Rabu, 12 Desember 2012

JEJARING SOSIAL, SEPERTI FACEBOOK DAN TWITTER, MERUPAKAN ALTERNATIF YANG BAIK UNTUK APRESIASI SASTRA


JEJARING SOSIAL, SEPERTI FACEBOOK DAN TWITTER, MERUPAKAN ALTERNATIF YANG BAIK UNTUK APRESIASI SASTRA

Amar Ar-risalah, Mahfuz Imam, dan Nurcahayani Citra Arum
Universitas Negeri Jakarta

1.      Pengantar
Jejaring sosial, seperti facebook dan twitter, merupakan alternatif yang baik untuk apresiasi sastra. Dalam topik tersebut, kami merasa bahwa terdapat kata-kata yang maknanya harus ditelusuri lebih dalam sehingga maksud dari topik tersebut dapat termaknai dengan baik. Kata-kata tersebut adalah jejaring sosial, apresiasi sastra, dan alternatif.
Dalam pandangan kami, jejaring sosial adalah struktur sosial yang terdiri atas elemen-elemen individual atau organisasi yang berhubungan karena kesamaan rasa sosialistis. Sejalan dengan pendapat Profesor J.A.Barnes (1954) yang mengatakan bahwa jejaring sosial adalah suatu struktur sosial yang dibentuk dari simpul-simpul (yang umumnya adalah individu atau organisasi) yang dijalin dengan satu atau lebih tipe relasi spesifik seperti nilai, visi, ide, teman, keturunan, dan lain-lain. Berbagai situs jejaring sosial pun turut berkembang sesuai dengan kemajuan teknologi informasi seperti facebook, twitter, myspace, friendster, flickr, dan koprol. Kehadiran situs-situs tersebut tentu memiliki manfaat yang dapat dirasakan oleh penggunanya, termasuk dalam hal mengapresiasi karya sastra.
Apresiasi sastra ialah suatu kegiatan yang memiliki pandangan definisi yang luas. Banyak pakar yang merumuskan pengertian karya sastra secara lengkap agar masyarakat dapat memahami kegiatan apresiasi sastra tersebut secara jelas. Pada dasarnya, istilah apresiasi berasal dari bahasa latin, apreciatio yang berarti mengindahkan atau menghargai.
Secara terminologi, apresiasi sastra dapat diartikan sebagai penghargaan, penilaian, dan pengertian terhadap karya sastra, baik yang berupa prosa fiksi, drama, maupun puisi  (Dola, 2007). Dalam konteks yang lebih luas, Gove memberikan pengertian bahwa apresiasi adalah pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin serta pemahaman dan pengakuan  terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang. Sejalan dengan rumusan pengertian sebelumnya, Effendi dalam (Aminuddin, 2002) mengemukakan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra.
Dalam kegiatan apresiasi, dikenal kegiatan langsung dan tak langsung. Kegiatan langsung terwujud dalam kegiatan apresiasi seperti ketika melihat penampilan, mendengar, membaca, dan memberikan penilaian pada kegiatan membaca puisi, drama, baik di radio, televisi, maupun di panggung terbuka. Bentuk kegiatan ini harus secara kontinu dilakukan sungguh-sungguh dan berulang kali. Kegiatan tak langsung, dapat dilaksanakan dengan cara mempelajari teori sastra, membaca artikel yang berhubungan dengan kesusastraan, baik di majalah, di koran, mempelajari penilaian buku maupun esai dan memberikan gambaran terhadap suatu karya sastra serta mempelajari sejarah sastra. Kegiatan menikmati sastra, seringkali diistilahkan dengan “menggauli” karya sastra.
Kegiatan menggauli sastra dapat berupa kegiatan yang reseptif, dan dapat pula yang bersifat kreatif. Reseptif, berarti bersifat menerima rangsang. Dalam hal ini karya sastra. Kreatif, berarti setelah kita menerima rangsang, kita memprosesnya (mengapresiasi) lalu membuatnya lagi. Dengan banyak membaca karya sastra orang lain, akan terbentuk suatu pemahaman utuh yang berujung pada terbentuknya gaya pribadi kreatif yang berbeda dengan orang lain.
Berdasarkan definisi di atas, kami dapat merumuskan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga dapat menghasilkan daya kreatif baru sebagai hasil dari proses memahami dan menyerap makna yang terkandung dalam karya sastra.
Selain kata-kata jejaring sosial dan apresiasi sastra, kata lain dalam topik Jejaring sosial, seperti facebook dan twitter, merupakan alternatif yang baik untuk apresiasi sastra yang perlu dimaknai lebih dalam ialah kata alternatif. Bagi kami, kata alternatif ini menimbulkan banyak persepsi tentang topik yang dibahas. Kata alternatif dalam topik yang diberikan oleh panitia Debat Bahasa dapat kami artikan sebagai salah satu jalan atau cara lain dari berbagai pilihan cara dalam mengapresiasi karya sastra.
Jadi, makna yang dapat kami simpulkan dari topik tersebut ialah jejaring sosial merupakan salah satu cara yang baik dalam menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh baik secara reseptif maupun secara kreatif, dan bukan media utama yang vital dalam mengapresiasi karya sastra.

2.      Pembahasan
Pada era globalisasi ini, internet—khususnya jejaring sosial—dikenal sebagai media untuk memperoleh data-data secara mudah dan cepat, termasuk dalam memperoleh suatu karya sastra. Namun, kemudahan yang tersedia di jejaring sosial justru menimbulkan masalah sebab jejaring sosial ternyata memiliki beberapa kelemahan di samping beberapa kelebihan yang juga tak bisa dilupakan.
Secara umum, kemudahan akses internet serta fasilitas berbagi dan bercakap-cakap yang disediakan jejaring sosial dapat berperan sebagai media pilihan atau bahkan media “baru” dalam mengapresiasi karya sastra. Keberadaan media ini sesungguhnya memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dan kekurangan yang ditampilkan media ini membuat kami berada pada posisi netral dalam memandang jejaring sosial sebagai alternatif yang baik dalam apresiasi sastra.
Dalam kaitan pengapresiasian karya sastra melalui jejaring sosial kita mudah sekali menemukan karya yang ditulis pada status, dinding, atau catatan (facebook). Setelah kita membacanya, berlangsung proses apresiasi dapat langsung dilakukan dengan adanya fasilitas tombol “suka”, “berbagi”, atau bahkan kita dapat langsung memberikan komentar terhadap karya tersebut. Dalam hal ini, media jejaring sosial dianggap lebih efektif dibandingkan media buku atau penampilan langsung (misal pementasan drama).
Selain harganya yang relatif mahal (dibandingkan biaya pengaksesan jejaring sosial) media buku atau penampilan langsung juga tidak menawarkan kemudahan interaksi dengan penikmat lain atau dengan penciptanya. Ditambah lagi, beberapa daerah terbukti mengalami keterbatasan jangkauan dengan minimnya perpustakaan kota, toko buku yang menjual karya sastra, serta terbatasnya waktu yang ada bagi penampilan langsung. Kini dengan adanya jejaring sosial penampilan langsung dapat dengan ringkas direkam, lalu disebarluaskan untuk bisa dinikmati khalayak, tanpa harus datang langsung ke tempat pementasan. Tentu ini sebuah penghematan.
Pengapresiasian karya sastra melalui jejaring sosial selain dapat mencapai sebanyak-banyaknya komunikan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya juga dapat menampilkan aspek-aspek seni yang lain secara simultan, untuk menggali, mengolah, dan menyampaikan keindahan.
Pada taraf selanjutnya, proses apresiasi dalam jejaring sosial ini dapat mengembangkan kekritisan seseorang dalam mengapresiasi suatu karya sastra. Orang akan dengan mudah mengomentari karya tersebut, terlepas dari bobot dan manfaat kritikannya. Siapapun bisa mengritik tanpa belenggu nama besar atau hal-hal lain yang seolah-olah membatasi khalayak untuk memberanikan diri mengomentari karya sastra, termasuk karya ciptaan sastrawan ternama.
Jejaring sosial melalui penggunaan akun dalam pengaksesannya juga memudahkan interaksi antara sastrawan dengan penikmatnya sehingga memungkinkan hubungan timbal balik saat itu juga. Akun-akun Sapardi Djoko Damono, Djenar Maesa Ayu, Sutardji Calzoum Bachri, dan lain-lain, terang sangat membantu masyarakat “mengunjungi” dan berdialog dengan mereka tanpa malu-malu. Para sastrawan pun tidak dikekang waktu dan tuntutan panitia penyelenggara dialog. Semua interaksi itu berlangsung dengan instan dan mudah. Sedangkan media buku atau penampilan langsung, biasanya kurang menunjang hubungan interaksi secara langsung karena menuntut kegiatan tatap muka atau dialog langsung yang memerlukan ruang dan waktu.
Selain kelebihan yang disuguhkan media jejaring sosial untuk mengapresiasi sebuah karya sastra, media ini juga ternyata memiliki banyak kelemahan. Pemerolehan suatu karya melalui jejaring sosial sangat tergantung pada teknologi, khususnya ketersediaan listrik, jaringan telepon, monitor atau layar televisi. Tidak hanya itu, mudahnya mengakses jejaring sosial untuk memperoleh suatu karya dapat membuat seseorang bertindak bebas tanpa aturan. Dalam hal ini, jejaring sosial membuat seseorang dengan mudah menyalin dan menempelkan kembali karya sastra tanpa kontrol. Selain itu, seringkali sebuah karya orang lain disadur menjadi karya sendiri tanpa keterangan dan disebarluaskan atas nama pribadi bukan nama penulis atau pengarang aslinya.
Kita saksikan banyaknya akun-akun palsu atas nama sastrawan atau penyair besar yang seringkali mengutip, bahkan menyalin keseluruhan karya namun dengan konten atau tendensi tertentu, yang mengakibatkan biasnya makna asli karya itu, bahkan juga pencemaran nama baik sastrawan tersebut.
Melalui jejaring sosial, karya dapat beredar luas secara gratis atau tanpa royalti. Padahal seharusnya para sastrawan juga harus memperoleh royalti atas karyanya yang tersebar luas di media ini. Kemudahan yang ditawarkan sebagai alternatif bukan berarti membuat segalanya tampak ekonomis bagi semua pihak. Pasti ada yang dirugikan.
Bias karya sastra dari penciptanya kepada pembacanya dapat terjadi karena faktor medianya. Jejaring sosial membuat seseorang dengan mudah memperoleh karya sastra tanpa kendali yang kuat sebab di dunia maya tidak ada dewan redaksi yang berperan untuk menyeleksi, memperbaiki, menolak atau menyetujui sebuah karya untuk disebarluaskan. Selain itu, banyak kita temukan komentar atau konten status yang menuliskan puisi dari sastrawan besar, lalu jika dibandingkan dengan status lain yang sejenis atau dengan bentuk tercetaknya, ternyata mengalami perbedaan yang sangat besar, baik dari segi tipografi, diksi, ataupun makna. Tidak hanya itu, kebebasan dalam mengakses jejaring sosial juga membuat siswa sekolah menengah yang kerap kali mendapatkan penugasan mencari karya sastra menggunakan jejaring sosial untuk bertukar alamat situs sastra. Mereka mengunduhnya tanpa pengawasan dan penyaringan. Tak pelak, ketika dibawa ke dalam forum diskusi, terjadi banyak ragam karya dari satu versi karya sastra atau bahkan karya tersebut sebenarnya tidak layak untuk dibaca oleh siswa sekolah menengah seperti karya sastra dewasa.
Pada sastrawan angkatan 1930-an hingga 1990-an, peran kritikus sastra seperti HB. Jassin, Sapardi Djoko Damono, dan Arswendo sangat besar untuk dapat mendaulat sebuah karya sastra sebagai layak atau tidak layak untuk dinikmati, lebih jauh lagi, jelek atau bagusnya karya itu bagi masyarakat.
Nama-nama besar seperti Chairil, yang lahir akibat pentahbisan oleh HB. Jassin, Seno Gumira Ajidarma, dan lain-lain menunjukkan kualitas akademis sebagaimana sebuah skripsi atau karya ilmiah yang telah disahkan oleh tim penguji atau  lembaga terkait.
Fenomena jejaring sosial, meski masih dalam lingkup sebagai alternatif, membuat semua orang dan semua sastrawan, tua muda, paham tidak, dewasa atau kekanak-kanakkan dapat memberikan penilaian dan dianggap sebagai kritik sastra tanpa memperhatikan bobotnya.
Fasilitas untuk menyukai dan mengulangi sebuah status mendorong para penyair muda untuk membuat karya yang populer, namun mengesampingkan nilai tanggung jawab materi sastra.
Betapa banyak sastrawan dunia maya, yang mengunggah sajaknya tanpa disertai penyaringan, dan semua orang bisa melihatnya, lalu bebas mengomentarinya selayaknya kritikus sastra.
Orang berlomba-lomba mengejar ekspresi “suka” atau “kicau ulang” demi membesarkan dan mengorbitkan namanya dalam kancah sastra, namun mengesampingkan peran akademis kritikus sastra.
ini juga, yang oleh sebagian kalangan dianggap menyebabkan degradasi kualitas karya sastra. Tanggung jawab penyair dan sastrawan yang kurang, ditambah dengan tak ada lagi kitikus besar semacam Jassin atau Maman Mahayana, yang memberikan arah, pecut, serta cacian terhadap karya sastra agar masyarakat lebih terarah dan mengapresiasi dengan lebih objektif.
Saut Situmorang, dalam bukunya memuat sebuah esei yang cukup membuka pemahaman kita. Karya sastra tidak lahir akibat disukai pembacanya, atau rasa kasihan terhadap perjuangan si pencipta sehingga mengabaikan isi karya tersebut, lebih jauh lagi, mutu karya tersebut. Mutu makna karya tersebut.
Inilah sebabnya, banyak karya yang sekarang lahir secara spontan dan hanya mengumbar-umbar tawa, mengumbar-umbar kesedihan. Kemudahan pengaksesan jejaring sosial membuat semua lapisan masyarakat dapat turut meniru, dan akhirnya semakin banyak lagi yang membuat karya serupa.
3.      Penutup
Dengan pesatnya kemajuan teknologi, media jejaring sosial dapat menjadi salah satu pilihan atau bahkan menjadi media baru dalam mengapresiasi suatu karya sastra. Keberadaan media ini tidak semata-mata memberikan kelebihan saja untuk apresiasi sastra tetapi banyak juga faktor-faktor yang menjadikan media ini tidak jauh lebih baik dari media buku atau penampilan langsung. Semua kelebihan dan kekurangan yang ditampilkan oleh media ini kembali lagi pada manusia, pengalaman hidup, dan keterampilan berkomunikasi, sebagai dasar dalam menghasilkan karya sastra. Namun sesuatu yang hendak dicapai dari penyebaran sastra melalui media jejaring sosial atau media buku tetaplah sama, yaitu memperhalus budi pekerti, membagikan pengalaman, cita-cita, semangat, dan cita rasa pada waktu serta untuk menjalani kehidupan di bumi, yang semakin hari semakin kaya akan berbagai pilihan.
Bukti dan argumen diatas semakin mendukung bahwa jejaring sosial sebagai alternatif apresiasi sastra harus disikapi dengan netral, sebagaimana dua sisi mata uang yang masing-masing bernilai sama.




















Sumber Bacaan
Situmorang, Saut (Ed.). 2004. Cyber Graffiti: Polemik Sastra Cyberpunk. Yogyakarta: Jendela.
Budianta, Eka. 2005. Senyum untuk Calon Penulis. Jakarta: Pustaka Alvabet.
Aminuddin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Dola, Abdullah. 2007. Apresiasi Prosa Fiksi dan Drama. Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar.
Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2010. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV. Jakarta. Badan Penerbit Pusat Bahasa
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 24 Tahun 2009 2009 tentang bendera, Bahasa, dan Lambang Negara,serta Lagu Kebangsaan
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

1 komentar: