Rabu, 12 Desember 2012

Dua Daya Remy Sylado


Abstrak
Pendekatan hermeneutika dimaksudkan untuk menerjemahkan simbol-simbol yang dikaitkan dengan kenyataan pembaca dan pengarang. Dengan kajian hermeneutika, penulis menganalisa puisi Dua Daya karya Remy Sylado, seorang budayawan angkatan 2000 yang bergenre puisi mbeling.
Hasil penelitian ini, simbol-simbol yang digunakan Remy, tentang dua daya pemerintah menyadarkan kita tentang tugas-tugas pokok pemerintah yang antiklimaks dengan kebiasaan negatif korupsi.
Kata Kunci: Hermeneutika, Simbol Pemerintah,

1. Landasan Teori
a. Pada awalnya keberadaan hermeneutika itu merupakan disiplin ilmu yang banyak digunakan oleh mereka yang berhubungan dengan kitab suci, terutama Injil. Hermeneutika diberdayakan sebagai ilmu untuk menafsirkan kehendak Tuhan kepada manusia (Kurniawan: 2005). Sebagai contoh, untuk menafsirkan Mazmur yang dipenuhi idiom dan metafor-metafor.
Secara etimologis kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, yaitu hermeneuein, yang berarti “menafsirkan, menerjemahkan, dan mengartikan”. Dari kata hermeneuein ini dapat ditarik kata benda hermeneia yang berarti “penafsiran” atau “interpretasi”, dan kata hermeneutes yang berarti “penafsir”. Kata ini sering diasosiasikan dengan nama salah seorang dewa Yunani Hermes yang dianggap sebagai utusan dewa langit.10 Kedudukan Hermes adalah dewa yang menyampaikan pesan para dewa kepada manusia sehingga dapat dikatakan ia tidak hanya mengumumkan kepada mereka kata demi kata saja, melainkan bertindak sebagai penerjemah yang menjadikan kata-kata para dewa dapat dimengerti dengan jelas dan bermakna; di samping itu, dapat memunculkan penjelasan terhadapnya atau hal lainnya sebagai tambahan, yang hal itu disebut sebagai tafsiran hermeneutika. Dari sinilah hermeneutika terikat kepada dua tugas yaitu, pertama, memastikan isi dan makna sebuah kata atau kalimat dalam teks; kedua, menemukan instruksi-instruksi yang terdapat di dalam bentuk simbolisasi. (Kurniawan: 2005)
Bleicher dalam Kurniawan: 2005 juga menyatakan bahwa hermeneutika adalah disiplin ilmu yang menginterpretasikan makna di balik simbol dengan tujuan agar memperoleh nilai makna yang mentransendensikan makna literal, yaitu mengekspresikan dengan alat-alat linguistik, sebuah makna yang hanya dapat dibayangkan dan sebaliknya harus tetap diam. Usaha menafsirkan simbol akhirnya harus dilakukan dengan “menggantikan” penilaian metaforis yang dicangkokkan simbol oleh sebuah penilaian bukan metaforik, yakni mengulangi pertanyaan sekarang dari arah yang berlawanan; penerjemahan yang telah terjadi di dalamnya sebuah konteks metaforik grafis kepada konteks lain yang tidak metaforik, yaitu konteks abstraksi-diskursif; maka tujuan interpretasi simbol-simbol dalam hermeneutika tidak bertujuan mengganti makna simbolik dengan makna literal, melainkan pada sebuah pendalaman pengayaan makna simbol.
Lebih jauh, Kurniawan, mengutip pendapat Paul Ricoeur, juga menyatakan bahwa Interpretasi atas simbol yang terdapat dalam karya sastra tetap melandaskan penafsirannya pada tiga tahapan yang dikemukakan Ricoeur (level semantik, level refleksi, dan level eksistensial) karena hermeneutika dalam karya sastra adalah suatu usaha menyingkap, menafsirkan atau menginterpretasikan makna yang terdapat dalam simbol-simbol bahasa sebagai media (bahan baku) karya sastra. Hermeneutika dalam menafsirkan simbol yang terdapat dalam karya sastra akan melewati empat tahap, yaitu: pertama, tahap menentukan arti langsung yang primer; kedua, tahap menjelaskan arti-arti implisit dalam simbol; ketiga, tahap menentukan tema; keempat, tahap memperjelas arti-arti dalam teks.

b. Sejarah hidup Remy Sylado
Remy Sylado lahir di Makassar 12 Juli 1945. Dia salah satu sastrawan Indonesia. Nama sebenarnya adalah Yapi Panda Abdiel Tambayong (Jampi Tambajong). Ia menghabiskan masa kecil dan remaja di Solo dan Semarang. Sejak usia 18 tahun dia sudah menulis kritik, puisi, cerpen, novel, drama, kolom, esai, sajak, roman popular, juga buku-buku musikologi, dramaturgi, bahasa, dan teologi. Ia memiliki sejumlah nama samaran seperti Dova Zila, Alif Dana Munsyi, Juliana C. Panda, Jubal Anak Perang Imanuel. Dibalik kegiatannya dibidang musik, seni rupa, teater, dan film, dia juga menguasai sejumlah bahasa.

Remy Sylado memulai karir sebagai wartawan majalah Tempo (Semarang, 1965), redaktur majalah Aktuil Bandung (1970), dosen Akademi Sinematografi Bandung (1971), ketua Teater Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung. Remy terkenal karena sikap beraninya menghadapi pandangan umum melalui pertunjukan-pertunjukan drama yang dipimpinnya.

Selain menulis banyak novel, ia juga dikenal piawai melukis, dan tahu banyak akan dunia perfilman. Saat ini ia bermukim di Bandung. Remy pernah dianugerahi hadiah Sastra Khatulistiwa 2002 untuk novelnya Kerudung Merah Kirmizi.

Dalam karya fisiknya, sastrawan ini suka mengenalkan kata-kata Indonesia lama yang sudah jarang dipakai. Hal ini membuat karya sastranya unik dan istimewa, selain kualitas tulisannya yang sudah tidak diragukan lagi. Penulisan novelnya didukung dengan riset yang tidak tanggung-tanggung. Seniman ini rajin ke Perpustakaan Nasional untuk membongkar arsip tua, dan menelusuri pasar buku tua. Pengarang yang masih menulis karyanya dengan mesin ketik ini juga banyak melahirkan karya berlatar budaya diluar budayanya. Diluar kegiatan penulisan kreatif, ia juga kerap diundang berceramah teologi.

Karya yang pernah dihasilkan olehnya antara lain : Orexas, Gali Lobang Gila Lobang, Siau Ling, Kerudung Merah Kirmizi (2002). Kembang Jepun (2003), Matahari Melbourne, Sam Po Kong (2004), Rumahku di Atas Bukit, 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Bahasa Asing, dan Drama Musikalisasi Tarragon “ Born To Win “ , dan lain-lain.
Remy Sylado pernah dan masih mengajar di beberapa perguruan di Bandung dan Jakarta seperti Akademi Sinematografi, Institut Teater dan Film, dan Sekolah Tinggi Teologi.

2. Pembahasan
a. Puisi yang Digunakan
Dua Daya
motivator
berbicara tentang
memberdayakan rakyat
koruptor
berbicara tentang
memperdayakan rakyat.


Sajak ini dibuat pada Juni 2011.

b. Analisa Hermeneutika Puisi Dua Daya
Puisi ini dibuat pada masa ketika isu-isu pemberantasan korupsi menjadi anti klimaks, ketika pejabat-pejabat tinggi negara yang menyerukan antikorupsi justru terkena kasus korupsi.
 Memperdaya, dapat diartikan sebagai keahlian menipu rakyat. Disaat yang sama, motivator menjadi tokoh publik yang kehadirannya membawa pencerahan. Sebut saja Mario Teguh, Arief Dahsyat, atau Ippho.
Dapat disimpulkan ada semacam pertentangan atau sinekdoke disini, tentang motivator yang pekerjaannya membangkitkan orang yang sedang terpuruk (pada akhirnya rakyat secara umum) dan Koruptor, yang mematikan produktivitas dan menipu dengan segudang janji-janji dan bualan ketika mereka masih bersih, belum korupsi.
Diksi pada judul Dua Daya, secara tak langsung mengarahkan kita pada pembahasan semantis mengenai imbuhan member-kan dan memper-kan yang memiliki arti berlawanan. Memberdayakan memiliki arti membuat menjadi berdaya, dalam KBBI. Perdayaan, memiliki arti muslihat atau tipuan.
Motivator berperan untuk memberdayakan, membuat masyarakat berdaya untuk bekerja, saling mencintai, dan memahami agama dengan benar. Secara langsung, koruptor mematikan daya ekonomi masyarakat. Betapa banyak proyek yang mesti berhenti di tengah jalan karena dananya dikorupsi.
Ada yang menarik, ketika diksi Motivator dan Koruptor disandingkan. Apabila kita ambil generalisasi, secara moral pemerintah berperan sebagai motor pembangunan. Secara tak langsung, memiliki kemiripan arti dengan moderator, sebagai pemberi gagasan yang pada akhirnya memotori pembangunan.
Koruptor, yang dalam khasanah moral kita sudah diarahkan secara khusus kepada pemerintahan, malah menurunkan daya masyarakat dan memperdayakan mereka. Menipu, muslihat.
Apa maksudnya? Dalam tugas pemerintah sebagai motivator, Remy dengan mata tajam seorang budayawan, menangkapnya sebagai perbuatan yang anti klimaks: korupsi. Pemerintah kehilangan daya motivasinya. Menjadi daya pelemah.
Kedua diksi ini dihubungkan dengan diksi “bicara”. Dapat diartikan, bahwa bahasan mereka, jika pemerintah ini betul-betul berkeinginan memberdayakan masyarakat, pasti seputar apa yang bisa membuat masyarakat berdaya.
Tetapi yang Remy temukan, justru kasus korupsi yang seperti ditutup-tutupi, bagaimana caranya agar masyarakat diberi muslihat agar tak mengetahui ulah mereka. Ulah koruptor. Tanpa menyebut nama, Remy dengan padat menyajikan makna yang tajam. Padat.
Simbol-simbol yang digunakan Remy, adalah sesuatu yang umum dikenal masyarakat masa kini, namun tidak umum disandingkan sama-sama sebagai simbol pemerintah. Disini, baik pembaca maupun pemerintah hendak disadarkan bahwa pada dasarnya tugas pemerintah adalah mendorong pembangunan dan pemberdayaan masyarakat, namun kenapa kini dipenuhi korupsi dan intrik-intrik untuk memperdaya masyarakat?
tema-tema kritik sosial dan politik tersaji begitu dalam pada puisi-puisi mbeling Remy Sylado, bahkan secara langsung  dihadapan pers, beliau mengkritik pemerintah.
Terakhir, Remy menyebut dua instansi kementrian tidak peka terhadap pengembangan kebudayaan. Ini, secara tak langsung, juga merupakan perwujudan nyata dari puisi dua daya. Daya motivator untuk mendorong pengembangan kebudayaan hilang, dan disebut-sebut tidak peka dan mungkin saja: sibuk bermain muslihat.
Simbol-simbol yang digunakan Remy mau tak mau membuat kita tegas bersikap kepada pemerintah. Denga ciri khasnya membuat simbol sesederhana mungkin agar dekat dengan batin dan kenyataan dalam waktu bersamaan, bukan simbol-simbol baru yang seringkali amat jauh dan rumit.
Secara umum, dalam sajak ini Remy berkesimpulan bahwa pemerintah memiliki dua daya. Daya yang pertama, pemerintah sebagai motivator. Pihak yang motori pemberdayaan rakyat agar pembangunan terus berjalan, perekonomian terus berputar, dan masyarakat tetap mandiri.
Disisi lain pemerintah menjadi negasi makna dari motor rakyat: mengundur-undur pembangunan dan memperdayai rakyat. Bisa jadi, memperdayai untuk menutupi kasus korupsi yang mereka alami.
3. Kesimpulan dan Saran
Puisi Remy Sylado berisi simbol-simbol tentang dua daya pemerintah yang saling menegasikan. Di satu daya, ia berperan sebagai pemberdayaan masyarakat, di satu daya yang lain ia berperan sebagai pemerdayaan masyarakat, pemuslihatan masyarakat.
Simbol yang digunakan Remy sederhana, diksinya mudah dipahami, namun sinekdoke yang ia gunakan membuat maknanya sangat padat dengan sesedikit mungkin kata-kata. memang inilah ciri dominan puisi-puisi Remy Sylado.



















Daftar Pustaka
1. Kurniawan, heru. 2005. Meretas Bangunan Estetika Perpuisian Abdul Wachid B.S. dalam Tafsir Hermeneutika. Jogjakarta: Universitas Gadjah Mada
2. Yusup Hudayat, Asep. 2007. Modul Teori Penelitian Sastra. Bandung: Universitas Padjajaran
3. Vivanews.com. http://showbiz.liputan6.com/read/443753/budayawan-remy-sylado-sebut-dua-kementerian-tidak-peka, 11 Desember 2012 pukul 10.22 WIB
4. Yahya, Pancha W. 2009. Pengaruh Paskamodernisme Dalam Hermeneutika Biblika. Jakarta: Jurnal Veritas
5. Saryono, Djoko. 2003. Hermeneutika Sebagai Piranti Analisis Dimensi Nilai Budaya (Dari) Karya Sastra. Jakarta: Jurnal Bahasa dan Seni
6. Tim Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2009. Kamus Besar Bahasa Indonesia.  Jakarta: Badan Bahasa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar