Rabu, 17 Agustus 2016

Cerpen: Sepasang Tikus di Rumahku

Sepasang tikus melanggar perjanjian di rumahku, yang baru saja pulih dari peperangan besar. “Cit!” seru mereka, kurang lebih berarti: “Ayo tanding! Siapa di antara kita yang lebih perkasa, dan berhak menguasai tanahnya!”

Aku kelimpungan, malam lekat sekali, aku baru saja lepas dari tumpukan kertas-kertas kerja yang mesti dibuatkan sajak. Senjataku Cuma pisau dapur yang kuletakkan sembarangan tiap seusai memasak, dan rumahku sendiri. Sementara, senjata mereka tersebar di seluruh badan: taring yang liar, bulu—kata orang—beracun, air seni radioaktif, dan tentu saja otot tungkai yang mampu bergerak secepat peluru.

Kami bertiga berhadap-hadapan. Di ruang keluarga, menghunus senjata masing-masing. Malam menjadi panjang. Tegang. “Maafkan kami, Mas...”

“Tidak mengapa, dik” jawabku. “Tidak perlu meminta maaf. Memang begitulah cara kita menghormati harkat dan martabat diri masing-masing”.

Akupun mengacungkan pisau. Mereka menghunus taring. Tang! Pisauku memukul ubin, sementara mereka seperti membuat kecepatan teleportasi, telah ada ke balik badanku.

Segera, mereka melesat kembali menuju bahuku. Crat! Digigitnya sesaat, lalu melompat kembali ke tanah. “Satu kosong,” kata mereka, “Aku lengah. Kalian hebat,” jawabku lagi.

Adu strategi yang cukup menarik. Aku harus bertahan dengan senjata. Aku tak punya air seni radio aktif, toh? Aku cuma punya segala yang manusia di rumahku sendiri. Segera, kubangun benteng dari karung-karung pasir. Kugali lubang pertahanan, kupasang meriam-meriam kaliber dewa, tak lupa: helm tentara yang bisa buat gaya. Soal dari mana barang-barang itu, ini adalah rumahku. 

Tempat segala sesuatu diinginkan lalu diadakan dengan seperlunya.

Mereka berdua cepat menggali lubang, dan menembus ubin ruang keluarga. “Adu strategi yang fair!” seru mereka. Tak lama, kurasakan ubin bergemeletak seiring galian mereka yang terus mendalam. Kubidik lantai, kuarahkan pada pusat getaran galian mereka.

Thummmmm! Dentum suara meriamku menghancurkan lubang galian mereka. Asap meruah. Kutunggu beberapa saat sampai keadaaan tenang kembali. Ledakan yang dahsyat, genting rumahku sampai terbang beberapa karenanya.

“Gawat, mas, gawat! Hahaha!” Dua ekor tikus itu berdiri di balik asap. “Senjatamu gawat sekali!”

“Bagaimana kalian selamat?” seruku, “Ini meriam kaliber dewa lho!”

“Kita ini tikus, tidak percaya dewa”

“Benar juga,” aku menepuk kepalaku sendiri.

“Sekarang giliran kami!” mereka kembali melesat seperti diletuskan, dan dengan tak terduga melepaskan air seni radioaktif ke arah bentengku. Tidak! Aku harus pergi. Aku melompat sekenanya, dan benar saja! daerah yang terkena air seni meleleh dan menebarkan bau amoniak campur peledak yang sangat kuat. sangat basa. Karung-karung pasir tadi meleleh seperti mentega begitu mudahnya. Cih!

“Giliranku!” Kupanggul sebuah bazoka besar, “Ini bukan bazoka biasa, ini tidak didewa-dewakan!”

Mata kedua tikus itu mengerling, mencari celah melarikan diri. Kembali kubidik, kutembakkan dan blar!  Ruang keluarga meledak, menyisakan asap hitam dan sedikit api. aku masih berdiri. Bazoka masih kutenteng. Mataku nyalang mencari kedua tikus itu. aku yakin sekali tadi kena!

“Mas yang fair dong!” teriak mereka,

“Lha kenapa dik!?”

“Mana bisa kami menghindar, masak mas tiba-tiba misscall telepon genggam saya, kan lengah!”

“Ah iya! Terpencet dik! Maaf!”

Aku membayangkan saudara mereka yang lain di jalanan yang kerap jadi gambar di aspal setelah terlindas. “Kami di jalan Cuma terlindas motor. Saudara mas terlindas tronton industri!”

“Siapa bilang! Kami mati dengan baik, ada yang mengebumikan. Kalian?”

“Itu jalan kami! Mati dengan tubuh terkorbankan dan suci kembali!”

Kami kembali menata posisi. Malam kelihatan telanjang di atap yang bolong, kena ledakan bazoka dan meriam. Aku ke balik benteng yang belum meleleh. Mereka siaga di dalam lubang, dan hanya kedua matanya tampak menyala. Aku menata napas kembali. Haus.

“Minum?”

“Minum!” jawab mereka. Kuangsurkan cawan minum secara ksatria pada mereka. Perang berhenti sejenak. Gencatan senjata berlangsung untuk alasan kemanusiaan, dan aku mengamati ruang keluarga yang berantakan. Hanya kami bertiga. Perang yang mesra dan fair sekali. tak ada yang mengundang wartawan di antara kami, atau membuat lembaga pemertahanan HAM.

“Kenapa kalian melanggar peraturan, dik?”

“Karena tidak cocok, mas”

“Baiklah. Ayo tanding lagi. Langgarlah peraturan dengan terhormat!”

“Pertahankanlah peraturan yang ada di rumah ini, juga dengan terhormat, Mas!”

“Demi kehormatan manusiaa!” teriakku, “Demi harkat dan martabat tikuus!” balas mereka. 

Kami kembali ke posisi masing-masing. Kembali saling membidik. Tikus pertama mencoba mengalihkan perhatianku dengan menggali lubang lurus ke arahku, sementara tikus kedua loncat tinggi-tinggi dan mengarahkan radioaktifnya ke arahku.

“Aku tak akan terkecoh!” kuarahkan bazoka ke arah tikus yang nyaris terbang itu, dan dengan sekali hentak, blaarr! Meledaklah peluru itu di udara. Ah tidak! Ternyata tikus yang meloncat itulah pengalih perhatiannya, tepat dari lubang yang mengarah padaku, cairan radioaktif bermuncratan dan tepat mengancam dadaku. Aku loncat sejauh-jauhnya ke belakang, dan cairan itu mengenai sepatuku.

“Bingo!” kata mereka.

“Tidak ya! Aku tidak kenapa-kenapa”

“Lho mas, kan pelurumu hilang satu sia-sia, sementara air seni bisa dibuat lagi”

“Ah, bagaimana tikus satunya selamat?!”

“Mas saja yang ngawur tembakannya!”

Kami bertiga terengah-engah. Sepatuku segera kucopot lalu kulemparkan. Amunisiku tinggal satu. Aku harus menggunakannya dengan baik.

Perang di antara kami terus terjadi, malam jadi seru sekaligus bising sekali. duar! Duar! Duar! Begitu terus, belum ada yang menunjukkan kelengahan. Sekali dua kali ledakan menghantam lubang mereka, dan sekali dua kali aku terpapar radioaktif. Size doesnt matter! Seru mereka, dan kubalas, “Gede cilik podo kabeh!”
*

Lama kemudian, kami bertiga lelah sekali. tak ada yang mengalah di antara kami. Ruang keluarga rata dengan tanah, terlihat bolong-bolong bekas lubang galian mereka. Lantai rumah tampak seperti keju yang habis meledak. Kertas-kertas berisi sajak dan calon sajak berserakan di mana-mana.  Sebagian hangus terbakar. “Mereka menjalankan tugas sajak dengan baik di tengah peperangan. Semoga masuk surga.”

“Amin,” jawab mereka.

Bagiku, kertas berserakan berisi sajak di tengah perang, adalah korban yang tak termaafkan.

“Damai?”

“Ndak mas,”

“Kami bukan polisi yang biasa damai-damaian,” kami berdiri berhadap-hadapan. Dengan wajah paling prajurit yang kami miliki.

Kami saling menatap. Bagaimanapun kami adalah tiga orang sekeluarga. Seorang manusia dan dua ekor tikus, cuma kebetulan sedang terlibat perang.

“Kukuruyuuuk!” seru ayam dari ujung jalan, di luar rumah, “Tong kukuruyukan!” lanjutnya. Sudah jelang pagi, tanda perang harus segera diakhiri, apapun caranya.

Aku kembali mengamati ruang keluarga yang berantakan sehabis perang. Kedua tikus yang melanggar aturan lalu kuperangi itu tampak kelelahan tapi masih bertahan. Benar-benar kesatria, pikirku. Kedua tikus itu, entah apa yang mereka pikirkan, juga melawanku dengan terhormat.

Sekujur rumahku masih bau basa radioaktif. Tubuh mereka juga diliputi bekas ledakan. Sesekali darah.

“Kukuruyuuuk!” ayam di ujung jalan kembali berseru, “Asholaaaaah!”

Ah! Pak Haji sudah melantangkan ultimatum di pengeras suara masjid. Aku harus menghormati seruan perdamaian itu. waktu ketika kedua belah pihak menghentikan perang, istirahat, dan melakukan ibadah.

Meskipun, menurut perspektif kami, perang inipun ibadah. Saling menghormati dan mengagumi dengan saling menyerang secara jantan.

Inilah rumahku, tempat segala sesuatu muncul apabila dibutuhkan. Tempat peperangan mahaksatria sekaligus peristirahatan paling indah.

“Damai?” tawarku lagi,

“Ndak mas!”

“Demi kemanusiaan!”

“Tidak, demi harkat ketikusan!”

“Jangan keras kepala. Kalian bertarung begitu ksatria malam ini!”

“Tapi begitulah cara kita menghabiskan waktu di ruang keluarga, kan, Mas?”

Selasa, 16 Agustus 2016

Pemilihan Khalifah Abubakar

"Engkaulah! Hanya engkaulah orangnya!" Seru para sahabat, ketika Abubakar justru mengajukan nama Umar Ibn Khattab dan Abdurrahman Ibn Auf sebagai khalifah pertama, paska perseteruan keras penentuan pemimpin, ketika Rasul wafat.
Bagaimana tidak? Beliau adalah imam shalat pengganti Rasul. Yang dikader langsung oleh Rasul sebagai kekasih, satu di antara dua orang ketika hijrah... Yang bacaan qur'annya paling lirih dan liris. Yang isaknya paling hebat dalam shalat..
Sejarah mencatat, itulah kesepakatan pertama dalam fatwa--Ijma'--dalam perkembangan fikih islam, "Abubakar sah menjadi khalifah"
Kita merindukan sosok semacam itu. Yang kita tidak akan ragu mengatakan, "Selain engkau, siapa lagi sanggup memimpin kami?" Apapun partainya, dengan siapapun mengajinya.
Seorang pemimpin yang lahir dari generasi emas kaderisasi. Bukan dari tradisi putra mahkota, kampanye jelang pemilu, atau tradisi paksa-memaksa hak pilih.
Bukan pemimpin yang membutuhkan KPU dan tim sukses agar dikenal rakyat. Bukan itu!

Shiffin dan Politik Kita Hari Ini

Medan perang Shiffin. Antara dua sahabat besar: Ali r.a. Khalifah keempat. Menantu sekaligus keponakan Rasul. Melawan Muawiyah, penulis wahyu, putera pembesar Makkah, Abu Sufyan, sekaligus gubernur Syam.
Perang itu, menurut Ibn Katsir dalam Al-Bidayah wan-Nihayah, adalah perang terbesar antara dua golongan muslim sepanjang periode Khulafaur-Rasyidin. Begitu memilukan: pedang-pedang habis patah, maka perang dilanjutkan dengan tangan kosong dan batu....
Keduanya datang dengan maksud yang sama: "Menuntut pengadilan atas pembunuhan Khalif Utsman.."
Tak ada dari pasukan keduanya yang tidak terluka. Tetapi, perseteruan itu, dicatat pula oleh Ibn Katsir: "tidak ada yang mundur ke belakang. Keduanya, di isi prajurit-prajurit muslim yang mulia..."
"Mereka pada malam harinya saling mengunjungi, setelah siangnya berperang. Menanyakan, siapa yang tewas? Siapa yang selamat, karena pada dasarnya, kedua pasukan memang diisi orang-orang yang saling bersahabat..."
Sekiranya, itulah yang mestinya jadi perhatian. Persoalan perang Shiffin yang terjadi karena gugatan Muawiyah untuk memprioritaskan pengadilan pembunuhan Utsman tidak digubris oleh Khalif Ali. Di sisi lain, sejumlah 90.000 tewas. Suatu korban politik yang teramat besar, memang. Akan tetapi, bukankah tidak menjadi keharusan dalam peristiwa politik, semisal pemilu, korban politik harus dijatuhkan?
Sebagaiman, ada yang ditumbalkan untuk sebuah kemenangan, atau, ada yang dibunuh karakternya, agar satu pihak bisa terlihat baik?

Apa Yang Pertama Dilakukan Jika Terpilih Jadi Pemimpin?

Bagaimana keempat Khalifah menjawab pertanyaan, "Apa yang kamu lakukan ketika pertama kali terpilih menjadi pemimpin?"
"Meskipun anjing dan serigala menggonggong hendak membunuh aku," Kata Abu Bakar, "Akan kuteruskan pemberangkatan pasukan yang sudah Rasulullah tetapkan!"
"Maukah kalian berjihad bersamaku? Jawab, wahai penduduk Madinah!" Seru Umar Ibn Khattab, di Mimbar Masjid Nabawi. Perang Yarmuk, 40.000 muslim melawan 200.000 tentara Roma tengah mengancam.
"Kuangkat Ubadillah Ibn Umar menjadi anakku, dan kutebus denda pembunuhannya!" Kata Utsman, menyikapi pembunuhan Ubaidillah putra Umar, pada Hormuzan, tertuduh perencana pembunuhan Khalif Umar. Keputusan yang memberikan kepastian hukum atas kegemparan akibat terbunuhnya Umar.
Sebaliknya, tanpa kata-kata, Khalif Ali memindahkan ibukota dari Madinah yang diterpa demo besar-besaran menuju Kufah. "Untuk menghindarkan sahabat-sahabat besar dan tabiin gugur karena perang," kata At-Thabari, dalam Tarikh-nya. Ia memilih menyelamatkan kota Nabi dan kesucian penduduknya.
Bukan jawaban-jawaban pragmatis dan idealis, semacam, "mengeratkan, menyatukan, mensinergikan...."

Khalifah Utsman dan Kita Hari Ini

Madinah genting. Kota Nabi yang sederhana itu, dikepung dari beberapa penjuru. Demonstran bersenjata dari Basrah, Mesir, dan Irak, datang menuntut pemakzulan Khalifah Utsman Ibn Affan.
Utsman yang tua, merenung. Ia ingat benar sabda Nabi padanya, "Jangan sekali-kali melepaskan baju yang sudah dikenakan padamu!", jangan melepaskan jabatan.
Ditambah, situasi yang dikendalikan tangan-tangan gelap. Ia dirundung tuduhan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Suara-suara tanpa nama dan wujud, yang mengembus isu. Mirwan, sekretaris kekhilafahan, malah membuat surat palsu yang memberitakan pembunuhan seorang kepala demonstran, atas nama Khalifah.
Di tengah situasi semacam itu, Utsman menolak penggunaan pasukan bersenjata, dan hanya menggunakan masyarakat sipil sebagai jaga malam. Ia tak mau membunuh sesama muslim.
Dan terjadilah tragedi itu: Utsman dibunuh, demonstran merangsek ke gedung kediamannya lewat atap, dan menembus penjagaan putera-putera para sahabat di pintu.
Terbunuhnya Utsman akan meninggalkan bekas luka yang lama sekali sembuhnya dalam sejarah, namun memberikan pelajaran berharga: jangan ada tangan-tangan keruh, di tengah situasi politik, untuk sekedar:
Rebutan jabatan kelas receh di kampus atas nama umat, apalagi sekedar eksistensi diri dan syirik haroki!
Korban politik akan terus berjatuhan, dan biaya yang dikeluarkan begitu besar, atas nama: pemuasan hasrat jabat-menjabat.

Prajurit Tua dan Imannya

Prajurit tua. Ammar Ibn Yasir. 90 tahun umurnya. Tangannya gemetar ketika memegang pedang. Usianya yang tua dihabiskan sebagian bersama rasul, sebagian bersama para Khalifah.
Dialah, yang oleh Rasulullah disebut, "Iman telah menyatu dari ujung rambut sampai ujung kaki Ammar..." Kepadanya sebuah ayat Al-Qur'an diturunkan, ketika pada masa mudanya, ia disiksa dengan siksaan terkeras, karena beriman.
Ibunya adalah syahiidah pertama dalam islam, Sumayyah, r.a. Dibunuh dihadapannya.
Tentang akhir hayatnya, Rasul memberi nubuat: "Engkau, wahai Ammar, akan dibunuh oleh kelompok pendurhaka..."
Prajurit tua. Ia tetap menyertai kebenaran sampai ujung hayatnya: ikut serta dalam perang Jamal dalam usia 88 tahun, antara Khalifah Ali melawan Ummul Mukminin Aisyah.
Menyertai Ali dalam perang Shiffin, dalam usia 90 tahun. Dan terjadilah, beliau gugur di tangan pendurhaka dari pasukan Gubernur Syam, Muawiyah...
Prajurit tua itu tidak mengatakan, "Sudah saatnya undur dan mendidik generasi baru..."
Tak sekalipun dia berkata, "Sudah saatnya yang muda-muda..."
Baginya, perjuangan adalah manifestasi iman. Ia, saksikanlah, tetap tegak sebagai prajurit tua yang luarbiasa, yang bahkan gugur tidak di pembaringan, tetapi di medan perang bersama pedangnya...
Sebagaimana, banyak orang-orang hebat di kampus kita yang dengan alasan akademik atau usia, undur dari kewajibannya, tanpa bergerak melakukan apa-apa, semacam, perujudan dari judul besar "mereka yang berguguran di jalan dakwah..."
Seneng
Nanggepi

Apatisme dan Kekotoran Pemilu

Di antara kita, saudaraku, ada orang-orang apatis. Yang tidak lagi peduli padamu dan padaku. Mereka terlanjur menganggap kita berdua adalah pihak yang salah.
Yang di tangan kita, urusan orang banyak mengalami kekacauan. Yang "manusia akan binasa karenamu, dan engkaupun akan binasa karena manusia"
Sungguh itulah yang dialami Khalifah Ali dan Muawiyah.. Sekelompok orang yang tak bisa berpikir jernih dan menjelma menjadi kekuatan negatif. Khawarij. Yang muak dengan perang tak ada henti, sehingga sama-sama memisahkan diri dari barisan kita. Sama-sama kecewa dengan kita.
Di antara mereka, ada pula yang kelelahan bertaubat dari dosa-dosa yang kita lakukan, dan kecewa dengan trik-trik kotor yang kita pertontonkan. Murjiyat. Yang menyingkir. Apatis. Muak. Mundur sejauh-jauhnya. Diam.
Mereka membenci kita, mereka sibuk dengan wacana penghancuran negara, sementara kita berdua sibuk mempertahankan jamaah masing-masing dan bertikai: atas nama kebenaran. Kebenaranmu dan kebenaranku.
Jumlahmu dan jumlahku makin berkurang. Justru jumlah mereka, Khawarij dan Murjiyat, makin bertambah...
Sementara kita sibuk kampanye, taklimat, dan pencitraan jelang pemilihan, dan lupa bertaubat dari kekejian siasat-kekotoran politik kelas amatir ini...

Mereka Yang Bersahabat dengan Sepi

Sebagaimana Iwan dalam Kering, "Ia bagi dua kesepiannya itu, yang satu dijadikan sahabatnya. Yang satu lagi dijadikan alasan untuk mengerti, bahwa kesepian adalah sahabatnya..."
dalam kegharibannya--dalam bahasa sederhana--umat islam, adalah mereka yang disepikan, menyepi, dan kesepian di tengah kerusakan manusia.
Di tengah pengasingannya, Soekarno membuat mahapidato Indonesia menggugat, yang jadi titik tolak perjuangan diplomasi Indonesia menuju merdeka.
Buya Hamka menyelesaikan Tafsir Al-Azhar yang hebat itu, pada pemenjaraannya oleh rezim Orde Lama, dan menjadi simbol seorang "sastrawan yang ulama"
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, menulis kitab Zadul Maad, yang secara literal adalah "Nyanyian Perjalanan" di tengah senyapnya gurun pasir perjalanannya.
Said Nursi, bahkan menulis--yang secara ajaib, kata Habiburrahman--Risalah Nur, dalam keterasingannya di Barla.
Begitupula Muhammad, Rasulullah, dalam pengembaraan seorang dirinya di liang gua Hira, Jibril datang memberikan wahyu: "bacalah..."
Isa Al-Masih, dengan hanya 12 hawarinya, meniti sulitnya medan dakwah dan meninggalkan berjuta hikmah untuk kita pelajari.
Perbedaannya dengan kita, mereka menikmati kesepiannya, dan dengan persahabatnnya dengan sepi, lahirlah sebuah cita-cita besar.
Sepi, adalah tenaga. Sepi, adalah jalan.
Kesepian. Keterasingan. Keghariban. "Berbahagialah mereka yang gharib...."

Bangkitlah Pelajar dan Sarjana Jakarta

Sarjana dan calon sarjana UNJ yang terhormat. Kampus kita ada di tengah kota yang identik dengan perlawanan dan intelektualitas. Di mana ada kezaliman di situ para guru dan mualim bangkit.
Kurun waktu 1900-an, jauh sebelum adanya IKIP, apalagi terpilihnya Rektor Djaali dan Ketua Bagus Tito, adalah Guru Manshur, yang tegas sikapnya. Beliau salah satu pendiri madrasah di Batavia, dan orang yang tak bisa diperkuda kolonial.
Ketika akhirnya kebijakan kolonial mengancam pendidikan dan kebudayaan, semacam larangan pengibaran merah putih, larangan mengenakan busana selain ciri etnik, ia muntab: Rempug!
Guru Mansur Jembatan Lima, adalah moyang dari 'allamah Yusuf Mansur. Di tempat lain, ada ulama-guru-pejuang, KH Noer Ali. Beliau adalah pahlawan nasional bekasi, juga sebagai pendidik. Beliau angkat senjata ketika belanda lakukan kezaliman.
Habib Ali Alaydrus Kwitang, juga selain sebagai seorang pendidik, adalah seorang yang fatwanya keras mengancam pemerintah kolonial.
Maka, santri-santri cetakan mereka, akhirnya menjadi laskar terdepan ketika medan kemerdekaan memanggil. Bangsa ini, utamanya kota Jakarta, berhasil bertahan dengan bantuan murid-murid didikan mereka.
Mereka tidak memungut bayaran. Murid mereka hanya disuruh bantu sekenanya di kebun, bahkan dibuatkan asrama. Jelas, tidak suruh bayar parkir. Tidak ada ancam-mengancam ke schout (polisi belanda) karena bagi mereka, harga diri sebagai pelajar sangat tinggi.
Dari masjid ke masjid, pelajar-pelajar itu bersama sang Habib, terus mengumandangkan shalawat dan perlawanan. Mereka belajar memisahkan mana kebatilan, mana kebenaran. Bukan belajar menerima proyek dan menolak aspirasi.
Pelajar UNJ yang lebih dari 24000 itu, sejatinya adalah tenaga besar: tetapi diperkuda. Ketika rilis berjudul "Almanak Kepemimpinan Rektor Djaali" meluas, dan aksi rekan-rekan MIPA digelar, malah ada sebagian dari kita yang tega-teganya menuduh:
Sudah tabayyun? Jangan fitnah! Jangan anonim! Ini membuktikan gagal fokusnya kita. Kita, barangkali tidak peduli lagi adik kelas kita bayarannya 8 juta rupiah, atau tidak peduli lagi selain ijazah yang sebetulnya simbol gagah-gagahan ilmu.
Sebelum mereka, ada Habib Utsman, yang lebih dikenal dengan Sayyid Utsman. Beliau memilih bekerjasama dengan pemerintah Batavia dan menjadi kepala Raad Agama, semacam mufti batavia. Apa yang terjadi? Ramai-ramai institusi pendidikan rakyat, termasuk Jamiatul Khair, mengecam beliau dan menganggapnya sebagai musuh bangsa.
Kita pergi, ke hampir seratus tahun kemudian. Berdirilah sebuah institusi pendidikan yang belum jelas arah ideologinya. Ketika rezim melakukan serangkaian kezaliman: menaikkan biaya UKT, mempermainkan anggaran studi dan beasiswa: kita dipaksa diam.
Kita dipaksa menyaksikan dari bangku kelas dengan iming-iming cepat jadi sarjana dan ancaman pemukulan, nyaris persis dengan kolonial.
Tak ada lagi sosok semacam Guru Mansur, atau KH Noer Ali, yang ada adalah versi pribumi Sayyid Utsman. Yang ada, kita dipaksa memaklumi keadaan dengan sabda: kalau tidak mau belajar di sini, keluar saja. Banyak yang mau daftar!
UNJ di tengah Batavia modern menjelma menjadi lembaga pencetak abdi pemerintah, abdi diktator, bukan lagi sarana thalabul 'ilmi batavia tempo dulu.
Sarjana dan calon sarjana UNJ, melawanlah. Sejarah panjang kota ini penuh dengan perlawanan pada kejahatan dan kezaliman, jangan dinodai dengan sikap diam!
Jangan takut melawan, Allah dan doa-doa orang baik bersama kita.

Ralat dan Masukan dari Seorang Sahabat
Menyusul tulisan panjang saya beberapa jam lalu, ada sebuah kritik yang datang, seputar sosok Habib Utsman, yang jamak dikenal sebagai Sayyid Utsman.
Saya tidak bermaksud melecehkan Ahlul Bait, yang seharusnya saya cintai sebagai keluarga Rasulullah. Akan tetapi, dalam konteks sejarah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
1. Habib Utsman, pada tahun 1800-akhir menjadi kepala Raad agama di Batavia. Ia menggantikan KH Abdulgani, dan jabatan itu setara mufti agama di sebuah kota. Ia wafat tahun 1913. Dikenal sebagai ulama dari Pekojan.
2. Pangkal perbedaan pendapat beliau, terletak pada kewajiban atau keharaman mengangkat senjata (dalam kapasitas keagamaan formal beliau) terhadap pemerintah kolonial. Ia beranggapan (ijtihad yang salah pun berpahala lho) haram memberontak, karena pada waktu ia menjabat mufti, umat islam diberi kelonggaran untuk ibadah.
3. Di situlah pangkalnya. Para ulama betawi dan banten, menganggap beliau memisahkan antara ritual agama dan siyasi. Pendapat beliau ini mirip Ibn Taimiyah dalam Siyasah Syar'iyah.
4. Terutama, paska pemberontakan petani di Cilegon yang dikobarkan para Kiai dan Haji sebagai Jihad Fi Sabilillah, Sayyid Utsman menganggap itu sebagai pebuatan Ghurur. Para Ulama waktu itu mengecam beliau, dan oleh para pembencinya, ijtihad ini dianggap pengkhianatan terhadap perjuangan kemerdekaan.
5. Beliau juga bersahabat dengan Abdul Ghaffar, alias Snouck Hourgounje dalam kapasitas sebagai mufti dan peneliti. Harapan beliau, hasil penelitian snouck akan membuat pemerintah kolonial menghargai umat muslim. Bukan mata-mata seperti yang dituduhkan. Memang, karena usaha Snouck, beliau dianugrahi beberapa penghargaan.
6. Beliau dikenal sebagai habib yang keras. Ia memerangi khurafat dan bid'ah yang merebak kala itu, termasuk para ahli nujum dan tarekat sesat.
7. Alasan saya mengaitkan beliau dengan situasi UNJ adalah, beberapa dosen kita seperti terlihat memihak pemerintah, alih-alih mengajak kita berpikir kritis. Tapi lagi-lagi, dalam kapasitas mereka sebagai abdinegara dan dengan harapan seperti Habib Utsman.
8. Sumber saya dalam hal ini, adalah Genealogi Ulama-ulama Betawi karya Ridwan Saidi, dan beberapa manaqib para habaib yang saya dapatkan.
9. Mengenai nama asli Habib Kwitang, tanpa mengurangi rasa cinta pada keluarga Rasul, betul bukan Habib Alaydrus. Beliau bernama Ali Al-Habsyi, yang menetap di Kwitang.
Terima kasih. Tetaplah bergerak, dan jadikan kebatilan-ketakutan pada selain Allah sebagai musuh.

Kala Utsman Dikepung Demonstrasi

Khalifah Utsman yang lembut, penyayang, dan tua. Dua puteri Rasulullah diperistrinya. Ia mendekati usia 82 tahun. Pada akhir pemerintahannya, ia dituduh mengangkat pejabat dari keluarganya sendiri, mengambil harta baitul-mal dengan cara haram, dan serangkaian ketidakmerataan pembangunan.
Maka terjadilah, ada suara-suara gelap, jahat, dan fasik; suara-suara itu berhasil mengumpulkan massa aksi dari 3 tempat: Kufah, Basrah, dan Mesir. Ketiga massa aksi itu berakumulasi tepat di luar pagar Madinah yang lugu dan sederhana.
Apa tindakan khalif Utsman terhadap demonstrasi pertama dalam sejarah Khulafaur-Rasyidin itu?
Tak ada. Tak ada razia ke rumah-rumah, tak ada penangkapan-penangkapan mereka yang distabilo. Apalagi, remeh-temeh kecaman.
Ketika sebagian sahabat dari militer menawarkan penjagaan pasukan, Utsman menolak. "Mereka muslim," katanya.
Utsman hanya dijaga oleh putera-putera sahabat Rasul. Tanpa senjata perang.
Pada suatu kali, Utsman berkesempatan mengklarifikasi dari sebuah mimbar, yang intinya: "adakah kalian melihat, aku mengerjakan amalan ahli neraka?"
Jamaah terdiam. Betul; cara terbaik menghadapi tuntutan masyarakat, adalah dengan tampil dan bicara.
Khalif Utsman yang menghadapi situasi fitnah dengan damai sekali; tak ada pengumuman-pengumuman publik bahwa si A bersalah, si B buronan, atau ancam-mengancam. Bahkan yang keluar, adalah doa-doa pengasihan...
Akan tetapi, demonstran tetap bertahan. Madinah semakin mencekam.
Ath-Thabari, seorang ahli fikih dan sirah kenamaan, menganalisis ini dengan tajam sekali dan akhirnya sejarah yang ia tulis membuktikan bahwa tuntutan para demonstran itu hanya persoalan salah paham yang dikangkangi musuh islam.
Bahkan sampai akhirnya gedung kediamannya diserbu, dan akhirnya Utsman dibunuh, karena muslihat suara-suara gelap itu...

Kenapa Jakarta Tidak Juga Diazab?

Kata orang, Jakarta ini sudah cukup beralasan untuk diazab. Banyak homonya, banyak lesbinya. Cakep-cakep pula. Setidaknya, kalau azab kaum Luth bisa lah sedikit.
Banyak pedagang curang. Sebagaimana surat Al-Muthaffifin, diancam neraka Wail dan sebagaimana penduduk Madyan, azab sudah dekat.
Belum cukup sampai di situ, oknum (oknum) pemerintahan banyak yang curang dan zalim kepada Rakyat. Minimal, 7 bencana Mesir Kuno bisa jatuh ke Jakarta. Air berubah menjadi darah, hujan belalang, serbuan kutu, serbuan katak, dan bahkan kematian seluruh anak sulung Mesir.
Belum cukup sampai di sana, para ulama didustakan. Sebagian diolok-olok di Twitter. Yang lain diperlakukan seperti pelawak dan juru ghibah. Yang paling mengerikan, para Ahlul Bait juga dihina seolah-olah mengina pada pribadi Rasulullah. Hujan harusnya turun tidak menjadi rahmat, tapi azab.
Tapi, kata teman saya itu, kenapa azab belum turun juga?
Saya tidak tahu. Yang saya yakini, Allah Mahapengasih dan Mahapenyayang.
Tapi saya berpikir begini. Ada organisasi, di Jakarta, yang menjadikan anggota-anggotanya harus membaca Al-Quran satu juz setiap hari, dan itu betul menjadi "tren". Orang membaca Al-Quran di halte, di kereta, di kantin, di taman, di halte busway, di foodcourt, dan itu satu juz per hari. Di Jakarta!
Apakah Allah tidak menunda azab dengan itu?
Pengajian para Ahlul Bait masih sesak dan ramai. Di dalamnya, ratusan, bahkan ribuan orang berzikir dan berdoa sambil menangis. Ribuan! Allahumma shalli 'ala Sayyidina Muhammad!
Apa Allah tidak menunda Azab di Jakarta dengan itu?
Di tempat lain, orang-orang-di UNJ ribuan, di UI ribuan, di kampus lain ribuan-ikut halaqah ilmu dan melingkar di masjid-masjid yang dulunya cuma dibuka tiap waktu shalat saja. Di dalamnya, mereka menyebut nama Allah. Ada yang menghafal juz 30. Ada yang menghafal 40 hadits. Ada yang saling menasihati dalam kebenaran.
Apakah azab tidak ditunda karena itu?
Di mushala-mushala terpencil Jakarta kita, kakek-kakek tua dan sedikit dari anak muda masih datang pukul 4 pagi. Mereka bershalawat dan membaca Al-Quran tanpa peduli dengan cemoohan orang bahwa Allah tidak tuli dan tak perlu pakai speaker.
Apakah Jakarta masih bisa diazab?
Selain orang yang tidak suka dengan syi'ar islam, ada orang-orang yang terus membudayakan sunnah. Celana cingkrang, masih membaca kitab-kitab untuk mencari ilmu: Fathul Bari, Riyadhus Shalihin, Musnad Imam Ahmad, atau Sirah Nabawiyah.
Apa iya azab turun secepat itu?
Jangan-jangan azab ditunda karena ulama-ulama yang kita hina masih mendoakan kita: "Ya Allah, ampuni mereka, mereka hanya belum mengerti...."
Jangan-jangan di antara pemuda-pemuda saleh dan "anak musolah" yang kita cerca dan kita katakan "puritan", "wahabi", atau "ekstrimis", atau "PKS" masih ada yang mendoakan:
"Ya Allah, jangan hancurkan kota ini, terimalah amal mereka, dan hapuslah dosa mereka. Mereka hanya belum mengerti...."
Dan sebagaimana doa Rasulullah ketika diusir penduduk Thaif, "Jadikanlah keturunan mereka, orang yang membela agama-Mu, ya Allah...."

Diary Sepedaan Ke Kampus UNJ

Sepedaan Jatijajar-UNJ balik lagi UNJ-Jatijajar, rasanya kaki dan dengkul kayak digigit T-Rex. Saya baru sadar, trek Jakarta-Depok ngga ada yang landai. Perjalanan pergi 1,5 jam, pulang 2,5 jam. Kok bisa lama?
Ngga, saya ngga nyari pokemon. Cuman emang dengkul ini punya batas ketahanan.
Biasanya kalau naik motor, setengah juz udah sampe kampus. Ini satu juz, satu setengah... Belum sampe juga. Akhirnya karena napas terengah-engah, saya ajak ngobrol sepeda aja.
Dan memang sepanjang jalan banyak orang berhenti abis nyalip saya, terus nongolin android sambil diusap-usap, "Catch!" Gitu kali ya dalam hatinya. Yang ngeselin, beberapa diarahin ke saya. Udah tau saya ngga ada di kartun pokemon. Adanya di digimon, yang jadi daun pohon kelapa yang ada di background episode terakhir.
Tapi, emang lalu lintas Jakarta ngga separah Brexit, tapi lebih kejam. Ngga ada permitions buat pesepeda. Apalagi saya pakek sepeda Kian yang belum masuk SMP, rodanya 2/3 sepeda biasa. Pengendara motor kayaknya seneng abis nyalip saya.
Perjalanan pulang lewat tengah malem memang sesuatu. Saya ngga pernah bayangin bakal disalip Tank. Ya, tank beneran. Klaksonnya kayak motor matic biasa asli dah. Tapi pas nengok, Tank. Kan bete. *apa sih. Tapi ini beneran, disalip tank di daerah PAL Depok. Dan emang bener kata temen, kalau ada mobil gede nyalip saya, rawan terbang.
Ada juga tikus yang biasa bunuh diri di jalan, tiba-tiba nyegat sepeda saya. "Tabrak saya!" Katanya, di bilangan Cijantung.
"Jangan, sakit doang ngga mati!"
"Biarin, aku bosan hidup!"
"Ishbir akhi! Wa la nabluwannakum bi syai-im minal khawfi wal ju'i, sesungguhnya kita pasti diuji!!"
Dan tikusnya masuk lagi ke got. Saya ngga tau kenapa tapi saya terus gowes lagi.
Emang ngeselin pas di Alf*mart beli minum, mas2nya terpana lihat saya yang banjir keringat dan ngos-ngosan, baunya kayak orang thawaf tapi batal di putaran ke-6 selama 8 kali.
Sampai di depok, jam ke-2, saya juga ngga pernah mbayangin digodain bencong, manggilnya bukan mas, tapi eneng.
Siapa yang bencong? Dari situ saya belajar, rambut doesn't matter. Bencong, dan mungkin pengguna jalan ngga liat beda antara mas atau neng dari rambut doang. Yang jelas, suaranya lebih ngebas dari saya.
Perjalanan tinggal 5 KM lagi dan sepeda saya mulai laper. "Kreeet, kreeet" ngga tau bunyi apa. Saya bawa sepeda kian bukan apa-apa, biar bisa dilipet dan naik angkot kalau mager.
Tapi ternyata, saya lupa cara ngelipetnya. Dan walhasil, genjot lagi.
"Kamu capek, Sep?"
"Bodo amat, menurut lu mar?"
"Kan gue yang genjot"
"Kan gue yang digenjot"
Akhirnya saya berhenti. Saya pegang sepeda saya, kurangajarnya dia sama sekali ga keringetan dan klaim paling capek. Sementara, saya kayak abis disiram.
Setiap lampu merah, saya mbayangin berhenti di pit stop ala Lorenzo. Bedanya, mereka disambut senyuman. Saya, belum ada yang senyumin.
Setiap liat tukang bakso, atau apapun yang based on leg and wheel, saya juga bersyukur. Sepeda lebih cepet 1-2 km per jam dari mereka. Bedanya, mereka nyari nafkah dan pahalanya gede. Saya, perjalanan iseng yang dirumah ngga ditunggu anak istri.
Di tengah-tengah perjalanan, emang sempat down sih. Maklum. Bulan puasa sama sekali ngga olah raga kecuali senam2 ringan, setiap ganti galon di Meni. Capeknya berlipat-lipat.
Saya jadi mikir aneh-aneh:
Gimana kalau tiba2 disalip mantan ama pacar barunya.
Gimana kalau tiba2 disalip calon mertua yang ngga jadi, dan di spakbornya ada tulisan: "Lu Lama Gue Tinggal"
Gimana kalau tiba-tiba disalip calon jodoh yang ngga jadi dan saya cuma bisa melihat lewat pantulan spion motor dia dan dia terus menjauh.. *oke ini mulai freak
Capek sih. Tapi saya mikir, kuliah 5 tahun di kampus yang medannya nanjak terus aja bisa, dan belum lulus, kok cuma sepedaan 30-an KM capek.
"Ya iya, sepedaannya sendirian..."
Bukan itu masalahnya. Saya emang suka tantangan dan sekali-sekali pingin nulis yang ngga teoritis, sok puitis, atau ngata-ngatain ulil amri.
Ya sekali-sekali lah

bangsa saya ini, adalah bangsa yang dibesarkan dengan puisi oleh para rajanya.


sejak Raja Jayabaya yang membuat suatu Ramalan, yang kemudian ditulis ulang oleh Ranggawarsita dengan bahasa Jawa Baru, orang Indonesia memahami masa depan mereka dengan puisi.
tak lama setelahnya, orang belajar politik dan tatakrama juga lewat puisi. Naskah Negarakertagama, yang mengabadikan kebesaran Kerajaan Majapahit dengan detail, ditulis dengan gaya puisi.
Pada masa kerajaan islam, lebih ekstasi lagi. Sri Susuhunan Mangkunegara IV, membuat suatu naskah Darmawasita. Pesan dari rajanya, untuk perempuan di negerinya yang akan menikah, dengan puisi.
"manising netya luruh
angedohken mring salah tampi
wong kang trapsiling tata
tan agawe rengu
manisnya kelembutan hati
menjauhkan dari salah penerimaan
orang dengan kehalusan tata
tak akan membuat kemarahan..."
ulama-ulama yang datang dan kemudian di-Jawa-kan dengan gelar Walisongo, pun mendidik umatnya dengan puisi.
sebagaimana Suluk Linglung dari Sunan Kalijaga:
"Lamun sira munggah kaji, maring Mekah thuke ana apa, hya Mekah pan tilas bae,
Nabi Ibrahim kruhun, ingkang yasa kang ponang mesjid,
miwah tilase ka’bah, kang arupa watu, gumantung tanpa centhilan,
apa iku kang sedya sira bekteni, dadi mangan brahala"
"kalau engkau naik Haji, menuju Makkah, kau kira ada apa?
di Makkah kau hanya bertilasan saja
Nabi Ibrahim yang terdahulu, yang membangun masjid
tempat bertilasnya Ka'bah itu,yang cuma berupa batu, tanpa hiasan,
apakah itu yang kau beri bakti sembah, jadi berhala?"
saat itu, para ibu menimang bayinya dengan puisi karya Sunan Kalijaga yang akhirnya dijadikan lagu dolanan anak-anak, "Lir ilir, lir ilir, tandure wis sumilir..."
semua orang membaca, menghafal, dan membuat puisi. Para petani mengasuh padinya dengan puisi. Para ulama mendidik umatnya dengan puisi. Para raja menasihati rakyatnya dengan puisi.
sebagaimana Raja Sri Susuhunan Pakubuwana II meminta maaf kepada rakyatnya, dalam serat Wulangdalem:
"tan lyan nuwun agsama, mring kang maca serat niki, kirang wewah sampun dadi celaning priya..."
dan aku meminta maaf, bagi yang membaca serat ini, apabila kurang berkenan, jangan jadikan celaan bagi lelaki ini..."
naskah itu, bicara mengenai nasihat Raja untuk moral rakyatnya. betapa urusan moral dibicarakan dengan puisi, dan jelas puisi Sang Raja tidak mendapat sponsor penerbitan dari Amerika atau Salihara.
lalu sekian ratus tahun kemudian, setelah penjajahan-penjajahan yang dahsyat: aksara kita berganti menjadi aksara latin. bahasa kita, menjadi penuh dengan isasi dan isme-isme.
raja-raja kita, tak lagi menikmati puisi sebagai bentuk nasihat-menasihati dari rakyat, maupun dari Raja untuk rakyat sebagaimana pengamalan surat Al-'ashr.
puisi, dinikmati sebagai sumber uang, atau pelanggaran hukum...

Abdullah bin Rawahah dan Puisi-puisi itu

"Wahai jiwaku, jika kamu tidak terbunuh (saat ini) maka nanti kamu juga akan mati.
Kematian ini sungguh telah sampai kepadamu
Apa yang selama ini kau cita-citakan akan diberikan kepadamu
Jika kau melaksanakan yang dilakukan dua sahabatmu yang terdahulu niscaya kamu akan diberikan..."
Puisi ini dibuat oleh Abdullah bin Rawahah. Dia, Penyair yang gugur di medan perang. Berbeda dengan Wiji Thukul atau Wing Kardjo yang sebatas menulis, sebatas deklamasi.
Abdullah bin Rawahah maju menjadi panglima perang Mu'tah, melawan ratusan ribu pasukan Roma. Sajak ini dibuat secara spontan ketika ia, penyair ini, ragu-ragu menghadapi kematian.
Akhirnya sejarah mencatat, ia gugur. Ia adalah salah satu penyair muslim terbaik di Kota Madinah, bahkan penjuru dunia islam kala itu. Bahkan kabarnya sampai kepada Rasulullah melalui wahyu, "Abdullah bin Rawahah, ia sempat ragu, namun ia maju terus dan gugur di jalan Allah..."
Ia bukan penyair yang hidup dari penjualan buku puisinya. Ia juga bukan penyair yang gemar baca puisi di acara-acara peringatan yang dibuat penguasa. Ia berpuisi, karena begitulah seorang Ibnu Rawahah hidup. Ia berpuisi dengan spontan.
Maka, ketika satu per satu langkah penyair ini berderap meninggalkan Madinah ke medan perang terakhir kali:
"Akan tetapi, kupinta ampunan kepada Allah
Dan tusukan mematikan yang dapat melenyapkan segala kotoran dosa
Atau tikaman tombak dengan kedua tangan yang penuh ambisi lagi terlatih.
Yang dapat mengoyak isi perut dan hati.
Sehingga apabila orang-orang melewati kuburanku, dikatakan:
Semoga Allah menjadikannya pejuang dan semoga itu menjadi kenyataan...."
Ia tak hanya menghunuskan pedang dalam puisinya. Tetapi, ia juga orang yang mampu menghunuskan puisi dengan pedang-pedangnya. Perangnya, bukan perang biasa. Perang yang melawan pasukan terkuat di dunia pada waktu itu.
Pasukannya, bukan pasukan biasa. Pasukan ini adalah pasukan yang dipimpin bergantian oleh Zaid bin Haritsah, Ja'far bin Abu Thalib, dan dia sendiri, Abdullah bin Rawahah, seorang penyair.
Ketika Chairil mengatakan, "Kenang, kenanglah kami
Yang tinggal tulang diliputi debu...."
Maka jauh sebelumnya, Abdullah maju sebagai prajurit, bukan cuma penyair yang sebatas mengabadikan di balik kredo: "puisi mesti bebas dari keterlibatan...." Sajaknya pun bebas dari sepi dan hujan, bebas dari kesenyapan malam dan cinta.
Maka barangkali, sajaknya ini menjadi sajak kita:
"Maka berikanlah kami ketenangan.
Dan kokohkanlah! Kaki-kaki kami jika kami bertemu musuh.
Sesungguhnya orang-orang kafir menzalimi kami...."

Afwan-Afwanan dan Pokemon Go

Rasanya, kalau ngeliat orang ngeselin dan ngafwan melulu, mau saya timpuk pakai pokeball. Tapi ngga mungkin. Hape saya jadul. GPS aja ngga kuat.
Tumpukan deadline juga banyak banget. Tapi saya bingung. Banyak, tapi kok ya masih sempet nyetatus sambil makan kacang telor. Kacang telornya kalau dibawa jalan 600 m menetas ngga ya jadi pokemon?
Tapi saya jadi mikir, mungkin ngga ya orang ngeselin dan ngafwan dicari pakai GPS? Nanti kita bikin aplikasi Afwan Go. Nyari mereka yang ilang, dan di-Catch masuk ke bola pokemon. Mencari mereka yang masuk ke dunia genjutsu dan menyelamatkan dengan pokeball.
Di dalem, udah disiapin iqob. Terus saya bilang, "Selamat menikmati iqob di dalem pokeball~"
Saya ngga sekejam Son Go Ku, ngurung Picollo di dalem magic com. Lagian, mereka bukan Picollo. Tinggalnya sama-sama di Namek tapi laen marga ama Picollo.
Di sisi lain saya juga mikir, kalau badan bisa di-kagebunshin, asik ya. Yang jadi enam aja, ga usah banyak-banyak. Nah, tubuh aslinya tiduran sambil zikir. Sambil minum teh manis panas. Atau nyari jodo. Atau apa lah yang menyenangkan dan ngga berdeadline tapi jadi amalan ahli surga.
Tapi ngga mungkin. Allah ngga akan membebani kita dengan apa yang kita ngga sanggup.
Saya jadi mikir. Apakah mungkin menciptakan dunia yang disiplin. Tapi ya gimana, sayanya juga pelupa. Mesti diingatkan satu jam sekali.
Ya gitu dah. Ngeliat orang asep knalpotnya ngegampar muka, mau saya catch. Ngeliat orang nyalip alay, mau saya catch. Ngeliat orang ngafwan, mau saya catch, di dalem bola yang udah berisi skripsi. Ngeliat calon jodo, mau saya catch. Tapi ngga usah dimasukin ke bola pokemon. Sayang.
Gawean. HP: 2200. Attack: 7200. Defense: 4260
Skripsi. HP: 2500. Attack: 6000. Defense: 4500
Kamu. HP: 500. Attack: infinity. Defense: invulnerable.
Amar. HP: 1200. Attack: 600. Defense: 120 (single) up to infinity (pairs)

Reshuffle Pada Masa Rasulullah

Reshuffle pada masa Nabi maupun Khulafaur Rasyidin?
Iya juga. Tapi, pada masa Rasulullah, jawatan ketentaraan belumlah seformal pada masa Khalifah. Tidak ada istilah "penggantian" karena rata-rata seorang panglima perang diangkat dengan satu "paket tugas", bukan "paket jabatan".
Pada masa Abubakar, diangkat Khalid bin Walid dan banyak Gubernur Wilayah. Pada masa Umar dan Utsman disempurnakan berbagai jawatan, di antaranya Baitul Mal, Diwanul Khatim, dan lain-lain.
Reshuffle yang mencolok terjadi pada masa Umar. Khalid, Sang Pedang Allah, diganti dengan Abu Ubaidah bin Jarrah. Uniknya, beliau diganti justru karena berprestasi dan takut didewakan. Alasannya sederhana. Imar takut, Khalid akan didewakan dan akhirnya menjadi gagal niat dalam berperang.
Pada zaman Utsman, aneka gubernur direshuffle. Patut diingat, sebagian besar adalah reshuffle pertama sejak 12 tahun pemerintahan islam. Di antaranya, Amru bin 'Ash dengan Abdullah bin Abi Sarah.
Uniknya, proses reshuffle Abdullah bin Abi Sarah terjadi atas request rakyat, yang keberatan dengan pajak tinggi terapan dari Abdullah. Maka, Amru dipulihkan dari jabatannya.
Pada masa Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abu Sufyan direshuffle dengan Abdullah bin Abbas namun ternyata gagal, karena faktor politik pada masa itu. Tapi patut diingat pula, masa Ali sekira 25 tahun setelah pengangkatan pejabat era Rasulullah, dan 2-7 tahun setelah pengangkatan era Utsman.
Di antara mereka, ada sahabat-sahabat sepuh dan mesti dipensiunkan dengan istilah "peremajaan". Ali sendiri, yang memeluk islam pada usia 10 tahun, saat itu berusia 50-an tahun.
Di sisi lain, pejabat yang kuat cerita dibalik reshuffle, tidak ada catatan noda politik dibelakangnya. Amru bin Ash, bukan titipan Golkar. Abdullah bin Abbas, juga bukan petinggi Nasdem.
Sa'id bin 'Ash dan Abu Musa Al-Asy'ari di Irak, juga sebelumnya tidak menjabat ketua GP Anshor. Terlebih, Muawiyah bin Abu Sufyan tidak pernah jadi rektor di kampus Muhammadiyah.
Perkaranya, betul di belakang mereka ada yang berlatar pengusaha dan intelektual (Muawiyah adalah turunan pengusaha besar Bani Abdu Syams dan Bani Umayyah, sekaligus satu di antara sedikit klan yang mengembangkan kemampuan menulis), cendekiawan dan agamawan (Abdullah bin Abbas, pernah didoakan pemahaman Al-Qur'an langsung oleh Rasul), maupun politisi-militer (Amru adalah juru runding militer kepercayaan Khalifah Umar).
Pada masa Ali, tokoh-tokohnya sebagian masih muda dan termasuk generasi tabi'in. Yang tua-tua, menyingkir dan mengasuh tabi'in lain. Contohnya, Panglima Asytar An-Nakhi, Qa'qa' bin Amru At-Tamimi, dan juga mulai ditugaskannya sahabat junior seperti Hasan, Husain, Abdullah bin Zubair, dan Muhammad bin Abubakar.
Hasan-Husain, masih imut ketika Rasulullah meninggal. Abdullah bin Zubair adalah bayi pertama yang lahir tahun 1 Hijrah.

Pilgub dan Siroh Shahabiyah

dalam sirah Nabawiyah, pemilu mungkin kurang muncul sebagai variabel penting. apalagi, pilgub. Rasul hanya memilih langsung beberapa pemimpin kota baik untuk Plt maupun seterusnya.
misalnya, Ali bin Abi Thalib sebagai Plt Walikota Madinah saat beberapa perang, Utsman bin Mazhun sebagai walikota Makkah, dan 'Attab bin Al-Qamah sebagai walikota Madinah menjelang wafatnya.
pada masa pemilihan Khalifah Utsman, barulah pemilu yang mendekati sistem pemilu mtodern dijalankan, meskipun pemilunya jauh lebih beradab dari sekarang.
waktu itu, Khalifah Umar menunjuk 6 orang Ahlul Halli wal Aqdi. di dalamnya ada berbagai kalangan, pengusaha, cendekiawan, politisi, panglima perang, dan lain-lain. dengan berbagai hal, akhirnya mengerucut menjadi dua orang.
Ali dan Utsman. Ali, tidak membuat Teman Ali untuk mengumpulkan KTP masyarakat Madinah. perkaranya, semdua orang sudah kenal Ali. Utsman pun tidak ramai menyewa media, meskipun semua mafhum bahwa Utsman adalah orang terkaya di Hijaz pada waktu itu.
lagipula, Utsman tidak menaruh saham di Lippo atau Northstar. Dengan kekuasaan Khalifah Umar, dia juga tidak memaksa minta Tax Amnesty. Dia orang kaya yang berjiwa kaya.
Tidak ada misalnya tiga parpol mendukung Ali. Ali ini, dari kalangan militer. Mantan panglima perang dalam operasi Khaibar, yang bukan untuk menangkap Santoso atau Amir Biki.
Maka akhirnya, Abdurrahman bin Auff selaku KPU, mengadakan jajak pendapat terbatas pada sahabat Nabi di Madinah.
yang menarik, baik Utsman maupun Ali ketika ditanya, "Siapa yang pantas menjadi Khalifah?"
Ali menjawab, "Utsman", dan Utsman menjawab, "Ali".
Pendukung Ali seperti Ammar bin Yasir tidak bersumpah "Iris kuping gue kalau Utsman kepilih!!"
Pendukung Utsman seperti Muawiyah dan Mughirah bin Syu'bah, juga tidak mengatakan, "Ali itu deparpolisasi!!"
semuanya berjalan aman, baik, benar, dan yang jelas, begitu islami.

Falsafah Nrimo ala Orang Jogja

Begini, falsafah "Nrimo" ala orang Jogja itu memang kadang absurd, namun itulah yang membuat Jogj sebagai salah satu daerah yang pendapatannya kurang, tapi paling bahagia di Indonesia.
misalnya, kalau kita kecelakaan di Jogja, jelas kita yang salah, tapi bisa dipastikan korban yang akan minta maaf dan mungkin menolong kita. "Alhamdulillah cuma motor yang rusak..."
atau, "Alhamdulillah cuma kaki yang patah..."
soal harta apalagi. simbah-simbah saya prinsipnya kadang lebih absurd dari saya. hidup lebih dari 2/3 abad tanpa sistem gaji yang pasti, namun selama bisa ngudud lan ngeteh tubruk pait, kelar idupnya. herannya, sedekah jalan terus.
falsafah nrimo ini diwujudkan dengan ucapan, "ya wis Ngalkamdulillah..." atau kadang-kadang "Ya wis sing penting bejo..."
waktu saya mudik, misalnya. di TV, BBM naik. kata Eyang, "Ngalkamdulillah, naiknya ndak banyak...". di waktu lain, ada bencana, "Ya wis sing penting ono sing slamet...."
orang jogja tidak bisa memaki dengan bahasa kasar. itu sebabnya dalam bahasa jawa, bahasa-bahasa biasa menjadi sangat ekspresif, seperti yang saya bilang, dengkul, mata, irung, bahkan simbah dan ibumu menjadi kalimat makian yang sudah sangat kasar. tidak ada kata-kata kotor.
tapi, setiap orang jogja punya potensi kepemimpinan yang hebat. misalnya, Sri Sultan HB IX dan X, dan tentu saja Jend. Soeharto, hehehe. Mereka tidak pernah marah tapi kemarahan mereka tercermin melalui laku dan kebijakan. Serem ya? semarah apapun orang jogja pada sahabatnya, mereka akan tetap gunakan bahasa halus.
dengan tempo ucapan seperti murottal Muhammad Ayyub, tentunya.

Ayo Terus Membaca dan Menulis!

gejalanya, pada tahun-tahun belakangan, banyak orang bermimpi menjadi penulis, sebagaimana era Bajak Laut yang dibuka oleh Gol D Roger, hingga semua anak bermimpi jadi bajak laut. akan tetapi, sedikit dari mereka yang mau melalui prosesnya.
banyak yang mau menulis dengan indah, tetapi tidak mau membaca. mereka mengandalkan intuisi dan pengetahuan yang itu-itu saja, hingga jika membuat dua juta sajak sekalipun, diksi dan isinya itu-itu saja.
yang lain, hanya mau membaca tanpa menulis, dengan alasan: aku ini ndak bisa nulis, mas. HB Jassin tidak menulis puisi tapi ia menulis apresiasinya tentang puisi orang lain.
yang lain, cuma terdiam dan menyerah pada nasib: lulus kuliah, kawin, jadi PNS, dan kisah hidupnya begitu saja, indah-indah nyantai.
padahal, bahasa dan tulisan, dua-duanya adalah keahlian yang disampaikan lewat Nabi. "Wa 'allama Adam al-asma akullaha", dan diajarkan kepada Adam nama-nama segala sesuatu. ini, adalah sebuah fenomena bahasa.
kedua, Nabi Idris dikisahkan sebagai orang yang bisa membaca dan menulis. Cermati, jika ia orang pertama yang bisa membaca, berarti sebelumnya tidak ada bacaan. jika ia yang pertama bisa menulis, berarti ia yang pertama menciptakan sistem aksara.
sejak mula, tulis menulis adalah kemampuan yang berbasis dakwah. sejak mula, bahasa dan aksara adalah sebuah ilmu, bukan sebuah keisengan lucu. terlebih, sebuah ilmu yang mulanya, diturunkan pada para Nabi, dan mungkin, kegiatan baca tulis tidak turun serta merta dengan pemikiran, tetapi wahyu.
betapa keren dan 'bahaya'nya skill ini.
maka begitulah, kita hari ini tidak mau membaca dan menulis, jadi pasukan share broadcast. betapa memalukannya peristiwa share Vampir adalah nama pahlawan islam, pokemon adalah pernik-pernik Yahudi, dan wafatnya Rasul di rumah Fatimah.
kita jadi umat yang nirbaca. betapa mengerikannya jaman ini. sementara, pada suatu waktu, di sekitar Rasulullah Muhammad, orang biasa berpuisi dengan spontan, dan diapresiasi langsung oleh sang Rasul. di Nusantara, orang menulis apa saja dalam bentuk puisi, sampai akhirnya puisi-puisi dikhususkan untuk menuliskan hujan di suatu senja menjelang malam yang sepi.
maka jadilah, kita umat yang tidak akan dibaca orang karena tidak menulis tentang dirinya sendiri, dan hanya bisa mencaci maki tulisan orang tentang dirinya.