Membuka
Kotak Wayang dalam Musium
Pelestarian
warisan dunia kini memasuki era yang memprihatinkan. Bukan secara fisik atau
biaya, melainkan terdegradasinya nilai warisan dunia tersebut, menjadi sekedar
unik dan objek wisata semata. Jika kita diajak berikir tentang warisan dunia,
tentu yang terpikir adalah besar, unik, indah, wisata, dan tradisi.
Kita
tak lagi melihat warisan dunia itu sebagai warisan nilai masa lampau yang dapat
kita jadikan hikmah. Dalam hal ini, warisan budaya dunia, satu contoh yang sangat
nyata ada pada Wayang Purwa, atau lebih dikenal dengan Wayang Kulit.
Kini
kita hanya mengenal wayang purwa dari tatahan bentuknya, pradanya, tembangnya, atau durasinya yang semalam suntuk. Kita
hanya mengenal fisik dalangnya, tanpa mengetahui makna dibalik dalang itu
sendiri. Kita hanya mengenal ceritanya, sebagaimana kita mengenal cerita yang
ada sekarang seperti sinetron dan komik.
Tulisan
ini akan mencoba membuka sisi lain, mengapa wayang kulit dijadikan warisan
budaya dunia, dan betapa rendahnya pemahaman kita tentangnya. Kita harus malu,
membanggakan fisik wayang kulit tanpa mengetahui sisi mendasar dibalik pralambang yang ada di dalamnya.
Dalam
buku yang dikeluarkan oleh LPSK pada 2006,
wayang berasal dari 2 arti pokok. Pertama, wayang sebagai bayangan. Ini
timbul karena zaman dahulu, kita mementaskan wayang dari balik layar, sehingga
penonton hanya melihat warna hitam dan putih, dan pada masa itu, tatahan wayang
belum serumit sekarang.
Wayang
sebagai bayangan, juga menunjukkan bayangan kita, bayangan manusia yang
menontonnya. Bukankah sifat-sifat wayang itu identik dengan sifat kita?
Bagaimana jatidiri nafsu mereka terkuak ketika perebutan kekuasaan. Bukankah
dalam setiap diri kita, tidak dipungkiri ada sifat Sangkuni, yang licik dan
haus kekuasaan sehingga menjadikan lawan dan kawan binasa.
Tidak
bisa dihindari, setiap diri kita memiliki sifat kesatria seperti Abimanyu,
namun harus menanggung celaka karena tidak memiliki pengendalian nafsu kepada
wanita? Digambarkan dengan gamblang, bagaimana manusia dihadapkan dengan
pilihan, ketika Harjuna harus membunuh kakaknya sendiri-Karna-ketika
pertempuran Bharatayuda.
Yang
dipahami sekarang, wayang sekedar sarana hiburan, dan keindahannya miskin
dengan makna. Kita tidak lagi mengerti pralambang
yang ada di dalamnya, karena rendahnya pemahaman terhadap makna wayang sebagai piwulang kepada masyarakat melalui
simbolisasi kehidupan manusia.
Selanjutnya,
Wayang berarti Wa-Hyang. Imbuhan wa- tidak memiliki makna, maka tinggal Hyang.
Hyang, adalah Tuhan yang Maha Agung. Makna ini timbul dalam hubungan antara
wayang sebagai sarana pemujaan dengan keberagamaan masyarakat. Pada zaman
dahulu, wayang ditanggap ketika
perayaan panen, pernikahan, sunatan, dan upacara bersih diri dan desa yang
disebut ruwatan.
Dalam
upacara ini, dalang berfungsi sebagai pemimpin religi yang menghubungkan
masyarakat dengan Sang Hyang. Permainan wayangnya diartikan sebagai simbolisasi
kehidupan masyarakat ketika berhubungan dengan Tuhan. Wayang, secara tak
langsung, adalah sarana ibadah yang sangat agung.
Betapa
halus maknanya, bandingkan dengan jenis kesenian zaman ini yang mengutamakan
tawa dan kering dari makna. Mengutamakan besarnya, mewahnya, tetapi tidak
membangun masyarakat, bahkan dipenuhi kontroversi kebermanfaatannya.
Dalam
pementasan wayang, dalang memegang peranan utama. Ia adalah penutur dan narator
sebuah lakon. Ia juga menembangkan petuah-petuah. Yang menyedihkan, masa ini,
dalang memiliki konotasi negatif. Ungkapan seperti dalang konspirasi, dalang
pembunuhan, membuat masyarakat melupakan makna dalang sebagai pemimpin
spiritual dan sosial dalam masyarakat Jawa. Dalang, adalah pemimpin moral yang
memberikan ajaran-ajaran dan piwulang melalui
lakon yang miliki pralambang itu.
Hilangnya
makna dalang dan pewayangan ini, bisa kita analisa dari berbagai segi. Ada yang
menarik, bahwa ternyata dalang juga memiliki tingkatan dan kelasnya sendiri. Dalam
Seni Pedhalangan Wayang Purwa (2008), Purwadi memaparkan, ada lima macam dalang.
Pertama
,Dalang Sejati. Jika memainkan wayang, semua lakon pewayangan berisi pendidikan
yang baik untuk contoh para penonton. Yang diceritakan dalam lakon pasti yang
berisi ilmu kebatinan, wejangan sangkan
pnama dumadi sampai Kesejatian hidup.
Disini,
dalang memiliki arti seperti guru dan teladan. Memberi terang pada para penonton
yang masih hatinya masih merasa gelap, memberi wejangan tentang hidup manusia
agar bisa menuju kesempurnan. Jadi lahir dan batin seia sekata, luar dan dalam
diri menuju pada tindakan yang baik, jangan sampai manusia itu melenceng
menuruti keinginan dan nafsu sendiri. Itulah yang dinamakan Dalang sejati.
Kesempurnaan
didapat dari pemahaman terhadap simbol-simbol yang sengaja dipilih Dalang dalam
lakon, agar lebih menyentuh kedalam hati. Meski tak lepas dari unsur mistik,
tetapi kesempurnaan yang dimaksud adalah kesempurnaan pribadi.
Kedua,
Dalang Purba. dalang ini jika memainkan wayang bercerita tentang jalan menuju
kesempurnaan. Lahir dan batin menuju kesempurnaan. Maka, caranya memberi
petunjuk hanya dengan kata yang halus-halus, sebagai wejangan pada para penonton
sampai masuk ke dalam hati.
Meskipun
pementasan sudah selesai tetapi merasa masih menerima wejangan Ki Dalang tersebut.
Itulah yang dinamakan Dalang purba, artinya Dalang yang sudah bisa merasakan
rasa kasar halusnya manusia. Dia baru sekedar bercerita dan menanamkan, belum
menggugah agar mengikuti setiap piwulang
dalang.
Ketiga,
Dalang Wasesa. dalang wasesa adalah dalang yang sudah mahir, caranya menceritakan
wayang sampai bisa seperti hidup karena pandainya membuat kata-kata, sampai
membuat para penonton ikut merasa prihatin kalau wayang sedang prihatin,
seperti benar-benar ikut susah. Begitu seterusnya, karena kepandaian memainkan
dan melagukan segala tingkah laku wayang, seperti itulah yang dinamakan Dalang
wasesa, artinya sudah bisa menguasai pakeliran.
Tetapi,
dalang jenis ini kehilangan kemampuan meneruskan ajaran moral dari
wayang-wayang ia mainkan. Permainannya hanya seperti boneka anak-anak. Disini,
mungkin terjadi semacam degradasi. Disamping karena sulitnya menjadi dalang
sejati dan dalang purba, dalang jenis ini mudah dipelajari.
Dalang
Guna, kepandaiannya menjalankan pakeliran
hanya menurut pada cerita yang pasti disenangi oleh penonton saja. Ceritanya kosong,
tidak ada wejangan, hanya sekedar ramai saja dan kelihatan pandai memainkan
wayang, jadi baru memainkan wayang
sambil diiringi tetabuhan semalam suntuk, sekalian menunggu rumah.
Inilah
yang banyak kita temui di masa ini. Tidak dipungkiri, pada zaman sekarang
kebanyakan dalang itu yang justru merusak keindahan simbolisasi kehidupan
manusia dalam wayang. Hanya seperti panggung pertunjukan yang mengumbar tawa
dan keheranan. Wayang gagal menjalankan tugasnya sebagai penerus ajaran moral
melalui perenungan.
Dalang
Wikalpa, caranya memainkan wayang hanya menurut isi pakem, semua pengetahuan tentang
pedalangan. Ceritanya hanya apa adanya saja, menurut ajaran ketika belajar jadi
Dalang ketika sekolah dalam sekolah pedalangan. Jadi hanya seperti meniru saja,
itu baru dinamakan latihan mendalang, menirukan cara Dalang memainkan wayang
semalaman. Itu yang dinamakan Dalang wikalpa.
Dalang
inilah yang paling berbahaya. Disamping murah, ia juga mudah menerima titipan pesan
dari sponsor. Kehadirannya hanya sekedar seremonial. Jangankan makna, bahkan
caranya memainkan wayang terasa sangat datar. Inilah yang menyebabkan generasi
muda sulit menerima wayang. Disamping perubahan yang terus-menerus, wayang juga
harus mempertahankan fungsi pewarisan moralnya. Tantangan inilah yang terbukti
gagal diJawab oleh dalang masa sekarang. Wayang, tinggal dalam musium,
disejajarkan dengan pot keramik dan uang logam kuno.
Dalam
dunia pewayangan dikenal istilah pakem blangkon. Pakem artinya ketentuan, yaitu
wewaton; Blangkon artinya tetap, tidak berubah. Jadi pakem blangkon itu adalah
ketentuan pedalangan yang sudah ditetapkan serta diatur menurut adat tatacara
di kerajaan Jawa, sebagai pedoman para Dalang jika memainkan wayang.
Bukankah
pada zaman ini, banyak diantara dalang itu sendiri-yang bukan dalang
sejati-keluar dari pakem dan membuat lakon sesuka hatinya. Makna wayang itu
sendiri hilang, dan alih-alih melestarikan fungsi moral wayang, ia memasukkan
wayang pada lemari relik di musium-musium.
Kini,
wayang hanya hidup di hati para orang lanjut usia yang memahami tata krama dan
tata wicara orang Jawa. Pada masyarakat indonesia, wayang tak lebih hanya
pertunjukan boneka dan hiburan semata. Pada generasi setelahnya, wayang hanya
pengingat masa kecil dan perjuangan. Ketika wayang merupakan jatidiri
masyarakat Jawa. Ketika wayang, masih meneruskan ajaran-ajaran moral.
Makna
warisan dunia menjadi sangat kering, dan kita terjebak di dalamnya. Kita
sendiri mengagung-agungkan wayang sebagai benda mati. Bukan maknanya. Alangkah
indahnya, apabila setiap pesan yang ada dalam pewayangan bisa kita terapkan.
Sikap kekeluargaan, politik, peperangan, keagamaan, moral, itu semua yang
menjadikan wayang pantas lestari.
Selamanya,
tidak akan pernah ada musium untuk moral. Tidak akan pernah ada pertunjukan dan
sandiwara moral. Yang ada adalah perlambang-perlambang untuk mendidik umat
manusia. manusia adalah makhluk yang menggunakan simbol, dan secara halus, wayang
telah memasuki alam bathin manusia Jawa melalui setiap simbol dalam kisahnya.
Tidak
heran, jika kini dalam masyarakat Jawa terjadi degradasi moral, karena
kebudayaan mereka tinggal menjadi barang antik dalam musium kesenian, dan habis
dikomersilkan menjadi barang aneh dan indah. Bukan dilestarikan untuk diambil
nilai moralnya.
Wayang
kini menjadi dolanan bocah-bocah
kampus yang penasaran pada tatahannya, dan menganggap ceritanya seru-semacam
komik atau superhero-dan kehilangan
makna sebagai pengawal moral, budaya, dan nilai-nilai manusia Jawa seutuhnya.
Politiknya. Keluarganya. Ketuhanannya. Ekonominya. Tatakramanya.
Mengambil
pelajaran dari wayang, seharusnya mendorong kita melestarikan ajaran dan
pengajaran yang ada di dalamnya, bukan fisik dan wujud benda wayang itu
sendiri. Jangan sampai upaya keras para dalang-melalui PEPADI-mentah begitu
saja, dan wayang hanya tinggal tatahan kulit tanpa makna.
Lebih
jauh lagi, wayang sebagai warisan dunia mengandung konsep warisan moral dan
jatidiri dunia kecil-Jawa-kepada dunia besar, bangsa manusia di muka bumi
sebagai bagian Alam Semesta, dunia yang lebih besar lagi. Wayang hanya dunia
simbol dari dunia yang teramat kecil, dunia manusia Jawa. Dunia yang
dipengaruhi dan mempengaruhi dunia yang lebih besar lagi sebagai sistem.
Sudah
saatnya, melihat wayang dalam perspektif lain. Mengeluarkannya dari musium,
menjadikannya penuh makna moral dan memutakhirkan pementasannya. Kini telah ada
upaya pengindonesiaan bahasa wayang, seperti yang dilakukan Warseno. Ki Anom
Suroto menambahkan alat-alat elektronik pada senjata wayang. Bahkan, Ki
Nartosabdo mengganti gending dari nada dasar pentatonik menjadi diatonik.
Pemutakhiran
paling ekstrim dilakukan Sujiwo Tejo. Ia menyarikan makna-makna moral wayang
dan membawanya pada situasi masyarakat kontemporer. Ia hanya menggunakan
satu-dua wayang, dan meringkasnya dalam pertunjukan setengah jam, dan membuat
pejabat tertampar, ulama tersentil. Membuat tokoh politik panas.
Dia
hanya menyajikan makna lakon, tanpa asesoris apapun, dan penampilannya terbukti
mampu memengaruhi sosial budaya masyarakat. Kemunculannya sebagai budayawan
(bukankah ini fungsi utama seorang dalang?) ditunggu-tunggu di televisi. Inilah
wayang, seni perlambangan manusia dengan segala problematikanya, lalu
mencarikan solusinya dalam bentuk piwulang lakon-lakonnya.
Buat
apa repot-repot meributkan penculikan
budaya oleh bangsa lain, jika kenyataannya nilai yang ada dalam wayang terbukti
bermanfaat bagi bangsa lain? Hak cipta dan tetek bengeknya menjadikan wayang
kehilangan makna pemersatu bangsa, umat manusia. bukankah akhirnya kita semua
memainkan peran yang sangat aneh di dunia nyata, dan digerakkan dalang tak
nampak bernama nasionalisme buta. Chauvinik. Egoisme kebangsaan, yang akhirnya
menjauhkan kita dari makna yang ada dalam lakon wayang yang penuh dengan
piwulang.
Biarlah
nilai yang terkandung dalam setiap lakon wayang mendunia, dan tetap hidup
sebagai budaya yang hidup, bukan budaya relik yang mesti dipajang-pajang lalu
diagungkan sebagai komoditi. Budaya, yang seharusnya mampu menyatukan
bangsa-bangsa yang mau belajar dari pralambang yang ada dalam lakon pertempuran
dan suksesi raja-raja pandawa melawan kurawa.
Semoga,
usaha pelestarian nilai yang terkandung dalam wayang purwa tidak berhenti, dan
muncul orang-orang baru yang memahami nilai ini, dan melestarikannya.
Menghidupkan nilai moral wayang dari bayangan menuju dunia nyata.
Catatan
Pandawa : lima tokoh utama pewayangan
yang menjadi lawan Kurawa. Diasingkan dalam hutan karena dicurangi dalam
perjudian oleh Sangkuni. Terdiri dari Bima, Harjuna, Yudhistira, Nakula, dan
Sadewa.
Kurawa : Saudara Pandawa dari Kakek
Bisma. Mereka berjumlah seratus, dan setiap mereka menjadi bangsawan serta
memiliki wilayah sendiri. Dibawah
pimpinan Duryudhana.
Prada : cat emas yang digunakan
mewarnai tubuh dan wajah kulit wayang yang sudah ditatah
Pralambang : Perlambangan, tanda-tanda atas
sesuatu (Jawa)
Piwulang : pengajaran moral (Jawa)
Sangkuni : Seorang patih dari Kurawa, anak
buah Duryudhana. Memegang peranan menyesatkan pandawa kedalam pengasingan
setelah mencelakai mereka dalam perjudian. Tewas dalam Bharatayudha.
Abimanyu : Putra Harjuna dari Subadra.
Dibesarkan oleh Kresna ketika Harjuna diasingkan. Gugur dalam Bharatayudha
karena sumpahnya sendiri kepada Dewi Uttari. Ia dipercaya mendapatkan Wahyu
Makutharama, dan mebuat putranya, Parikesit, berhak melanjutkan takhta para
pandawa selepas Bharatayuda.
Harjuna : Ayah Abimanyu. Pemanah ulung
pandawa. Saudara Prabu Karna. Bersenjatakan panah Pasopati. Ia akhirnya
membunuh Karna dalam lakon Karna Tanding.
Ditanggap : diminta tampil, diminta
mementaskan wayang.
Pakeliran : Layar putih dan arena tempat
memainkan wayang purwa (tidak termasuk panggung)
PEPADI :
Persatuan Para Dalang Indonesia.
Gending : tatanan musik tradisional Jawa
dengan ketukan tertentu, menggunakan gamelan sebagai instrumen utama. Disertai
rebab, seruling, dan sebagainya.
Pentatonik : laras dasar musik tradisional Jawa,
mengenal 6 nada dasar.
Diatonik : laras nada dasar musik zaman
ini. mengenal 7 nada dasar.
Daftar
Pustaka
Purwadi. 2008. Seni
Pedhalangan Wayang Purwa. Jogjakarta: Panji Pustaka
Tim Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. 2010. Pedoman Pewayangan Berperpektif Perlindungan
Saksi dan Korban. Jakarta: LPSK.
Sumber bacaan lain:
Makalah Agung Prasetyo, d.k.k berjudul Simbolisme
Lakon Dewa Ruci dalam Wayang Kulit Purwa
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV
Tidak ada komentar:
Posting Komentar