JEJARING SOSIAL, SEPERTI FACEBOOK
DAN TWITTER, MERUPAKAN ALTERNATIF YANG BAIK UNTUK APRESIASI SASTRA
Amar Ar-risalah, Mahfuz Imam, dan Nurcahayani Citra
Arum
Universitas
Negeri Jakarta
1.
Pengantar
Jejaring sosial, seperti facebook dan twitter,
merupakan alternatif yang baik untuk apresiasi sastra. Dalam topik tersebut,
kami merasa bahwa terdapat kata-kata yang maknanya harus ditelusuri lebih dalam
sehingga maksud dari topik tersebut dapat termaknai dengan baik. Kata-kata
tersebut adalah jejaring sosial, apresiasi sastra, dan alternatif.
Dalam pandangan kami, jejaring sosial adalah struktur
sosial yang terdiri atas elemen-elemen individual atau organisasi yang
berhubungan karena kesamaan rasa sosialistis. Sejalan dengan pendapat Profesor
J.A.Barnes (1954) yang mengatakan bahwa jejaring
sosial adalah suatu struktur sosial yang dibentuk dari simpul-simpul (yang
umumnya adalah individu atau organisasi) yang dijalin dengan satu atau lebih
tipe relasi spesifik seperti nilai, visi, ide, teman, keturunan, dan lain-lain. Berbagai situs jejaring
sosial pun turut berkembang sesuai dengan kemajuan teknologi informasi seperti facebook,
twitter, myspace, friendster, flickr, dan koprol.
Kehadiran situs-situs tersebut tentu memiliki manfaat yang dapat dirasakan oleh
penggunanya, termasuk dalam hal mengapresiasi karya sastra.
Apresiasi sastra ialah
suatu kegiatan yang memiliki pandangan definisi yang luas. Banyak pakar yang
merumuskan pengertian karya sastra secara lengkap agar masyarakat dapat
memahami kegiatan apresiasi sastra tersebut secara jelas. Pada
dasarnya, istilah apresiasi berasal dari bahasa latin, apreciatio yang berarti mengindahkan atau menghargai.
Secara terminologi, apresiasi sastra dapat diartikan
sebagai penghargaan, penilaian, dan pengertian terhadap karya sastra, baik yang
berupa prosa fiksi, drama, maupun puisi
(Dola, 2007). Dalam konteks yang lebih luas, Gove memberikan pengertian
bahwa apresiasi adalah pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin serta
pemahaman dan pengakuan terhadap
nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang. Sejalan dengan rumusan
pengertian sebelumnya, Effendi dalam (Aminuddin, 2002) mengemukakan bahwa
apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh
sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan kritis, dan kepekaan
perasaan yang baik terhadap karya sastra.
Dalam kegiatan apresiasi, dikenal kegiatan langsung
dan tak langsung. Kegiatan langsung terwujud dalam kegiatan apresiasi seperti
ketika melihat penampilan, mendengar, membaca, dan memberikan penilaian pada
kegiatan membaca puisi, drama, baik di radio, televisi, maupun di panggung
terbuka. Bentuk kegiatan ini harus secara kontinu dilakukan sungguh-sungguh dan
berulang kali. Kegiatan tak langsung, dapat dilaksanakan dengan cara
mempelajari teori sastra, membaca artikel yang berhubungan dengan kesusastraan,
baik di majalah, di koran, mempelajari penilaian buku maupun esai dan
memberikan gambaran terhadap suatu karya sastra serta mempelajari sejarah
sastra. Kegiatan menikmati sastra, seringkali diistilahkan dengan “menggauli”
karya sastra.
Kegiatan menggauli sastra dapat berupa kegiatan yang
reseptif, dan dapat pula yang bersifat kreatif. Reseptif, berarti bersifat
menerima rangsang. Dalam hal ini karya sastra. Kreatif, berarti setelah kita
menerima rangsang, kita memprosesnya (mengapresiasi) lalu membuatnya lagi.
Dengan banyak membaca karya sastra orang lain, akan terbentuk suatu pemahaman
utuh yang berujung pada terbentuknya gaya pribadi kreatif yang berbeda dengan
orang lain.
Berdasarkan definisi di atas, kami dapat merumuskan
bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra secara
sungguh-sungguh sehingga dapat menghasilkan daya kreatif baru sebagai hasil
dari proses memahami dan menyerap makna yang terkandung dalam karya sastra.
Selain kata-kata jejaring sosial dan apresiasi
sastra, kata lain dalam topik Jejaring sosial, seperti facebook dan twitter,
merupakan alternatif yang baik untuk apresiasi sastra yang perlu dimaknai lebih
dalam ialah kata alternatif. Bagi kami, kata alternatif ini menimbulkan banyak
persepsi tentang topik yang dibahas. Kata alternatif dalam topik yang diberikan
oleh panitia Debat Bahasa dapat kami artikan sebagai salah satu jalan atau cara
lain dari berbagai pilihan cara dalam mengapresiasi karya sastra.
Jadi, makna yang dapat kami simpulkan dari topik
tersebut ialah jejaring sosial merupakan salah satu cara yang baik dalam
menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh baik secara reseptif maupun
secara kreatif, dan bukan media utama yang vital dalam mengapresiasi karya
sastra.
2. Pembahasan
Pada era globalisasi ini, internet—khususnya
jejaring sosial—dikenal sebagai media untuk memperoleh data-data secara mudah
dan cepat, termasuk dalam memperoleh suatu karya sastra. Namun, kemudahan yang
tersedia di jejaring sosial justru menimbulkan masalah sebab jejaring sosial
ternyata memiliki beberapa kelemahan di samping beberapa kelebihan yang juga
tak bisa dilupakan.
Secara umum, kemudahan akses internet serta
fasilitas berbagi dan bercakap-cakap yang disediakan jejaring sosial dapat berperan
sebagai media pilihan atau bahkan media “baru” dalam mengapresiasi karya
sastra. Keberadaan media ini sesungguhnya memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan dan kekurangan yang ditampilkan media ini membuat kami berada pada
posisi netral dalam memandang jejaring sosial sebagai alternatif yang baik
dalam apresiasi sastra.
Dalam kaitan pengapresiasian karya sastra melalui
jejaring sosial kita mudah sekali menemukan karya yang ditulis pada status,
dinding, atau catatan (facebook). Setelah kita membacanya, berlangsung
proses apresiasi dapat langsung dilakukan dengan adanya fasilitas tombol
“suka”, “berbagi”, atau bahkan kita dapat langsung memberikan komentar terhadap
karya tersebut. Dalam hal ini, media jejaring sosial dianggap lebih efektif
dibandingkan media buku atau penampilan langsung (misal pementasan drama).
Selain harganya yang relatif mahal (dibandingkan
biaya pengaksesan jejaring sosial) media buku atau penampilan langsung juga
tidak menawarkan kemudahan interaksi dengan penikmat lain atau dengan
penciptanya. Ditambah lagi, beberapa daerah terbukti mengalami keterbatasan
jangkauan dengan minimnya perpustakaan kota, toko buku yang menjual karya
sastra, serta terbatasnya waktu yang ada bagi penampilan langsung. Kini dengan
adanya jejaring sosial penampilan langsung dapat dengan ringkas direkam, lalu
disebarluaskan untuk bisa dinikmati khalayak, tanpa harus datang langsung ke
tempat pementasan. Tentu ini sebuah penghematan.
Pengapresiasian karya sastra melalui jejaring sosial
selain dapat mencapai sebanyak-banyaknya komunikan dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya juga dapat menampilkan aspek-aspek seni yang lain secara
simultan, untuk menggali, mengolah, dan menyampaikan keindahan.
Pada taraf selanjutnya, proses apresiasi dalam
jejaring sosial ini dapat mengembangkan kekritisan seseorang dalam
mengapresiasi suatu karya sastra. Orang akan dengan mudah mengomentari karya
tersebut, terlepas dari bobot dan manfaat kritikannya. Siapapun bisa mengritik
tanpa belenggu nama besar atau hal-hal lain yang seolah-olah membatasi khalayak
untuk memberanikan diri mengomentari karya sastra, termasuk karya ciptaan
sastrawan ternama.
Jejaring sosial melalui penggunaan akun dalam
pengaksesannya juga memudahkan interaksi antara sastrawan dengan penikmatnya
sehingga memungkinkan hubungan timbal balik saat itu juga. Akun-akun Sapardi Djoko
Damono, Djenar Maesa Ayu, Sutardji Calzoum Bachri, dan lain-lain, terang sangat
membantu masyarakat “mengunjungi” dan berdialog dengan mereka tanpa malu-malu.
Para sastrawan pun tidak dikekang waktu dan tuntutan panitia penyelenggara
dialog. Semua interaksi itu berlangsung dengan instan dan mudah. Sedangkan
media buku atau penampilan langsung, biasanya kurang menunjang hubungan
interaksi secara langsung karena menuntut kegiatan tatap muka atau dialog
langsung yang memerlukan ruang dan waktu.
Selain kelebihan yang disuguhkan media jejaring
sosial untuk mengapresiasi sebuah karya sastra, media ini juga ternyata
memiliki banyak kelemahan. Pemerolehan suatu karya melalui jejaring sosial
sangat tergantung pada teknologi, khususnya ketersediaan listrik, jaringan
telepon, monitor atau layar televisi. Tidak hanya itu, mudahnya mengakses
jejaring sosial untuk memperoleh suatu karya dapat membuat seseorang bertindak
bebas tanpa aturan. Dalam hal ini, jejaring sosial membuat seseorang dengan
mudah menyalin dan menempelkan kembali karya sastra tanpa kontrol. Selain itu,
seringkali sebuah karya orang lain disadur menjadi karya sendiri tanpa
keterangan dan disebarluaskan atas nama pribadi bukan nama penulis atau
pengarang aslinya.
Kita saksikan banyaknya akun-akun palsu atas nama
sastrawan atau penyair besar yang seringkali mengutip, bahkan menyalin
keseluruhan karya namun dengan konten atau tendensi tertentu, yang
mengakibatkan biasnya makna asli karya itu, bahkan juga pencemaran nama baik
sastrawan tersebut.
Melalui jejaring sosial, karya dapat beredar luas secara
gratis atau tanpa royalti. Padahal seharusnya para sastrawan juga harus
memperoleh royalti atas karyanya yang tersebar luas di media ini. Kemudahan
yang ditawarkan sebagai alternatif bukan berarti membuat segalanya tampak
ekonomis bagi semua pihak. Pasti ada yang dirugikan.
Bias karya sastra dari penciptanya kepada pembacanya
dapat terjadi karena faktor medianya. Jejaring sosial membuat seseorang dengan
mudah memperoleh karya sastra tanpa kendali yang kuat sebab di dunia maya tidak
ada dewan redaksi yang berperan untuk menyeleksi, memperbaiki, menolak atau
menyetujui sebuah karya untuk disebarluaskan. Selain itu, banyak kita temukan
komentar atau konten status yang menuliskan puisi dari sastrawan besar, lalu
jika dibandingkan dengan status lain yang sejenis atau dengan bentuk
tercetaknya, ternyata mengalami perbedaan yang sangat besar, baik dari segi
tipografi, diksi, ataupun makna. Tidak hanya itu, kebebasan dalam mengakses
jejaring sosial juga membuat siswa sekolah menengah yang kerap kali mendapatkan
penugasan mencari karya sastra menggunakan jejaring sosial untuk bertukar
alamat situs sastra. Mereka mengunduhnya tanpa pengawasan dan penyaringan. Tak
pelak, ketika dibawa ke dalam forum diskusi, terjadi banyak ragam karya dari
satu versi karya sastra atau bahkan karya tersebut sebenarnya tidak layak untuk
dibaca oleh siswa sekolah menengah seperti karya sastra dewasa.
Pada sastrawan angkatan 1930-an hingga 1990-an,
peran kritikus sastra seperti HB. Jassin, Sapardi Djoko Damono, dan Arswendo
sangat besar untuk dapat mendaulat sebuah karya sastra sebagai layak atau tidak
layak untuk dinikmati, lebih jauh lagi, jelek atau bagusnya karya itu bagi
masyarakat.
Nama-nama besar seperti Chairil, yang lahir akibat
pentahbisan oleh HB. Jassin, Seno Gumira Ajidarma, dan lain-lain menunjukkan
kualitas akademis sebagaimana sebuah skripsi atau karya ilmiah yang telah
disahkan oleh tim penguji atau lembaga
terkait.
Fenomena jejaring sosial, meski masih dalam lingkup
sebagai alternatif, membuat semua orang dan semua sastrawan, tua muda, paham
tidak, dewasa atau kekanak-kanakkan dapat memberikan penilaian dan dianggap
sebagai kritik sastra tanpa memperhatikan bobotnya.
Fasilitas untuk menyukai dan mengulangi sebuah
status mendorong para penyair muda untuk membuat karya yang populer, namun
mengesampingkan nilai tanggung jawab materi sastra.
Betapa banyak sastrawan dunia maya, yang mengunggah
sajaknya tanpa disertai penyaringan, dan semua orang bisa melihatnya, lalu
bebas mengomentarinya selayaknya kritikus sastra.
Orang berlomba-lomba mengejar ekspresi “suka” atau
“kicau ulang” demi membesarkan dan mengorbitkan namanya dalam kancah sastra,
namun mengesampingkan peran akademis kritikus sastra.
ini juga, yang oleh
sebagian kalangan dianggap menyebabkan degradasi kualitas karya sastra.
Tanggung jawab penyair dan sastrawan yang kurang, ditambah dengan tak ada lagi
kitikus besar semacam Jassin atau Maman Mahayana, yang memberikan arah, pecut,
serta cacian terhadap karya sastra agar masyarakat lebih terarah dan
mengapresiasi dengan lebih objektif.
Saut Situmorang, dalam
bukunya memuat sebuah esei yang cukup membuka pemahaman kita. Karya sastra
tidak lahir akibat disukai pembacanya, atau rasa kasihan terhadap perjuangan si
pencipta sehingga mengabaikan isi karya tersebut, lebih jauh lagi, mutu karya
tersebut. Mutu makna karya tersebut.
Inilah sebabnya, banyak
karya yang sekarang lahir secara spontan dan hanya mengumbar-umbar tawa,
mengumbar-umbar kesedihan. Kemudahan pengaksesan jejaring sosial membuat semua
lapisan masyarakat dapat turut meniru, dan akhirnya semakin banyak lagi yang membuat
karya serupa.
3. Penutup
Dengan pesatnya kemajuan teknologi, media jejaring
sosial dapat menjadi salah satu pilihan atau bahkan menjadi media baru dalam
mengapresiasi suatu karya sastra. Keberadaan media ini tidak semata-mata
memberikan kelebihan saja untuk apresiasi sastra tetapi banyak juga
faktor-faktor yang menjadikan media ini tidak jauh lebih baik dari media buku
atau penampilan langsung. Semua kelebihan dan kekurangan yang ditampilkan oleh
media ini kembali lagi pada manusia, pengalaman hidup, dan keterampilan
berkomunikasi, sebagai dasar dalam menghasilkan karya sastra. Namun sesuatu
yang hendak dicapai dari penyebaran sastra melalui media jejaring sosial atau
media buku tetaplah sama, yaitu memperhalus budi pekerti, membagikan
pengalaman, cita-cita, semangat, dan cita rasa pada waktu serta untuk menjalani
kehidupan di bumi, yang semakin hari semakin kaya akan berbagai pilihan.
Bukti dan argumen diatas semakin mendukung bahwa
jejaring sosial sebagai alternatif apresiasi sastra harus disikapi dengan
netral, sebagaimana dua sisi mata uang yang masing-masing bernilai sama.
Sumber
Bacaan
Situmorang,
Saut (Ed.). 2004. Cyber Graffiti: Polemik Sastra Cyberpunk. Yogyakarta:
Jendela.
Budianta,
Eka. 2005. Senyum untuk Calon Penulis. Jakarta: Pustaka Alvabet.
Aminuddin.
2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Dola,
Abdullah. 2007. Apresiasi Prosa Fiksi dan Drama. Makassar: Badan Penerbit
Universitas Negeri Makassar.
Badan
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2010. Kamus
Besar Bahasa Indonesia Edisi IV. Jakarta. Badan Penerbit Pusat Bahasa
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 24 Tahun 2009
2009 tentang bendera, Bahasa, dan Lambang Negara,serta Lagu Kebangsaan
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 11 Tahun 2008
tentang informasi dan Transaksi Elektronik
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002
tentang Hak Cipta
Nice article thanks
BalasHapus88CSN
Agen Slot
Link Alternatif