengetahui sisi mendasar dibalik pralambang yang ada di dalamnya.
Dalam buku yang dikeluarkan oleh LPSK pada 2006,  wayang berasal dari 2 arti pokok. Pertama, wayang sebagai bayangan. Ini timbul karena zaman dahulu, kita mementaskan wayang dari balik layar, sehingga penonton hanya melihat warna hitam dan putih, dan pada masa itu, tatahan wayang belum serumit sekarang.
Wayang sebagai bayangan, juga menunjukkan bayangan kita, bayangan manusia yang menontonnya. Bukankah sifat-sifat wayang itu identik dengan sifat kita? Bagaimana jatidiri nafsu mereka terkuak ketika perebutan kekuasaan. Bukankah dalam setiap diri kita, tidak dipungkiri ada sifat Sangkuni, yang licik dan haus kekuasaan sehingga menjadikan lawan dan kawan binasa.
Tidak bisa dihindari, setiap diri kita memiliki sifat kesatria seperti Abimanyu, namun harus menanggung celaka karena tidak memiliki pengendalian nafsu kepada wanita? Digambarkan dengan gamblang, bagaimana manusia dihadapkan dengan pilihan, ketika Harjuna harus membunuh kakaknya sendiri-Karna-ketika pertempuran Bharatayuda.
Yang dipahami sekarang, wayang sekedar sarana hiburan, dan keindahannya miskin dengan makna. Kita tidak lagi mengerti pralambang yang ada di dalamnya, karena rendahnya pemahaman terhadap makna wayang sebagai piwulang kepada masyarakat melalui simbolisasi kehidupan manusia.
Selanjutnya, Wayang berarti Wa-Hyang. Imbuhan wa- tidak memiliki makna, maka tinggal Hyang. Hyang, adalah Tuhan yang Maha Agung. Makna ini timbul dalam hubungan antara wayang sebagai sarana pemujaan dengan keberagamaan masyarakat. Pada zaman dahulu, wayang ditanggap ketika perayaan panen, pernikahan, sunatan, dan upacara bersih diri dan desa yang disebut ruwatan.
Dalam upacara ini, dalang berfungsi sebagai pemimpin religi yang menghubungkan masyarakat dengan Sang Hyang. Permainan wayangnya diartikan sebagai simbolisasi kehidupan masyarakat ketika berhubungan dengan Tuhan. Wayang, secara tak langsung, adalah sarana ibadah yang sangat agung.
Betapa halus maknanya, bandingkan dengan jenis kesenian zaman ini yang mengutamakan tawa dan kering dari makna. Mengutamakan besarnya, mewahnya, tetapi tidak membangun masyarakat, bahkan dipenuhi kontroversi kebermanfaatannya.
Dalam pementasan wayang, dalang memegang peranan utama. Ia adalah penutur dan narator sebuah lakon. Ia juga menembangkan petuah-petuah. Yang menyedihkan, masa ini, dalang memiliki konotasi negatif. Ungkapan seperti dalang konspirasi, dalang pembunuhan, membuat masyarakat melupakan makna dalang sebagai pemimpin spiritual dan sosial dalam masyarakat Jawa. Dalang, adalah pemimpin moral yang memberikan ajaran-ajaran dan piwulang melalui lakon yang miliki pralambang itu.
Hilangnya makna dalang dan pewayangan ini, bisa kita analisa dari berbagai segi. Ada yang menarik, bahwa ternyata dalang juga memiliki tingkatan dan kelasnya sendiri. Dalam Seni Pedhalangan Wayang Purwa (2008), Purwadi memaparkan, ada lima macam dalang.
Pertama ,Dalang Sejati. Jika memainkan wayang, semua lakon pewayangan berisi pendidikan yang baik untuk contoh para penonton. Yang diceritakan dalam lakon pasti yang berisi ilmu kebatinan, wejangan sangkan pnama dumadi sampai Kesejatian hidup.
Disini, dalang memiliki arti seperti guru dan teladan. Memberi terang pada para penonton yang masih hatinya masih merasa gelap, memberi wejangan tentang hidup manusia agar bisa menuju kesempurnan. Jadi lahir dan batin seia sekata, luar dan dalam diri menuju pada tindakan yang baik, jangan sampai manusia itu melenceng menuruti keinginan dan nafsu sendiri. Itulah yang dinamakan Dalang sejati.
Kesempurnaan didapat dari pemahaman terhadap simbol-simbol yang sengaja dipilih Dalang dalam lakon, agar lebih menyentuh kedalam hati. Meski tak lepas dari unsur mistik, tetapi kesempurnaan yang dimaksud adalah kesempurnaan pribadi.
Kedua, Dalang Purba. dalang ini jika memainkan wayang bercerita tentang jalan menuju kesempurnaan. Lahir dan batin menuju kesempurnaan. Maka, caranya memberi petunjuk hanya dengan kata yang halus-halus, sebagai wejangan pada para penonton sampai masuk ke dalam hati.
Meskipun pementasan sudah selesai tetapi merasa masih menerima wejangan Ki Dalang tersebut. Itulah yang dinamakan Dalang purba, artinya Dalang yang sudah bisa merasakan rasa kasar halusnya manusia. Dia baru sekedar bercerita dan menanamkan, belum menggugah agar mengikuti setiap piwulang dalang.
Ketiga, Dalang Wasesa. dalang wasesa adalah dalang yang sudah mahir, caranya menceritakan wayang sampai bisa seperti hidup karena pandainya membuat kata-kata, sampai membuat para penonton ikut merasa prihatin kalau wayang sedang prihatin, seperti benar-benar ikut susah. Begitu seterusnya, karena kepandaian memainkan dan melagukan segala tingkah laku wayang, seperti itulah yang dinamakan Dalang wasesa, artinya sudah bisa menguasai pakeliran.
Tetapi, dalang jenis ini kehilangan kemampuan meneruskan ajaran moral dari wayang-wayang ia mainkan. Permainannya hanya seperti boneka anak-anak. Disini, mungkin terjadi semacam degradasi. Disamping karena sulitnya menjadi dalang sejati dan dalang purba, dalang jenis ini mudah dipelajari.
Dalang Guna, kepandaiannya menjalankan pakeliran hanya menurut pada cerita yang pasti disenangi oleh penonton saja. Ceritanya kosong, tidak ada wejangan, hanya sekedar ramai saja dan kelihatan pandai memainkan wayang, jadi  baru memainkan wayang sambil diiringi tetabuhan semalam suntuk, sekalian menunggu rumah.
Inilah yang banyak kita temui di masa ini. Tidak dipungkiri, pada zaman sekarang kebanyakan dalang itu yang justru merusak keindahan simbolisasi kehidupan manusia dalam wayang. Hanya seperti panggung pertunjukan yang mengumbar tawa dan keheranan. Wayang gagal menjalankan tugasnya sebagai penerus ajaran moral melalui perenungan.
Dalang Wikalpa, caranya memainkan wayang hanya menurut isi pakem, semua pengetahuan tentang pedalangan. Ceritanya hanya apa adanya saja, menurut ajaran ketika belajar jadi Dalang ketika sekolah dalam sekolah pedalangan. Jadi hanya seperti meniru saja, itu baru dinamakan latihan mendalang, menirukan cara Dalang memainkan wayang semalaman. Itu yang dinamakan Dalang wikalpa.
Dalang inilah yang paling berbahaya. Disamping murah, ia juga mudah menerima titipan pesan dari sponsor. Kehadirannya hanya sekedar seremonial. Jangankan makna, bahkan caranya memainkan wayang terasa sangat datar. Inilah yang menyebabkan generasi muda sulit menerima wayang. Disamping perubahan yang terus-menerus, wayang juga harus mempertahankan fungsi pewarisan moralnya. Tantangan inilah yang terbukti gagal diJawab oleh dalang masa sekarang. Wayang, tinggal dalam musium, disejajarkan dengan pot keramik dan uang logam kuno.
Dalam dunia pewayangan dikenal istilah pakem blangkon. Pakem artinya ketentuan, yaitu wewaton; Blangkon artinya tetap, tidak berubah. Jadi pakem blangkon itu adalah ketentuan pedalangan yang sudah ditetapkan serta diatur menurut adat tatacara di kerajaan Jawa, sebagai pedoman para Dalang jika memainkan wayang.
Bukankah pada zaman ini, banyak diantara dalang itu sendiri-yang bukan dalang sejati-keluar dari pakem dan membuat lakon sesuka hatinya. Makna wayang itu sendiri hilang, dan alih-alih melestarikan fungsi moral wayang, ia memasukkan wayang pada lemari relik di musium-musium.
Kini, wayang hanya hidup di hati para orang lanjut usia yang memahami tata krama dan tata wicara orang Jawa. Pada masyarakat indonesia, wayang tak lebih hanya pertunjukan boneka dan hiburan semata. Pada generasi setelahnya, wayang hanya pengingat masa kecil dan perjuangan. Ketika wayang merupakan jatidiri masyarakat Jawa. Ketika wayang, masih meneruskan ajaran-ajaran moral.
Makna warisan dunia menjadi sangat kering, dan kita terjebak di dalamnya. Kita sendiri mengagung-agungkan wayang sebagai benda mati. Bukan maknanya. Alangkah indahnya, apabila setiap pesan yang ada dalam pewayangan bisa kita terapkan. Sikap kekeluargaan, politik, peperangan, keagamaan, moral, itu semua yang menjadikan wayang pantas lestari.
Selamanya, tidak akan pernah ada musium untuk moral. Tidak akan pernah ada pertunjukan dan sandiwara moral. Yang ada adalah perlambang-perlambang untuk mendidik umat manusia. manusia adalah makhluk yang menggunakan simbol, dan secara halus, wayang telah memasuki alam bathin manusia Jawa melalui setiap simbol dalam kisahnya.
Tidak heran, jika kini dalam masyarakat Jawa terjadi degradasi moral, karena kebudayaan mereka tinggal menjadi barang antik dalam musium kesenian, dan habis dikomersilkan menjadi barang aneh dan indah. Bukan dilestarikan untuk diambil nilai moralnya.
Wayang kini menjadi dolanan bocah-bocah kampus yang penasaran pada tatahannya, dan menganggap ceritanya seru-semacam komik atau superhero-dan kehilangan makna sebagai pengawal moral, budaya, dan nilai-nilai manusia Jawa seutuhnya. Politiknya. Keluarganya. Ketuhanannya. Ekonominya. Tatakramanya.
Mengambil pelajaran dari wayang, seharusnya mendorong kita melestarikan ajaran dan pengajaran yang ada di dalamnya, bukan fisik dan wujud benda wayang itu sendiri. Jangan sampai upaya keras para dalang-melalui PEPADI-mentah begitu saja, dan wayang hanya tinggal tatahan kulit tanpa makna.
Lebih jauh lagi, wayang sebagai warisan dunia mengandung konsep warisan moral dan jatidiri dunia kecil-Jawa-kepada dunia besar, bangsa manusia di muka bumi sebagai bagian Alam Semesta, dunia yang lebih besar lagi. Wayang hanya dunia simbol dari dunia yang teramat kecil, dunia manusia Jawa. Dunia yang dipengaruhi dan mempengaruhi dunia yang lebih besar lagi sebagai sistem.
Sudah saatnya, melihat wayang dalam perspektif lain. Mengeluarkannya dari musium, menjadikannya penuh makna moral dan memutakhirkan pementasannya. Kini telah ada upaya pengindonesiaan bahasa wayang, seperti yang dilakukan Warseno. Ki Anom Suroto menambahkan alat-alat elektronik pada senjata wayang. Bahkan, Ki Nartosabdo mengganti gending dari nada dasar pentatonik menjadi diatonik.
Pemutakhiran paling ekstrim dilakukan Sujiwo Tejo. Ia menyarikan makna-makna moral wayang dan membawanya pada situasi masyarakat kontemporer. Ia hanya menggunakan satu-dua wayang, dan meringkasnya dalam pertunjukan setengah jam, dan membuat pejabat tertampar, ulama tersentil. Membuat tokoh politik panas.
Dia hanya menyajikan makna lakon, tanpa asesoris apapun, dan penampilannya terbukti mampu memengaruhi sosial budaya masyarakat. Kemunculannya sebagai budayawan (bukankah ini fungsi utama seorang dalang?) ditunggu-tunggu di televisi. Inilah wayang, seni perlambangan manusia dengan segala problematikanya, lalu mencarikan solusinya dalam bentuk piwulang lakon-lakonnya.
Buat  apa repot-repot meributkan penculikan budaya oleh bangsa lain, jika kenyataannya nilai yang ada dalam wayang terbukti bermanfaat bagi bangsa lain? Hak cipta dan tetek bengeknya menjadikan wayang kehilangan makna pemersatu bangsa, umat manusia. bukankah akhirnya kita semua memainkan peran yang sangat aneh di dunia nyata, dan digerakkan dalang tak nampak bernama nasionalisme buta. Chauvinik. Egoisme kebangsaan, yang akhirnya menjauhkan kita dari makna yang ada dalam lakon wayang yang penuh dengan piwulang.
Biarlah nilai yang terkandung dalam setiap lakon wayang mendunia, dan tetap hidup sebagai budaya yang hidup, bukan budaya relik yang mesti dipajang-pajang lalu diagungkan sebagai komoditi. Budaya, yang seharusnya mampu menyatukan bangsa-bangsa yang mau belajar dari pralambang yang ada dalam lakon pertempuran dan suksesi raja-raja pandawa melawan kurawa.
Semoga, usaha pelestarian nilai yang terkandung dalam wayang purwa tidak berhenti, dan muncul orang-orang baru yang memahami nilai ini, dan melestarikannya. Menghidupkan nilai moral wayang dari bayangan menuju dunia nyata.










Catatan
Pandawa               : lima tokoh utama pewayangan yang menjadi lawan Kurawa. Diasingkan dalam hutan karena dicurangi dalam perjudian oleh Sangkuni. Terdiri dari Bima, Harjuna, Yudhistira, Nakula, dan Sadewa.
Kurawa                  : Saudara Pandawa dari Kakek Bisma. Mereka berjumlah seratus, dan setiap mereka menjadi bangsawan serta memiliki wilayah sendiri.  Dibawah pimpinan Duryudhana.
Prada                     : cat emas yang digunakan mewarnai tubuh dan wajah kulit wayang yang sudah ditatah
Pralambang          : Perlambangan, tanda-tanda atas sesuatu (Jawa)
Piwulang                : pengajaran moral (Jawa)
Sangkuni               : Seorang patih dari Kurawa, anak buah Duryudhana. Memegang peranan menyesatkan pandawa kedalam pengasingan setelah mencelakai mereka dalam perjudian. Tewas dalam Bharatayudha.
Abimanyu             : Putra Harjuna dari Subadra. Dibesarkan oleh Kresna ketika Harjuna diasingkan. Gugur dalam Bharatayudha karena sumpahnya sendiri kepada Dewi Uttari. Ia dipercaya mendapatkan Wahyu Makutharama, dan mebuat putranya, Parikesit, berhak melanjutkan takhta para pandawa selepas Bharatayuda.
Harjuna                 : Ayah Abimanyu. Pemanah ulung pandawa. Saudara Prabu Karna. Bersenjatakan panah Pasopati. Ia akhirnya membunuh Karna dalam lakon Karna Tanding.
Ditanggap             : diminta tampil, diminta mementaskan wayang.
Pakeliran               : Layar putih dan arena tempat memainkan wayang purwa (tidak termasuk panggung)
PEPADI                 : Persatuan Para Dalang Indonesia.
Gending                 : tatanan musik tradisional Jawa dengan ketukan tertentu, menggunakan gamelan sebagai instrumen utama. Disertai rebab, seruling, dan sebagainya.
Pentatonik            : laras dasar musik tradisional Jawa, mengenal 6 nada dasar.
Diatonik                : laras nada dasar musik zaman ini. mengenal 7 nada dasar.



Daftar Pustaka
Purwadi. 2008. Seni Pedhalangan Wayang Purwa. Jogjakarta: Panji Pustaka
Tim Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. 2010. Pedoman Pewayangan Berperpektif Perlindungan Saksi dan Korban. Jakarta: LPSK.
Sumber bacaan lain:
Makalah Agung Prasetyo, d.k.k berjudul Simbolisme Lakon Dewa Ruci dalam Wayang Kulit Purwa
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV


JEJARING SOSIAL, SEPERTI FACEBOOK DAN TWITTER, MERUPAKAN ALTERNATIF YANG BAIK UNTUK APRESIASI SASTRA


JEJARING SOSIAL, SEPERTI FACEBOOK DAN TWITTER, MERUPAKAN ALTERNATIF YANG BAIK UNTUK APRESIASI SASTRA

Amar Ar-risalah, Mahfuz Imam, dan Nurcahayani Citra Arum
Universitas Negeri Jakarta

1.      Pengantar
Jejaring sosial, seperti facebook dan twitter, merupakan alternatif yang baik untuk apresiasi sastra. Dalam topik tersebut, kami merasa bahwa terdapat kata-kata yang maknanya harus ditelusuri lebih dalam sehingga maksud dari topik tersebut dapat termaknai dengan baik. Kata-kata tersebut adalah jejaring sosial, apresiasi sastra, dan alternatif.
Dalam pandangan kami, jejaring sosial adalah struktur sosial yang terdiri atas elemen-elemen individual atau organisasi yang berhubungan karena kesamaan rasa sosialistis. Sejalan dengan pendapat Profesor J.A.Barnes (1954) yang mengatakan bahwa jejaring sosial adalah suatu struktur sosial yang dibentuk dari simpul-simpul (yang umumnya adalah individu atau organisasi) yang dijalin dengan satu atau lebih tipe relasi spesifik seperti nilai, visi, ide, teman, keturunan, dan lain-lain. Berbagai situs jejaring sosial pun turut berkembang sesuai dengan kemajuan teknologi informasi seperti facebook, twitter, myspace, friendster, flickr, dan koprol. Kehadiran situs-situs tersebut tentu memiliki manfaat yang dapat dirasakan oleh penggunanya, termasuk dalam hal mengapresiasi karya sastra.
Apresiasi sastra ialah suatu kegiatan yang memiliki pandangan definisi yang luas. Banyak pakar yang merumuskan pengertian karya sastra secara lengkap agar masyarakat dapat memahami kegiatan apresiasi sastra tersebut secara jelas. Pada dasarnya, istilah apresiasi berasal dari bahasa latin, apreciatio yang berarti mengindahkan atau menghargai.
Secara terminologi, apresiasi sastra dapat diartikan sebagai penghargaan, penilaian, dan pengertian terhadap karya sastra, baik yang berupa prosa fiksi, drama, maupun puisi  (Dola, 2007). Dalam konteks yang lebih luas, Gove memberikan pengertian bahwa apresiasi adalah pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin serta pemahaman dan pengakuan  terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang. Sejalan dengan rumusan pengertian sebelumnya, Effendi dalam (Aminuddin, 2002) mengemukakan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra.
Dalam kegiatan apresiasi, dikenal kegiatan langsung dan tak langsung. Kegiatan langsung terwujud dalam kegiatan apresiasi seperti ketika melihat penampilan, mendengar, membaca, dan memberikan penilaian pada kegiatan membaca puisi, drama, baik di radio, televisi, maupun di panggung terbuka. Bentuk kegiatan ini harus secara kontinu dilakukan sungguh-sungguh dan berulang kali. Kegiatan tak langsung, dapat dilaksanakan dengan cara mempelajari teori sastra, membaca artikel yang berhubungan dengan kesusastraan, baik di majalah, di koran, mempelajari penilaian buku maupun esai dan memberikan gambaran terhadap suatu karya sastra serta mempelajari sejarah sastra. Kegiatan menikmati sastra, seringkali diistilahkan dengan “menggauli” karya sastra.
Kegiatan menggauli sastra dapat berupa kegiatan yang reseptif, dan dapat pula yang bersifat kreatif. Reseptif, berarti bersifat menerima rangsang. Dalam hal ini karya sastra. Kreatif, berarti setelah kita menerima rangsang, kita memprosesnya (mengapresiasi) lalu membuatnya lagi. Dengan banyak membaca karya sastra orang lain, akan terbentuk suatu pemahaman utuh yang berujung pada terbentuknya gaya pribadi kreatif yang berbeda dengan orang lain.
Berdasarkan definisi di atas, kami dapat merumuskan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga dapat menghasilkan daya kreatif baru sebagai hasil dari proses memahami dan menyerap makna yang terkandung dalam karya sastra.
Selain kata-kata jejaring sosial dan apresiasi sastra, kata lain dalam topik Jejaring sosial, seperti facebook dan twitter, merupakan alternatif yang baik untuk apresiasi sastra yang perlu dimaknai lebih dalam ialah kata alternatif. Bagi kami, kata alternatif ini menimbulkan banyak persepsi tentang topik yang dibahas. Kata alternatif dalam topik yang diberikan oleh panitia Debat Bahasa dapat kami artikan sebagai salah satu jalan atau cara lain dari berbagai pilihan cara dalam mengapresiasi karya sastra.
Jadi, makna yang dapat kami simpulkan dari topik tersebut ialah jejaring sosial merupakan salah satu cara yang baik dalam menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh baik secara reseptif maupun secara kreatif, dan bukan media utama yang vital dalam mengapresiasi karya sastra.

2.      Pembahasan
Pada era globalisasi ini, internet—khususnya jejaring sosial—dikenal sebagai media untuk memperoleh data-data secara mudah dan cepat, termasuk dalam memperoleh suatu karya sastra. Namun, kemudahan yang tersedia di jejaring sosial justru menimbulkan masalah sebab jejaring sosial ternyata memiliki beberapa kelemahan di samping beberapa kelebihan yang juga tak bisa dilupakan.
Secara umum, kemudahan akses internet serta fasilitas berbagi dan bercakap-cakap yang disediakan jejaring sosial dapat berperan sebagai media pilihan atau bahkan media “baru” dalam mengapresiasi karya sastra. Keberadaan media ini sesungguhnya memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dan kekurangan yang ditampilkan media ini membuat kami berada pada posisi netral dalam memandang jejaring sosial sebagai alternatif yang baik dalam apresiasi sastra.
Dalam kaitan pengapresiasian karya sastra melalui jejaring sosial kita mudah sekali menemukan karya yang ditulis pada status, dinding, atau catatan (facebook). Setelah kita membacanya, berlangsung proses apresiasi dapat langsung dilakukan dengan adanya fasilitas tombol “suka”, “berbagi”, atau bahkan kita dapat langsung memberikan komentar terhadap karya tersebut. Dalam hal ini, media jejaring sosial dianggap lebih efektif dibandingkan media buku atau penampilan langsung (misal pementasan drama).
Selain harganya yang relatif mahal (dibandingkan biaya pengaksesan jejaring sosial) media buku atau penampilan langsung juga tidak menawarkan kemudahan interaksi dengan penikmat lain atau dengan penciptanya. Ditambah lagi, beberapa daerah terbukti mengalami keterbatasan jangkauan dengan minimnya perpustakaan kota, toko buku yang menjual karya sastra, serta terbatasnya waktu yang ada bagi penampilan langsung. Kini dengan adanya jejaring sosial penampilan langsung dapat dengan ringkas direkam, lalu disebarluaskan untuk bisa dinikmati khalayak, tanpa harus datang langsung ke tempat pementasan. Tentu ini sebuah penghematan.
Pengapresiasian karya sastra melalui jejaring sosial selain dapat mencapai sebanyak-banyaknya komunikan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya juga dapat menampilkan aspek-aspek seni yang lain secara simultan, untuk menggali, mengolah, dan menyampaikan keindahan.
Pada taraf selanjutnya, proses apresiasi dalam jejaring sosial ini dapat mengembangkan kekritisan seseorang dalam mengapresiasi suatu karya sastra. Orang akan dengan mudah mengomentari karya tersebut, terlepas dari bobot dan manfaat kritikannya. Siapapun bisa mengritik tanpa belenggu nama besar atau hal-hal lain yang seolah-olah membatasi khalayak untuk memberanikan diri mengomentari karya sastra, termasuk karya ciptaan sastrawan ternama.
Jejaring sosial melalui penggunaan akun dalam pengaksesannya juga memudahkan interaksi antara sastrawan dengan penikmatnya sehingga memungkinkan hubungan timbal balik saat itu juga. Akun-akun Sapardi Djoko Damono, Djenar Maesa Ayu, Sutardji Calzoum Bachri, dan lain-lain, terang sangat membantu masyarakat “mengunjungi” dan berdialog dengan mereka tanpa malu-malu. Para sastrawan pun tidak dikekang waktu dan tuntutan panitia penyelenggara dialog. Semua interaksi itu berlangsung dengan instan dan mudah. Sedangkan media buku atau penampilan langsung, biasanya kurang menunjang hubungan interaksi secara langsung karena menuntut kegiatan tatap muka atau dialog langsung yang memerlukan ruang dan waktu.
Selain kelebihan yang disuguhkan media jejaring sosial untuk mengapresiasi sebuah karya sastra, media ini juga ternyata memiliki banyak kelemahan. Pemerolehan suatu karya melalui jejaring sosial sangat tergantung pada teknologi, khususnya ketersediaan listrik, jaringan telepon, monitor atau layar televisi. Tidak hanya itu, mudahnya mengakses jejaring sosial untuk memperoleh suatu karya dapat membuat seseorang bertindak bebas tanpa aturan. Dalam hal ini, jejaring sosial membuat seseorang dengan mudah menyalin dan menempelkan kembali karya sastra tanpa kontrol. Selain itu, seringkali sebuah karya orang lain disadur menjadi karya sendiri tanpa keterangan dan disebarluaskan atas nama pribadi bukan nama penulis atau pengarang aslinya.
Kita saksikan banyaknya akun-akun palsu atas nama sastrawan atau penyair besar yang seringkali mengutip, bahkan menyalin keseluruhan karya namun dengan konten atau tendensi tertentu, yang mengakibatkan biasnya makna asli karya itu, bahkan juga pencemaran nama baik sastrawan tersebut.
Melalui jejaring sosial, karya dapat beredar luas secara gratis atau tanpa royalti. Padahal seharusnya para sastrawan juga harus memperoleh royalti atas karyanya yang tersebar luas di media ini. Kemudahan yang ditawarkan sebagai alternatif bukan berarti membuat segalanya tampak ekonomis bagi semua pihak. Pasti ada yang dirugikan.
Bias karya sastra dari penciptanya kepada pembacanya dapat terjadi karena faktor medianya. Jejaring sosial membuat seseorang dengan mudah memperoleh karya sastra tanpa kendali yang kuat sebab di dunia maya tidak ada dewan redaksi yang berperan untuk menyeleksi, memperbaiki, menolak atau menyetujui sebuah karya untuk disebarluaskan. Selain itu, banyak kita temukan komentar atau konten status yang menuliskan puisi dari sastrawan besar, lalu jika dibandingkan dengan status lain yang sejenis atau dengan bentuk tercetaknya, ternyata mengalami perbedaan yang sangat besar, baik dari segi tipografi, diksi, ataupun makna. Tidak hanya itu, kebebasan dalam mengakses jejaring sosial juga membuat siswa sekolah menengah yang kerap kali mendapatkan penugasan mencari karya sastra menggunakan jejaring sosial untuk bertukar alamat situs sastra. Mereka mengunduhnya tanpa pengawasan dan penyaringan. Tak pelak, ketika dibawa ke dalam forum diskusi, terjadi banyak ragam karya dari satu versi karya sastra atau bahkan karya tersebut sebenarnya tidak layak untuk dibaca oleh siswa sekolah menengah seperti karya sastra dewasa.
Pada sastrawan angkatan 1930-an hingga 1990-an, peran kritikus sastra seperti HB. Jassin, Sapardi Djoko Damono, dan Arswendo sangat besar untuk dapat mendaulat sebuah karya sastra sebagai layak atau tidak layak untuk dinikmati, lebih jauh lagi, jelek atau bagusnya karya itu bagi masyarakat.
Nama-nama besar seperti Chairil, yang lahir akibat pentahbisan oleh HB. Jassin, Seno Gumira Ajidarma, dan lain-lain menunjukkan kualitas akademis sebagaimana sebuah skripsi atau karya ilmiah yang telah disahkan oleh tim penguji atau  lembaga terkait.
Fenomena jejaring sosial, meski masih dalam lingkup sebagai alternatif, membuat semua orang dan semua sastrawan, tua muda, paham tidak, dewasa atau kekanak-kanakkan dapat memberikan penilaian dan dianggap sebagai kritik sastra tanpa memperhatikan bobotnya.
Fasilitas untuk menyukai dan mengulangi sebuah status mendorong para penyair muda untuk membuat karya yang populer, namun mengesampingkan nilai tanggung jawab materi sastra.
Betapa banyak sastrawan dunia maya, yang mengunggah sajaknya tanpa disertai penyaringan, dan semua orang bisa melihatnya, lalu bebas mengomentarinya selayaknya kritikus sastra.
Orang berlomba-lomba mengejar ekspresi “suka” atau “kicau ulang” demi membesarkan dan mengorbitkan namanya dalam kancah sastra, namun mengesampingkan peran akademis kritikus sastra.
ini juga, yang oleh sebagian kalangan dianggap menyebabkan degradasi kualitas karya sastra. Tanggung jawab penyair dan sastrawan yang kurang, ditambah dengan tak ada lagi kitikus besar semacam Jassin atau Maman Mahayana, yang memberikan arah, pecut, serta cacian terhadap karya sastra agar masyarakat lebih terarah dan mengapresiasi dengan lebih objektif.
Saut Situmorang, dalam bukunya memuat sebuah esei yang cukup membuka pemahaman kita. Karya sastra tidak lahir akibat disukai pembacanya, atau rasa kasihan terhadap perjuangan si pencipta sehingga mengabaikan isi karya tersebut, lebih jauh lagi, mutu karya tersebut. Mutu makna karya tersebut.
Inilah sebabnya, banyak karya yang sekarang lahir secara spontan dan hanya mengumbar-umbar tawa, mengumbar-umbar kesedihan. Kemudahan pengaksesan jejaring sosial membuat semua lapisan masyarakat dapat turut meniru, dan akhirnya semakin banyak lagi yang membuat karya serupa.
3.      Penutup
Dengan pesatnya kemajuan teknologi, media jejaring sosial dapat menjadi salah satu pilihan atau bahkan menjadi media baru dalam mengapresiasi suatu karya sastra. Keberadaan media ini tidak semata-mata memberikan kelebihan saja untuk apresiasi sastra tetapi banyak juga faktor-faktor yang menjadikan media ini tidak jauh lebih baik dari media buku atau penampilan langsung. Semua kelebihan dan kekurangan yang ditampilkan oleh media ini kembali lagi pada manusia, pengalaman hidup, dan keterampilan berkomunikasi, sebagai dasar dalam menghasilkan karya sastra. Namun sesuatu yang hendak dicapai dari penyebaran sastra melalui media jejaring sosial atau media buku tetaplah sama, yaitu memperhalus budi pekerti, membagikan pengalaman, cita-cita, semangat, dan cita rasa pada waktu serta untuk menjalani kehidupan di bumi, yang semakin hari semakin kaya akan berbagai pilihan.
Bukti dan argumen diatas semakin mendukung bahwa jejaring sosial sebagai alternatif apresiasi sastra harus disikapi dengan netral, sebagaimana dua sisi mata uang yang masing-masing bernilai sama.




















Sumber Bacaan
Situmorang, Saut (Ed.). 2004. Cyber Graffiti: Polemik Sastra Cyberpunk. Yogyakarta: Jendela.
Budianta, Eka. 2005. Senyum untuk Calon Penulis. Jakarta: Pustaka Alvabet.
Aminuddin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Dola, Abdullah. 2007. Apresiasi Prosa Fiksi dan Drama. Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar.
Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2010. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV. Jakarta. Badan Penerbit Pusat Bahasa
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 24 Tahun 2009 2009 tentang bendera, Bahasa, dan Lambang Negara,serta Lagu Kebangsaan
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta