Rabu, 12 Desember 2012

Membuka Kotak Wayang dalam Musium


Membuka Kotak Wayang dalam Musium
Pelestarian warisan dunia kini memasuki era yang memprihatinkan. Bukan secara fisik atau biaya, melainkan terdegradasinya nilai warisan dunia tersebut, menjadi sekedar unik dan objek wisata semata. Jika kita diajak berikir tentang warisan dunia, tentu yang terpikir adalah besar, unik, indah, wisata, dan tradisi.
Kita tak lagi melihat warisan dunia itu sebagai warisan nilai masa lampau yang dapat kita jadikan hikmah. Dalam hal ini, warisan budaya dunia, satu contoh yang sangat nyata ada pada Wayang Purwa, atau lebih dikenal dengan Wayang Kulit.
Kini kita hanya mengenal wayang purwa dari tatahan bentuknya, pradanya, tembangnya, atau durasinya yang semalam suntuk. Kita hanya mengenal fisik dalangnya, tanpa mengetahui makna dibalik dalang itu sendiri. Kita hanya mengenal ceritanya, sebagaimana kita mengenal cerita yang ada sekarang seperti sinetron dan komik.
Tulisan ini akan mencoba membuka sisi lain, mengapa wayang kulit dijadikan warisan budaya dunia, dan betapa rendahnya pemahaman kita tentangnya. Kita harus malu, membanggakan fisik wayang kulit tanpa mengetahui sisi mendasar dibalik pralambang yang ada di dalamnya.
Dalam buku yang dikeluarkan oleh LPSK pada 2006,  wayang berasal dari 2 arti pokok. Pertama, wayang sebagai bayangan. Ini timbul karena zaman dahulu, kita mementaskan wayang dari balik layar, sehingga penonton hanya melihat warna hitam dan putih, dan pada masa itu, tatahan wayang belum serumit sekarang.
Wayang sebagai bayangan, juga menunjukkan bayangan kita, bayangan manusia yang menontonnya. Bukankah sifat-sifat wayang itu identik dengan sifat kita? Bagaimana jatidiri nafsu mereka terkuak ketika perebutan kekuasaan. Bukankah dalam setiap diri kita, tidak dipungkiri ada sifat Sangkuni, yang licik dan haus kekuasaan sehingga menjadikan lawan dan kawan binasa.
Tidak bisa dihindari, setiap diri kita memiliki sifat kesatria seperti Abimanyu, namun harus menanggung celaka karena tidak memiliki pengendalian nafsu kepada wanita? Digambarkan dengan gamblang, bagaimana manusia dihadapkan dengan pilihan, ketika Harjuna harus membunuh kakaknya sendiri-Karna-ketika pertempuran Bharatayuda.
Yang dipahami sekarang, wayang sekedar sarana hiburan, dan keindahannya miskin dengan makna. Kita tidak lagi mengerti pralambang yang ada di dalamnya, karena rendahnya pemahaman terhadap makna wayang sebagai piwulang kepada masyarakat melalui simbolisasi kehidupan manusia.
Selanjutnya, Wayang berarti Wa-Hyang. Imbuhan wa- tidak memiliki makna, maka tinggal Hyang. Hyang, adalah Tuhan yang Maha Agung. Makna ini timbul dalam hubungan antara wayang sebagai sarana pemujaan dengan keberagamaan masyarakat. Pada zaman dahulu, wayang ditanggap ketika perayaan panen, pernikahan, sunatan, dan upacara bersih diri dan desa yang disebut ruwatan.
Dalam upacara ini, dalang berfungsi sebagai pemimpin religi yang menghubungkan masyarakat dengan Sang Hyang. Permainan wayangnya diartikan sebagai simbolisasi kehidupan masyarakat ketika berhubungan dengan Tuhan. Wayang, secara tak langsung, adalah sarana ibadah yang sangat agung.
Betapa halus maknanya, bandingkan dengan jenis kesenian zaman ini yang mengutamakan tawa dan kering dari makna. Mengutamakan besarnya, mewahnya, tetapi tidak membangun masyarakat, bahkan dipenuhi kontroversi kebermanfaatannya.
Dalam pementasan wayang, dalang memegang peranan utama. Ia adalah penutur dan narator sebuah lakon. Ia juga menembangkan petuah-petuah. Yang menyedihkan, masa ini, dalang memiliki konotasi negatif. Ungkapan seperti dalang konspirasi, dalang pembunuhan, membuat masyarakat melupakan makna dalang sebagai pemimpin spiritual dan sosial dalam masyarakat Jawa. Dalang, adalah pemimpin moral yang memberikan ajaran-ajaran dan piwulang melalui lakon yang miliki pralambang itu.
Hilangnya makna dalang dan pewayangan ini, bisa kita analisa dari berbagai segi. Ada yang menarik, bahwa ternyata dalang juga memiliki tingkatan dan kelasnya sendiri. Dalam Seni Pedhalangan Wayang Purwa (2008), Purwadi memaparkan, ada lima macam dalang.
Pertama ,Dalang Sejati. Jika memainkan wayang, semua lakon pewayangan berisi pendidikan yang baik untuk contoh para penonton. Yang diceritakan dalam lakon pasti yang berisi ilmu kebatinan, wejangan sangkan pnama dumadi sampai Kesejatian hidup.
Disini, dalang memiliki arti seperti guru dan teladan. Memberi terang pada para penonton yang masih hatinya masih merasa gelap, memberi wejangan tentang hidup manusia agar bisa menuju kesempurnan. Jadi lahir dan batin seia sekata, luar dan dalam diri menuju pada tindakan yang baik, jangan sampai manusia itu melenceng menuruti keinginan dan nafsu sendiri. Itulah yang dinamakan Dalang sejati.
Kesempurnaan didapat dari pemahaman terhadap simbol-simbol yang sengaja dipilih Dalang dalam lakon, agar lebih menyentuh kedalam hati. Meski tak lepas dari unsur mistik, tetapi kesempurnaan yang dimaksud adalah kesempurnaan pribadi.
Kedua, Dalang Purba. dalang ini jika memainkan wayang bercerita tentang jalan menuju kesempurnaan. Lahir dan batin menuju kesempurnaan. Maka, caranya memberi petunjuk hanya dengan kata yang halus-halus, sebagai wejangan pada para penonton sampai masuk ke dalam hati.
Meskipun pementasan sudah selesai tetapi merasa masih menerima wejangan Ki Dalang tersebut. Itulah yang dinamakan Dalang purba, artinya Dalang yang sudah bisa merasakan rasa kasar halusnya manusia. Dia baru sekedar bercerita dan menanamkan, belum menggugah agar mengikuti setiap piwulang dalang.
Ketiga, Dalang Wasesa. dalang wasesa adalah dalang yang sudah mahir, caranya menceritakan wayang sampai bisa seperti hidup karena pandainya membuat kata-kata, sampai membuat para penonton ikut merasa prihatin kalau wayang sedang prihatin, seperti benar-benar ikut susah. Begitu seterusnya, karena kepandaian memainkan dan melagukan segala tingkah laku wayang, seperti itulah yang dinamakan Dalang wasesa, artinya sudah bisa menguasai pakeliran.
Tetapi, dalang jenis ini kehilangan kemampuan meneruskan ajaran moral dari wayang-wayang ia mainkan. Permainannya hanya seperti boneka anak-anak. Disini, mungkin terjadi semacam degradasi. Disamping karena sulitnya menjadi dalang sejati dan dalang purba, dalang jenis ini mudah dipelajari.
Dalang Guna, kepandaiannya menjalankan pakeliran hanya menurut pada cerita yang pasti disenangi oleh penonton saja. Ceritanya kosong, tidak ada wejangan, hanya sekedar ramai saja dan kelihatan pandai memainkan wayang, jadi  baru memainkan wayang sambil diiringi tetabuhan semalam suntuk, sekalian menunggu rumah.
Inilah yang banyak kita temui di masa ini. Tidak dipungkiri, pada zaman sekarang kebanyakan dalang itu yang justru merusak keindahan simbolisasi kehidupan manusia dalam wayang. Hanya seperti panggung pertunjukan yang mengumbar tawa dan keheranan. Wayang gagal menjalankan tugasnya sebagai penerus ajaran moral melalui perenungan.
Dalang Wikalpa, caranya memainkan wayang hanya menurut isi pakem, semua pengetahuan tentang pedalangan. Ceritanya hanya apa adanya saja, menurut ajaran ketika belajar jadi Dalang ketika sekolah dalam sekolah pedalangan. Jadi hanya seperti meniru saja, itu baru dinamakan latihan mendalang, menirukan cara Dalang memainkan wayang semalaman. Itu yang dinamakan Dalang wikalpa.
Dalang inilah yang paling berbahaya. Disamping murah, ia juga mudah menerima titipan pesan dari sponsor. Kehadirannya hanya sekedar seremonial. Jangankan makna, bahkan caranya memainkan wayang terasa sangat datar. Inilah yang menyebabkan generasi muda sulit menerima wayang. Disamping perubahan yang terus-menerus, wayang juga harus mempertahankan fungsi pewarisan moralnya. Tantangan inilah yang terbukti gagal diJawab oleh dalang masa sekarang. Wayang, tinggal dalam musium, disejajarkan dengan pot keramik dan uang logam kuno.
Dalam dunia pewayangan dikenal istilah pakem blangkon. Pakem artinya ketentuan, yaitu wewaton; Blangkon artinya tetap, tidak berubah. Jadi pakem blangkon itu adalah ketentuan pedalangan yang sudah ditetapkan serta diatur menurut adat tatacara di kerajaan Jawa, sebagai pedoman para Dalang jika memainkan wayang.
Bukankah pada zaman ini, banyak diantara dalang itu sendiri-yang bukan dalang sejati-keluar dari pakem dan membuat lakon sesuka hatinya. Makna wayang itu sendiri hilang, dan alih-alih melestarikan fungsi moral wayang, ia memasukkan wayang pada lemari relik di musium-musium.
Kini, wayang hanya hidup di hati para orang lanjut usia yang memahami tata krama dan tata wicara orang Jawa. Pada masyarakat indonesia, wayang tak lebih hanya pertunjukan boneka dan hiburan semata. Pada generasi setelahnya, wayang hanya pengingat masa kecil dan perjuangan. Ketika wayang merupakan jatidiri masyarakat Jawa. Ketika wayang, masih meneruskan ajaran-ajaran moral.
Makna warisan dunia menjadi sangat kering, dan kita terjebak di dalamnya. Kita sendiri mengagung-agungkan wayang sebagai benda mati. Bukan maknanya. Alangkah indahnya, apabila setiap pesan yang ada dalam pewayangan bisa kita terapkan. Sikap kekeluargaan, politik, peperangan, keagamaan, moral, itu semua yang menjadikan wayang pantas lestari.
Selamanya, tidak akan pernah ada musium untuk moral. Tidak akan pernah ada pertunjukan dan sandiwara moral. Yang ada adalah perlambang-perlambang untuk mendidik umat manusia. manusia adalah makhluk yang menggunakan simbol, dan secara halus, wayang telah memasuki alam bathin manusia Jawa melalui setiap simbol dalam kisahnya.
Tidak heran, jika kini dalam masyarakat Jawa terjadi degradasi moral, karena kebudayaan mereka tinggal menjadi barang antik dalam musium kesenian, dan habis dikomersilkan menjadi barang aneh dan indah. Bukan dilestarikan untuk diambil nilai moralnya.
Wayang kini menjadi dolanan bocah-bocah kampus yang penasaran pada tatahannya, dan menganggap ceritanya seru-semacam komik atau superhero-dan kehilangan makna sebagai pengawal moral, budaya, dan nilai-nilai manusia Jawa seutuhnya. Politiknya. Keluarganya. Ketuhanannya. Ekonominya. Tatakramanya.
Mengambil pelajaran dari wayang, seharusnya mendorong kita melestarikan ajaran dan pengajaran yang ada di dalamnya, bukan fisik dan wujud benda wayang itu sendiri. Jangan sampai upaya keras para dalang-melalui PEPADI-mentah begitu saja, dan wayang hanya tinggal tatahan kulit tanpa makna.
Lebih jauh lagi, wayang sebagai warisan dunia mengandung konsep warisan moral dan jatidiri dunia kecil-Jawa-kepada dunia besar, bangsa manusia di muka bumi sebagai bagian Alam Semesta, dunia yang lebih besar lagi. Wayang hanya dunia simbol dari dunia yang teramat kecil, dunia manusia Jawa. Dunia yang dipengaruhi dan mempengaruhi dunia yang lebih besar lagi sebagai sistem.
Sudah saatnya, melihat wayang dalam perspektif lain. Mengeluarkannya dari musium, menjadikannya penuh makna moral dan memutakhirkan pementasannya. Kini telah ada upaya pengindonesiaan bahasa wayang, seperti yang dilakukan Warseno. Ki Anom Suroto menambahkan alat-alat elektronik pada senjata wayang. Bahkan, Ki Nartosabdo mengganti gending dari nada dasar pentatonik menjadi diatonik.
Pemutakhiran paling ekstrim dilakukan Sujiwo Tejo. Ia menyarikan makna-makna moral wayang dan membawanya pada situasi masyarakat kontemporer. Ia hanya menggunakan satu-dua wayang, dan meringkasnya dalam pertunjukan setengah jam, dan membuat pejabat tertampar, ulama tersentil. Membuat tokoh politik panas.
Dia hanya menyajikan makna lakon, tanpa asesoris apapun, dan penampilannya terbukti mampu memengaruhi sosial budaya masyarakat. Kemunculannya sebagai budayawan (bukankah ini fungsi utama seorang dalang?) ditunggu-tunggu di televisi. Inilah wayang, seni perlambangan manusia dengan segala problematikanya, lalu mencarikan solusinya dalam bentuk piwulang lakon-lakonnya.
Buat  apa repot-repot meributkan penculikan budaya oleh bangsa lain, jika kenyataannya nilai yang ada dalam wayang terbukti bermanfaat bagi bangsa lain? Hak cipta dan tetek bengeknya menjadikan wayang kehilangan makna pemersatu bangsa, umat manusia. bukankah akhirnya kita semua memainkan peran yang sangat aneh di dunia nyata, dan digerakkan dalang tak nampak bernama nasionalisme buta. Chauvinik. Egoisme kebangsaan, yang akhirnya menjauhkan kita dari makna yang ada dalam lakon wayang yang penuh dengan piwulang.
Biarlah nilai yang terkandung dalam setiap lakon wayang mendunia, dan tetap hidup sebagai budaya yang hidup, bukan budaya relik yang mesti dipajang-pajang lalu diagungkan sebagai komoditi. Budaya, yang seharusnya mampu menyatukan bangsa-bangsa yang mau belajar dari pralambang yang ada dalam lakon pertempuran dan suksesi raja-raja pandawa melawan kurawa.
Semoga, usaha pelestarian nilai yang terkandung dalam wayang purwa tidak berhenti, dan muncul orang-orang baru yang memahami nilai ini, dan melestarikannya. Menghidupkan nilai moral wayang dari bayangan menuju dunia nyata.










Catatan
Pandawa               : lima tokoh utama pewayangan yang menjadi lawan Kurawa. Diasingkan dalam hutan karena dicurangi dalam perjudian oleh Sangkuni. Terdiri dari Bima, Harjuna, Yudhistira, Nakula, dan Sadewa.
Kurawa                  : Saudara Pandawa dari Kakek Bisma. Mereka berjumlah seratus, dan setiap mereka menjadi bangsawan serta memiliki wilayah sendiri.  Dibawah pimpinan Duryudhana.
Prada                     : cat emas yang digunakan mewarnai tubuh dan wajah kulit wayang yang sudah ditatah
Pralambang          : Perlambangan, tanda-tanda atas sesuatu (Jawa)
Piwulang                : pengajaran moral (Jawa)
Sangkuni               : Seorang patih dari Kurawa, anak buah Duryudhana. Memegang peranan menyesatkan pandawa kedalam pengasingan setelah mencelakai mereka dalam perjudian. Tewas dalam Bharatayudha.
Abimanyu             : Putra Harjuna dari Subadra. Dibesarkan oleh Kresna ketika Harjuna diasingkan. Gugur dalam Bharatayudha karena sumpahnya sendiri kepada Dewi Uttari. Ia dipercaya mendapatkan Wahyu Makutharama, dan mebuat putranya, Parikesit, berhak melanjutkan takhta para pandawa selepas Bharatayuda.
Harjuna                 : Ayah Abimanyu. Pemanah ulung pandawa. Saudara Prabu Karna. Bersenjatakan panah Pasopati. Ia akhirnya membunuh Karna dalam lakon Karna Tanding.
Ditanggap             : diminta tampil, diminta mementaskan wayang.
Pakeliran               : Layar putih dan arena tempat memainkan wayang purwa (tidak termasuk panggung)
PEPADI                 : Persatuan Para Dalang Indonesia.
Gending                 : tatanan musik tradisional Jawa dengan ketukan tertentu, menggunakan gamelan sebagai instrumen utama. Disertai rebab, seruling, dan sebagainya.
Pentatonik            : laras dasar musik tradisional Jawa, mengenal 6 nada dasar.
Diatonik                : laras nada dasar musik zaman ini. mengenal 7 nada dasar.



Daftar Pustaka
Purwadi. 2008. Seni Pedhalangan Wayang Purwa. Jogjakarta: Panji Pustaka
Tim Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. 2010. Pedoman Pewayangan Berperpektif Perlindungan Saksi dan Korban. Jakarta: LPSK.
Sumber bacaan lain:
Makalah Agung Prasetyo, d.k.k berjudul Simbolisme Lakon Dewa Ruci dalam Wayang Kulit Purwa
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV


Tidak ada komentar:

Posting Komentar