Bathara Kala: Sang Waktu yang Memangsa Manusia
Sukerta dalam Perspektif Islam
“... Ayub ing ususku mangke/Nabi Nuh ing
jejantung/Nabi Yunus ing otot mami/Netraku ya Mukhamad/Pamuluku
rosul/Pinayungan Adam sarak/Sampun pepek sakatahing para nabi/Dadiya sarira
tunggal/Siji sawiji mulane dadi...”
Bait-bait tembang diatas, adalah bagian dari
Ruwatan Bathara Kala yang disarikan dari naskah Ruwatan Ki Dalang Marta
(Safari: 2010). Kental terlihat unsur-unsur agama samawi dengan penyebutan para
Nabi dan Rasul sebagai anggota tubuh, untuk perlindungan dari Sang Bathara
Kala. Secara khusus, agama rujukan adalah agama islam.
Tulisan ini mencoba mengangkat bagaimana
surat Al-‘Ashr digunakan sebagai media dakwah, namun tetap mengakomodir
kearifan lokal mengenai sosok-sosok mistik dan supranatural disekitar mereka,
sebagai akibat pemujaan beraliran dinamisme kala itu. Bathara Kala hanya muncul
pada lakon wayang Ruwatan Murwakala, yang dikenal di wilayah Cirebonan, Sunda,
Jawa Tengah, Jogjakarta, Jawa Timur, Jakarta, dan Banten Barat. Juga, mencoba
menyegarkan ingatan mengenai makna lakon wayang yang ada ditengah isu terancam diambil bangsa lain.
Ruwatan Murwakala, digunakan masyarakat Jawa
dan Sunda untuk menetralisir kutukan-kutukan dan energi negatif dari manusia
penderita (Sukerta) menggunakan pementasan wayang lakon Bathara Kala. Dalang
yang mementaskannya disebut Dalang Karungrungan. Ruwatan ini digunakan pada
anak-anak, peristiwa alam, peristiwa sosial-politik yang khas, atau memohon kemuliaan dan
perlindungan semata tanpa kasus tertentu.
Menurut Purwadarminta (dalam Kustono: 2006)
Ruwatan dalam bahasa Jawa berarti melepaskan. Menurut istilah dapat berarti
melepaskan dan menyucikan diri seseorang dari dosa. Memang pada prakteknya,
ruwatan juga digunakan untuk membersihkan diri dari kesalahan tertentu yang
bukan bawaan (pelanggaran adab, adat, etika, dan nilai).
Murwakala berati Purwa dan Kala. Mendahului,
memurbai waktu. Secara penamaan berarti mengalahkan Bathara Kala. Secara
istilah, berati mendisiplikan diri, mengatur waktu sedemikian rupa hingga
memiliki kemampuan menaklukkan waktu.
Ruwatan Murwakala diartikan sebagai pembersihan untuk mengalahkan Sang Bathara
Kala. Menuju pribadi yang mantap, memahami perlambang-perlambang waktu dan
kutukan dalam ruwatan, serta menyadari betul sebagai manusia yang terbatasi
waktu hingga harus mengaturnya sedemikian rupa.
Lebih lanjut, Kustono (2006) mengungkapkan
bahwa manusia Sukerta berarti suker karta.
Suker, dalam bahasa kawi berarti
sulit, sedih, sial. Karta, berarti kejayaan, sukses. Sulit menjadi sukses.
Untuk menghilangkan sifat sukarta inilah, perlu adanya ruwatan.
Secara ringkas, lakon Bathara Kala dimulai
saat Bathara Guru menumpahkan syahwat saat melihat Dewi Trenana (Wayang Betawi)
atau Dewi Tanana (Wayang Sunda-Cirebon). Syahwatnya ini mengalir di laut (Jawa)
atau batang kayu yang berlubang (Betawi-Sunda), lalu bangkit menjadi raksasa
karena syahwat yang tidak pada tempatnya. Raksasa ini diberi nama Kamasalah.
Raksasa ini selanjutnya menghadap Bathara Guru untuk meminta busana dan
pengesahan sebagai anaknya.
Dalam perjalanan kembali, ia bertempur
melawan kerajaan Kala (versi Wayang Betawi) pimpinan Kalabaka. Tentaranya
(masih menggunakan Kala dalam makna waktu) adalah Kala Maghrib, Kala Maruta,
Kala Tremala, Kala Tirta, dan lain-lain. Semuanya berhasil dikalahkan. Untuk
memperkuat kerajaannya, ia membuat dua hewan mematikan, kalajengking dan
kalabang. Sejak itu, ia dikenal sebagai Bathara Kala. Bathara diambil dari
trahnya terhadap Bathara Guru.
Satu ketika, ia mempunyai kebiasaan berburu.
Ketika embannya tanpa sengaja tergores ketika meracik bumbu, darahnya masuk dan
menjadi satu dengan adukan bumbu. Bathara Kala menyukai rasa darah emban. Sejak
itu, ia bersumpah memakan manusia. Satu ketika, Bathara Guru mengunjungi bumi
bertudunng kain merah dan putih. Ketika tertangkap Bathara Kala, ia mengajukan
tekateki yang tak bisa dijawab dan Bathara Kala, sedangkan waktunya memakan
manusia (pertemuan sebelumnya dengan Bathara Guru menghasilkan beberapa syarat
pemangsaan manusia berdasarkan waktunya) telah habis.
Untuk menghilangkan nafsunya memakan manusia,
Bathara Kala disarankan memakan matahari dan bulan. Namun matahari ternyata
panas, dan bulan teramat keras. Ia memuntahkan kembali kedua benda langit ini.
Ini menjadi asal-usul gerhana matahari dan bulan. Bathara Kala merasa
dipecundangi, dan untuk meredakan amarahnya, akhirnya Bathara Guru menawarkan
beberapa jenis manusia sial (Sukerta) untuk dimangsa. Mulai dari sial secara
keturunan, sial secara pekerjaan, hingga sial karena kesalahan sikap. Jika yang
bersangkutan telah diruwat langsung oleh Dewa Wisnu (dalam teks lain Bathara
Guru sendiri) maka ia bebas dari pemangsaan ini.
‘Ashr, dalam tafsir Ibnu Katsier Jilid 9,
berarti masa. Waktu. Kala. Demi Kala.
Demi perhatikanlah kala, yakni sepanjang hidupmu dan umat-umat sebelummu,
perhatikan segala kejadian sepanjang masa yang tidak terbatas sejak dahulu
hingga kini (Al-‘Ashr, 1). Kala
diartikan sebagai rentang waktu yang panjang dalam sejarah manusia. dapat
dikaitkan, Bathara Kala adalah masa lalu manusia, dan perjalanan waktu dari
masa lalu hingga masa kini.
Pertanyaan yang menarik adalah, mengapa
Bathara Kala dalam kaitannya dengan Al-‘Ashr tidak berpengaruh pada masa depan?
Bukankah Bathara Kala adalah Waktu itu sendiri, dan menjadi kutukan bagi siapa
saja? Jika Al-‘Ashr yang nyata-nyata dibubuhkan dalam mantra-mantra ruwatan
islam, mengapa yang diruwat hanya masa lalu dan masa kini?
Jawaban yang menarik timbul dari keyakinan
tasawuf tentang takdir, qadha dan qadhar, bahwa kita, manusia, bisa mengubah
masa depan. Ruwatan, upaya pengalahan dan penaklukan Bathara Kala hanya simbol
optimisasi kepada masa depan. Juga secara langsung berarti upaya pertaubatan
dan pemaafan terhadap masa lalu dan kesalahan-kesalahan yang mungkin timbul,
terlepas dari takhyul atau tidaknya.
Sesungguhnya
manusia selalu dalam keadaan merugi (Al-‘Ashr, 2). Sukerta. Susah, sedih, becek, sulit. Unsur
yang kedua dalam pementasan lakon Ruwatan Murwakala adalah manusia Sukerta,
yang menjadi subyek ruwatan. Rugi yang bagaimana?
Kecuali
orang-orang yang beriman, beramal shaleh, berpesan nasihat yang satu pada yang
lain, supaya tetap mengikuti yang hak, dan berpesan satu sama lain supaya
tabah-sabar dalam beriman, beramal shaleh, dan mempertahankan hak-kebenaran
(Al-‘Ashr: 3)
Sukerta dengan kaitan antara dua ayat ini,
berarti orang yang tidak beriman, beramal shaleh, berpesan nasihat, dan sabar.
Tegasnya, sukerta bukan hanya masalah keturunan atau kesalahan kerja. Tetapi,
lebih dikarenakan ketidakimanan individu tersebut.
Lalu, apabila masalah ketidakimanan, bukankah
iman itu bukan masalah keturunan? Masalah baru yang timbul dari pemaknaan ini
adalah, jika memang ruwatan hanya berisi penyucian dari dosa yang terjadi
akibat ulah individu itu sendiri, mengapa manusia sukerta dalam naskah Kidung
Bathara Kala, juga adalah yang sial secara keturunan dan silsilah?
Ternyata, kuncinya berada pada tafsir ayat
ketiga, yang berisi anjuran untuk saling menasihati. Agar tetap kokoh dalam
kebenaran dan keimanan. Inilah ajaran luhur dari ruwatan yang sesungguhnya,
bagaimana dalang karungrungan menggunakan kesempatan ini untuk berpesan
kebaikan kepada si sukerta. Kebaikan yang dimaksud, tentu saja secara sosial
dan religius, dengan memandang keperluan orang yang meminta diruwat tersebut.
Tidak sekedar menyucikan, mendoakan, dan memaafkan kesalahan-kesalahan masa
lalu.
Hal ini wajar dilakukan, mengingat dalang pada
masyarakat pulau Jawa memegang peranan sebagai teladan, dan guru spiritual
untuk memberikan contoh-contoh baik kepada masyarakat. Yang diceritakan juga
berisi wejangan (Purwadi: 2008). Menjadi wajar, bila dalang memegang domino
pertama dari mata rantai nasihat kepada masyarakat pulau Jawa.
Kunci selanjutnya, Safari (2010) mengemukakan
bahwa yang dimaksud dalang karungrungan adalah orang yang menjadi rujukan dari
ayat ketiga ini. Tegasnya, dalang karungrungan, atau Sang Bathara Guru yang
menjelma menjadi dalang ini adalah orang yang beriman dan beramal shaleh. Hanya
orang beriman dan beramal shaleh yang mampu murwakala. Mengalahkan sang Waktu,
yang disimbolkan dengan mengalahkan Bathara Kala, melalui perlindungan terhadap
sukerta, disertai nasihat untuk menjadi orang yang baik seperti dalam ayat
ketiga ini.
Perhatikan juga bagaimana simbolisasi orang
beriman (karungrungan) mampu mendahului waktu (murwakala) dan membebaskan orang
yang kesulitan (sukerta) dari bencana dan ketertekanan terhadap waktu (Bathara
Kala). Waktu memegang peranan penting dalam dimensi kehidupan manusia, selain
ruang, akal, dan ruh, yang semuanya tunduk pada qadha dan qadhar (Mutahhari,
1985).
Bathara Kala hanya personifikasi dari sosok
waktu yang tak pernah bisa disentuh, ditaklukkan secara fisik, atau dikalahkan.
Dia hanya bisa dihindari (bukan dihentikan) dengan menjadikan diri kita Dalang
Karungrungan Murwakala, sosok Manusia beriman dan beramal shaleh, serta
disiplin hingga bisa mendahului waktu.
Bathara Kala hanya salah satu cara
memanusiakan waktu, sehingga perlambang yang ada didalamnya dapat dipahami
masyarakat Jawa kala itu tanpa menggurui. Terlebih, proses masuknya agama islam
oleh para wali tidak serta merta, tetapi melewati akulturasi yang kompleks.
Juga, jangan sampai pemaknaan tinggi terhadap produk budaya ini hanya sekedar
rekaman dalam musium, seiring wayang itu sendiri yang teronggok lemah dalam
musium, berjajar dengan keramik dan belulang manusia purba, dan baru akan
disanjung-sanjung ketika diculik bangsa lain.
Daftar
Pustaka:
Mutahhari, Murtadha. 1985. Manusia dan Agama. Bandung: Penerbit Mizan
Purwadi. 2008. Seni
Pedhalangan Wayang Purwa. Jogjakarta: Panji Pustaka
Sumber referensi
lain:
Makalah Hari Kustono, 2006, Fakultas Theologi UNSADHA Jogjakarta berjudul
“Ruwatan: Tinjauan Alkitabiah”.
Makalah Ahmad Opan Safari, 2010, Universitas Padjajaran,
yang diunggah pada blog Abdiredja pada 22 Februari 2010, berjudul “Ruwatan
Murwakala Cirebon”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar