Selasa, 05 Januari 2021

COVID-19: Sebuah Memoar


Bagian 1


Jumat; dua pekan lalu. Beberapa menit sebelum Salat Jumat, saya terbangun dalam keadaan letih dan sesak. 

Pening sekali kepala saya. Seusai mandi, bersegeralah saya ke masjid jami, menunaikan salat jumat. Seperti biasa:

Bawa sajadah milik sendiri. Hand sanitizer terbekal di saku; dan masker standar medis, yang bukan kain biasa. 

"Tak biasa letihnya," batin saya. Padahal saya sudah tidur cukup lama. Bersama Hamas, adik saya, masjid dituju. Dengan sepeda motor. 

Masjid RW saya masih menerapkan physical distancing, meskipun tak ketat. Saat itu masjid agak penuh, tapi saya dapat di aula utama, dan jarak antar bahu sekitar 15 cm saja. 

Sepulang dari sana, terasa lapar perut saya. Teringat; di rumah ayah  yang berjarak 5 rumah saja dari kediaman saya, saya menyimpan seplastik besar ikan asin. 

Saya bergegas. Plastik itu dibuka. Saya heran. "Tak busuk," padahal sudah cukup lama. "Tak ada aromanya pula, hebat betul boraks bekerja," batin saya lagi.

Dengan riang, saya menggoreng ikan itu. Sesekali, saya terbatuk. Lalu, saya siapkan sambal. Terasi tentu saja saya cari pertama kali. Saya curiga. "Kenapa terasinya juga tak berbau?"

Saya terdiam. Sementara, napas saya memang terasa berat sejak beberapa hari lamanya. Idzni, istri saya, saya ajak bicara. 

"Kamu larang aku tes swab. Tapi, aku kira, aku harus tes hari ini," kata saya. 

"Kenapa?"

"Aku nggak bisa nyium apa-apa," kata saya. "Ini ikan asin, coba cium. Bau nggak?"

"Ya bau lah!" kata dia. "Aku nggak bisa nyium bau apa-apa," kata saya. 

Istri saya tak banyak komentar Tapi kami ambil langkah cepat. Hari itu, kami putuskan. Istri dan anak saya, tetap di rumah ayah. Sementara saya pulang ke rumah sendiri, tanpa mereka. Saya tetapkan untuk isolasi mandiri. 

Halim, saya tatap sejenak. Ingin saya peluk, tapi saya urungkan. "Tidak, bagaimana kalau saya positif?" kata saya dalam hati. 

Sungguh. Keceriaan anak itulah, yang membuat saya tenang menjalani isolasi.

Itulah, hampir 20 hari lalu, terakhir kali saya melihat wajah anak saya secara langsung, dan wajah istri saya tanpa masker.

*

Lama saya mencari layanan swab. Saya tak pernah benar-benar perhatikan pengumuman, bagaimana prosedur pendaftaran, karena saya selalu berpikir: Aku aman.

Tapi saya salah. Allah takdirkan saya harus pontang-panting mencari layanan, karena kesalahan saya sendiri. Akhirnya, hari Selasa, 22 Desember, saya dicatat Puskesmas Jatijajar sebagai suspek. 

Kamis, 24 Desember, napas saya semakin sesak. Rasa pusing tiba-tiba lebih hebat daripada biasanya. Sementara, bersin dan batuk yang menyerang sejak semalam, meninggalkan rasa sakit yang tak wajar. 

Pagi itu, saya berangkat untuk swab. Di Puskesmas. "Jangan ke mana-mana lagi ya, Mas, isolasi di rumah. Setiap hari ada kuesioner kondisi, tolong diisi," titip petugasnya. 

Saya pasrah. Semoga, semoga hasilnya negatif. Sebab, begitu banyak hal yang harus saya kerjakan. Laptop saya tertinggal di kantor; pun pemesanan buku saya, Taman Kehidupan, memasuki tahap kedua.

*

Makin hari; makin berat pula napas saya. Dan herannya, rasa sakit kepala tak hilang berhari-hari itu. Hingga akhirnya, pada hari Senin, melalui whatsApp:

Surat hasil swab datang. Saya, dinyatakan positif. Dan anak istri saya terhitung melalui tracing. 

Sejak surat itu tiba; saya tidak merasa sedih, kaget, atau bingung. Saya sudah siap, karena beberapa dokter yang saya kenal pribadi memang mengatakan besar kemungkinan sejak awal saya sudah positif dengan gejala itu.

Tapi saya masih terpana; betapa akhirnya sebuah berita; virus, yang saya dengar setahun lalu, dari Wuhan, kini benar-benar menyentuh setiap ruang di rumah saya!

Istri saya menelepon. "Kak, gimana asmanya?"

"Aman," kata saya. Belumlah terasa penyakit bawaan sejak saya berusia 4 tahun itu akan ikut bermain-main. Belum ada tanda.

Tapi sejak Senin itu, sungguh, saya merasa sangat lelah dan mengantuk, tanpa melakukan apa-apa. Tanpa sadar, saat saya berkaca, "wah? Kenapa wajah saya kebiruan begini?"

Tapi, Puskesmas tetap menyarankan saya di rumah. Saya memilih ikuti arahan Puskesmas. 

Hari-hari sepi isolasi mandiri, membuat saya agak frustrasi. Saya tak biasa berdiam, menganggur, tanpa kegiatan.

Untunglah, beberapa kitab-kitab sempat saya simpan.

Dua kali sehari istri saya mengantar makanan. Kadang saya berhalusinasi. Saya bingung: ada makanan di sebelah saya, padahal saya tak merasa bukakan pintu yang terkunci. Sejak pagi.

"Nggak kok Kak, tadi kakak yang bukain," katanya, lewat WhatsApp. 

"Ya Allah," batin saya. "Seberat inilah rasanya COVID-19,"

*

Tak semua orang bisa bertahan. Saya bayangkan orang tua dengan dua-tiga penyakit bawaan, seperti asma, diabetes, atau stroke, bagaimana cara mereka bertahan?

Usia saya di bawah 30. Saya masih sangat muda. Tapi, kadang tangan saya bergetar karena lemasnya. Apa yang terjadi dengan orang berumur yang memang sudah lemah?

Suatu pagi Pak RT saya mengantar obat dari Puskesmas. 

Rupanya, Satgas lingkungan saya sudah dikabari. 

Tak lama kemudian, di grup-grup lingkungan rumah, ada broadcast resmi dari RT-RW:

"Mohon ketatkan protokol kesehatan..."

"Pasien positif isolasi mandiri bertambah..."

Saya termangu sebentar menatap layar HP. Biasanya, saya membaca lalu meneruskan broadcast semacam itu, kepada teman-teman yang hendak berkunjung ke rumah.

Tapi kini pengumuman itu justru dimaksudkan untuk saya 

Sementara, lama kelamaan saya tak lagi bisa fokus membaca buku. Saya sangat merasa... Linglung. "Apakah ini happy hipoxia, yang kerap dibilang di berita-berita itu?" batin saya. 

Saya tutup buku lagi. Saya mencari beberapa informasi kesehatan di situs-situs. 

"Pasien COVID-19 dengan comorbid TBC dan asma kemungkinan mengalami happy hipoxia, dan..."

Belum selesai saya membaca potongan kalimat dari sebuah situs, tanpa sadar saya tertidur.

*

Akhir Desember, mungkin 27 atau 28 Desember.

Dada saya terasa semakin berat dan agak sakit. Keterangan positif yang saya umumkan di status WhatsApp mengundang berbagai reaksi. 

"Kenapa tes sih? Udah tau bakal di-COVID-kan!"

"Masih aja percaya sama propaganda pemerintah,"

"Yaelah, dibisnisin itumah sama Faskesnya!"

Saya semakin pening. Maksud saya, agar orang-orang yang mungkin berinteraksi dengan saya segera swab. "Gratis di Puskesmas!" kata saya. 

Tapi, "orang-orang memang senang dengan sesuatu yang mudah terbakar," kata Aan Mansyur dalam puisinya. 

Saya menderita asma sejak kecil, dan saya hafal betul rasanya. Kali ini, sesak ini, sangatlah berbeda dengan asma. Saya memilih percaya dengan dokter. 

Karena saya tak tahu, harus percaya kepada siapa lagi, untuk urusan kesehatan, kalau bukan kepada Nakes?

Tapi saya cukup merasa terbantu. Banyak pula yang mengirim suplemen dan obat, dari berbagai sahabat.

*

29 Desember, 2020. Dimas, sahabat saya, yang selama ini mengurus instagram, dan pemesanan buku, sebelumnya mengabari bahwa buku-buku telah datang dari percetakan dan siap dikirim. 


"Tapi, hasil swab antigen ane kemarin, positif COVID-19, Bang..." katanya. 


Deg. Lengkap, satu tim saya terkena juga. Dimas mengaku baik-baik saja. Gejalanya tak parah. Apakah pengiriman buku harus ditunda?

Untungnya, ia segera menemukan tempat isolasi. Dan tanpa sepengetahuan saya, ternyata alamat pengiriman buku, adalah kantor tempatnya bekerja; bukan rumah kosnya.

Sehingga, Alhamdulillah, ratusan buku itu tetap ada yang bisa mengakses. 

Kami berembuk. Kami putuskan kembali menyewa jasa beberapa orang untuk mengemas dan mengirim ke dua ratus lebih alamat yang telah memesan.

Sedikit lega, hari itu saya bisa istirahat. Sungguh, badan saya terasa pegal. Padahal saya berusaha bergerak dan lakukan berbagai aktivitas.

Menjemur pakaian di teras belakang, atau sekadar menyapu. Tapi, tubuh saya tak kunjung mendapatkan kembali tenaganya.

Menjelang tengah hari saya putuskan untuk tidur lagi. Napas saya terus terasa berat.


*

Hari-hari berlalu. Rasa sakit di kepala belum hilang. Bahkan, saya sudah lupa, ini hari apa? Ini tanggal berapa?

Suatu malam petasan dan kembang api mengoyak udara yang dingin. "Ada apa ini?" kata saya. 

Membuka HP, banyak yang bikin status. Selamat tahun baru, katanya. "Hah? Tahun baru apa?"

Lewat tengah malam, setelah bergelas-gelas air hangat dan paracetamol, saya baru sadar. "Oh ya, ini 31 Desember, besok pagi sudah 1 Januari."

"Ya Allah," kata saya. "Begini ya rasanya".

Sekitar jam tiga pagi saya terbangun. Sengaja menunggu subuh, dalam keadaan agak pening saya cari buku-buku ringan. 

Sayang sekali waktu-waktu uzlah begini tak dipakai untuk membaca. Lagipula, kesibukan pekerjaan memaksa saya mengurangi jatah waktu membaca.

Saya menghindari melihat layar. Beberapa buku besar tentang keislaman saya baca. Tapi pikiran saya kalut. Tak satupun kata-kata itu bisa saya baca dengan jelas; mata saya agak berkunang-kunang.

Dan pikiran saya, seperti hanya bisa bekerja sekian persen. Akhirnya saya ambil saja beberapa buku tipis untuk dibaca di atas pembaringan.

Buku puisi dari Ajip Rosidi, Radhar Panca Dahana, dan beberapa lagi. 

Sebakda subuh itu, hasil swab anak dan istri saya, keluar. "Astaghfirullah," kata saya. "Oh iya ya, kemarin pagi mereka swab." saya kembali lupa peristiwa itu.

Dan yang lebih membuat saya khawatir, Halim, anak saya, dinyatakan positif. Begitu juga dengan ibundanya.

Beruntung mereka dalam keadaan baik-baik saja. Artinya, tanpa gejala. 

Saya bisa tenang sejenak. 

Namun artinya, ayah dan adik-adik saya yang satu rumah dengan mereka, juga masuk dalam tracing. Jadwal swab, didapatkan. 

Ruam-ruam mulai muncul. Kulit saya memerah di beberapa tempat; seperti alergi protein atau... Biduran. 

Tidak terlalu gatal, tapi cukup mengganggu.

Pagi itu, saya tertidur; dan terbangun beberapa saat sebelum Ashar. Astaghfirullah, kata saya lagi. Azan berkumandang. Saya tidak sarapan, sementara lagi-lagi makanan sudah ada di ruang perpustakaan saya.

Segera saya tunaikan dua salat siang itu. 

*

Saya sudah lupa rasanya berbagai makanan. Sepuluh hari itu, hanya asin dan sedikit manis; dan semua makanan terasa seperti kertas basah yang diberi bumbu. 


Saya lupa aroma sabun; aroma apapun yang biasanya mengganggu saya. 


Kaki dan tangan saya lebih sering terasa dingin meskipun tidak habis dari air. Suara saya sangat berat dan perlahan-lahan melirih. 


Akhirnya, sejak 1 Januari itu, saya terbaring saja. Urung mengerjakan banyak hal, urung membaca banyak lembar.


Sebelum saya tertidur lagi; saya sempat siapkan beberapa buku untuk dibaca, kelak, "nanti, saat pusing dan lemasnya hilang deh"


Kitab Al-Madkhul karangan Ibnul Hajj, Adab Fiddin, karangan Imam Ghazali, Ayyuhal Walad, juga Imam Ghazali, itulah tiga kitab tipis yang saya siapkan. 


Sementara, Fiqhus Sirah Syaikh Muhammad Ghazali, Sirah Ibnu Hisyam, dan Tafsir Ibnu Katsir saya tumpuk di dekat sajadah. 


Di HP, telah saya siapkan versi bahasa Arab dari kitab-kitab itu, kecuali tafsir Ibnu Katsir yang memang sudah ada bahasa Arabnya di rak saya. 


"Membaca Ghazali," batin saya, "jangan andalkan terjemahan."


Saya ingin membaca buku-buku itu. Isolasi mandiri inilah saatnya. Tapi kepala saya masih sakit. 


Lalu dalam keadaan sangat pegal, lelah, pusing, dan agak 'keleleran', saya kembali tertidur. Awal tahun yang sungguh kurang menyenangkan.


Kitab Adab Fiddin dan Al-Madkhul, saya taruh di sebelah bantal. Itulah dua benda terakhir yang saya lihat sebelum tidur, hari itu.

*

Dua tahun belakangan, 2019 dan 2020, biasanya saya melalui pergantian tahun di Pontianak, Kalimantan Barat.

2 Januari tahun lalu, saya ada di tepi sungai Kapuas. Salah satu sungai terbesar di Indonesia, hingga kapal-kapal besar pengangkut kayu atau minyak bisa berlalu. 

Rasanya bahagia sekali. Saya bisa pergi ke berbagai tempat; menyaksikan dai-dai yang seperti petani, menyemai kembang-kembang dakwah ini, meskipun banyak orang berusaha menebasnya. 

Tapi, bunga-bunga itu tetaplah tumbuh bersemi. Apapun yang terjadi.

Karena Allahlah yang mempergilirkan musim semi, dari musim dingin yang mencekam. Allahlah yang mengganti orang-orang zalim, dengan orang-orang yang lembut dan penyayang. 

Selepas dari sana, saya bersafari panjang: mengisi berbagai dauroh, di Sumbawa, Lombok, Jakarta, lalu menuju ke Bandung, hanya dalam beberapa hari saja. Tak terkira lelahnya, tapi saya bahagia. Kebahagiaan itu datang dari wajah-wajah para dai yang saya temui. Karena Allah.

Di Bandung itulah saya mendengar, bahwa pandemi, semakin nyata. Sampai di kota saya, Depok, dua kasus pertama.

Dari Bandung itu saya masih harus menuju ke Bandar Lampung, lalu ke Pangkalan Bun. Di penerbangan menuju Pangkalan Bun itu, saya satu seat dengan orang-orang asing. 

Selesai dari sana; pada hari terakhir, saya mengalami kelelahan dan demam tinggi. Tapi, saya abaikan. "Mungkin kelelahan," batin saya. 

Sekembalinya saya ke Depok, pemerintah menetapkan pembatasan kegiatan, tetapi belum PSBB. Yang jelas, sekolah-sekolah diliburkan, lalu berbagai kegiatan kantor, dirumahkan.

Saya mengira, wabah ini akan hilang pada bulan Ramadan. Tetapi tidak. 

Kini, hampir setahun setelah itu; wabah menyentuh rumah saya. Saya harus berpisah sejenak dengan Idzni dan Halim, anak saya. Rasanya luarbiasa. 

Penyakit ini, tak seperti yang tubuh saya kenal. Saya punya penyakit asma yang kerap kambuh; tetapi rasanya COVID ini lain. 

Lemah, kantuk yang sangat berat, pusing yang hampir seminggu tanpa henti, ruam, dan terutama, napas yang juga tak kalah beratnya saya alami. Radang tenggorokan silih berganti dengan batuk yang menyakitkan, tak seperti flu biasa. 

Semoga Allah memulihkan negeri ini. Saya, rindu semuanya.


(Bersambung)